Lima """"""""""""""""""

1726 Words
Neli terlalu banyak menangis. Tapi sekali ini ia tidur dalam pelukan Farhan yang serasa sangat aman. Mimpi buruk itu menghilang sekejap mata saat Farhan memeluk, mencium dan memanjakannya. Benar-benar masih terasa sama Farhan kekasihnya dan Farhan suaminya. Neli terbangun dan ia mengingat hal memalukan yang sudah terjadi. "Sahur..." Neli awalnya tetap memejamkan mata, tapi ketika melihat Farhan sudah rapi dengan pakaian kerja ia merasa kosong. "Kamu akan berangkat sepagi ini?" "Ya. Aku mungkin pulang langsung untuk libur lebaran kamis sore..." "Kita lebaran seperti biasa?" potong Neli cepat. Ia segera menunduk malu, "Salwa dan Meta menanyaiku." "Kita bisa menginap satu hari seperti biasa." Neli hanya menyimpan rahasia dalam hati. Sampai saat ini benar-benar kelu lidahnya untuk bertanya, apakah pekerjaan Farhan sepenting itu daripada waktu kebersamaan mereka. Neli tidak ingin akhir ramadan mereka harus berburuk sangka satu sama lain. """"""" Waktu malam selalu terasa lama, perasaannya selalu dihantui ketakutan dan Neli tersiksa tanpa suaminya. Bayangan-bayang yang Neli lihat masih setia mengintai. Neli sudah memastikan semua pintu dikunci. Tapi ia masih takut tidur sendirian bahkan saat siang ini setelah pagi tadi Farhan baru saja pergi. Neli menguji diri dengan tidur sendirian malam ini, tapi ia benar-benar menangis karena perasaan takut itu terus menghantuinya. Pagi-pagi sekali Neli menelepon salah satu teman pengajiannya yang kebetulan bekerja sambil mengontrak tidak terlalu jauh. Neli memintanya menemani tidur tentu dengan bayaran. Neli meminta dia untuk menginap dengan alasan kesepian. Neli tidur di kamarnya dan teman itu di kamar tamu, tapi tetap saja Neli tidak bisa memejamkan mata sesaat pun. Neli berusaha menahan diri. Ia sudah dua hari tidak mandi sejak Farhan pulang. Kulitnya mulai gatal meskipun Neli tetap sholat seperti biasa, juga puasa. "Apa sakitmu sudah sembuh?" Neli tersenyum mendengar nada khawatir suaminya, "Kamu tidak bisa pulang?" "Masih sakit?" "Ya. Badanku makin panas." "Aku akan menelepon Raihan dan memintanya mengantarkan obat untukmu." "Aku tidak butuh obat, Farhan!" bentak Neli lalu memutuskan panggilan. Ia kesal, juga sangat malu. Farhan melakukan panggilan vidio, tapi Neli tidak ingin menjawab. Dia biarkan Farhan dengan rasa bersalahnya. "Kamu perlu istirahat. Tidur lebih awal, dan untuk sementara tidak perlu puasa," Neli membaca pesan Farhan dengan suara mengejek. Neli kuat untuk puasa, yang tidak bisa ditahannya hanya rasa takut untuk memejamkan mata. Tidak ada tempat yang lebih nyaman daripada di sisi Farhan dan lelaki itu begitu jauh untuk Neli jangkau. Belum selesai tangisnya suara bel terdengar. Neli mengenakan jilbab lalu melihat Raihan yang tersenyum tengil seperti biasa. "Kamu menangis. Apa Farhan melakukan sesuatu?" tanyanya berubah dengan raut khawatir. Farhan meninggalkannya dan bagi Neli itu sesuatu yang sangat jahat. "Kenapa kamu ke sini?" Raihan memamerkan kantong obat. "Dia mengkhawatirkanmu." "Dia akan pulang kalau benar-benar