Pagi saat Farhan bangun suara memasak dari arah dapur terdengar. Ia selalu bangun terlambat saat di rumah, padahal di perusahaannya Farhan selalu bangun dan subuh berjamaah di masjid. Segara Farhan bangkit dan menunaikan sholatnya. Ia memang bukan seorang yang taat beragama, tapi tetap menjalankannya. Yang Farhan ingat, wajib langsung melaksanakan subuh setelah bangun meskipun sudah kesiangan. Setelah sholat Farhan mandi. Dan sedikit terkejut melihat pakaiannya tersusun indah di atas tempat tidur yang kini sudah berganti sprei. Entah kenapa, Neli selalu setiap hari mengganti sprei setiap ia pulang. Alasan lain Farhan tidak bisa tidur di rumah selama seminggu adalah supaya Neli tidak membeli sprei baru kalau dia malas mencuci mereka satu persatu. Setelah bersisir rapi dengan mengenakan pakaian yang Neli siapkan ia muncul di dapur.
"Kamu mencuci piring?"
Neli segera mengeringkan tangannya, "Aku melakukannya selagi menunggumu."
Farhan duduk, begitupun Neli. "Kelihatannya enak. Tapi masakanmu memang enak." Farhan bisa melihat rona merah wajah segar Neli yang malu. "Aku minta maaf karena lupa kemarin."
"Tidak apa-apa."
Tapi Farhan tahu, Neli memang pandai menyembunyikan perasaan. "Mau menemaniku ke mall?"
Neli segera mengangguk dengan mata berbinar. Farhan akan mengingat saran yang diberikan Raihan semalam. Tentang kebutuhan pertama perempuan, bukan hanya uang, tapi juga kasih sayang. Dan hadiah kecil mungkin bisa sedikit mengembalikan Neli-nya yang dulu.
""""""""""""""
Neli pikir ia bermimpi, tapi kini Farhan benar-benar sedang bersamanya. Merka terlihat seperti pasangan menikah dan saling mencintai. Farhan memang masih bersikap kaku, karena memang seperti itu jati dirinya, tapi saat ini mereka berjalan beriringan meskipun tidak berpegangan tangan. Neli ingat, saat ini seperti saat mereka menginap di Pulau Ketawai. Permintaan maaf Farhan hari itu, dan pelukan hangat mereka selama tidur oleh udara dingin. Rasanya sama, sebahagia itu.
"Kamu mau beli sesuatu?"
Neli menggeleng segera. Ia hanya ingin suaminya dan orang-orang melihat bahwa ia punya pasangan. "Kamu?"
Farhan berhenti di toko perhiasan. "Aku ingin membeli sesuatu untukmu. Pilihlah."
"Biasanya hadiah itu terserah pemberi," kata Neli ragu. Ia punya uang di ATM dan di dompetnya. Uang bulanan yang Farhan transfer tidak pernah habis dibelanjakan dan kalau Neli sangat menginginkan sesuatu ia tidak perlu menunggu Farhan membelikannya.
"Pilihanku mungkin tidak sesuai dengan seleramu."
Neli akhirnya memilih sebuah bandul kalung berbentuk bintang dengan permata berwarna hitam. "Apa ini bagus?"
Farhan mengangguk, "Kenapa tidak yang warna hijau?"
"Kamu lebih suka hitam, bukan?"
Farhan tersenyum, "Terimakasih."
Neli merasa seperti kembali ke waktu mereka berpacaran dulu. Di mana mereka menghabiskan waktu bersama dan saling bicara.
"Mau singgah sebentar?"
Neli mengangguk. Ada banyak hal yang ingin dibicarakannya. Waktu luang Farhan terbatas, keberaniannya juga kadang sirna dan situasi baik ini kadang tidak memihak mereka. Jadi Neli ingin menggunakan kesempatan yang ada. "Bulan puasa sebentar lagi," kata Neli memancing pembicaraan.
"Hm."
"Apa kita akan sahur bersama, hari pertama?" Biasanya begitu, tapi puasa pertama kali ini tidak mungkin jatuhnya hari minggu.
"Ya, kita akan melakukannya seperti biasa."
Neli ingin sekali memprotes Farhan yang lebih sering bekerja daripada bersamanya, tapi ia juga paham kalau Farhan memang bukan orang yang akan mudah mempercayai orang lain. Apalagi untuk mengelola perusahaan yang ia bangun sendirian.
"Apa ada lagi yang ingin kamu lakukan di sini? Aku harus pulang sekarang..."
Neli langsung berdiri. Ia selalu berusaha memahami keadaan suaminya. Meski merasa belum cukup bersama, ia tidak ingin menjadi egois dengan mengacaukan hasil kerja Farhan. "Aku juga, ada yang perlu kulakukan."
Setelah sampai di rumah Farhan langsung kembali ke laptopnya. Neli memakaikan sendiri kalung tersebut dan menyimpan kalung pernikahan yang selama ini dipakainya. Ia juga menghidangkan segelas s**u saat waktu sudah menunjukkan jam 8 malam. Neli tahu suaminya belum isya, dan besok harus berangkat pagi-pagi untuk memimpin rapat. Neli langsung berbaring dan berselimut. Setelah s**u tersebut dihidangkan Farhan segera meminumnya dan mematikan laptop lalu sholat dan ikut tidur.
"Terimakasih untuk hadiah ini," ucap Neli pelan sambil menunjukkan bandul kalungnya.
"Tidurlah, selamat malam." Farhan menutup matanya.
Neli ingin sekali begadang sampai puas memandang wajah suaminya. Setelah malam ini ia baru akan melihat Farhan lagi sabtu malam nanti. Namun rencananya gagal. Ia segera terlelap seperti Farhan.
``````````````````````````````
Farhan bangun, di sisinya Neli masih tidur. Perlahan ia turun dan segera mandi. Farhan menyempatkan shalat di masjid. Dan ketika pulang Neli belum juga bangun, Farhan membiarkannya lalu ia memasak nasi goreng untuk sarapan. Farhan sudah yatim piatu sejak kecil. Ia dititipkan di panti asuhan, sama seperti Raihan. Sejak lulus SMA mereka memutuskan untuk hidup mandiri. Karena dekat, Raihan yang lebih tua tiga tahun darinya menyediakan tempat tinggal untuk Farhan dan hidup berdua. Farhan diajari berbagai keahlian elektronik, tapi ia tampak lebih cocok jadi pembisnis yang berjas rapi daripada tukang servis keliling seperti Raihan. Mereka terbiasa hidup sendiri, makan sendiri dan melakukan sesuatu sendirian. Memasak bukan hal yang sulit, tapi bukan berarti Farhan suka melakukannya. Ia suka masakan Neli, dan sering merindukannya saat bekerja jauh berseberangan pulau. Setelah menata piring di meja, Farhan segera berangkat dengan taksi yang sudah menunggu. Ia bisa menelepon Neli nanti.
Farhan sampai di kantor dan memulai meeting. Tapi ada yang bertindak ceroboh. Syifa. Seperti sebelumnya, dia sering melupakan beberapa hal penting dan izin dari rapat sebentar mengambil barang yang tertinggal di mejanya lalu kembali ke ruangan rapat dengan wajah memerah malu. Farhan sungguh kadang merasa Syifa adalah Neli.
Farhan tersenyum membaca pesan dari istrinya. Hanya ucap terimakasih, karena sepiring nasi goreng. Belum sehari ia sudah merasa rindu. Farhan masih mencintai Neli, sama seperti sejak pertemuan pertama mereka dulu. Neli awalnya rekan kerja Farhan, yang sering membuat masalah karena sikap pemalu dan cerobohnya. Dia paling sering dibicarakan rekannya dan paling sering mendapat teguran. Mereka bekerja dibagian farmasi, Neli yang mencatat pesanan sementara Farhan bagian pengepakan.
Ponselnya berdering, sebuah pesan masuk lagi. "Aku yakin kalian memang b******a tadi malam. Kamu berhasil mendapat maaf darinya. Selamat."
Farhan tidak membalas pesan usil dari Raihan tersebut. Karena suatu alasan, sampai saat ini Farhan belum pernah melihat utuh tubuh Neli tanpa buasana, padahal mereka menikah sudah lima tahun. Wajar saja kalau keberadaan bayi dalam rumah tangga mereka belum terwujud. Farhan juga sebenarnya bingung dengan istirnya, Neli baik-baik saja tanpa hubungan ranjang diantara mereka. Perempuan tersebut tidak pernah membahas perpisahan, tidak pernah bertanya alasan dan tidak pernah meminta hal pribadi kepadanya. Tapi kalau Neli ingin pergi, Farhan juga tidak akan pernah melepaskannya.
"""""""""""
Setiap pagi ponselnya pasti berdering untuk menampilkan laporan yang Raihan tulis tentang kegiatan Neli. Hanya berisi kegiatan rutin seperti memasak, menonton, mengurus bunga dan setiap rabu malam mengadakan pengajian di rumah untuk kelompok kecilnya yang berkisar 7 orang. Neli tidak berinteraksi dengan lelaki, dia biasa menghabiskan waktu dengan membaca n****+. Farhan tahu di lemari kamar selalu bertambah satu buku setiap minggu, kini satu rak khusus koleksinya sudah penuh terisi. Kebanyakan n****+ karya penulis lokal yang bertema islami yang rata-rata tebal 300 sampai 500 halaman. Mungkin akan ada waktu di masa depan Neli membutuhkan kacamata karena hobinya yang mencintai huruf tersebut. Dari saat ini pun ketika Farhan melihat kacamata, ia punya rencana untuk membeli dan menyimpannya.
Setiap bulan puasa suasana diantara mereka berbeda. Bisa hampir sepanjang tahun mereka tidak pernah sholat bersama, tapi saat ramadan Farhan biasa mengimami Neli untuk shalat malam sebelum mereka sahur. Setelah itu akan selalu ada acara keluarga yang harus mereka hadiri di Bangka. Farhan dari awal mendapat kesan kalau orang tua istirnya tidak begitu setuju pernikahan mereka, apalagi sampai sekarang belum ada bayi. Bahkan Mama pernah mempertanyakan rumah tangga mereka yang terkesan aneh. Farhan ingat saat Neli mengatakan pada orangtuanya bahwa dirinya didagnosis mandul, tapi Farhan lebih yakin kalau Neli berbohong. Neli tidak pernah mengunjungi rumah sakit. Sejak hari itu juga Farhan mengaji Raihan untuk memantau semua kegiatan istrinya. Farhan masih ragu alasan Neli berbohong, dan apa saja yang disembunyikannya saat Farhan tidak di rumah.
""""""""""""
Bulan puasa selalu terasa lebih sepi saat Farhan tidak ada. Ia tidak punya sanak saudara di sana, begitu pun Farhan. Neli hanya bisa mengunjungi panti asuhan yang membesarkan suaminya dan sesekali berbagi dengan mereka. Seperti hari ini, Raihan mengajaknya untuk buka bersama di panti. Yang Neli harus lakukan lebih dulu adalah meminta izin suaminya. Jantung Neli selalu berdebar kencang saat akan menghubungi Farhan, ia takut mengganggu dan khawatir suaminya sedang tidak bisa menjawab panggilan.
"Ada apa?"
Neli tersenyum, "Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
"Boleh aku pergi ke panti, bersama Raihan? Bunda mengatakan mereka tidak ada acara hari ini."
"Salam untuk Bunda."
Neli tersenyum. Meskipun suara Farhan terdengar tak sabar, tapi sudah cukup mengobati rindunya. "Terimakasih."
Neli duduk bersama anak-anak yang belajar setelah makan malam dan tarawih.
"Farhan tidak ikut?" tanya beliau saat mendapat kesempatan bercakap.
"Seperti biasa dia sibuk, Bun."
"Seringlah datang, anak-anak ini menyukaimu."
Neli tahu, ia pun menyukai anak-anak itu. Tapi Neli merasa canggung kalau harus meminta izin suaminya, begitu pula ia tidak berani pergi sendirian dan membuat Raihan harus mengantarnya. "Insyaallah nanti Neli ajak Farhan berkunjung."
"Raihan, kamu juga, ajaklah calon istrimu."
"Raihan belum punya rencana Bun. Mungkin tahun depan..."
"Tahun kemarin kamu bilang tahun ini, empat tahun yang lalu juga kamu bilang tahun depan. Mau Bunda kenalkan dengan seseorang?"
Neli tersenyum melihat Raihan menyilangkan tangan. "Bun, kami pulang dulu."
"Hati-hati di jalan."
"""""""""
Neli tidak punya mobil, dan ia juga tidak bisa mengendarai motor. Satu-satunya yang bisa dilakukan hanya merepotkan orang lain. Di rumah mereka Farhan tidak pernah membeli mobil karena memang dia lebih banyak menghabiskan waktu di perusahaannya.
"Kalian tidak berencana mengadopsi?" Raihan cepat-cepat menambahkan, "Kupikir kamu perlu teman."
Neli memang membutuhkannya. Tapi Farhan mungkin akan tersinggung kalau ia membahas anak.
"Farhan tidak mungkin melarangmu, meskipun dia memang tidak akrab dengan anak-anak."
Neli merengut. Ia sering menginginkan suaminya seperti suami yang Salwa miliki. Athan romantis, shalih, ramah dan dia adalah tipe idaman Neli. Tapi memang, Allah hanya akan memberikan pasangan yang sesuai dengan dirinya. Mungkin kalau ia yang menikah dengan Athan saat ini dirinya sudah mengeluarkan fatwa hadist dan Neli ragu ia cocok seperti itu. Meskipun Salwa bukan orang yang suka bersikap manis, dia benar-benar shaliha sebagai perempuan dan anak. Kecuali keputusannya yang berpacaran dengan Zian. Satu hal yang diyakini Neli, bahwa perjodohan yang Mama atur benar-benar mengharuskan Salwa untuk kembali kepada dirinya yang dulu sebelum bertemu Zian. Kini Neli mengakui, kalau apa yang orang tuanya larang sebenarnya hal baik untuk dirinya. Sampai kapan pun Neli tidak bisa melepas Farhan, karena ia sendiri yang keras kepala menginginkan Farhan meskipun sudah dilarang Mama Papa sebelumnya.
"Neli?"
"Ah, ya. Kenapa?"
"Kamu melamun?"
Neli menggeleng cepat. "Apa dulu Farhan punya kekasih?"
"Dia punya."
Neli yakin begitu. Farhan sempurna secara fisik, sekarang materinya juga lebih dari cukup. "Kenapa mereka putus? Apa karena mutasi kerja? "
"Karena mereka menikah." Raihan tersenyum, "Kamu satu-satunya kekasih Farhan yang kuketahui. Dia memang populer, tapi tidak pernah terlibat perasaan dengan perempuan manapun. Aku saja hampir pingsan mendengar kabar kalian menikah."
Neli menunduk. Ia tidak bisa percaya sepenuhnya oleh kesaksian Raihan. "Kamu pasti hanya ingin menghiburku."
"Kalau aku ingin menghiburmu aku akan menceritakan sesuatu yang lebih hebat. Seperti ide gilanya yang muncul untuk membangun perusahaan sendiri." Raihan tersenyum sinis, "Aku benar-benar penasaran denganmu. Katanya orang Bangka terkenal dengan ilmu peletnya yang nomor satu."
Neli hampir murka, "Itu tidak benar!"
Raihan tersenyum lagi, "Itu benar. Mana ada lelaki dua puluh tahun mengajukan proposal kerjasama dengan perusahaan besar tanpa modal? Tapi Farhan melakukannya demi kamu. Aku lebih terkejut saat tahu perempuan yang ingin dinikahinya malah lebih tua dua tahun dari Farhan. Kupikir dia pasti sudah tidak waras. Hanya karena kekasihnya sering ditegur atasan dia ingin membangun perusahan sendiri untuk membuat hidupmu nyaman. Dan benar-benar sebuah keajaiban, sekarang perusahaan itu bersaing sehat dengan perusahan supplier obat yang lain bahkan punya produk berlebel sendiri."
Neli tidak bisa percaya. Tapi memang seperti itu kenyataannya. Farhan marah setiap kali dirinya di tegur Pak Budi.
"Rasa cemburu memang membutakan. Katanya bos kalian hanya membuat-buat alasan supaya bisa mengurungmu dalam kantornya. Dia sudah mewujudkan rencana itu, menjauhkanmu dari caci maki orang. Selamat, kamu begitu berharga," kata Raihan dengan nada ejekan.
Neli akui Farhan berhasil, mengurungnya untuk diri sendiri tanpa diketahui orang lain. Tidak ada perasaan bangga, kecuali beberapa kecerobohannya yang patut di sesali.
""""""""""""
Seperti sebelumnya, sabtu malam Farhan pulang. Neli di beranda menyambutnya dengan senyum manis. Masih tetap mengenakan gamis hitam, tapi auranya kali ini berbeda. Farhan tersenyum sepenuh hati dengan perasaan rindu yang sebenarnya. Saat mendekat Neli mengulurkan tangan, Farhan sungguh berpikir itu akan menjadi sebuah pelukan, tapi bukan, Neli hanya mengambil koper yang di bawanya.
"Aku tidak memasak. Bunda meminta kita ikut berbuka bersama mereka. Kamu mau?"
Farhan mengangguk setengah hati. Ia berharap akan ada pelukan setelah sekian lama, tapi mungkin memang bijak untuk tidak menunjukkan kemesraan di depan rumah yang termasuk tempat umum. Sekarang mereka di kamar, seandainya sebuah pelukan rindu akan terjadi. Tapi sekali lagi harapan Farhan tidak menjadi nyata, ia segera duduk di atas tempat tidur dengan berbagai ide yang berantakan oleh penolakan Neli.
"Ah, maaf. Aku akan memasak," kata Neli cepat-cepat menjauh.
"Neli..."
"Hm?"
"Kita ikut makan di sana saja."
Neli mendekat dan duduk di sampingnya, "Aku lupa memberitahumu. Benar-benar bodoh. Kamu pasti lelah. Harusnya tadi aku tetap memasak." Neli berdiri, "Aku bisa memasak sekarang, masih jam lima."
Farhan menarik tangan Neli. Perlahan perempuan yang banyak pikiran itu lebih tenang dalam diam. Farhan tersenyum, "Kamu di sini saja."
"Lalu makanan..."
Farhan menariknya duduk. "Kamu sudah janji kepada Bunda, bukan?"
Neli tertunduk, "Maaf merepotkanmu."
"Kamu tidak merepotkan. Aku juga rindu tempat itu."
"Aku?"
Farhan menoleh. Neli mengangkat wajah dengan tatapan ragu. "Kamu kenapa?"
Neli memerah sambil menggeleng cepat langsung berdiri. "Bukan apa-apa."
"Aku juga merindukanmu," kata Farhan tersenyum lebar setelah berhasil menggoda istrinya.
""""""""""""""""