Tiga """"""""""""""""""

2333 Words
"Kamu tidak berencana mengadopsi?" "Farhan punya istri, Bun." "Tapi bukan anak. Kata Raihan kamu mengurungnya sendirian. Bukan begitu cara membahagiakan..." "Farhan tidak yakin Neli mau mengadopsi." "Bagaimana dengan kamu sendiri? Apa kamu benar-benar ingin selamanya begini? Kalian sudah lama menikah, apa kamu tidak ingin punya anak darah dagingmu sendiri?" "Tentu Farhan ingin Bunda. Tapi Neli..." "Kalau Neli tidak bisa, masih banyak perempuan lain yang bisa. Hartamu banyak, usahamu sukses, badanmu masih sehat. Dan Islam juga mengizinkan poligami." Farhan tahu dirinya marah. Tapi ia coba menahan untuk tidak berbuat kasar. "Bunda tidak berhak ikut campur urusan pernikahan kami." "Bukan begitu, Bunda memberi nasehat." "Aku bukan anak kecil lagi." "Memang bukan. Bunda sudah menganggap kalian semua ini anak kandung Bunda." "Farhan tahu." Farhan berdiri, "Untuk sekarang Farhan pulang dulu." "Tapi...." "Neli..." "Ya?" Melihat wajah bingung dan terkejut itu Farhan menelan ludahnya. Marahnya perlahan sirna, apalagi saat perempuan manis tersebut mendekat. "Mau pulang sekarang?" Farhan mengangguk. Ia tidak suka tempat yang di dalamnya Neli dibenci. "Kita tidak sholat tarawih bersama mereka?" tanyanya dengan raut kecewa. Farhan menghela napas. Neli begitu naif. Dia selalu menganggap orang lain baik, tanpa pernah tahu sikap orang yang sering menusuk di belakangnya. "Baiklah." Neli menggoyangkan telapak tangannya untuk menolak, "Tapi kalau kamu mau sholat di tempat lain..." "Di sini saja," putus Farhan. Neli mengangguk. Senyumnya kembali dan kembali dia menemani anak-anak belajar. "Dari awal kami menentang kalian menikah." Bunda beralih kepada mata sinis Farhan, "Dia benar-benar terlihat lugu..." Farhan menangkap kesan buruk. "Dia memang begitu. Itu bukan sikap pura-pura." Bunda menghela napas sambil bangkit. "Itu memang cinta. Bunda wudhu dulu." Farhan tidak membalas. Ia tahu Raihan dan semua orang yang mengenalnya menuduh Neli menggunakan ilmu hitam dan guna-guna demi pernikahan mereka, tapi sungguh mereka tidak tahu-menahu kalau orang tua Neli juga sejak awal tidak menerima Farhan. Rasa cinta yang ada itu bukan sementara, juga Farhan yakin Neli tidak akan sanggup berpura-pura dua puluh empat jam, kecuali memang seperti itu dirinya apa adanya. Harusnya Neli sedikit seperti saudarinya yang lain, seperti Salwa yang tegas atau seperti Meta yang lugas mengungkapkan isi hatinya. Neli sangat pemalu dan orang terbiasa menindas, berburuk sangka terhadapnya. Tapi kelebihan Neli, dia tidak pernah menaruh benci kepada orang lain, benar-benar sepolos sikapnya. "Apa Bunda membicarakan sesuatu?" "Tidak ada." Neli tidak bertanya lagi. Farhan tidak mungkin mengatakan tentang yang Bunda bicarakan. Neli akan kecewa, dan ia tahu hal itu sangat tidak baik. Meskipun islam tidak melarang poligami Farhan tetap tidak ingin melakukannya. Masih banyak hal lain, sunnah yang lebih utama selain poligami yang bisa ia kerjakan tanpa menyakiti istrinya. """""""" Neli menelepon Meta, menanyakan kabar Mama Papa yang tengah dirindukannya. Ia selalu menghubungi saudarinya saat rindu keluarga. Neli tidak ingin Mama khawatir dengan keadaannya dan Neli juga tidak ingin merasa menyesal atas pilihan yang diambilnya tentang akhir hidup yang dijalani bersama Farhan. Tapi melalui Meta selain bisa tahu kabar orangtuanya, Neli juga bisa menceritakan kota tempat tinggalnya kini dan kalau ia menelepon Salwa, Neli bisa menggodanya tentang Athan. Neli teringat sabtu lalu saat Farhan mengungkapkan bahwa suaminya rindu. Memang hanya selalu begitu, percuma hanya kalimat rindu tapi tidak ada apapun setelahnya yang terjadi. Neli menghempaskan napas lelahnya. Di samping tempatnya duduk ada kantong belanjaan. Ia kembali membeli baju tidur yang menerawang untuk dikirimnya kepada Salwa. Neli tahu ia tidak bisa mewujudkan fantasinya tentang romantisme bersama Farhan, atau berharap bayi dari rahimnya. Meskipun ia juga menyimpan miliknya yang belum pernah berani ia tunjukkan kepada Farhan. Neli pikir Farhan akan berubah setelah menikah, dan memang berubah lebih dingin dari sebelumnya. Sampai saat ini Neli belum pernah mencicipi bibir diam Farhan, padahal mereka pasangan menikah. Ponselnya berdering, membuyarkan lamunan kesal tak berakhir itu. Neli gugup, ia khawatir yang menelepon Farhan, karena sekali ini ia pergi tanpa izin dari suaminya. Namun ia bisa melepaskan rasa takut itu saat melihat nama Raihan. "Jadi kamu mencoba menggoda Farhan dengan baju murahan seperti itu?" "Apa maksudmu?" tanya Neli gugup atas pertanyaan tak terkira tersebut. "Tidak perlu malu-malu begitu. Saranku, belilah yang kualitas barangnya tidak mudah robek, setipis itu pasti hanya bisa kalian gunakan sekali. Kamu tentu menimbang postur suamimu yang besar itu." Wajah Neli pastinya memerah. Jelas sekali Raihan sudah menangkap aibnya, tapi ia coba menyangkal. "Kamu bicara apa?" "Aku hanya memberi saran supaya kamu tidak sering membelinya dan mengeluarkan uang untuk hal percuma." Neli menuntup panggilan. Raihan keterlaluan. Pembicaraannya terlalu v****r meskipun dia orang yang dianggap Farhan kakak. Neli mengatur napas. Ia membuang pandangan ke balik jendela taksi. Kadang jujur Neli kepada dirinya sendiri, ia ingin suami yang banyak bicara, yang bisa membuatnya kesal dan akan mengatakan permintaan maaf dengan kalimat romantis. Dan Farhan tidak pernah paham hal itu. Mungkin benar yang Raihan katakan, Farhan mungkin belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Neli kini juga kehilangan rasa yakin untuk mengakui Farhan mencintainya. Mencintai harusnya membahagiakan, bukan menyiksa. Selama lima tahun rutinitasnya sama. Neli merindukan Farhan yang dulu. Pertama kali bertemu Neli sungguh takut dengannya. Tapi karena sikap diamnya yang tidak bisa ditebak itu Neli merasa nyaman. Satu-satunya orang yang tidak tertawa atau menyalahkan sikap cerobohnya yang merepotkan. Semua perempuan semakin membenci Neli sejak status berpacaran mereka terungkap. Bahkan Pak Budi tiba-tiba selalu membuat hal merepotkan yang tidak membiarkan mereka untuk bertemu. Neli pernah punya banyak pengagum. Tapi tidak satupun dari mereka yang berani datang ke rumah orangtuanya. Farhan dalam banyak kesempatan lebih sering meminta izin dari Mama atau Papa sebelum membawanya kencan, bahkan beberapa kali kencan mereka gagal karena tidak mendapat izin. Padahal Neli ingin seperti Salwa yang bebas melakukan semua kehendaknya. Neli banyak dilarang melakukan sesuatu di luar rumah, keluar harus bersama Salwa atau Meta, Mama atau Papa. Semua anggota keluarga tidak akan tenang kalau Neli pergi sendirian. Belum sampai rumah selama 30 menit dari jam pulang kerja Neli pasti mendapat telepon. Ia sungguh berpikir hidupnya akan lebih indah, tapi sampai sekarang menikah hidupnya masih saja dikekang. Kebebasan sepertinya hanya mimpi indah yang tak akan terwujud. """""""" Farhan bekerja seperti biasa. Dengan perasaan rindu yang sama kepada istrinya. Di meja kerja Farhan selalu ada foto Neli terpajang, wajah tersenyum manis itu selalu memberinya semangat baru dalam menjalani hidup. Farhan mengusap ibu jarinya ke bibir berlipstik Neli dalam gambar. Entah bagaimana terasa bagian itu jika ia berhasil menyentuhnya. Farhan menutup foto dan membuang pandangan ke luar jendela ruangannya. Awan berarak di sana. Farhan mengambil ponsel dan memotretnya. Ia tersenyum mengingat Neli. "Aku merindukanmu," tulisnya dalam foto itu lalu di kirimkan kepada istrinya. Saat Farhan menunggu balasan seseorang mengetuk pintu ruangannya. "Masuk." Syifa muncul malu-malu. "Pak..." "Ada apa?" "Saya minta izin pulang lebih dulu." "Kenapa?" "Um, sedang datang bulan..." Syifa menutup wajahnya dengan map. "Syifa lupa bawa..." "Pulanglah," potong Farhan cepat. "Terimakasih," katanya lalu berbalik segera. Farhan melihat rok Syifa yang basah dan merah di bagian belakang. "Syifa..." "Iya?" Farhan sebenarnya tidak ingin jadi orang baik selain untuk Neli, tapi perempuan yang sekarang pucat dekat pintu ruangannya tampak akan lebih malu pulang dengan kondisi seperti itu. Farhan beranjak ke lemarinya dan mengambil salah satu kemeja hitamnya. "Ikat di pinggangmu," kata Farhan menyerahkan setengah hati. Syifa bingung. "Untuk Syifa?" "Aku pinjamkan." "Ke... napa?" Farhan setengah menahan senyum karena wajah cantik yang bingung itu menggelikan. "Kamu izin pulang karena tidak nyaman dengan pakaianmu, bukan?" Syifa mengambil kemeja dari tangan Farhan. Ia menunduk, "Terimakasih." "Pakai di sini. Ikat di pinggangmu," saran Farhan sambil beranjak kembali ke kursinya. Syifa tidak menatapnya. "Saya pulang dulu. Terimakasih, Pak." Farhan tersenyum lebar setelah pintu di depannya tertutup kembali. Dulu Neli pernah seperti itu. Mereka benar-benar mirip dalam hal ceroboh. Bunyi pesan masuk terdengar. "Kalau rindu pulanglah." Farhan tersenyum sekali lagi. Ia ingin pulang, tapi sikap Neli saat ada dirinya membuat Farhan tidak nyaman. Neli selalu tampak banyak pikiran dan khawatir melakukan kesalahan. Ponsel Farhan sekali lagi berdering. "Pak, saya ada keperluan mendesak untuk hari ini. Bisa kita bicarakan lusa nanti? Saya harus ke Pandang siang ini." Farhan seketika berdiri setelah membaca pesan kedua itu. Sebuah kesempatan. Ia segera menghubungi orang itu dan meminta mengatur pertemuan di Padang. Sekalian Farhan ingin melihat wajah istrinya yang begitu membuat rindu rumah. Farhan mengirim pesan kepada istrinya. "Kalau begitu aku akan pulang." "Aku akan menunggumu." Farhan dengan wajah cerah langsung menyiapkan berkas keperluannya dan memesan tiket. Ia akan melihat wajah bersemu Neli beberapa saat lagi, apalagi dalam pesan terakhir itu Neli juga menambahkan ikon hati. Saat Farhan mengunci ruangannya suara samar terdengar. Dari yang bisa Farhan simpulkan, tentu itu sebuah gosip tentang dirinya dan Syifa. Tapi Farhan tidak akan peduli. Benar-benar hanya ada Neli dalam hatinya. """"""""" Farhan sedang serius dengan pekerjaannya saat suara ketukan pintu terdengar lagi. "Masuklah," kata Farhan mengizinkan. Syifa mendekat, "Pak, Syifa kembalikan. Terimakasih banyak." Farhan mengeluarkan kemeja hitamnya dari kantong tersebut. "Sudah di cuci?" "Tentu saja!" Syifa cepat-cepat memelankan suaranya, "Tidak mungkin Syifa kembalikan dalam keadaan kotor. Sudah dilaundry." "Baiklah." "Hati-hati di jalan," katanya sambil tersenyum dan segera menutup pintu. Farhan heran. Ia tidak akan ke mana-mana hari ini, besok baru akan ke Kalimantan untuk pertemuan. Hari ini sabtu. Farhan menepuk keningnya. Ia segera memesan tiket dan siap pergi untuk besok. Farhan tersenyum memandangi foto istrinya. Sekali lagi ia melupakan sesuatu. Kemarin Farhan sungguh sudah di dalam taxi dalam perjalanan menuju bandara saat ponselnya berdering dan informasi pertemuan di Padang batal. Karena terlalu sibuk ia sampai lupa membari kabar. Kali ini Farhan menelepon, kalau Neli marah ia akan menerimanya sepenuh hati. "Ada apa?!" Farhan sedikit heran, mungkin Neli sangat marah sampai lupa mengucapkan salam seperti dirinya yang biasa. Suara Neli juga terdengar sengau, tapi Farhan beranggapan postif mungkin istrinya baru bangun tidur daripada habis menangis. "Aku ingin bilang kalau hari ini aku tidak bisa pulang, mungkin jum'at depan langsung dengan libur lebaran." "Baiklah." Farhan merasa tidak nyaman. Biasanya ia akan mendengar nada kecewa, tapi untuk saat ini kesan tidak peduli yang Farhan tangkap. "Neli..." "Ya?" "Apa yang sedang kamu lakukan? Apa masakanmu hari ini?" "Membaca. Pindang." "Yang sedang kamu kenakan?" "Gaun hijau toska motif bunga biru." Farhan tersenyum. Mungkin sebenarnya itu sikap kesal karena kemarin Farhan tidak pulang. "Bisa kirim foto untukku? Atau bisa kita vidio call?" "Mmm, maaf. Aku sedang tidak ingin, maksudku wajahku bekas tangis karena cerita yang kubaca." Farhan lebih yakin kalau Neli merasa kecewa akan dirinya. "Bacakan satu baris kalimatnya..." "Aku merindukanmu." Suara tangis akhirnya terdengar. Farhan memerah menahan senyumannya, "Apa isi ceritanya sangat menyedihkan, sampai kamu menangis begini?" "Hanya tentang seorang kekasih yang rindu kekasihnya." Farhan juga memiliki rindu yang sama. Dan ia tahu harus bersabar lebih lama sampai libur lebaran tiba. Tiba-tiba pintu ruangannya di ketuk lagi. "Ah, Neli... aku ada pekerjaan..." "Selamat bekerja," kata Neli seperti biasa. "Selamat membaca." Farhan tersenyum atas pemaafan itu. Farhan kenal istrinya yang tidak pernah lama memendam amarah. Sekali lagi suara ketukan terdengar. "Masuk." Syifa muncul. "Pak, ada tamu..." "Aku berkunjung," kata seseorang menyingkirkan Syifa. Farhan lekas berdiri. Antara marah dan benci, ia ingin mengusir lelaki tersebut, tapi bukan begitu sikap baik seharusnya. Farhan tersenyum, "Apa kabar?" "Masih baik, tapi tidak sebaik kamu." "Duduklah," Farhan mempersilakan. "Syifa, minta tolong buatkan teh." "Baik, Pak." Farhan duduk menghormati tamunya. "Masih di tempat yang lama, Pak?" Dia tersenyum, "Begitulah. Apa kabar Neli?" Farhan merasa aura panas tiba-tiba saja seperti membakarnya. "Dia baik-baik saja." "Kujamin dia masih ceroboh seperti dulu. Apa kalian sering membeli perabotan?" Farhan tidak suka orang lain sok tahu tentang istrinya. "Ada apa tiba-tiba berkunjung?" "Kamu masih ingat aku, bukan?" Farhan ingat. Budi Gunawan. Mantan atasan Farhan dan Neli dulu. "Aku punya kabar baik. Kamu tiba-tiba saja mengajukan resign, lalu menikah dan menghilang bersamanya. Aku baru saja mendapatkan promosi setelah temanku mendengar kalau kamu punya perusahaan sendiri." Farhan masih tidak suka lelaki itu. Caranya berbicara yang santai membual membuat Farhan muak. Sejak pertama bertemu sampai saat ini belum pernah Farhan menganggap baik seorang Budi Gunawan. Dari matanya yang suka meremehkan sampai sikap berkuasanya yang semena-mena. Farhan tidak akan pernah lupa tangis Neli karena mendapat pemotongan gaji hanya karena menolak makan siang bersamanya. "Diammu masih sama," komentarnya geli. Syifa masuk dan meletakkan teh. Seperti biasa sikap cerobohnya menumpahkan sedikit teh ke meja. "Maaf." "Tidak apa-apa. Lanjutkan pekerjaanmu Syifa." "Baik, Pak." "Syifa?" ulang Budi remeh. Syifa menghentikan langkah. "Um... ya?" Budi tertawa. "Bukan kamu. Neli juga Syifa. Aku ingin memanggilnya begitu, tapi dia menolak." Farhan melihat Syifa terpaku ragu. Ia kemudian mengisyaratkan Syifa untuk keluar. "Semua gadis dan janda di tempatku dulu menyukaimu, kenapa malah Neli yang kamu ambil?" Farhan mulai gerah. "Tehnya silakan diminum." "Kemarin aku punya pertemuan di Padang." Budi mengangkat cangkirnya, "Di mana rumah kalian?" Farhan meminum pelan tehnya. "Apa Bapak masih belum menikah?" Budi tampak terkejut oleh pertanyaan sinis Farhan, "Tehnya terlalu panas. Aku rindu teh istrimu. Tapi dia paling pandai menakar susu." "Bisa kita berhenti membahas istriku?!" Budi tertawa, "Orang-orang penasaran dengan amarahmu, mereka hanya tidak tahu kalau kamu begitu sensitif membahas Neli." "Kalau tidak ada hal penting..." "Baiklah, kali ini pembahasan sebenarnya. Kamu sangat tidak paham bertukar rindu." Budi melepas cangkirnya. "Kamu tentu kenal baik perusahaan kami, bagaimana kalau kita kerja sama?" "Sebelumnya aku sudah menolak." "Memang," kata Budi mengangguk santai. "Makanya aku ditugaskan menemuimu. Mereka pikir kalau mantan atasanmu yang datang kamu akan sedikit segan menolak." Malah sebenarnya karena tahu ada Budi dalam perusahaan itu yang membuat Farhan menolak tanpa berpikir kerja sama mereka. Budi berdiri, "Aku sudah mengatakan kepada mereka kalau kamu akan tetap menolak, tapi mereka sudah memberiku tiket dan uang saku. Setidaknya sampaikan salamku pada Neli." "Aku tidak akan menyampaikannya," kata Farhan jelas. "Kalau begitu biar kusampaikan sendiri. Di mana alamatnya?" Budi tersenyum mengeluarkan ponsel, "Nomor telepon juga boleh." "Selamat untuk promosimu." "Syifa. Sepertinya orang-orang di sini menganggap dia selingkuhanmu. Dia memang cantik, tapi aku suka Neli. Caranya merona malu begitu menggemaskan." "Hati-hati di jalan." "Aku pergi." Budi terkekeh pelan, "Kamu masih tetap sekaku dulu." Farhan bersyukur lelaki itu pergi. Pembicaraannya yang selalu membuat Farhan merasa ingin marah. Lima tahun yang lalu usianya tiga puluh tahun. Saat itu Neli dua puluh dua tahun. Dan Farhan baru 20 tahun. Fitnah yang Budi sebarkan karena Neli menolak lamarannya benar-benar membuat Neli jadi bahan cerita semua orang. Tapi karena kabar penolakan dan sikap bermusuhan semua orang itu yang malah membuat Farhan berhasil mendekatinya dan mendapatkan cinta. """"""""
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD