Farhan membawa cangkir teh ke pantry dan di sana Syifa menggunakan kursi kecil untuk menjangkau kotak P3K.
"Apa yang sedang kamu lakukan?"
Syifa terkejut dan tergelincir jatuh dari kursi tersebut. Farhan hanya menatapnya tanpa niat membantu sedikit pun. Lagi pula tangannya sibuk dengan baki dan juga Syifa mungkin tidak akan menyambut uluran tangannya karena mereka bukan mahram.
Syifa berdiri dengan raut sebal, "Kenapa kotak obatnya tinggi sekali?"
Farhan berhasil tersenyum. "Apa yang ingin kamu ambil?"
"Plester."
Farhan melepas baki dan mengambilnya lalu menyerahkan pada Syifa.
"Terimakasih."
"Lain kali hati-hati," ucap Farhan sambil berlalu kembali ke ruangannya.
Farhan duduk dan menatap lagi foto istrinya. Ia sejak dulu terbiasa hidup menyembunyikan perasaan. Menjadi yatim piatu benar-benar membuatnya iri dengan teman yang berkeluarga utuh. Farhan sangat khawatir saat sadar mencintai Neli. Dia anak kesayangan orangtuanya, sifat pemalu dan kebiasaanya yang ceroboh selalu membuatnya dipantau. Sejak dulu Neli seperti anak manja yang sangat manis bagi keluarganya, tapi bagi Farhan perempuan itu satu-satunya harta yang ia punya. Farhan rindu kekasihnya. Ia pikir akan membuka cabang di daerah rumahnya supaya Neli tidak lagi kesepian. Ia sudah mencanangkan tempat dan perkiraan biaya pembangunan berserta suratnya kemarin.
Farhan melongok dari jendela ruanganya dan melihat anak kecil di bangunan apartemen samping. Ia teringat saran Bunda untuk mengadopsi. Hal paling tidak ingin Farhan dengar adalah saran untuk menduakan Neli atau meninggalkannya. Mertuanya juga secara diam-diam meminta Neli dipulangkan. Farhan merasa ia tidak pernah memiliki apapun sampai Neli menikah dengannya. Bahkan ia merasa Neli satu-satunya harta miliknya. Sangat egois orang yang ingin mereka berpisah. Farhan mencintai Neli. Ia ingin Neli hidup nyaman dan tidak mendapatkan kritikan dari siapapun. Farhan tidak butuh anak, mungkin saja anak-anak akan membuat Neli menderita, Farhan tidak suka anak kecil yang semena-mena kepada Neli, meskipun itu bayi mereka. Neli juga tidak pernah menunjukkan keinginan untuk memiliki bayi. Dia juga tidak menggodanya, bukan berarti Farhan tidak punya hasrat, tapi menurut yang terlihat Neli tidak menginginkan hal romantis seperti kontak fisik. Karena kalau memang dia menginginkan seperti keinginan Farhan, Neli akan menunjukkan usahanya. Farhan pernah menaruh sebutir obat perangsang dalam minuman istrinya, dan secara mengejutkan Neli malah tidak tidur. Semalaman ia membaca Al Quran dan tidur di sajadah, dalam balutan mukenanya.
Farhan tersenyum masam. Ia punya hasrat terpendam yang tidak bisa ditunjukkan atau diluapkan pada istrinya. Farhan terlalu takut kehilangan cinta kalau ternyata Neli akan menolak dan mungkin sebenarnya Neli akan menerima ajakan Farhan tanpa bantahan, tapi Farhan tahu istirnya tidak pandai mengatakan penolakan malah lebih suka diam memendam sendirian. Farhan ingin memberikan kejutan untuk istrinya. Ia pikir sebaket bunga cukup bisa membalas pernyataan rindu Neli untuknya.
"'''""""""'"'"
Neli menangis ingin mencakar keningnya dan kulit yang disentuh lelaki semalam. Ia jelas berpikir lelaki itu mengincarnya, karena tidak ada satupun barangnya yang hilang. Neli menangis lagi karena setelah menikah lima tahun ada orang asing yang ingin menyentuhnya, padahal Farhan belum sekalipun melakukan hal seperti memamerkan celana dalam kepadanya. Saat ditelepon Neli sudah berbohong. Saat ini ia benci Farhan. Jawaban singkat dan ketus darinya tidak ditutupi. Tapi Neli perlahan luluh dengan pertanyaan Farhan yang tiba-tiba. Biasanya Farhan tidak pernah bertanya hal mendetail tentang dirinya. Kini Farhan bahkan ingin tahu tulisan yang sedang dibacanya. Neli tidak membawa n****+ kesayangannya, ia tadinya sedang membaca Alquran sampai ingatan kebencian itu datang. Pernyataan rindu tadi mungkin hanya akan Farhan anggap sebuah kutipan n****+. Padahal Neli butuh suaminya saat ini. Ia sungguh ingin Farhan ada saat ketakutan menyerangnya. Tapi Neli tidak bisa mengutamakan diri sendiri, Farhan punya kesibukannya sendiri. Neli tidak ingin menjadi perempuan yang selalu merepotkan orang lain, meski begitulah dirinya.
Neli terkejut oleh suara bel pintu. Neli lebih dulu mengenakan jilbabnya dan melihat seseorang di balik pagar rumah.
"Paket!"
Neli keluar dan menerima buket bunga tersebut. "Dari siapa?"
"Bapak Farhan."
Neli bingung. "Farhan?"
"Iya. Ditulis di sini sebagai pengirimnya."
Neli membubuhkan tanda terima. "Terimakasih."
Neli duduk di beranda sambil mengamati bunga tersebut. Ada sebuah kartu :
Aku merindukanmu. Dari : Farhan Sofiyan.
Neli tersenyum dan mengirimkan foto tersebut kepada Farhan. "Paket di terima. Terimaskasih."
Neli hampir berbalik saat suara bel terdengar lagi. Ia tersenyum mendapati Raihan di luar pagar rumahnya.
"Boleh aku masuk?"
Neli mengambil kunci dan membuka gembok pagar. "Ada apa tiba-tiba berkunjung?"
Raihan berjalan mendahului ke rumah lalu mengambil buket bunga Neli. "Aku baru saja memperbaiki AC rumah sebelah. Aku merindukanmu? Ini jelas bukan tulisan Farhan. Jadi dia merayumu lebih dulu supaya disambut dengan baju tidur menerawang itu?"
Neli bersemu sementara Raihan menertawainya. "Hari ini dia tidak pulang."
"Aku heran kenapa kamu membeli baju menerawang itu untuknya. Saran bagus dariku, sebaiknya siapkan juga obat kuat."
Neli malu tiada terkira. "Apa kamu puasa?"
"Tidak. Makanya aku berkunjung, perutku lapar," kata Raihan masuk ke rumah beserta buket bunga Neli.
"Kamu sungguh tidak puasa?!"
Raihan membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa makanan yang Neli siapkan untuk Farhan kemarin. "Apa kemarin Farhan berencana pulang?"
"Begitulah, tapi akhirnya tidak pulang juga," jawab Neli malas dan kecewa.
Raihan tersenyum lebar. "Bagaimana gaun menerawang itu akan berguna kalau dia saja tidak pulang. Sebenarnya kamu tidak salah. Apa mungkin Farhan punya istri lagi di sana?"
Neli langsung beranggapan bahwa ide itu mungkin.
Raihan tertawa keras. "Jangan dianggap serius. Farhan tidak akan pernah seperti itu. Dia sangat jelas. Hitam atau putih. Ya atau tidak. Farhan tidak pernah setengah-setengah dalam segala hal."
Neli merengut kepada bunganya. "Mungkin saja dia sudah berubah."
Raihan mencicipi kuah masakan yang sedang dipanaskan. "Sekarang dia puasa, dulu dia juga puasa. Farhan tidak pernah meninggalkan puasa ramadan. Dia belum berubah."
Neli berhasil tersenyum karena raut serius Raihan yang berhasil menghiburnya.
"Mau dengar saran bagus dariku?"
"Katakan."
"Banyak-banyak tersenyum. Kamu cantik saat tersenyum. Tersenyumlah kepada Farhan." Raihan tersenyum geli, "Hanya saat ada dia. Di rumah ini kamu sendirian, bukan? Jangan sampai seperti orang gila tersenyum sendirian."
Neli akhirnya tertawa.
"Kamu bisa membatalkan puasa kalau berniat menemaniku makan," tawar Raihan lagi.
Neli dengan senyum lebarnya kembali ke sofa. Sedikit perasaan takut itu berkurang. Setidaknya saat ini Raihan bisa melindunginya.
""``````````````````````````````'""""""
Farhan merasa tubuhnya sakit. Padahal ia sangat jarang sakit. Sudah lama sekali demam terakhirnya, saat ini kepalanya pusing dan suaranya mulai sengau. Kini ia merasa sangat merindukan kasih sayang Neli. Farhan menelepon, tapi nomor istrinya sibuk. Ia lalu mengirim pesan. "Apa kabar?"
Meskipun Neli mungkin sudah membaca pesannya tapi Farhan tidak mendapat balasan. Ketukan terdengar. "Ada apa Syifa?"
"Bapak sepertinya flu. Syifa bawakan obat dan minumannya. Semoga cepat sembuh."
Perempuan itu segera keluar setelah meletakkan bawaannya di meja Farhan. "Terimakasih."
Farhan berharap Neli untuk melakukan hal itu nantinya. Ia sungguh rindu istirnya.
"""""""""
Tiga waktu Farhan menelepon di hari selasa, tapi nomor Neli selalu sibuk. Padahal Farhan menelepon pertama saat pagi, lalu siang dan malam. Entah dengan siapa dia bicara. Begitupula saat Farhan menelepon Raihan nomornya juga sibuk. Terlintas dibenaknya perselingkuhan. Farhan belum bisa utuh mempercayai Neli, meskipun ia tetap mencintainya.
Hari ini Farhan merasa sesehat semula. Ia sudah memesan tiket dan menyiapkan perlengkapan biasanya untuk pulang. Saat tiba di bandara Farhan menghubungi Raihan. "Bisa jemput aku?"
"Jam empat nanti aku ada janji..."
"Sekarang."
"Sekarang, 2. 43. Hari ini... rabu." Raihan tersenyum, "Kamu pasti merindukan istrimu. Tunggu sebentar."
Farhan memutuskan sambungan. Ia punya dugaan sendiri. Raihan memang sering usil tapi dulu dia juga tidak merestui Farhan dengan Neli. Kini malah setiap kali Farhan menghubunginya selalu nama Neli terdengar riang dari mulutnya.
"Apa saja kegiatannya?" tanya Farhan biasa.
"Tidak ada yang berbeda. Ah, sepertinya dia mulai merasakan aku mengawasinya." Raihan tersenyum, "Tapi tenang, dia akan baik-baik saja. Aku akan menjaganya selagi kamu menghasilkan rupiah."
Farhan ingin marah. Neli bukan barang, dia lebih berharga daripada itu. Cara Raihan mengatakannya juga seperti Neli peliharaan manis kesayangan Farhan. "Sepertinya kamu perlu menikah."
"Tidak perlu. Ah, mungkin perlu." Raihan tersenyum, "Kamu sepertinya tidak perlu menikah."
"Aku perlu."
"Hasrat laki-laki itu bisa kembali muncul setelah dua puluh menit. Kamu seminggu sekali?"
"Dan kamu belum pernah," balas Farhan sama sinisnya.
"Aku tidak harus menikah sepertimu. Aku bisa membeli saat perlu. Itu lebih hemat daripada menikah. Kamu membiayai hidup Neli utuh 24 X 7 seminggu dan 365 hari satu tahun. Aku hanya beberapa jam saja."
"Aku puasa. Jangan mengajakku bertengkar."
"Aku mengajakmu kepada kebebasan. Tapi mungkin kamu menganggap Neli sebagai gudang pahala. Uangmu sangat banyak, di sana bisa membeli perempuan perjam dan di sini Neli siap sedia."
Farhan tak sabar lagi. Ia memukul wajah Raihan. Darah keluar dari sudut mulut Raihan dan sesaat itu mobil mereka keluar jalur. Raihan terkejut, tapi juga tersenyum, "Baru sekali ini aku mencoba pukulanmu. Lumayan juga."
"Jangan membicarakan Neli seperti itu!"
"Aku membicaraknmu, Neli hanya korban."
Farhan sama sekali belum pernah bertelanjang dengan seorang perempuan, dan kalau ia harus melakukannya, tentu Neli adalah yang pertama dan terakhir seperti cinta miliknya. Lancang sekali Raihan berspekulasi menjijikan tentang istrinya yang manis.
"Dia mungkin akan menunjukkan gaun menerawang itu malam ini. Mungkin dua yang sebelumnya sudah robek," kata Raihan usil dengan kekehan pelan.
Farhan merasa kemarahan naik ke ubun-ubunnya. Neli belum menunjukkan satu pun gaun yang Raihan bicarakan dan, siapa yang merobeknya?!
""""""""
Neli seperti biasa menyambutnya dengan gamis hitam dan senyum manis.
"Aku memberitahunya tentang gaun malammu yang seksi," teriak Raihan dari mobil dengan senyum usil.
Neli merona malu.
"Kamu benar-benar membelinya?" tanya Farhan terperangah.
"Em."
Farhan kesal. Sungguh ia ingin percaya kalau Neli tidak sedekat itu dengan Raihan tapi kenyataannya mengecewakan. "Kamu mungkin memakainya saat aku tidak di rumah. Seingatku aku belum pernah melihatnya. Dan dua gaun lain yang sebelumnya sudah robek," gumam Farhan berjalan cepat ke rumah.
"Apa yang kamu katakan?" tanya Neli menyusulnya dengan wajah bingung.
"Aku hanya bicara kepada diriku sendiri."
Benar-benar mengejutkan. Neli yang manis, polos, lugu dan menggemaskan itu menyimpan sekotak k****m dan obat kuat diantara gaun seksinya. Farhan harusnya marah, tapi dari sikap yang Neli tunjukkan kini tentu itu bukan bukti perselingkuhan. Farhan mengenal istrinya. Neli yang saat ini bertelungkup di depannya sedang merasa malu bukan takut. Kalau istrinya sungguh berselingkuh Neli tentu akan membujuk Farhan untuk percaya sambil menatap matanya mengarang cerita. Tapi kini Neli bahkan membenamkan wajah di tempat tidur tanpa berani menatapnya.
"Jelaskan..." Neli diam. "Aku tahu, kamu tidak berselingkuh."
"Aku mengirimnya untuk Salwa."
Farhan pura-pura bingung, "Memangnya barang seperti ini tidak ada di sana?" Neli menutup wajahnya lagi. "Salwa memintamu mencarinya? Dia kan desainer, kenapa..."
"Aku merindukanmu."
"Hm? Kamu mengatakan sesuatu? Suaramu teredam jadi aku tidak mendengarnya."
"Aku merindukanmu."
Farhan sudah mendengarnya ia tersenyum. "Apa yang kamu katakan?"
Neli bangkit dan duduk cepat, "Aku merindukanmu!"
Farhan tersenyum, lalu raut wajah murka bercampur malu di depannya berubah sedih dan menangis. Farhan menyingkirkan dua kotak barang bukti itu di tempat tidur, "Aku mengerti."
"Kamu tidak mengerti. Harusnya kamu menenangkan aku, atau memelukku, atau menghiburku!"
Farhan tertawa melihat tingkah menggemaskan istrinya. "Ingin di peluk?"
Neli menghapus air matanya lalu menggeleng.
Farhan tahu air mata itu akan tetap mengalir sampai beberapa saat lagi meski Neli berusaha menghapusnya. Farhan memeluk istrinya, "Aku juga merindukanmu."
"Kenapa kamu pulang tiba-tiba?"
"Aku merindukanmu. Aku menelepon dan kamu sepertinya sibuk berbicara dengan selingkuhanmu."
Neli mendorongnya. "Kamu pulang untuk itu?!"
Farhan tersenyum, "Siapa yang kamu hubungi?"
Neli mengambil ponselnya dan menyerahkan pada Farhan dengan wajah merengut. "Cek sendiri."
Farhan melihat nama Mama, Meta dan Salwa. Farhan terusik. Ia tidak punya siapapun untuk dirindukan selain Neli, tapi istrinya punya keluarga. Kecemburuan Farhan sedikit memalukan. "Istirahatlah."
Neli mengambil n****+ yang tadi Farhan letakkan di meja samping tempat tidur. "Aku ingin membaca."
Farhan merbutnya, "Istirahat."
"Membaca itu juga istirahat."
"Bukan. Tidur, istirahat."
"Aku tidak melakukan apa-apa. Kamu yang lebih butuh istirahat," kata Neli setengah malu memaksa.
Farhan berbaring di sisi istrinya. "Halaman berapa?"
Neli sesaat terdiam. "Kamu akan membacakannya untukku?"
Farhan melihat harapan malu-malu Neli. Ia tersenyum mengejek, "Aku hanya bertanya."
Neli merengut lalu berbalik memunggunginya dan menarik selimut sampai leher. "Jahat!"
Farhan tersenyum paham. Neli ingin dimanja. Dia memang sedang sakit. Farhan juga akan seperti itu saat sakit. "Halaman berapa?" tanya Farhan lembut.
"234 baris ke 8."
Farhan menyusupkan sebelah tangannya hingga melewati tubuh Neli, sementara tangan kirinya memegang buku tepat di depan Neli. Farhan memeluk istrinya sambil membacakan buku itu. "Detik jam terdengar konstan. Perlahan suaranya serupa dengan degup jantung mereka," ucap Farhan seperti yang tertulis. Perlahan makin banyak kalimat yang dibacanya.
"Terimakasih," ucap Neli pelan. "Tidurlah. Selamat beristirahat."
Farhan menutup buku dan meletakkannya di depan Neli. Pelan Farhan merasa detak jantungnya berdegup sejalan dengan detik, ia lalu mendaratkan ciuman singkat di pipi istrinya dan menggenggam jemari lentik nan lembutnya. "Selamat malam," bisik Farhan.
""""""