khawatir terhadapku." "Lalu kenapa kamu tidak mencegahnya pergi dengan gaun menerawang itu?" Neli sedikit tersenyum. "Kamu puasa?" "Tidak. Ada makanan?" "Akan kubuatkan kalau kamu mau." "Aku mengerti kenapa Farhan harus rela pulang seminggu sekali." Raihan mendahului Neli ke rumah, "Sambutanmu sangat hangat." "Dia tidak akan pulang minggu ini. Libur lebaran nanti baru akan pulang." "Dia tentu ingin menghindari pekerjaan bertumpuk." Neli rasa Raihan selalu membela Farhan. Mereka memang sejak kecil bersama dan benar-benar seperti saudara, percuma saja Neli mengatakan keburukan tentang Farhan, Raihan tetap akan membela adiknya itu daripada Neli. "Akan kubuat nasi goreng untukmu." "Aku akan menunggu." Raihan duduk tenang, "Kamu puasa?" "Aku puasa." "Farhan menyuruhmu membatalkannya dan meminum obat." "Aku bisa minum nanti." Raihan tercengang beberapa saat. "Biasanya kamu selalu menurut, ada apa?" Neli bergidik apatis, "Aku lelah menjadi Neli yang biasa." Raihan tertawa jelas. Suara tawa yang biasanya tidak pernah Neli dengar dari Farhan. Senyuman saja sudah membuat Neli luluh, apalagi kalau Farhan bisa tertawa lepas saat bersamanya. Selagi Raihan makan Neli menggunakan waktu untuk mandi. Meskipun rasanya tidak seaman bersama Farhan, Neli pikir ia bisa tenang sesaat. Neli bisa menjerit kapan saja, dan saat ini Raihan akan menolongnya. Saat Neli berdiri selesai berpakaian. Pintu kamar tiba-tiba diketuk. Ia terperanjat jelas, tapi hanya sesaat. "Ada apa?" "Apa yang kamu lakukan? Tamumu ingin pulang..." "Oh, baiklah." Neli mengambil dua buku dari raknya dan mengantar Raihan. "Terimakasih untuk obatku." "Sudah impas. Nasi gorengnya enak." Neli menutup pintu. Ia membaca di sofa sambil menahan kantuk. Ia tidur sesaat, hanya sebentar. """"""""""" Neli menunggu Farhan pulang di hari sabtu. Tapi suaminya memang tidak pulang, juga tidak menelepon. Minggu pagi Neli menelepon Meta. "Kenapa Kakak?" "Meta punya uang?" "Untuk apa?" Nada menyelidik jelas terdengar, "Bang Farhan bangkrut?" "B-bukan." "Lalu untuk apa?" Neli memang salah meminta bantuan Meta. Suatu urusan dengan Meta selalu berakhir jadi obrolan panjang yang kadang tidak akan mendapatkan hasil. "Ah, bukan apa-apa." "Kakak aneh," komentar Meta sebelum memutus sambungan. Neli bertahan lagi. Ia benar-benar lelah karena tidak tidur dengan cukup. Senin pagi Neli menghubungi adiknya yang lain. "Salwa...." "Ya, Kak?" Sambutan baik itu cukup melegakan. "Kamu punya uang?" "Untuk?" "Sekitar satu juta." "Kenapa?" Neli benar-benar tidak ingin sendirian. "Salwa, Kakak akan ganti. Kakak janji." "Akan Salwa kirim." "Kakak tunggu." Tidak sampai sepuluh menit, ponsel Neli berdering. Dari segala hal dalam hidupnya, Neli paling bersyukur punya adik seperti Salwa dan Meta. Juga ia sangat beruntung punya orang tua yang begitu baik. Tidak ada anak-anak yang baik tanpa didikan hebat dari orangtuanya. Neli segera mengemas beberapa barangnya setelah memesan tiket pulang pergi. Ia tidak ingin terkurung rasa takut dan tidur sendirian. Terserah harta dalam rumahnya hilang, Neli lebih takut tubuhnya dijamah lelaki lain daripada kehilangan seluruh hartanya. Neli awalnya ingin menginap di rumah Salwa, kalau Salwa dan Athan bersedia merahasiakan keberadaannya. """"""" Baru saja Neli mengaktifkan ponsel. Ia langsung menerima pesan dari Salwa. "Kakak di mana?" Neli tersenyum dan segera meneleponnya. "Bandara." "Baiklah. Tunggu sebentar, akan Salwa jemput." "Terimakasih." Beberapa saat kemudian Neli melihat mobil Salwa mendekatinya. Ia tersenyum lega. "Jadi ini alasan Kakak meminjam uang?" Neli tidak bisa berbohong, dan ia sungguh tidak biasa ataupun pandai melakukannya. "Farhan akan tahu kalau aku menggunakan uang dari yang ditransfernya." "Bagaimana bisa? Kan Kakak punya kartu debit sendiri." "Abang memberiku kartu debit yang dibuat atas namanya. Dia akan mentransfer uang bulanan untukku ke sana dan pastinya dia akan tahu kalau aku mengambil uang sekaligus." "Itu artinya Kakak tidak izin Abang datang ke sini?" "Dia juga tidak akan pulang." Salwa bersedekap curiga. Neli malu, "Aku malas di rumah terus." Beberapa saat kemudian Neli terperangah, saat melihat Salwa membawanya ke kamar hotel. "Salwa, Kakak hanya menginap beberapa hari di rumah kalian. Kakak tidak akan mengganggu..." "Salwa juga sedang tidak di rumah, Kak." Neli terkejut. Ekspresi lelah Salwa kini terlihat jelas di matanya, "Mama Papa pasti tidak tahu." Salwa tersenyum lebar, "Kita bisa merahasiakannya bersama." Neli balas tersenyum senang. Salwa begitu tenang, rasional dan tegas. Neli suka dan kagum dengan sikap Salwa yang tidak mungkin dimilikinya tersebut. '""'""" Farhan masih sedikit khawatir keadaan Neli. Apalagi suara meningginya saat ditelepon beberapa hari yang lalu. Farhan ingin pulang dan merawat Neli yang sakit, namun ia tidak bisa mengabaikan janji yang sebelumnya sudah ia buat. Masih seperti biasa, Raihan akan selalu melaporkan kegiatan Neli kepadanya. Farhan tidak sabar lagi ingin membangun perencanaannya. Farhan ingin pekerjaannya tidak membuat ia dan Neli berjarak lagi. Itu akan sangat melegakan. Pergi bekerja dengan lebih dulu sarapan bersama Neli, lalu saat pulang Neli akan menyambutnya dan setiap malam menemaninya membaca atau mendengar ceritanya. Farhan ingin kehidupan damai yang berbahagia bersama istrinya, hanya itu. Suara bersin membuyarkan harapannya terdengar di balik pintu ruangannya. Farhan yang penasaran menemukan Syifa dengan hidung memerahnya. "Kamu sakit?" "Cuma demam. Syifa baik-baik saja." Farhan mengambil obat yang biasa ia minum lalu memberikan padanya. "Pulanglah, dan minum ini. Istirahat saja di rumah." "Maaf, Pak. Syifa tidak nyaman kalau Bapak baik seperti ini." Farhan tertegun, sebelumnya Syifa memberi perhatian lebih kepadanya saat Farhan sakit. "Kenapa?" "Bapak lebih memperhatikan Syifa dari pegawai yang lain." Dia menjauh malu, "Nanti akan Syifa antar berkasnya. Maaf, Pak." Farhan terkenang Neli. Dulu Neli pun begitu. Tapi Pak Budi jelas menyukai Neli dan mendapat penolakan. Sebenarnya Pak Budi pernah ingin melamar Neli tapi Neli langsung menolaknya. Sudah jelas Neli bukan perempuan pengeruk harta. Sedikit perbedaannya, Syifa tidak cukup ceroboh bagi rekan kerjanya yang lain, tapi saat dengan Farhan perempuan itu selalu terlihat kikuk dan ragu-ragu. "Maaf. Untuk saat ini sebaiknya kamu pulang, bersin itu bisa menular ke rekan kerja yang lainnya." "Baik. Terimakasih." Farhan akui ia lebih banyak memperhatikan Syifa. Itu semata-mata karena kemiripannya dengan Neli. Farhan rindu istrinya, tapi kalau ia menghubungi Neli, ia sedikit bingung dengan topik pembahasan mereka. Sebelumnya Neli marah, dan sekarang mungkin Neli sudah tidak marah lagi, tapi Farhan tidak ingin membuat Neli semakin rindu menunggunya. Farhan menelepon Raihan. "Apa yang sedang dia lakukan?" "Aku sedang sibuk, tapi biasanya dia selalu di rumah saja." "Aku ingin tahu pastinya." "Nanti akan kulihat. Sekarang aku sedang ada urusan." "Baiklah. Jangan lupa memberitahuku." "Iya. Harusnya Neli tahu kalau suaminya sangat cerewet..." Farhan memutuskan panggilan dengan senyum geli. Tapi masih ia sangat ingin mendengar kabar kekasihnya. Farhan memandang langit, selalu langit pengobat rindu yang bisa setiap saat ia liat bayangan wajah tersenyum kekasihnya. Farhan mengambil ponsel dan menelepon. Namun operator mengatakan kalau nomor Neli tidak aktif. Farhan menunggu lama panggilannya tersambung atau Raihan memberi kabar. Tapi setelah jam makan siang belum satupun yang menghubunginya. Farhan menelepon Raihan lagi. "Bagaimana kabarnya hari ini?" "Dia baik-baik saja," jawab Raihan terganggu. "Istrimu masih seperti biasa, masak dan membaca. Kalau tidak percaya padaku..." "Apa yang sedang kamu lakukan?" "Menjawab pertanyaan bodoh dari seorang suami yang sangat..." "Apa kamu sibuk?" "Bisa biarkan aku menyelesaikan kalimatku...." "Sudah makan?" "Ada apa sebenarnya denganmu?" Raihan pastinya sedang sedikit curiga, "Kamu menganggap aku Neli?!" Farhan tersenyum. Seperti itulah. "Mana mungkin aku rindu padamu," tolaknya cepat. "Aku di depan rumah kalian. Neli masih seperti biasa. Ah, dia sedang menelepon. Kamu tidak ingin memastikan dengan siapa dia bicara?" Farhan hanya punya tiga nama tersangka. Mama, Meta dan Salwa. Ia lebih baik berpikir yang baik-baik daripada melihat Neli menangis lagi. "Dia memutuskan panggilan dengan wajah lega." Raihan terdengar jahil, "Mungkin kekasihnya. Mungkin dia janji bertemu dengan lelaki pendek dan botak." Farhan tersenyum lagi, "Bicaramu mulai meracau. Aku tutup." "Hei, tung...." Begitu Farhan memutuskan panggilan, sebuah panggilan dari Neli masuk. Farhan berdeham sebelum menjawab, "Ada apa?" "Farhan, begini..." "Hm?" "Maaf mengganggu. Kututup saja. Assalamualaikum." "Katakan..." Panggilan telah berakhir. "Waalaikumsalam." Farhan tersenyum, sedikit berkurang rindunya dan mengirim pesan. "Wajahmu pasti sedang memerah. Kamu cantik." "Kamu tidak ingin melihat wajah meronaku? Lama sekali libur tiba." Farhan tidak membalas lagi. Neli selalu lebih ramah lewat tulisan daripada bicara. Dia pemalu, benar-benar sedikit bicara saat bersama tapi aktif saat berbalas pesan. """""""'"""""
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD