Rasanya aku seperti orang paling bahagia di dunia ini saat tahu aku benar-benar diterima di café tersebut, ah lebih tepatnya diskotik. Namun, kata Anik akan ada beberapa pergantian penyanyi, jadi ada kemungkinan aku dua minggu di diskotik dan dua minggu lagi berada di café, tidak sepenuhnya aku berada di diskotik.
“Nah, kau sudah bisa bekerja mulai besok, ya. Aku akan memilihkan pakaian untukmu dan jangan terlambat, datanglah lebih sore agar kau bisa melihat dulu bagaimana kondisi diskotik ini saat masih sepi jadi pas masuk tidak memalukan seperti tadi,” ucap Anik yang terlihat geli, itu sedikit membuatku kesal juga karena Anik masih saja membahas soal hal memalukan tersebut.
Aku menarik tangan Anik ingin sekali bertanya tentang benda kenyal yang tadi aku sentuh saat jatuh di depan tamu yang sedang berada di suatu meja yang tidak jauh dari meja nomor 9 di mana seharusnya aku berada.
“Anik, apakah di diskotik ini ada benda kenyal? Saat aku jatuh di depan seseorang tadi aku memegangi sebuah benda kenyal, namun saat aku meraba-raba ada suara desahan pria dan kemudian Jeselyn menarikku dari benda itu. Astaga aku masih sangat penasaran benda apa itu?” tanyaku dengan wajah polos.
Aku benar-benar ingin tahu apa yang aku sentuh tadi karena aku merasa bahwa itu bukanlah benda biasa dan suara desahan itu, ah sudahlah aku tidak ingin mengambil ansumsi yang tidak aku ketahui kebenarannya.
Anik terlihat mencoba mengingat, tampak sekali dari wajah perempuan yang usianya tidak jauh dariku sedang berpikir tentang yang aku tanyakan saat ini. Namun, tidak butuh waktu yang lama ia terlihat menepuk keningnya dengan wajah bingung, sepertinya ia bingung harus menjelaskan apa padaku saat ini.
“A-Apakah benda itu terasa seperti sebuah gagang payung?” tanya Anik dengan suara yang memelan membuatku merasa bahwa itu bukanlah sebuah benda yang bagus untuk didengar oleh orang lain, ia juga terlihat mendekat padaku seolah tak ingin orang lain tahu apa yang kami bicarakan.
Aku mengangguk membenarkan, bagaimana ia tahu bahwa benda kenyal yang aku pegang dan raba itu terasa seperti memegang gagang payung?
“Ya, seperti gagang payung hanya saja ini kenyal dan ada sesuatu yang tidak bisa aku deskripsikan. Dibagian ujungnya juga terasa seperti ada dua bola…” ucapanku terpotong ketika aku menyebut “dua bola”
Anik langsung membekap mulutku agar tidak melanjutkan perkataanku lagi, aku hanya bisa menahan napas karena ada seseorang yang akan memasuki lif. Setelah orang itu masuk aku dan Anik tidak mengatakan apa pun, beberapa kali aku melihat ke arah Anik yang terlihat memandang lurus ke depan lif.
“Kenapa kau…”
“Diamlah, kita akan bahas ini setelah keluar dari lif,” ucap Anik dengan nada pelan dan teramat sopan. Aku mengangguk paham bahwa ada yang ingin Anik bicarakan, tapi tidak didengar oleh orang lain.
Setelah beberapa waktu akhirnya kami keluar dari lif tersebut dan Anik memukulku pelan karena merasa aku begitu polos untuk dunia hiburan seperti ini, Anik menyeretku agar aku tidak melakukan aneh-aneh lagi seperti tadi.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi, apa yang kau ketahui tentang dua bola dan benda kenyal itu. Jangan biarkan aku mati penasaran seperti ini,” tanyaku yang mulai kesal karena Anik tidak segera memberitahuku juga.
“Kelamin pria! Wajar saja jika dia mendesah. Kau memengang kelamin pria untuk pertama kalinya, selamat ya,” kata Anik kemudian pergi berjalan mendahuluiku membuat aku benar-benar merasa syok karena apa yang aku pegang benar-benar benda haram yang selama ini aku hindari dari lelaki.
“Aaaa!” aku berteriak kesal karena merasa jijik mengingat benda itu begitu membekas diingatanku dan tidak mau berpaling darinya. Aku melihat kedua tanganku dengan wajah jijik, benar-benar jijik karena benda itu masih terasa ditanganku.
Seharusnya aku tidak perlu bertanya pada Anik apa yang aku pegang itu, benar-benar menyebalkan sekali perempuan yang terlihat judes tersebut. Bagaimana aku akan menghapus ingatanku karena kelamin pria yang aku pegang bukanlah pria yang merupakan suamiku, aku benar-benar merasa frustrasi dengan hal ini.
Bagi sebagian orang ini bukanlah hal yang parah hingga menimbulkan kebingungan, namun bagiku yang tidak pernah sekali pun melihat apalagi meraba kelamin pria bukanlah sesuatu yang bisa dilupakan.
“Anik! Anik kamu pasti berbohong padaku soal benda itu, aku tahu kau berbohong padaku. Tega sekali kau!” teriakku sambil menyusul Anik yang sudah jauh di depanku. Sungguh aku benar-benar merasa bahwa hal tersebut sungguh keterlaluan jika Anik membohongiku seperti itu.
Aku melihat Anik yang sudah masuk ke dalam ruangan diskotik tersebut, aku kemudian mengikuti perempuan itu dari belakang dan kami pun tiba di meja nomor 9 sepertinya meja itu adalah khusus untuk kumpulan penyanyi dan beberapa staf yang memang bekerja di diskotik tersebut.
“Hei, ada kabar baik untuk kalian,” ucap Anik pada Jeselyn dan Desra yang kebetulan berada di sana sedang berbincang-bincang.
“Kabar baik apa, Kak?” tanya Jeselyn yang melihat Anik dengan wajah bingung, terlihat sekali Jeselyn langsung fokus ke arah Anik dan menaruh minumannya di meja.
“Gea lulus test! Dan kabar kedua adalah, Gea juga sudah tidak polos lagi,” ucap Anik yang membuatku melotot, sungguh aku tidak tahu bahwa Anik akan mengatakan itu pada semua orang yang berada di meja tersebut.
Jeselyn menutup mulutnya begitu juga dengan Desra yang merasa terkejut, wajah mereka terlihat tidak percaya dengan ucapan Anik. Andai saja aku tidak dibawa oleh Jeselyn, mungkin si Anik tidak bisa mengatakan itu pada semua orang di sini secara gamblang.
“Tunggu dulu deh, maksudmu tidak polos lagi dalam hal apa?” tanya Jeselyn yang terlihat sekali masih bingung dengan ucapan Anik, aku merasa gadis itu pasti sudah berpikiran kotor padaku apalagi di dunia seperti ini salah bicara sedikit saja semua orang akan berpikiran kotor.
Baru saja Anik akan mengatakan hal tersebut, aku terpaksa langsung membekap mulutnya agar tidak mengatakan hal-hal memalukan seperti itu. Aku mengisyaratkan agar Anik tidak membahas hal tersebut lagi karena aku akan sangat malu jika hal itu terjadi.
Perlahan aku menyingkirkan tanganku dari mulut Anik dan membiarkan ia akan mengatakan apa pun, aku tidak akan bisa melarang dia juga untuk tidak mengatakan hal-hal seperti itu.
“Bicaralah, aku benar-benar tidak menyangka perempuan cantik sepertimu mempunyai mulut layaknya ember bocor,” kataku yang tidak sadar mengatakan hal tersebut karena sudah merasa kesal dengan kelakuan Anik yang membuatku merasa emosi.
Jeselyn mendeham, sepertinya ia tidak menyangka bahwa aku akan mengatakan itu pada Anik yang tak lain adalah orang yang mengordinasi penyanyi-penyanyi di café dan diskotik itu.
Aku melihat Anik yang tersenyum padaku kemudian menggeleng pelan.
“Tidak jadi, aku hanya mengatakan bahwa dia lolos test karena suaranya yang begitu bagus. Thanks, Jes, sudah memasukkan Gea ke sini karena kita membutuhkan lebih banyak penyanyi berbakat sepertinya, siapa tahu saja di antara tamu-tamu ini ada yang bisa membawa penyanyi-penyanyi kita ke jenjang yang lebih baik daripada hanya penyanyi café,” kata Anik yang membuat aku merasa terharu.
Semua yang mendengar itu mengaminkan, namun aku salut dengan kelompok-kelompok yang dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Padahal menurutku lebih baik sikap teman-teman Jeselyn daripada teman-teman sekolahku di SMA Global yang tidak mempunyai etika sama sekali dan terus bersikap jahat padaku membanding-bandingkan kecerdasanku dengan harta mereka yang tidak pernah bisa aku dapatkan walaupun aku bekerja keras.
“Sekarang, kau boleh pulang karena shift-mu mulai besok jadi hari ini tidak langsung bekerja. Desra yang akan manggung sendirian,” kata Anik kemudian duduk di sofa tersebut.
Namun, aku masih berdiri di antara mereka merasa bingung karena tempat tinggalku yang masih di pedalaman lumayan jauh dan aku yakin tidak ada yang akan ke desa di jam malam seperti ini.
Jeselyn tampak menepuk dahinya, ia kemudian berdiri menghampiriku dengan wajah bingung. Aku jadi merasa tidak enak karena harus membuat Jeselyn kerepotan dengan keberadaanku di sini.
“Astaga, aku lupa bahwa kau tinggal di pedalaman. Sepertinya akan berbahaya jika kau pulang malam setiap hari, bagaimana jika kau tinggal saja mengekost di sini bersamaku?” tanya Jeselyn dengan wajah penuh harap, aku jadi ingat bahwa aku sering menginap di rumah mewah milik Jeselyn saat masih bersekolah di kota dulu.
“Tapi, aku tidak mempunyai modal sedikit pun untuk tinggal di kota, rasanya akan sangat merepotkan jika aku tinggal bersamamu di kota. Aku sudah banyak merepotkan orang, rasanya tidak bisa aku merepotkanmu lagi,” kataku dengan wajah memelas.
Jeselyn memukul lenganku pelan kemudian merangkulku dengan wajah sumringah.
“Kau boleh menumpang denganku secara gratis, ibumu juga akan aku tanggung selama kau belum gajian. Aku tahu kehidupanmu selama ini, hanya saja belum sempat mampir ke rumahmu,” ucap Jeselyn dengan suara pelan seolah tidak mau teman-temannya tahu.
“Aku akan mengantarmu ke rumah setelah pagi hari untuk menemui ibumu dan memberikan penjelasan tentang pekerjaanmu sekaligus silatuhrami pada ibu,” lanjut Jeselyn kemudian ia memberiku sebuah kertas yang berisikan sebuah alamat.
“Ini apa, Jes?” tanyaku sambil membaca kertas tersebut kemudian melihat Jeselyn.
“Itu alamat kost-ku sekarang, aku juga pulang seminggu sekali saat menjelang weekend ke rumah karena jarak membuatku merasa lelah. Kostnya dekat, tepat sekali di belakang gedung ini, carilah kau akan menemukannya,” ucap Jeselyn kemudian menyuruhku pulang untuk beristirahat.
Aku hanya bisa mengangguk menerima tawaran tersebut karena tubuhku juga sudah lelah sedari tadi dan ingin beristirahat. Aku pun pamit pada beberapa orang yang berada di meja nomor 9 untuk pulang lebih dahulu kemudian melangkah keluar diantar oleh Jeselyn katanya ia takut aku jatuh lagi seperti tadi.
“Ge, kalau di sini jangan terlalu sungkan ya. Lepaskan saja apa yang ingin kau katakan jangan dipendam, kau tentu paham bahwa ini adalah dunia hiburan di mana semua orang berkata semau lidah mereka untuk melepaskan penat. Jangan terlalu lemah juga karena kau bisa saja diinjak oleh mereka-mereka yang iri pada pencapaianmu nanti,” ujar Jeselyn yang menghentikanku saat berada di luar gedung tersebut.
Aku hanya bisa mengangguk dan mendengarkan semua perkataan Jeselyn, sepertinya akan berguna kelak jika aku sudah menjadi penyanyi di sana. Kami pun berpisah di lantai 3 karena aku sudah bisa turun sendiri ke lantai dasar untuk pulang.
Di dalam perjalanan pulang, aku melihat seorang pemuda janggung yang sangat tampan. Aku tidak bisa mendeskripsikannya karena terlalu terpesona dengan pemuda yang sedang merokok tersebut.
“Maaf, apa kau tahu jalan ini?” tanyaku pada pemuda yang berada di luar gedung tersebut, sebenarnya aku ingin bertanya pada satpam yang bertugas di café itu namun sepertinya sedang tidak berada di depan gedung tersebut.
Dengan tatapan tajam, pemuda itu melihatku dengan mata elangnya seolah aku benar-benar mengganggunya yang sedang menyendiri. Aku kembali menarik kertas yang tadi aku tunjukkan kepadanya.
“Ah, sepertinya aku akan bertanya pada orang lain saja, maaf mengganggumu,” kataku kemudian langsung berjalan menjauhi pemuda itu tanpa berbasa-basi lagi karena aku tahu bahwa pemuda itu tampak tidak senang dengan keberadaanku.
Jantungku berdegup kencang pasalnya mata elang itu seperti memantauku walaupun aku sudah jauh dari tempatnya berada. Perasaanku begitu berlebihan, mana mungkin ia memantauku? Bertanya saja tidak dijawab hanya ditatap seperti itu membuatku merasa tersinggung juga.
“Dia berada di Jogja, tapi tidak mempunyai sopan santun seperti orang Jogja. Biar kutebak bahwa ia adalah pendatang baru, kalau dia pendatang baru artinya dia sudah sangat songong malah menatap orang aslinya seperti itu,” gumamku dengan wajah kesal. Aku kemudian berjalan dan melihat ke kanan kiri karena hendak menyebrang jalan, namun dengan cepat seseorang menarik tanganku dan membantuku menyebrang jalan. Aku tidak bisa melihat siapa yang membantuku karena wajahnya tertutup dengan hoodie hitam dan ia juga tidak melihat ke arahku.
Namun, aku baru sadar bahwa hoodie yang digunakan orang yang membantuku menyebrang sama seperti hoodie yang dikenakan oleh pemuda tadi yang menatapku dengan mata elang miliknya.
“Biar kutebak, kau adalah…” baru saja aku akan menebak, ia sudah membuka penutup kepalanya dan melihatku sama persis dengan yang tadi, tatapannya yang dingin dan juga mata elangnya seolah terus-terusan menghipnotisku.
“Jalan Anggrek? Ini gangnya kau tinggal jalan saja mengikuti gang ini, nanti ada tulisan jalan anggrek, kau tanya saja kost yang kau cari itu,” kata pemuda itu dengan cepat kemudian meninggalkanku sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih.
Rasanya aku benar-benar ingin bertemu dia lagi di café itu, andai saja besok dia ada di sana lagi mungkin dia adalah jodohku. Aku tersenyum malu membayangkan bahwa dia adalah jodohku, dengan cepat aku langsung menggeleng pelan.
“Tidak mungkin dia jodohku, terlalu pagi untuk mengatakan bahwa dia adalah jodohku,” kataku dengan wajah memerah kemudian berjalan ke arah gang tersebut dan mencari di mana letak kost Jeselyn.
Berjalan hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai di sebuah kost yang sangat rapi dan cukup besar itu. Aku yakin bahwa kost itu sangat mahal, di sekitar kost itu terlihat beberapa gadis dengan celana pendek yang sedang duduk di teras depan kost mereka.
“Mbak, maaf tahu kamar Jeselyn?” tanyaku dengan sopan membuat gadis-gadis yang sedang berbicara pun langsung menoleh ke arahku.
“Jeselyn di sini ada dua, Jeselyn yang mana?”
“Jeselyn Margareth yang keturunan Cina,” ucapku menunggu jawaban dari mereka.
“Oh, itu di ujung kamarnya. Kau siapanya? Sudah izin belum pada Jeselyn?” tanya seorang gadis yang baru saja datang membuatku menoleh ke arahnya.
“Aku temannya, baru saja datang dan akan menginap di sini. Aku sudah diberi izin oleh Jeselyn,” jawabku kemudian pamit pada mereka untuk masuk ke dalam kost tersebut.
Mereka tampak melanjutkan pembicaraan mereka lagi kemudian aku masuk dan ternyata benar itu adalah kamar Jesselyn terlihat dari beberapa foto yang dipajang di dinding.
Aku merebahkan tubuhku di kasur, aku ingat belum sholat isya dan aku langsung kembali berdiri mencari kamar mandinya untuk wudhu. Untung saja kamar mandinya berada di dalam jadi aku tidak repot keluar lagi, kamar mandi itu sangat rapi dan beberapa perawatan kulit serta wajah ada di kamar mandi tersebut membuatku sedikit iri dengan Jeselyn.
Aku sebagai perempuan belum pernah mempunyai perawatan kulit seperti itu seumur hidupku, aku tidak tahu mengapa tiba-tiba saja aku merasa iri pada sahabatku itu padahal kami sudah seperti saudara saat masih sekolah.
Daripada memikirkan hal seperti itu, aku memilih untuk berwudhu dan sholat karena sudah sangat terlambat sholatku karena harus pergi ke diskotik itu.
Baru saja aku keluar dari kamar mandi sehabis berwudhu, aku mendengar ponselku yang berdering kencang membuatku cepat-cepat langsung mengambil ponsel tersebut.
“Halo, assalamualaikum, Bu Dar,” jawabku dengan wajah gelisah, aku benar-benar takut bahwa ini adalah sebuah kabar buruk.
“Waalaikumsalam, Gea kamu ke mana? Ibumu sedari tadi menunggumu di depan rumah sampai mengira bahwa kau sudah hilang diculik orang karena maghrib pun kau tidak pulang,” kata Bu Dar dengan nada cemas, Bu Dar memang sudah seperti ibu bagiku.
“Maaf, Bu Dar, Gea lupa mengabari jika malam ini Gea tidak pulang karena menginap di tempat Jeselyn. Aku akan pulang besok bersama Jeselyn, tidak perlu khawatir karena aku aman saja di sini, tolong beritahu ibu agar tidak di luar semalaman. Angin malam tidak baik untuk kesehatannya,” ujarku yang merasa sangat sedih karena ibu menungguku begitu lama. Agaknya ibu khawatir dan masih tidak bisa mempercayaiku bekerja di sebuah café.
“Baiklah, Nduk. Ibu akan menyampaikan pada Bu Ira bagaimana keadaanmu saat ini, maaf mengganggumu malam-malam, Nduk. Assalaimualaikum,” ucap Bu Dar kemudian menutup sambungan telepon tersebut.
Pagi ini aku dan Jeselyn akan ke rumah ibuku yang berada di pedalaman kota Jogja, aku merasa tidak enak dengan Jeselyn karena ia baru saja pulang dari pekerjaannya dan harus mengantarkanku pulang.
Aku menahan langkah Jeselyn dengan menarik lengan kanannya, aku benar-benar merasa tidak enak sekali jika harus merepotkan gadis itu lagi.
“Ah, Jes. Kamu pasti lelah karena baru saja pulang kerja, bagaimana jika aku pulang sendiri saja? Aku tidak enak harus terus membuatmu repot seperti ini,” ucapku dengan wajah yang sedikit kebingungan karena aku merasa bahwa wajah Jeselyn sangat kelelahan.
Jeselyn mengangkat kedua alisnya kemudian menggeleng pelan, ia langsung melepaskan tanganku dari lengannya perlahan kemudian tersenyum padaku.
“Tidak apa, aku juga sudah lama sekali tidak ke rumahmu, tante Ira pasti sangat merindukanku,” ucap Jeselyn dengan matanya yang terlihat tidak pernah melek karena begitu sipit. Jika sudah begini apa boleh buat? Aku tidak bisa melarangnya untuk tidak datang ke rumahku, biarlah dia juga sudah lama sekali tidak menjengukku di rumah.
Akhirnya aku memutuskan untuk duduk di tepi ranjang Jeselyn yang sangat empuk dan lembut itu, bahkan ranjangnya saja tidak pernah bisa sama denganku. Aku memperhatikan Jeselyn yang sedang bersiap-siap untuk pergi ke rumahku, riasannya begitu cantik aku selalu mengagumi cara Jeselyn berpenampilan karena gadis itu selalu update dalam berpakaian dan lainnya.
“Nah, sudah selesai. Ayo, kita harus ke rumahmu karena masih banyak pekerjaan yang harus aku benahi setelah pulang dari rumahmu,” ujar Jeselyn kemudian ia langsung menarikku keluar dari kamar tersebut.
Kami berangkat menggunakan sebuah mobil, tiba-tiba saja Jeselyn menyuruhku masuk ke sebuah mobil yang berada di halaman parkir kostan tersebut. Sebenarnya aku tidak tahu mobil siapa yang aku dan Jeselyn naiki, namun dari yang aku lihat itu adalah Jeselyn yang mengendalikan mobil tersebut.
“Jangan bilang kalau ini adalah mobilmu,” ucapku saat sudah masuk ke dalam mobil tersebut yang terlihat sangat mewah dari luar dan dalamnya.
“Ini mobilku, hasil dari jerih payahku selama ini sambil bekerja di café milik sepupuku, karena aku yang bertugas untuk memantau berjalannya bisnis itu maka aku mendapatkan gaji lebih besar, aku juga merangkap sebagai penyanyi kalau malam. Café itu sudah lama tidak ditengok oleh kakak sepupuku, entahlah katanya dia sedang kuliah di Amerika, tapi sampai sekarang tidak ada kabarnya lagi untung saja gajiku masih ditransfer,” ucap Jeselyn dengan sedikit nada kesal di suaranya, aku bisa tahu itu.
Sebenarnya aku penasaran mengapa Jeselyn bisa tidak tahu keberadaan dan keadaan kakak sepupunya padahal mereka masih saling komunikasi soal café tersebut dan masih mengirimi Jeselyn gajinya.
“Memangnya kau tidak bertanya bagaimana keadaannya saat kau memberikan rincian apa pun mengenai café tersebut?” tanyaku yang benar-benar merasa sangat penasaran dengan apa yang terjadi.
“Mana mau dia ditanya, dia selalu tidak menjawab pertanyaan yang tidak penting. Aku hanya berkomunikasi dengannya karena masalah café atau pun gaji-gaji pegawai, selebihnya aku tidak pernah tahu keberadaannya sekarang,” kata Jeselyn yang masih fokus ke jalanan di depannya, rumahku tidak begitu jauh dari pusat kota sebenarnya, hanya saja jalan kaki akan membuatku cepat lelah.
Dari obrolanku dengan Jeselyn, aku sepertinya paham bahwa sepupu Jeselyn yang mempunyai café itu seperti tidak benar-benar akrab dengan Jeselyn bahkan cenderung sangat dingin.
“Ibumu bagaimana keadaannya? Terakhir kali aku melihat kalian tidak begitu baik saat berada di rumah, apa ada masalah di rumah?” tanya Jeselyn yang sangat terlihat khawatir.
Aku tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perhatiannya Jeselyn pada keluargaku, namun kesibukannya membuat Jeselyn tidak bisa datang ke rumahku.
“Ibuku sedikit sakit-sakitan sekarang, jadi aku harus lebih ekstra menjaganya. Sebenarnya aku ragu untuk bekerja di kota karena aku tahu tidak ada yang mengurus ibuku, namun tetap saja hidup terus berjalan dan aku harus mencari uang untuk pengobatan ibu dan kebutuhan lainnya,” ucapku dengan sedikit menitikkan air mata.
Jeselyn diam tidak mengatakan apa pun tetang apa yang aku ucapkan tadi, aku merasa bahwa Jeselyn tidak nyaman dengan keluhanku itu atau mungkin ia merasa kasihan aku tidak tahu juga.
“Loh, rumahku masih jauh di sana, kenapa berhenti di sini? Apakah bensinnya habis?” tanyaku melihat sekeliling dengan wajah bingung karena Jeselyn menghentikkan mobilnya tiba-tiba.
“Kau tunggu di sini, ya, aku harus membeli sesuatu dulu,” kata Jeselyn padaku kemudian langsung keluar dari mobil itu tanpa persetujuanku, Jeselyn terlihat memilih beberapa buah-buahan entah untuk apa. Aku melihat dari dalam mobil bahwa gadis itu membeli beberapa makanan lagi, sedikit merasa bingung karena Jeselyn belanja begitu banyak entah untuk siapa.
Setelah beberapa menit akhirnya Jeselyn kembali masuk dan meletakkan belanjaannya di kursi belakang agar tidak mengganggu kami, aku tidak menanyakan mengapa gadis itu belanja banyak sekali sementara ia tidak mengatakan apa pun saat sudah berada di dalam mobil dan aku juga tidak menanyakan perihal belanjaan Jeselyn yang banyak seperti itu.
Selang beberapa menit akhirnya kami sampai juga di depan rumahku yang sangat sederhana dan cenderung kumuh, di depan rumah ada Bu Dar yang menyapu rumahku sepertinya ibu sedang dalam keadaan tidak baik karena Bu Dar tidak biasanya menyapu di teras rumahku.
Aku langsung turun dari mobil dan menyalimi tangan Bu Dar yang sedang menyapu menoleh ke arahku dengan wajah sumringah.
“Assalamualaikum, Bu Dar. Bu tumben sekali menyapu rumahku, di mana ibu?” tanyaku dengan wajah bingung karena biasanya ibu yang menyapu rumahnya, ibuku memang sakit-sakitan, namun hanya untuk menyapu rasanya masih sanggup dan tidak perlu menyuruh orang lain.
“Waalaikumsalam, akhirnya kamu datang juga, Bu Ira menunggumu di dalam. Masuklah, Ibu Ira benar-benar khawatir sekali padamu,” kata Bu Dar yang langsung menyuruhku masuk ke dalam rumah. Aku hanya bisa menuruti perkataan Bu Dar, aku juga rasanya rindu pada ibu.
Aku mencari ke dalam rumah, terlihat ibu sedang berada di dapur mencuci piring seperti biasanya yang aku lakukan saat di rumah. Namun, sekarang karena aku sudah bekerja di luar jadi ibu mencuci sendiri dan mengurus dirinya.
“Assalamualaikum, Bu.” Aku memeluk ibuku dari belakang karena merasa sangat rindu terhadap wanita paruh baya itu, baru saja aku tinggal seharian, namun ibu membuatku terus merindukannya.
“Waalaikumsalam, astaga Gea!” seru ibu yang langsung membasuh tangannya dengan air kran kemudian mengelap tangannya dan memelukku.
Aku tahu dari sorot mata ibu, ibu benar-benar merasa khawatir denganku. Tinggal di pedalaman dan anak perempuan membuat ibu terus mencemaskanku setiap hari apalagi zaman dulu di mana aku bersekolah di pusat kota Jogja sementara aku pulang sore terus. Dulu, ibu hampir saja ingin menghentikanku bersekolah di tengah kota karena kami tidak mempunyai sebuah kendaraan yang dipergunakan untuk antar jemput, sementara pedalaman sangat rawan untuk anak gadis sepertiku.
“Kau ke mana saja, Hah? Bagaimana kau bisa tidak pulang seharian?” tanya ibu dengan wajah panik melihatku dan memastikan bahwa aku baik-baik saja, namun saat aku akan mengatakan bahwa aku menginap di kost Jeselyn, gadis itu sudah masuk tersenyum pada ibuku.
“Halo, Tante Ira, maaf karena Gea aku ajak menginap di kostku. Tante juga pasti tidak akan mengizinkan Gea pulang sendirian, kan? Akan berbahaya jika kemarin dipaksa pulang malam,” kata Jeselyn membuat ibuku mengangguk membenarkan ucapan gadis itu.
Aku menghela napas lega ketika tahu bahwa ibu tidak apa-apa dan dalam keadaan baik saat aku tinggalkan di rumah ia juga tidak marah karena aku ternyata menginap di kost Jeselyn.
“Jeselyn? Ini Jeselyn yang dulu teman SMP Gea bukan, ya?” tanya ibu yang terlihat sedikit tidak mengenali Jeselyn karena tubuh gadis itu yang sudah jauh lebih tinggi dan penampilannya yang sudah berbeda.
“Iya, benar, tante,” ucap Jeselyn dengan lesung pipi yang menghiasi wajah itu membuat Jeselyn bertambah cantik jika tersenyum.