Gea Alesandria
Hidup akan terus berjalan walaupun kamu ingin berhenti itulah yang aku yakini selama ini.
Namaku Gea Alesandria, orang-orang sering berkata bahwa nama itu terlalu bagus untuk diriku yang terlahir dari keluarga sederhana bahkan bisa dikatakan sangat melarat.
Aku harus belajar untuk menutup telinga rapat-rapat dari omongan orang disekelilingku. Orang selalu mengira bahwa aku punya mimpi yang tinggi, misalnya saja menjadi seorang yang kaya raya karena mereka selalu melihatku belajar sambil bekerja membantu berjualan makanan di kantin sekolah dan mendapatkan upah. Ya, walaupun upahku hanya bisa untuk membeli siomay seharga lima ribuan dan beberapa jajanan kecil lainnya, tapi aku bangga.
"Gea jualan lagi ya hari ini? Mending kamu istirahat deh karena membantu di kantin juga tidak ada gunanya kamu gak akan jadi kaya dengan bekerja keras di kantin setiap hari. Nilaimu mulai menurun," celetuk salah satu teman sekelasku dengan tatapan sinis.
Aku hanya tersenyum saja sambil memberikan beberapa makanan yang teman sekelasku pesan. Tidak perlu menjelaskan betapa susahnya hidupku pada orang lain karena mereka tidak akan paham susahnya diposisiku saat ini.
Beberapa teman yang berada di kantin juga melihatku dengan tatapan aneh, karena aku memang salah masuk sekolah. Dengan ekonomi yang pas-pasan bahkan melarat nekat menerima tawaran beasiswa di SMA Global dimana yang bersekolah di sana adalah anak-anak dari kalangan atas.
Aku juga bingung mengapa aku bisa lolos seleksi saat nekat menerima tawaran beasiswa di SMA Global. Saat masih SMP, aku bercita-cita dan banyak berharap dengan aku memasuki SMA ternama, aku bisa kuliah juga dengan catatan bahwa SMA Global bisa membawaku ke arah yang lebih cerah.
Namun, sepertinya aku salah mengira. Di SMA ini aku malah mendapatkan masa-masa suram dan secara tidak langsung menjatuhkan diri sendiri ke dalamnya. Maksud hati ingin bermimpi tinggi malah jatuh dari mimpi tertinggi.
"Duh, Gea cepetan dong! Itu pesenan aku segera dibuat, dikit lagi bel istirahat selesai nih," seru Vanes teman sekelasku dengan nada tak sabaran. Aku hanya mengangguk tanpa menjawab, sifat dia memang seperti itu sangat tidak sabaran dan ingin menjadi nomor satu, termasuk berebut makanan di kantin. Jika ada dirinya, semua orang harus menepi ke pinggiran kantin.
Terkadang aku juga sedikit bingung dengan siswa-siswi di sekolah mengapa manut saja dengan perintah Vanes untuk melipir ke pinggiran jika ia lewat padahal semua anak-anak di sana dari kalangan orang berada juga. Entah sampai sekarang aku tidak tahu apa yang membuat Vanes diistimewakan.
"Maaf membuatmu menunggu," ucapku seraya memberikan sepiring siomay yang ia pesan dan menyerahkan uang kembalian pada Vanes. Tangannya cepat-cepat merampas uang kembalian itu dari tanganku.
"Kerja tuh yang bener! Aku ngaduin ke ibu kantin biar dipecat baru tau rasa!" gerutu Vanes dengan kesal sambil meninggalkan stand makananku.
Menjadi anak orang kaya memang sangatlah enak, memarahi orang saja tidak merasa bersalah dan tidak perlu meminta maaf. Padahal manusia diciptakan sama, aku tidak pernah tahu bagaimana cara orang kaya memandang dan sampai sekarang aku tidak pernah percaya bahwa ada orang kaya yang merakyat jika tidak pernah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.
Aku menghela nafas perlahan sambil membuka bekal yang aku bawa dari rumah, saat-saat menit terakhir istirahat keadaan kantin memang sudah sepi dan lumayan untuk aku istirahat san mengurus diriku sendiri.
Baru saja beberapa suap, aku melihat ada dua pasang kaki yang tepat berada di hadapanku sambil melihatku yang sedang asik makan.
"Ada istirahatnya juga, seperti biasa yaa aku ambil jatah," ujar pemuda itu dengan senyuman yang selalu membuatku tidak bisa berpaling, sepertinya ia memanfaatkan aku karena tahu bahwa aku suka dengannya.
Aku menggeleng-gelengkan kepala cepat seraya merebut botol kemasan yang sedang ia pegang dari kulkas kantin. Dengan mulut penuh makanan aku berbicara, namun ia malah tertawa kecil kemudian menutup mulutku menggunakan tangannya.
"Abisin dulu, nasi lo mencrat-muncrat," katanya dengan cekikikan. Namanya Devan, menurutku dia adalah cowok yang baik dan satu-satunya orang di sekolah itu yang masih waras dan masih ingin menatapku seperti sekarang. Bahkan ia tidak sungkan untuk bercanda denganku.
Aku cepat-cepat menelan makanan yang ada di dalam mulutku kemudian meneguk minuman yang berada di meja.
"Kamu nih, kalau mau minuman bayar dong! Dikira kantin punya nenek moyangmu," ujarku dengan kesal.
"Azz. Dikira aku ga punya duit? Nih nih ambillah, siniin minumannya," seru Devan sambil mengacak-acak rambutku kemudian pergi begitu saja bersama satu temannya yang selalu membuntutinya kemana pun dia pergi.
Perlakuan Devan memanglah sedikit istimewa terhadapku karena sekolah pun tahu bagaimana sifat mantan ketua MPK itu yang sangatlah dingin terhadap orang lain. Bahkan dia enggan menyapa jika tidak disapa.
Dia selalu istimewa dan membuat siapa pun tidak bisa lepas dari auranya yang benar-benar membuat nempel.
Ada banyak sekali di dunia ini yang terlahir istimewa, namun berusaha tidak pernah terlihat, tapi mereka tetap dicari.
Namun, disisi lain ada banyak juga di dunia ini orang-orang yang ingin sekali merasa diistimewakan, tapi sekeras apapun mereka berusaha tidak akan pernah dicari dan tidak akan pernah muncul dipermukaan.
Itulah keadilan dunia, seperti timbangan yang berat sebelah. Mereka selalu memandang orang yang lebih rendah dengan cara pandang mereka sendiri tanpa tahu ada banyak hati diluaran sana yang tersakiti.
Untukku pribadi hal-hal seperti itu memang sudah biasa, toh dari dulu aku memang harus sadar berada diposisi mana diriku ini. Ingin tersinggung juga sepertinya percuma karena mereka tidak akan pernah mau tahu dan lagi-lagi hanya menyakiti diri sendiri.
Untuk sosok Devan sendiri aku hanya bisa mengangguminya dalam diam saja karena tidak ada yang akan peduli juga dengan orang melarat sepertiku yang ingin jajan saja harus cari uang dulu. Aku masih beruntung karena salah satu ibu kantin mau menerimaku bekerja di stand makanannya dan ia akan memberikan upah yang hanyalah upilan dari uang jajan siswa sekolah ini.
"Ini upahmu, sekarang jam belajar telah dimulai. Masuklah, terima kasih sudah membantuku, jangan lupa besok datang agak awal untuk membantu pagi-pagi," ucap Bu Reni yang berjualan di sana.
"Baik Bu, terima kasih untuk hari ini," ucapku dengan senyuman paling gembira, tentu saja karena aku membawa uang ke rumah untuk melanjutkan hidupku.
Aku menghela nafas berat melihat uang yang sudah aku kumpulkan, ini hanya cukup untuk makan aku dan ibuku beberapa hari itu pun hanya memakai lauk rebon kecil yang sudah mual aku makan.
Namun, apapun itu aku berusaha sadar bahwa itu adalah rezekiku.