Jobseeker

4958 Words
Aku melihat diriku dicermin dengan seulas senyum, rasanya waktu berlalu begitu cepat dan sekarang aku sudah lulus SMA. Hari ini aku berencana untuk mencari pekerjaan walaupun aku tahu mencari pekerjaan tanpa ijazah dan surat kelulusan adalah hal yang sulit, namun aku memutuskan untuk membulatkan tekad agar mendapatkan pekerjaan karena aku tidak bisa terus meminta makan pada Bu Dar. Jauh di dalam lubuk hatiku aku benar-benar malu jika harus meminta lagi pada Bu Dar entah itu soal makanan atau apa pun yang kami butuhkan, biar bagaimanapun Bu Dar pasti akan bosan karena dipinta terus. “Bu, Gea pergi dulu, ya. Doakan agar Gea dapat pekerjaan yang layak dan bisa membiayai Ibu,” ucapku sambil salim pada ibuku. Aku benar-benar berharap langkah kakiku membawa ke suatu tempat yang tepat agar tidak sia-sia perjalananku. “Kamu yakin ingin mencari pekerjaan? Ijazah dan surat kelulusanmu belum turun dan pastinya kau hanya bisa mengandalkan ijazah SMP-mu, apa tidak masalah untukmu?” tanya ibuku dengan raut wajah khawatir, jelas sekali bahwa ibu sangat cemas denganku ke depannya. “InsyaAllah yakin, Bu. Allah pasti kasih jalan untuk Gea, ini hanya batu loncatan saja, tidak apa-apa,” kataku dengan seulas senyum, aku tidak pernah khawatir akan hari esok karena aku yakin bahwa semua itu sudah diatur oleh Allah dan tidak ada jalanku yang tidak diatur oleh Allah, aku percaya itu. Setelah mengatakan itu akhirnya aku pamit pada ibuku dan aku memutuskan untuk mampir sebentar ke rumah Bu Dar sekadar berbasa-basi karena aku khawatir juga dengan wanita paruh baya itu yang seumuran ibu dan tidak memiliki siapa pun, sebagai seorang tetangga dan juga anak dari wanita yang seumuran dengan Bu Dar, aku ingnin memperhatikan Bu Dar juga seperti dirinya memperhatikan aku dan ibu. “Assalamualaikum, Bu Dar,” sapaku yang ternyata Bu Dar ada di teras seperti biasa duduk dengan segelas teh manis dan beberapa camilan yang sering ia taruh di meja depan rumahnya. “Waalaikumsalam Gea cantik, astaga kamu cantik sekali dan sudah rapi, mau ke mana?” tanya Bu Dar yang logat Jogjanya sangat medok membuatku merasa hangat jika wanita itu sudah menyapaku pagi-pagi seperti ini. “Gea mau lamar kerja, Bu Dar. Doakan ya agar Gea lancar dan mendapatkan pekerjaan,” kataku meminta restu. Katanya semakin banyak orang yang berdoa maka doa akan cepat dikabulkan, itu salah satu alasan aku mampir ke rumah Bu Dar—tetangga yang paling akrab denganku. “Bukankah kamu baru saja lulus? Memangnya sudah keluar surat kelulusan dan ijazahmu?” tanya Bu Dar dengan wajah penuh keheranan, tampak sekali wajah itu berkerut merasa bingung dengan keputusanku yang mencari kerja padahal surat kelulusan saja belum diberikan. Aku mengangguk membenarkan bahwa surat kelulusan mau pun ijazah sama sekali belum keluar. “Iya, Gea pakai ijazah SMP saja untuk mencari pekerjaan sebagai batu loncatan, Gea tidak bisa melihat ibu terus tidak punya uang. Saya titip ibu ya sama Bu Dar, ibu sedang sakit-sakitan, tolong hubungi Gea jika ibu kenapa-napa,” ucapku meminta tolong pada Bu Dar agar menjenguk ibuku setidaknya saat aku sedang mencari pekerjaan agar aku tidak merasa khawatir dengan keadaan ibu di rumah. Bu Dar terlihat mengangguk, setelah itu aku berjalan meninggalkan area rumah Bu Dar tanpa tahu akan ke mana. Aku terlihat membawa sebuah amplop lamaran yang berisi berkas-berkas lamaranku, aku merutuki diri yang bodoh karena tidak tahu tujuanku berjalan dan asal keluar saja tanpa tahu tempat yang harus kudatangi. Aku sampai di sebuah café yang terlihat setengah terbuka, café itu belum buka karena masih pagi tapi setidaknya di dalam sana ada orang yang sedang mengurus café tersebut dan mungkin saja ada pekerjaan untukku yang masih mengandalkan ijazah SMP. Perlahan namun pasti, aku memberanikan diri masuk ke dalam café tersebut yang terlihat sangat sepi hanya ada beberapa pelayan yang sepertinya hendak pulang. “Mbak, tunggu! Maaf apa di sini menerima pekerjaan? Apa saja saya siap, saya sedang mencari pekerjaan. Tolong saya Mbak berikan saya pekerjaan apa saja yang penting halal dan digaji,” kataku menghentikan wanita yang terlihat memakai seragam hijau itu, mungkin wanita itu adalah pelayan di café ini. Wanita berambut panjang dan memiliki riasan tebal itu melihatku dengan tatapan bingung, aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, namun wajahnya terlihat tak senang dengan kehadiranku. “Tidak ada, di café ini sedang tidak ada lowongan pekerjaan lagi, cari saja di tempat lain. Kok masih bocah sudah mau bekerja, sekolah dulu saja, Neng,” katanya kemudian pergi membuatku tercengang. Ucapan wanita itu benar-benar membuatku hilang akal, bagaimana bisa dia mengatakan aku masih bocah? Aku sudah berusia dua puluh tahun, mungkin banyak orang yang mengatakan aku sudah tua untuk usia baru lulus SMA. Aku akui bahwa aku tua karena saat masuk SD berusia delapan tahun, usia yang sangat tua, bukan? Dulu, orang tuaku tidak mampu memasukkan aku sekolah, jadi aku terpaksa masuk SD saat berusia delapan tahun. Aku kerap dihina oleh teman-temanku karena usiaku yang jauh berbeda dengan usia mereka kebanyakan. Namun, aku terus mengabaikan ucapan mereka. Aku cukup bersyukur walaupun masuk sekolah di usia yang sudah lumayan tua, aku masih bisa merasakan pendidikan karena di luar sana masih banyak sekali yang tidak bisa mengecap pendidikan karena terbatasnya ekonomi. Setidaknya aku jauh lebih baik daripada orang-orang yang tidak bisa mengecap pendidikan dan aku selalu tanamkan itu dihatiku agar aku tidak rendah diri. Aku memutuskan untuk duduk di depan pintu masuk café itu dengan wajah muram, aku memikirkan ke mana lagi aku harus mencari pekerjaan. Jika aku pulang dan belum mendapatkan pekerjaan pasti ibu sangat kecewa, aku tahu bahwa ibu tidak pernah kecewa dengan apa pun yang terjadi jika aku gagal hari ini maka masih ada hari esok yang harus dicoba, hanya saja aku tidak sanggup melihat raut wajah kecewa itu di hadapanku. “Gea, bukan?” tanya seorang gadis dari pintu masuk café itu. Aku menoleh karena namaku disebut, aku melihat perempuan itu dengan dahi mengerut, rasanya aku seperti mengenal gadis yang berada di hadapanku ini, tapi siapa? “Maaf, siapa, ya?” tanyaku dengan sopan karena aku benar-benar tidak mengenalinya secara jelas. Aku hanya ingat sekilas, tapi aku tidak tahu pasti siapa itu. Gadis itu langsung memukul pelan lenganku dengan tawanya yang khas, aku jadi ingat dengan temanku yang bernama Jeselyn, aku curiga bahwa yang di hadapanku ini adalah Jeselyn. “Astaga, kau tidak mengenalku rupanya padahal kita teman baik dulu saat SMP. Aku Jeselyn, kita duduk sebangku dulu,” katanya dengan wajah gembira bertemu denganku di café itu. Aku bernapas lega karena itu benar Jeselyn, semasa sekolah ia sangat baik padaku dan sekarang juga seperti itu tidak berubah. “Aku lupa, kau jauh lebih cantik sekarang jadi aku tidak mengenalmu. Sedang apa kau di sini, Jes?” tanyaku yang merasa heran Jeselyn ada di café itu padahal café itu sedang tutup. “Aku memang bekerja di sini sebagai penyanyi café, baru saja akan pulang karena keasikan mengobrol dengan orang-orang di sini. Kau sendiri sedang apa di sini?” tanya Jeselyn melihatku dengan wajah bingung. Aku menghela napas pelan merasa bingung harus menjelaskan apa pada Jeselyn, aku takut sekali jika menjelaskan aku mencari pekerjaan maka dia menjauh. Seperti orang kebanyakan jika sudah lulus dan lebih sukses, maka yang masih merintis dari nol akan dimusuhi. Aku benar-benar takut Jeselyn menjauh dariku karena dia adalah teman satu-satunya yang paling baik padaku kalau sampai ia menjauh juga mungkin itu akan sangat menyakitkan. “Aku sedang mencari pekerjaan, tapi belum dapat,” ucapku dengan malu-malu, aku melihat wajah Jeselyn yang terlihat terkejut dengan perkataanku. Ia langsung tertawa setelah aku mengatakan hal tersebut, sikapnya yang seperti itu membuatku merasa tersinggung, apanya yang lucu? Aku mencari pekerjaan bukan melawak! “Kenapa tertawa?” tanyaku dengan sedikit kesal, aku yakin Jeselyn sudah berubah dan tidak seperti dulu lagi. Jeselyn langsung menghentikan tawanya kemudian merogoh sakunya dan memberikan kartu nama kecil padaku. Aku melihat kartu tersebut dan mengambil kartu itu, tercetak dengan cantik nama Jeselyn Margareth di kartu yang ia kasih padaku. “Nah, itu kartu namaku. Datanglah malam nanti, ketika café ini buka. Aku akan memberikan pekerjaan padamu sebagai penyanyi café, tenang saja kau tidak perlu melakukan aneh-aneh kau hanya perlu bernyanyi dengan suara bagusmu. Café ini milik saudaraku, orang bawaanku sudah pasti diterima. Soal gaji, standar saja, kau juga pasti hanya sementara di sini,” kata Jeselyn seolah tahu niatku mencari kerja hanya untuk batu loncatan. Aku terdiam saat Jeselyn mengatakan malam nanti aku harus datang ke sini lagi, aku tidak tahu apa ibu akan mengizinkanku atau tidak yang pasti aku akan membujuk ibu agar aku mendapatkan pekerjaan ini. “Baiklah, aku akan ke sini lagi malam nanti. Terima kasih, Jes, aku senang bertemu kamu lagi di sini karena sejak kelulusan SMP kamu tidak tinggal di Jakarta lagi,” kataku yang merasa beruntung bertemu dengan Jeselyn, gadis itu memang selalu bisa diandalkan dari dulu. “Ok, aku pulang dulu, ya. Sampai jumpa nanti malam,” kata Jeselyn kemudian melambaikan tangannya padaku dan pergi meninggalkanku sendiri, aku menghela napas pelan kemudian menatap kartu nama itu yang berisi nama dan nomor telepon gadis itu. Aku langsung beranjak pulang, aku akan memberitahu ibu dulu sebelum aku benar-benar balik ke café itu nanti malam. Aku tahu bekerja di café akan sangat ditentang oleh ibuku, namun aku harus membuktikan bahwa bekerja di café bukanlah sesuatu yang buruk karena aku juga tidak melakukan hal-hal yang ditentang oleh agama. Sesampainya aku di depan rumah, aku melihat ibu yang sedang berbicara dengan Bu Dar, aku tersenyum kemudian menghampiri wanita itu lalu salim pada ibu dan juga Bu Dar. “Assalamualaikum,” sapaku dengan wajah sumringah, aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan kegembiraanku ketika tahu bahwa aku akan langsung diterima bila nanti malam kembali ke café itu. “Waalaikumsalam,” jawab Bu Dar dan ibu secara bersamaan. Aku benar-benar senang hingga Bu Dar langsung bisa menebak bahwa aku mendapatkan kabar baik. “Kau pasti membawa kabar baik, wajahmu sungguh tidak pernah bisa berbohong,” kata Bu Dar dengan wajah senang, aku hanya bisa mengangguk membenarkan ucapan Bu Dar. Sedangkan ibu hanya menungguku berbicara dan mengatakan apa yang aku dapatkan hari ini terlihat sekali wajahnya harap-harap cemas. Aku duduk di antara Bu Dar dan ibuku kemudian memberikan sebuah kartu nama Jeselyn pada ibu. “Ini kartu nama temanku yang mengajakku bekerja menjadi penyanyi café, dia tahu bahwa aku senang sekali menyanyi dan pernah mengikuti lomba bernyanyi. Aku hanya…” ucapanku terpotong ketika ibu membuang kartu nama itu ke lantai membuat Bu Dar sedikit terkejut begitu pun aku. “Kau adalah anak gadis, bagaimana bisa kau akan bekerja menjadi penyanyi café. Di sana tempat orang-orang maksiat, ibu tidak bisa membayangkan bahwa kejadian tidak mengenakkan menimpamu, Ge. Carilah kerjaan lain yang lebih normal dan tidak malam-malam,” ucap ibuku dengan nada kesal kemudian beranjak dari kursinya dan masuk ke dalam rumahnya meninggalkan aku dan Bu Dar berdua. Aku hanya bisa tertunduk mendengar ucapan ibu yang baru kali ini terdengar sangat ketus. Sedangkan Bu Dar hanya bisa melihatku dengan wajah kasihan, aku tahu bahwa Bu Dar juga tidak setuju dengan keputusanku yang terburu-buru ini dan tampaknya ia juga setuju dengan hal itu karena aku hanyalah seorang gadis yang baru saja lulus SMA, pemikiran masih polos rawan sekali dibodohi oleh orang. “Aku masuk dulu, ya, Bu Dar. Terima kasih sudah menjaga ibuku,” kataku dengan wajah sedih, suatu ladang rezeki ditolak mentah-mentah oleh ibuku membuatku merasa patah semangat. Ketika kakiku melangkah masuk, aku melihat ibu yang sedang berdiam diri di ruang tamu dengan wajah kesal. Masih kesal padaku sepertinya, ibu memang begitu jika sudah tidak senang dengan sesuatu maka diam adalah sebuah bentuk kemarahan wanita yang sudah berusia 54 tahun itu. Aku melangkah menghampiri ibu dan bersimpuh, aku memegang tangan yang sudah terasa berkeriput itu kemudian mencium tangan yang perlahan sudah mulai menua, tangan yang mengurusku dari kecil sampai aku sebesar ini. “Bu, izinkan Gea untuk bekerja di café itu karena hanya di sana aku diterima secara pasti. Aku hanya bernyanyi selama beberapa jam dan kemudian pulang, hanya itu tidak ada macam-macam lagi,” kataku berusaha memberikan sebuah pehamanan untuk ibuku yang sepertinya sudah berpikir macam-macam. “Gea, putriku. Apa kau tahu apa yang dilakukan oleh orang-orang picik di luaran sana? Ibu percaya padamu bahwa kau akan selalu jujur pada ibu tentang pekerjaanmu dan kehidupanmu, namun ibu tidak percaya pada orang-orang di café itu. Kamu terlalu polos untuk bekerja di café walaupun hanya jadi penyanyi,” kata ibuku kemudian memelukku dengan erat dan penuh kasih sayang. Aku paham bagaimana perasaan seorang ibu yang merasa berat hati melepaskan anaknya ke dunia malam seperti itu, apalagi ibuku benar-benar sangat paham dengan agama dan juga dunia malam seperti itu. “Percayakan saja sama Allah, Bu. Allah akan bantu Gea untuk menjalani pekerjaan Gea untuk sementara sebagai batu loncatan, kita juga tidak bisa menumpang hidup terus pada Bu Dar, Gea harus bekerja cepat atau lambat,” kataku berusaha membuat ibu membenarkanku. Ibu melepaskan pelukan itu kemudian menatapku dengan intens, dari mata itu aku bisa tahu betapa khawatirnya ibu padaku, tapi seperti biasa bahwa tuntutan hidup jauh lebih penting. Kekhawatiran ibu bisa membuat semuanya kesulitan karena apa-apa tidak boleh. “Apa benar kau yakin ingin bekerja dengan temanmu itu? Apa temanmu itu bisa dipercaya?” tanya ibuku yang sepertinya mulai memastikan bahwa aku akan baik-baik saja jika ia lepas. “Bisa dipercaya, Bu. Kau kenal Jeselyn, kan? Dulu, sewaktu aku masih duduk dibangku SMP, ia sering main ke rumah ini. Gadis itu cantik dan berhati baik, dia juga mengenalmu dengan baik,” kataku pada ibu. Wajah ibu terlihat sedang mengingat siapa yang aku maksud, maklum akhir-akhir ini ibu sudah mulai mudah lupa mungkin karena penyakitnya yang tidak diobati jadi membuat ibu semakin sulit untuk mengingat hal-hal kecil seperti itu. “Jeselyn, sepertinya Ibu mengenalnya. Baiklah jika memang dia adalah gadis yang bisa dipercaya, setidaknya ia akan menjagamu untuk Ibu. Ibu berdoa agar kamu selalu berada dalam lindungan Allah dan dikelilingi oleh orang-orang baik, jaga kepercayaan Ibu dan jangan kecewakan Ibu karena kamu tahu bahwa Ibu tidak akan memberi toleransi bila kau menipu,” ucap ibuku membuat aku benar-benar merasa sangat senang. Lagi-lagi aku memeluk ibu dengan erat dan berterima kasih karena ibu sudah merestuinya. Kata orang apa pun yang dijalankan dalam restu orang tua pasti akan lancar karena disepanjang jalan kehidupan yang di dalamnya terdapat restu akan dipermudah oleh Allah. “Terima kasih, Bu, sudah mengizinkanku bekerja. Gea janji tidak akan mengecewakan Ibu, Gea akan rajin bekerja agar Gea bisa membayar semua hutang-hutang pada Pak Burhan,” kataku dengan rasa bahagia yang tidak bisa dijelaskan. Ibuku terlihat tersenyum. “Ibu bangga padamu, Ge. Rasanya Ibu tidak akan pernah merasakan kekurangan jika kau anak Ibu. Ibu selalu berdoa agar kelak kau mempunyai seorang imam yang bisa membahagiakanmu, maaf karena selama ini Ibu tidak berusaha keras untuk membahagiakanmu. Andai dulu Ibu berjuang keras, mungkin sekarang kamu mempunyai kehidupan yang lebih layak daripada saat ini. Maaf karena Ibu tidak seperti orang tua temanmu yang selalu bisa diandalkan, Ibu tidak cakap…” ucapan ibu terhenti, ia terlihat mengusap wajahnya dengan pakaian yang ia kenakan. Ibu mengatakan itu dengan berlinang air mata, aku bisa merasakan kesedihan itu saat melihat ibu mengatakan hal-hal menyedihkan seperti ini. “Tidak ada manusia yang sempurna, Bu. Gea bangga karena Gea lahir dari seorang ibu sepertimu, mungkin jika Gea tidak lahir dari rahim Ibu, sekarang Gea sudah menjadi manusia angkuh yang tidak disukai Allah. Gea juga tidak pernah tahu bagaimana rasanya berjuang, Gea berkali-kali mengucap syukur karena aku Gea—anak Ibu Ira, bukan anak dari orang lain yang tidak bisa mendidik anaknya,” ucapku dengan sabar agar ibu tidak terus menyalahkan dirinya yang tak cakap dalam kehidupan ini. Ibu terlihat sangat terharu dengan ucapanku, aku tidak pernah menyesal karena ibuku seorang ibu rumah tangga biasa tidak seperti ibu-ibu temanku yang seorang wanita karir dan pengusaha terkenal. Aku beruntung karena aku mendapatkan kasih sayang yang cukup dan ajaran yang baik, bagi seorang ibu yang merupakan wanita karir, sudah istirahat saja rasanya sudah cukup, ia tidak akan bisa memperhatikan anak-anaknya dengan benar. Buktinya teman-temanku yang memiliki kedua orang tuanya bekerja tidak bisa memperlakukan orang lain dengan baik. Hal tersebut menandakan bahwa tidak banyak ibu-ibu yang bisa menjadi wanita karir sekaligus ibu rumah tangga yang baik. Setelah berbicara sedikit, aku pergi bersiap-siap untuk kembali ke café tersebut nanti malam. Masih banyak waktu untukku beristirahat. Aku merebahkan tubuhku di kasur dan melihat langit-langit rumahku yang tidak sebagus orang-orang. Kadang rumah tua itu bocor karena gentengnya yang mulai geser dan kami masih menikmati kebocoran tersebut sampai sekarang. Aku hanya bisa melihat genteng itu dengan iba. Andai saja aku sudah membayar semua hutang ibu, aku akan merenovasi rumah ini karena bagaimanapun rumah yang aku dan ibu tinggali ini adalah warisan dari almarhum ayah yang harus aku rawat. Aku melihat jam dinding yang berada di dalam kamarku, jarum pendek masih berada di angka sembilan. Masih pagi karena aku berangkat dari rumah dan mencari pekerjaan ke kampung sebelah terlalu pagi, aku memang sengaja berangkat sebelum matahari terbit karena rasanya lelah jika harus berangkat diteriknya matahari walaupun matahari pagi menyehatkan, tapi tetap saja rasanya melelahkan. Selang beberapa waktu aku mendengar suara ibu yang membangunkanku dan begitu nyaring hingga membuat aku mengerjapkan mata perlahan dan melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 3 sore. Ya, pukul 3 sore! Aku langsung bangkit dari tempat tidurku merasa kalang kabut karena seharusnya aku sudah berada di jalan saat ini, rumahku dan tengah kota Jogja lumayan jauh. Belum lagi aku harus menunggu tumpangan yang akan ke kota pasti sangat lama sedangkan aku berjanji dengan Jeselyn akan sampai di café jam 7 malam nanti. “Nduk, makan dulu sebelum pergi. Bu Dar memberikan ikan asin dan sambal,” kata ibu yang terlihat sudah berada di meja makan hendak makan bersamaku. Namun, sayangnya aku tidak bisa makan bersama ibu padahal ikan asin itu terlihat sangat cocok dimakan dengan sambal Bu Dar yang benar-benar membuatku mengeces. “Bu, Gea pergi dulu, ya. Gea harus mengejar waktu karena sudah berjanji dengan Jeselyn sampai jam 7 di sana,” kataku kemudian menghampiri ibu dan menyalimi tangan kanan wanita itu. “Assalamualaikum,” ucapku kemudian langsung keluar dari rumah, samar-samar aku mendengar bahwa ibu menjawab salamku. Aku harus sampai di sana dengan tepat waktu, semoga saja ada tumpangan yang mengarah ke kota atau paling tidak ada yang berbaik hati mengantarku siapa pun itu asal dia orang baik-baik aku akan sangat berterima kasih. Di tengah jalan aku merutuki diriku, seharusnya aku makan dulu bersama ibu baru berangkat karena saat ini aku sudah sangat lapar dan tidak ada waktu untuk kembali ke rumah. Aku berharap semoga saja Jeselyn mentraktirku hari ini. Jeselyn itu selalu baik padaku bahkan keluarganya saja sudah seperti keluargaku sendiri saat dia masih di pedalaman sepertiku. Aku ingat betul semua kebaikan gadis itu, kelak jika aku sukses aku akan membalas semua kebaikannya padaku. “Matur Nuwun, Pak De,” ucapku berterima kasih pada pria paruh baya yang baru saja mengantarku ke kota, aku merasa beruntung karena bertemu dengan Pak De Wibi di jalan. Jika tadi aku tidak bertemu dengan Pak De Wibi mungkin aku tidak bisa sampai di café ini tepat waktu. “Sama-sama, semoga sukses ya, Nduk,” ucap Pak De Wibi dengan logat Jogjanya yang sangat kental. Aku benar-benar menyukai Pak De Wibi yang sangat baik dan sopan santun. Setelah mengatakan itu Pak De Wibi terlihat kembali dengan sepeda motornya yang sudah terlihat usang, perlahan menjauh pulang. Aku menghela napas pelan kemudian langsung memasuki café yang terlihat ramai itu, sudah mulai beberapa orang berdatangan ke café tersebut karena malam sudah tiba dan saatnya semua orang bersantai ria di café itu. Sebenarnya aku agak bingung harus bertanya ke mana soal kartu nama yang diberikan oleh Jeselyn, aku ingin bertanya pada pelayan yang berada di café itu karena aku yakin bahwa pelayan itu tahu di mana keberadaan Jeselyn dan tentu saja tahu siapa Jeselyn Margareth. “Permisi, Mbak. Apa Mbak tahu orang yang namanya Jeselyn Margareth, katanya dia adalah penyanyi di sini,” tanyaku pada seorang perempuan yang hendak membawakan beberapa gelas dan bir untuk pelanggan. Perempuan itu melihatku atas bawah sambil tersenyum samar, mungkin dia merasa pakaianku terlalu kuno dan dekil padahal ini adalah café yang lumayan terkenal, aku memang tidak tahu banyak mengenai café ini, hanya saja aku sering melihat iklannya di beberapa media sosial milikku. “Orangnya sebentar lagi datang, kamu siapanya?” tanya perempuan itu dengan sedikit ketus, aku merasa tidak enak dengan nada ketus milik perempuan itu, tapi aku berusaha untuk tidak tersinggung, lagi pula sifat orang beda-beda, kan? “Saya temannya sedang mencari kerja, baiklah, terima kasih, Mbak,” ucapku kemudian memutuskan untuk menunggu di luar café itu. Café itu terlihat ramai pengunjung, aku merasa tidak siap jika harus bernyanyi di depan mereka semua. “Hai, kamu sudah datang, Ge? Maaf membuatmu menunggu lama, yuk langsung aja naik ke atas, kita kerjanya di atas,” kata Jeselyn yang terlihat sangat cantik sekali dan rapi, maklum saja Jeselyn itu keturunan cina mempunyai wajah yang cantik serta tubuh yang mulus membuatku betah melihat gadis itu. Aku hanya mengangguk kemudian mengekori Jeselyn yang berjalan mendahuluiku, kami menaiki lif ke lantai tiga. Sebenarnya aku bingung mengapa Jeselyn mengajakku ke atas karena katanya aku akan bekerja di café itu. “Jes, aku akan bekerja di mana? Cafenya berada di bawah, kenapa kita harus ke atas?” tanyaku yang merasa sangat penasaran sebenarnya aku ingin dibawa ke mana oleh Jeselyn? “Ah, aku lupa mengatakan padamu bahwa kau menjadi penyanyi di diskotik bukan di café yang berada di bawah itu, jadi kita akan berada di atas setiap hari. Sebenarnya bisa saja kamu menyanyi di café yang berada di bawah itu, namun penyanyinya sudah penuh hanya tersisa jatah yang di atas,” kata Jeselyn menjelaskan. Aku terdiam, bagaimana bisa aku bodoh tidak menanyakan informasi pekerjaanku secara detail pada Jeselyn tadi pagi? Jika aku tahu aku akan berada di diskotik, aku tidak akan mau menerima pekerjaan itu. “Apakah kamu keberatan? Nanti kita akan duet bersama, tapi dibagian penutupan saja karena aku hanya bertugas di penutupan,” kata Jeselyn menjelaskan tugasnya padaku. “Tidak, aku tidak keberatan sama sekali, aku sangat membutuhkan pekerjaan ini untuk membayar hutang-hutang ibuku. Aku akan bekerja dengan giat,” kataku dengan semangat, bukannya mau bermaksiat hanya saja keadaanku tidak memungkinkan untuk memilih-milih pekerjaan. Lagi pula aku hanya menjadi penyanyi di diskotik itu bukan menjadi perempuan tunasusila. Jeselyn mengacungkan kedua jempolnya padaku kemudian lif terbuka, aku dan Jeselyn langsung keluar dari lif tersebut. Terdengar suara dentuman yang sangat berisik sekali, lagu-lagunya juga sangat memekakkan telinga. “Duh, berisik sekali. Apa kau tidak sakit telinga setiap hari di sini, sumpah aku merasa sangat pusing berada di sini,” ucapku dengan suara yang sangat keras untuk menyeimbangkan suara musik yang sangat kencang itu. Aku juga menutup kedua telingaku dengan tangan karena tidak tahan dengan suara yang memekakkan telinga. “Tidak! Aku sudah terbiasa, masuklah cepat duduk di sana meja nomor 9 aku akan ke sana sebentar lagi dengan beberapa temanku yang bagian mengurus penyanyi baru,” kata Jeselyn menyuruhku untuk duduk di bangku nomor 9 yang aku sendiri tidak tahu di mana letak meja nomor 9. Baru saja aku akan bertanya, Jeselyn sudah pergi entah ke mana, tinggallah aku sendiri dengan pakaian yang sangat norak. Ke diskotik dengan pakaian lengan panjang dan juga rok panjang, untung saja aku tidak memakai hijab, kalau ditambah hijab mungkin aku sudah dikira sama orang-orang ustadzah salah masuk ruangan. Aku mendengus kesal, kenapa Jeselyn tidak menelepon saja orang-orang yang mengurus penyanyi baru agar ke meja nomor 9 agar aku ada temannya masuk ke dalam ruangan hingar bingar itu? Namun, karena tidak bisa mengeluh, aku memilih untuk masuk ke dalam diskotik itu. Aku berhenti sebentar ketika memasuki ruangan yang sangat gelap itu, ada beberapa lampu yang menyorot ke sana ke mari akan tetapi, tetap saja membuatku merasa bingung ke mana aku harus melangkah. “Aduh! Woi, kalau jalan lihat-lihat dong, dasar kampungan!” teriak seseorang yang kepalanya aku raba. Ya, aku meraba kepala pria yang menyemprotku itu, tapi aku tidak bisa melihatnya karena cahaya yang sangat minim. Aku hanya bisa meminta maaf kemudian kembali berjalan dengan meraba-raba. Namun, belum sampai satu meter melangkah, aku kembali terjatuh karena tersandung kaki seseorang yang aku rasa sengaja mengerjaiku karena aku terlihat sangat bodoh di dalam diskotik itu. Akan tetapi, kali ini aku jatuh di sebuah bantalan empuk nan kenyal entah apa itu karena aku tidak bisa melihat apa pun di dalam ruangan tersebut. Saat aku meraba benda itu, aku malah mendengar suara desahan lelaki. Pikiranku langsung benar-benar kotor karena suaranya begitu seksi membuatku berpikir kira-kira apa yang sedang aku raba ini? Mengapa benda itu mengeluarkan desahan. Aku terus merabanya sampai ada seseorang yang menarikku untuk menjauh dari benda aneh tersebut, aku melihat orang yang menarikku, ternyata itu adalah Jeselyn yang membantuku berdiri dan menjauh dari benda tersebut. “Kamu ngapain di sini? Kenapa tidak duduk di meja nomor 9?” tanya Jeselyn dengan suara panik dan juga geli. Aku menggeleng cepat. “Aku ingin ke meja nomor 9, tapi aku tidak tahu dan sedang mencarinya. Di sini sangat gelap, bagaimana kau bisa melihat di dalam gelap seperti ini?” tanyaku yang benar-benar kagum dengan kelihaian Jeselyn yang sepertinya sudah tahu semua sudut ruangan ini. “Seharusnya kau menungguku saja di luar daripada membuat kekacauan seperti ini,” kata Jeselyn kemudian menarik tanganku agar aku bisa mengikutinya dan tidak salah langkah lagi seperti tadi. Aku hanya menurut saja dan mengikut langkah Jeselyn, tidak butuh waktu yang lama akhirnya aku sampai juga di meja nomor 9 yang ternyata arahnya salah dengan yang aku tuju tadi. “Ah, rupanya di sini. Maaf membuat kalian menunggu,” kataku dengan sopan dan dua tangan di depan membuat beberapa dari mereka langsung melihatku dengan tatapan aneh, tatapan yang mirip dengan tatapan Arista dan yang lainnya. “Ya, ayo duduk dulu, kamu pasti sangat lelah,” kata Jeselyn dengan ramah. Di antara mereka hanya Jeselyn yang paling supel, yang lainnya entahlah aku merasa tidak nyaman dengan mereka. Namun, aku harus mampu beradaptasi karena di sinilah mata pencaharianku. Setelah aku duduk, aku melihat beberapa dari mereka terlihat sedang berdiskusi dengan wajah masam. Aku memiliki perasaan tidak baik akan hal ini, bisa saja mereka sedang bergosip tentang cara berpakaianku yang sedikit norak sedangkan aku melihat pakaian mereka sangat bagus dan terbuka seperti pakaian kekurangan bahan. Tidak ada yang memakai lengan panjang sepertiku, semuanya berpakaian minim sampai semua auratnya terlihat menunjukkan betapa seksinya tubuh mereka. Bau alkohol juga menyeruak di indra penciumanku. “Kau benar ingin menjadi penyanyi di sini? Dari cara berpakaian dan penampilanmu harus diubah jika memang akan menjadi penyanyi di sini, lihatlah Desra penyanyi di sini juga sepertimu hanya saja dia sedang off, penampilannya seksi dan menarik perhatian,” kata perempuan dengan pakaian yang sangat seksi dan sedang mengisap lintingan rokok. Jeselyn terlihat gugup kemudian langsung berbisik pada perempuan berambut pendek dengan pakaian yang sangat mengundang shawat. Tidak lama kemudian aku melihat perempuan itu mengangguk dan melihat ke arahku. “Baiklah, karena kebijakan Jeselyn aku setuju kau memakai pakaian seperti ini. Hanya saja aku merasa akan lebih cocok jika kau memakai rok selutut kemudian tangan lengan pendek tidak perlu terlalu seksi,” kata perempuan itu dengan ekspresi sedikit menghina, karena terbiasa dihina dan direndahkan aku jadi lebih sensitif dengan tatapan orang yang mengarah padaku. “Baiklah, aku akan memakai pakaian seperti katamu. Asalkan tidak terlalu terbuka tidak apa-apa. Jadi aku diterima?” tanyaku dengan semangat yang membara, perempuan itu mengangguk kemudian tersenyum. “Ya, kamu diterima dan perkenalkan namaku Nanik. Kau bisa memanggilku dengan nama panggilan Anik, sebelum kau tampil di panggung, kita harus mendengar nyanyianmu. Ayo, ikut aku, aku harus mendengar nyanyianmu dulu di ruangan yang berbeda,” ucap Anik dengan senyuman yang penuh arti. Aku merasa tidak enak dengan senyuman Anik yang penuh arti, aku yakin bahwa Anik tidak menyukaiku sepenuhnya karena aku terlalu berpakaian kolot dan tidak terlihat menarik. Sebenarnya mereka menyetujui aku bekerja di sana karena aku adalah temannya Jeselyn. Aku mengekori Anik yang terlihat berjalan lebih dahulu dariku. Jeselyn tidak ikut mengantarku karena sedang bernyanyi karena ini adalah gilirannya bernyanyi untuk pembukaan seperti biasa. “Nah, ini ruangan latihan untuk penyanyi di diskotik ini. Kau harus mengeluarkan suaramu yang paling bagus karena masuk dari kenalan saja tidak akan menyelamatkanmu saat kau bernyanyi dengan asal-asalan, paham?” tanya Anik yang wajahnya berubah menjadi lebih judes dari yang tadi. Aku mengangguk paham akan perkataannya, terkadang aku berpikir menjadi orang sulit secara ekonomi benar-benar tidak mengenakan karena orang akan terus menginjak-injakku semau mereka. Menjadi orang susah bukanlah kemauan seseorang, namun beberapa orang menganggap bahwa orang susah itu adalah sebuah hama yang harus mereka injak-injak sampai punah. Aku tidak tahu sejak kapan orang miskin menjadi sebuah hama, karena semua manusia adalah sama rata di hadapan Allah, maka aku tidak ingin berkecil hati dan marah pada keluargaku. Aku menyanyikan sebuah lagu yang dibawakan oleh Mandy Moore yang berjudul Only Hope, suaraku benar-benar terdengar profesional di telingaku, entah di telinga Anik seperti apa. Wajah Anik terlihat memerah saat mendengar aku bernyanyi, entah apa yang dipikirkannya saat ini yang pasti aku melakukan tes ini sepenuh hatiku jika memang aku harus dibatalkan, tidak masalah bagiku. Beberapa menit kemudian lagu yang paling aku sukai itu selesai juga kunyanyikan. Anik terlihat menghirup napas dalam-dalam kemudian tersenyum padaku dengan senyuman yang terlihat lebih tulus. Anik mengulurkan tangan kanannya padaku dengan wajah sumringah. “Selamat, kau memang berbakat bukan hanya sekadar bawaan Jeselyn, maaf karena aku sempat meragukanmu. Untuk pakaian, kau bebas memakai apa saja mulai sekarang, aku akan memberikanmu pakaian namun tidak sepanjang yang kau gunakan sekarang ini. Kamu tentu tahu di dunia seperti ini, yang laku yang seperti apa, tapi aku kasih toleransi dengan syarat kamu mengikuti pakaian yang aku berikan,” kata Anik kemudian menggandengku keluar ruangan tersebut. Rasanya Anik tidak sejahat yang aku kira, hanya saja kesan pertama itu sangat penting. Aku baru merasakan bagaimana kesan pertama sangat penting untuk orang mengambil keputusan akan menerima atau tidak, dulu aku tidak pernah peduli bagaimana kesan pertamaku,tapi sekarang aku percaya bahwa itu penting.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD