Jeselyn tampak menyerahkan beberapa bungkusan yang ia beli tadi pada ibuku, aku terkejut karena belanjaan sebanyak ini Jeselyn berikan semua pada ibu. Ternyata tadi Jeselyn belanja untuk ibuku, aku tidak tahu mengapa Jeselyn belanja sebanyak itu untuk ibu padahal Jeselyn tidak begitu sering bertemu ibu saat kami masih bersekolah walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa Jeselyn memang sering main ke rumahku, ibu juga ramah padanya makanya mereka cepat akrab.
“Loh, itu banyak banget, Jes. Ini kamu beliin untuk ibuku semua?” tanyaku yang membantu memegangi plastik yang dikasih oleh Jeselyn, gadis itu mengangguk membenarkan ucapkanku.
“Ya, kamu akan tinggal di kost-ku untuk sementara waktu sebelum gajimu turun, aku khawatir Tante Ira tidak ada bahan makanan jadi aku memberikan ini khusus untuk Tante Ira,” kata Jeselyn dengan senyumannya yang selalu manis dipandang.
Aku melihat beberapa bahan pangan yang sangat banyak dan aku rasa itu lebih dari cukup untuk simpanan ibu selama sebulan sampai aku gajian, sebenarnya aku sungkan menerima makanan sebanyak ini karena bagaimanapun juga nanti aku harus mengganti uang Jeselyn dan tentu saja itu akan lebih berat karena aku masih mempunyai tanggungan terhadap hutang ibu di Pak Burhan.
Namun, apa dayaku untuk menolak? Aku akan meninggalkan Ibu untuk bekerja di kota dan saat aku pergi, ibu benar-benar tidak mempunyai bahan pangan sedikit pun. Aku menggenggam plastik itu merasa bimbang harus menerima pemberian Jeselyn atau menolaknya karena jika aku menolak, maka ibu harus mengalami kelaparan sepanjang hari, jika aku terima maka hutang akan semakin bertumpuk. Lagi pula mana ada orang yang memberikan uang secara Cuma-Cuma seperti itu?
“Tenang saja, Ge. Aku memberikan ini gratis untuk Tante Ira, kau tidak perlu cemas untuk membayarnya, lagi pula hitung-hitung ini adalah rezeki dari Allah untuk Ibu. Tidak perlu khawatir karena aku tidak akan meminta bayaran di masa yang akan datang, santai saja,” ucap Jeselyn seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan.
Aku merasa tidak enak karena Jeselyn ternyata bisa membaca pikiranku seperti itu, mungkin wajahku terlihat sangat cemas memikirkan hutang-hutang ibuku yang masih belum lunas di Pak Burhan.
“Maaf karena kedatanganku membuatmu menjadi repot, Jes,” ucapku dengan nada sedih karena aku merasa seperti sebuah parasit yang membuat hidup orang lain repot harus menngurusi keluargaku dan lainnya.
“Sudahlah, kau ini seperti sedang bicara sama siapa saja. Ambillah pakaianmu untuk menginap di kost-ku,” ujar Jeselyn yang langsung memerintahku agar cepat membereskan pakaianku.
Aku hanya mengangguk menuruti perintah gadis itu kemudian masuk ke kamar untuk mengambil pakaian sehari-hariku sementara Jeselyn bercakap-cakap di ruang depan deengan ibuku.
Aku tidak bisa mendengarkan apa yang mereka bicarakan, namun yang aku takuti adalah karena ibu akan mengetahui karena ternyata aku menjadi penyanyi diskotik bukan penyanyi café.
Dengan gerakan mengendap-endap aku berusaha mendengarkan percakapan antara Jeselyn dan ibuku yang terlihat serius.
“Kamu kuliah, Nak?” tanya Ibuku yang sepertinya masih ingin memastikan bahwa Jeselyn tidak akan membuatku ke arah yang tidak benar. Di kampungku masih menganggap bahwa anak-anak kuliahan adalah anak yang terdidik dan tidak akan bertindak macam-macam apalagi sampai melakukan hal kriminal.
“Iya, Tante aku kalau pagi kuliah dan malamnya kerja di café sepupuku untuk mencari uang tambahan,” ucap Jeselyn. Gadis itu membuatku kagum sekali karena pekerja keras, maklumlah tahu sendiri bagaimana uletnya orang cina?
Aku bernapas lega ketika percakapan mereka hanya berisi basa-basi dan aku memilih untuk kembali ke dalam kamar memasukkan semua pakaian ke koper. Rasa senang bercampur aduk dengan rasa tidak rela.
Aku senang sekali saat tahu bahwa aku bisa bekerja di café tersebut walaupun memiliki gaji standar setidaknya perlahan aku bisa membayar hutang-hutang ibu di Pak Burhan, namun rasanya juga tidak rela karena harus meninggalkan ibu sendirian di rumah padahal aku sudah biasa bangun tidur melihat ibu dan sekarang aku harus hidup sendirian di kota, aku harus banyak beradaptasi karena menyesuaikan diri dengan lingkungan baru tanpa ibu pula pasti akan sangat sulit.
Hanya butuh beberapa menit akhirnya semua pakaian dan peralatan mandiku sudah terisi di koper siap untuk dibawa ke kost Jeselyn di mana aku akan tinggal sementara sampai gajiku turun.
“Aku sudah siapkan kopernya, Ibu tidak apa-apa aku tinggal di kota?” tanyaku yang masih ragu Ibu mengizinkanku untuk tinggal di kota selama bekerja. Namun, aku tahu dari wajah ibu sepertinya beliau mengizinkanku untuk tinggal bersama Jeselyn.
“Tidak apa-apa, tapi ingat pesan ibu bahwa kau harus menjaga dirimu. Ingat, kamu adalah anak gadis ibu satu-satunya jagalah kehormatanmu dan selalu berhati-hati walaupun ada tawaran menggiurkan apa pun juga kamu tidak boleh terbujuk. Ibu mau kamu balik ke sini dengan kondisi seperti ini juga, paham?” tanya ibuku dengan wajah khawatir.
Aku paham sekali bahwa ibu masih khawatir, namun ibu juga paham bahwa aku adalah anak tunggal di mana aku harus berjuang sendiri demi melunasi semua hutang-hutang ibuku juga untuk melanjutkan hidup.
“Baik, Bu. Gea akan selalu mendengarkan semua perkataan Ibu, Ibu tidak perlu khawatir karena Gea mencari uang untuk Ibu agar Ibu bahagia. Kalau Gea menghancurkan diri Gea sendiri itu tandanya Gea bukan membuat Ibu bahagia tapi sengsara,” ucapku yang benar-benar berjanji untuk menjaga diriku sendiri, usia dua puluh tahun bukanlah usia yang harus diawasi lagi dan sudah saatnya aku bekerja untuk ibuku yang sudah mulai menua.
Setelah berbincang-bincang, akhirnya kami pamit pada ibu untuk berangkat lagi karena Jeselyn yang akan kuliah.
“Maaf, ya, Bu. Jeselyn sama Gea tidak bisa lama-lama di sini karena Jeselyn harus masuk kuliah, setiap akhir pekan pasti Jeselyn akan mengantarkan Gea untuk pulang ke sini, jangan khawatir. Terima kasih juga karena sudah memperbolehkan Jeselyn membawa Gea,” ucap Jeselyn kemudian menyalimi tangan ibuku.
Begitu pun dengan aku yang menyalimi tangan yang sudah mulai berkeriput itu. Setelah itu pun aku dan Jeselyn meninggalkan rumah ibu juga pamitan pada Bu Dar yang merupakan tetanggaku yang paling baik.
Di dalam perjalanan, kami tidak begitu banyak bicara karena Jeselyn terlihat sibuk dengan orang yang sedang ia telepon sedangkan aku hanya bisa diam dan mendengarkan percakapan tersebut tanpa tahu apa yang sedang Jeselyn bahas.
“Gaji karyawan kirim saja ke aku langsung seperti biasa, biar aku yang mengurus pembagiannya. Bulan depan tambahin gaji untuk satu orang karena temenku bekerja di sini, oh iya kapan kamu ke sini? Usahamu sudah berapa tahun tidak pernah ditengok, lama-lama aku ambil alih, nih,” kata Jeselyn yang tampak kesal dengan orang yang berada di telepon itu, aku tidak tahu dengan siapa ia bicara, mungkin saja sepupunya?
Setelah berbicara cukup lama, Jeselyn tampak menghembuskannya. Aku kasihan dengan Jeselyn karena ia belum tidur dari semalam dan sekarang harus kuliah, setelah kuliah masih harus mengerjakan tugas dan mengecek kinerja karyawan-karyawan cafe, itu ia kerjakan sendiri karena sepupunya tidak mempercayai orang lain untuk memantau pekerjaan karyawannya, itu yang sempat diceritakan Jeselyn saat kami berada dalam perjalanan menuju kost-nya.
“Apa kamu melakukan ini setiap hari? Apakah ini tidak terlalu sulit untukmu, mengingat kamu lebih muda dariku dua tahun pasti ini sangat berat,” kataku yang masih tidak bisa membayangkan betapa rumitnya hidup Jeselyn selama ini.
“Aku melakukannya setiap hari dengan senang hati karena mendapatkan gaji dari bekerja di café sepupuku, tapi dia sedikit tidak tahu diri karena aku harus terus menagih gaji karyawan. Dia itu seperti tidak punya keinginan untuk buka usaha, makanya seperti itu,” kata Jeselyn yang terlihat kesal.
Aku paham bagaimana kesalnya Jeselyn dengan sepupunya, aku pasti akan merasa kesal juga jika sepupuku seperti itu. Aku merasa kasihan karena Jeselyn yang mandiri seolah ditimpakan semua pada gadis itu sampai ia tidak tahu posisinya masih berkuliah atau sudah bekerja karena terlalu sibuk.
Hari ini adalah hari pertamaku bekerja di diskotik milik sepupu Jeselyn, namun ternyata hari ini aku dipindahkan ke bagian café bukan di diskotik. Aku benar-benar sangat bahagia karena aku ditugaskan di café yang tenang tidak seperti diskotik yang sangat hingar-bingar.
“Kamu hari ini di café saja ya, karena penyanyi café hari ini akan ada pertukaran shift di diskotik. Dua minggu dari sekarang kamu di café, minggu ketiga dan keempat kamu berada di diskotik begitu seterusnya. Oh, iya, perihal pakaianmu nanti kamu ke ruang ganti saja pilih sesukamu aku sudah menggantung pakaian bagus-bagus untukmu, tanya saja sama Desra di mana ruang gantinya,” ucap Anik yang terlihat sekali sedang buru-buru.
“Baiklah, Kak Anik,” ucapku kemudian aku mencari keberadaan Desra di café tersebut dan benar saja untung Desra sedang berada salah satu tempat duduk terlihat sedang mengotak-atik laptopnya.
Aku melangkah cepat ke arah meja di mana Desra berada, ia terlihat sudah rapi akan tetapi, wajahnya terlihat kusut menatap laptop. Aku sebenarnya ingin bertanya letak ruang ganti di café ini khusus untuk para penyanyi, namun rasanya sedikit takut karena wajah Desra yang membuat nyaliku menciut.
“Desra,” ucapku dengan pelan, namun gadis itu tidak menjawab panggilanku ia terlihat benar-benar tidak fokus dengan keadaan sekitar membuatku merasa bingung harus memanggilnya bagaimana?
“Desra,” ucapku sekali lagi kali ini sedikit lebih keras daripada tadi. Namun, sadarnya Desra di luar ekspetasiku, ia berdiri dan memelototiku.
“Jadi, dosen yang bener dikit dong! Gue udah capek kerjain tugas, eh malah diblacklist padahal Cuma telat satu detik! Di mana sih hati nurani lo?” teriak Desra dengan nada kesal membuat aku menelan salivaku dengan susah payah.
Namun, Desra terdiam saat melihatku yang terpaku karena ia membentakku begitu kencang hingga membuat beberapa karyawan café tersebut melihat ke arah kami. Mungkin saja mereka mengira aku dan Desra sedang berkelahi.
“Ah, k-kamu yang kemarin itu kan? Siapa namanya, Gea ya?” tanya Desra yang langsung berubah menjadi lembut membuat aku mengerjapkan mata beberapa kali karena merasa bingung. Aku jadi yakin dunia perkuliahan tidak semenyenangkan intu.
“I-Iya, Des. Aku mau tanya di mana ruang ganti khusus penyanyi?” tanyaku dengan gemetar karena masih mengingat betapa menusuknya tatapan Desra yang mengira aku adalah dosennya.
Desra yang panik pun langsung mengantarkan aku ke ruang ganti tersebut, aku merasa sedikit kesal kenapa malam-malam seperti ini aku harus menjadi sasaran Desra? Padahal kenal akrab saja tidak.
“Maafkan aku, ya. Aku benar-benar kesal karena dosenku, aku kira kamu dia makanya secara tidak sadar aku mengomelimu. Andai saja aku punya keberanian untuk memarahinya secara langsung,” ucap Desra yang menghembuskan napasnya kesal, dia benar-benar terlalu payah karena tidak bisa mengatakan itu secara langsung.
“Ternyata kuliah sulit juga, ya. Aku pikir kuliah akan sangat menyenangkan dari masa sekolah,” kataku mencoba berbasa-basi.
“Iya, tidak usah kuliah! Capek, zaman sekarang banyak banget iblis berbalut profesi dosen. Jika kamu menjadi aku pasti akan nangis tugas terlambat satu detik aja langsung dihitung tidak mengumpulkan, padahal mengerjakan tugas itu bukanlah hal mudah, aku perlu riset berhari-hari,” kata Desra yang masih terlihat frustasi karena hal tersebut.
Aku hanya bisa diam dan tidak membicarakan perkuliahannya lagi karena aku melihat Desra benar-benar frustrasi. Aku pergi mengganti pakaian yang sudah disiapkan oleh Anik di ruang ganti, aku merasa beruntung karena pakaian sudah disiapkan oleh pihak café bukan dari aku, andai saja pakaian dari aku mungkin akan sangat buruk penampilanku di panggung.
Setelah berganti pakaian dengan gaun selutut berwarna merah akhirnya aku keluar, aku melihat Desra sudah tidak ada di depan ruangan ganti lagi sepertinya ia masih kalang kabut dengan tugasnya itu.
Aku memoleskan make up di wajahku dengan sedikit sentuhan saja wajahku benar-benar terlihat sangat cantik, aku tidak tahu aku bisa secantik ini. Rasanya ingin sekali mengabadikan kecantikanku dengan sebuah ponsel, sayangnya ponselku tidak memiliki kamera yang cukup bagus.
Tidak ada waktu untuk aku mengagumi kecantikan ini, aku harus segera bekerja karena katanya aku menyanyi di bagian pembuka sedangkan Desra akan berduet denganku tiga lagu terakhir.
Aku keluar dari ruang ganti tersebut kemudian melangkah menuju panggung kecil untuk aku dan band yang akan memainkan musik berdiri. Aku melihat beberapa orang yang sudah berada di tempat duduk melihat ke arahku, rasanya aku lumayan gugup juga karena tidak terbiasa menyanyi di café dan sekarang diharuskan.
Permulaan yang sangat bagus tiba-tiba saja suaraku terdengar merdu sekali di telinga, aku yakin bahwa semua orang sedang menikmati suaraku. Aku sendiri sampai kagum karena aku bisa menyanyikan lagu only hope dari Mandy Moore dengan sangat bagus.
Saat aku menyanyi aku tidak sengaja melihat seseorang yang tidak asing di mataku, aku merasa sangat familiar dengan wajah pemuda yang sangat tampan dan memiliki pandangan setajam elang itu.
Ya, dia adalah pemuda yang kemarin malam membantuku menyebrangi jalan karena melihat aku tidak bisa menyebrang. Mata kami bertemu di satu titik dan membuat kami saling tatap seolah aku menyanyikan lagu ini untuknya, aku tersadar bahwa kami bertatapan sangat lama bahkan pemuda itu tidak menghindari bertatapan denganku.
Setelah aku menyanyikan lagu tersebut, terdengar suara riuh rendah tepuk tangan dari para pelanggan café itu membuatku benar-benar menyenangi pekerjaanku sebagai penyanyi di dunia hiburan seperti ini.
Aku tersenyum ke arah mereka semua, namun saat aku mencari pemuda yang sedari tadi menatapku ia sudah tidak ada dan menghilang entah ke mana. Rasanya aku semakin penasaran dengan pemuda itu.
“Nyanyianmu benar-benar tidak pernah mengecewakan, Ge. Aku senang karena kita akhirnya bisa bekerja sama,” kata Jeselyn yang berada di antara para penonton itu. Aku hanya bisa tersenyum dan berterima kasih karena pujian demi pujian berdatangan bahkan ada satu orang yang sedari tadi terus bertepuk tangan dan memuji suaraku.
“Ya, aku juga senang karena kau menerimaku di sini,” kataku yang membuat Jeselyn tersenyum, aku istirahat sebentar sebelum aku nanti naik ke panggung lagi. Aku sesekali masih berharap bahwa pemuda itu berada di sekitar café tersebut, tapi tidak ada.
Sebenarnya aku ingin sekali menanyakan hal itu pada Jeselyn, hanya saja aku rasa itu adalah hal percuma bagaimana bisa aku penasaran dengan salah satu pelanggan café tersebut?
“Apa ada yang ingin kamu bicarakan? Aku merasa sedari tadi kamu celingak-celinguk seperti mencari seseorang di antara banyaknya pengunjung di sini,” kata Jeselyn sambil menyuruput kopinya yang berada di meja.
“Ah, entahlah aku rasa aku hanya berhalusinasi,” ucapku yang merasa bahwa mengatakan pemuda itu memandangku rasanya terlihat seperti berhalusinasi karena orang itu tidak ada di ruangan ini bersamaku.
Aku kemudian kembali berdiri karena Desra yang sudah selesai menyanyikan sebuah lagu dan sekarang kembali giliran aku untuk mengisi beberapa lagu. Beberapa orang yang melihat aku naik ke panggung kecil itu tampak bersorak-sorai, mereka terlihat senang karena aku penyanyi di sana.
Baru saja aku akan bernyanyi, aku melihat pemuda itu sudah duduk kembali di tempatnya semula. Namun, kali ini ia tidak melihatku melainkan asik dengan ponselnya, namun wajahnya terlihat kesal entah karena apa.
Aku terus bernyanyi dan memandangi pemuda itu, makhluk ciptaan Allah yang begitu sempurna benar-benar membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya. Tidak lama kemudian aku melihat pemuda itu dan beberapa teman prianya yang datang, benar dugaanku bahwa dia memang pelanggan di sini, sepertinya ia sering sekali nongkrong di sini entah mungkin dia tidak mempunyai pekerjaan?
Setelah beberapa menit pun aku menghentikan nyanyian merdu milikku, dan tugas aku sudah selesai. Aku memilih untuk tidak duet dengan Desra karena menurutku lebih sulit berduet karena harus menyesuaikan nada masing-masing, sedangkan aku belum pernah makanya Anik menyuruhku untuk sendiri untung saja aku mengatakan jika aku belum berpengalaman.
“Gea?” panggil seseorang saat aku hendak ke toilet, aku menoleh karena merasa bahwa namaku dipanggil dan saat itu tidak ada satu pun orang yang berada di sekitaran toilet. Namun, alangkah terkejutnya aku saat melihat seseorang yang paling aku hindari selama ini.
“Astaga, kamu benar-benar sudah sombong, ya? Aku memanggilmu dari tadi, bagaimana kamu bisa melengos seperti itu?” tanya Arista dengan gaya angkuhnya membuatku merasa tersudut apalagi lorong menuju toilet tidak terlalu ramai dan terlalu sulit untuk aku berteriak tidak akan ada yang menolongku.
Aku melihat Arista yang melangkah mendekatiku dengan senyumannya yang benar-benar paling aku benci selama ini. Aku perlahan mundur karena merasa tersudut, ia seperti biasa bertemu denganku hanya ingin melihatku seperti seekor tikus yang tersesat dan tidak mempunyai jalan keluar lain.
“Kau mau apa? Kita bukan lagi teman satu sekolah, sekarang kau sudah tidak boleh menyentuhku seperti kau menyentuhku dulu. Ingat, ini bukanlah sekolah yang penuh dengan ketidakadilan!” seruku memberanikan diri.
Arista si gadis tomboy yang suka sekali menggangguku langsung tersenyum dengan senyuman iblis yang pernah aku lihat, dia kemudian langsung berbalik badan dan berteriak layaknya orang baru saja memenangkan suatu hadiah.
“Aku akan mengabarinya ke anak-anak lain bahwa si miskin ini sudah bisa masuk ke café mahal seperti ini, tapi aku tidak yakin bahwa kau di sini sebagai tamu. Biasanya budaya miskin palingan hanya bekerja di café ini, apakah aku benar?” tanya Arista yang terlihat memelototiku dengan matanya yang membulat seperti jengkol.
Aku menelan salivaku dengan susah payah, jika aku menjawab bahwa aku adalah seorang tamu di café ini sudah pasti Arista akan membuatku malu tujuh turunan di tempatku bekerja dan aku tidak akan mendapatkan gaji untuk membayar semua hutang-hutang ibuku pada Pak Burhan.
“Tidak, kau salah! Aku berkunjung di sini dan akan pulang ke rumah teman segera karena seperti yang kau tahu bahwa rumahku di pedesaan mana bisa aku seperti orang kota yang main sampai malam seperti ini,” ujarku kemudian dengan tenaga yang tersisa, aku langsung mendorong bahu kiri gadis itu dan pergi dari hadapannya sejauh mungkin dan aku juga pasti pergi ke tempat ramai.
Aku tidak tahu bagaimana lagi reaksi Arista saat aku pergi meninggalkannya dengan cara tidak sopan seperti itu. Namun, aku berharap bahwa dia tidak marah dan membawa teman-teman yang lain ke sini.
“Kau mau ke mana? Tugasmu penutupan belum selesai,” kata Jeselyn berusaha menahan tanganku agar aku tidak pergi dari café tersebut sebelum tugas selesai dan juga absen malam.
“A-aku sedikit mual dan pusing, aku takut jika naik ke panggung dan akan muntah karena perutku yang tidak enak, entah mungkin asam lambungku sedang naik,” ucapku pada Jeselyn membuat gadis itu perlahan melepaskan tangannya dari tanganku kemudian memperbolehkan aku pulang lebih dahulu.
“Baiklah, sampai jumpa di kost. Apakah kau mau menitip sesuatu?” tanya Jeselyn yang benar-benar sangat perhatian, aku hanya bisa menggeleng kemudian pamit padanya untuk segera pulang sebelum Arista melihatku lebih lama.
Aku merasa bersyukur karena akhirnya aku bisa keluar dari café tersebut, aku yakin bahwa Arista masih berada di café itu dan tidak akan mengikutiku karena dia kesal terhadap sikapku yang sombong.
Namun, saat aku melangkah keluar dari gedung tersebut aku melihat pemuda yang menyebrangiku jalan kemarin malam. Dia seperti biasa berada di atas motornya sambil mendengarkan musik dengan earphone yang menyumpal telinganya, aku sedikit merasa heran karena pemuda itu tidak ke diskotik yang berada di lantai tiga padahal lebih besar dan asik di sana jika ingin mendengar musik.
Aku melangkah melewatinya kemudian menunggu jalanan sedikit sepi agar aku bisa menyebrang jalan. Sementara itu, aku hanya berfokus memikirkan Arista yang baru saja datang menemuiku. Rasanya itu sangat menyedihkan karena aku kira dengan aku lulus dari SMA Global, maka hidupku menjadi lebih baik daripada saat aku masih berada di sekolah yang tidak mempunyai rasa keadilan itu.
Tiba-tiba saja pemuda yang memakai hoodie itu menarik tanganku untuk menyebrang dan hal tersebut tentu saja membuat aku kalap karena terakhir aku melihat jalanan begitu sangat ramai hingga aku tidak tahu harus menyebrang bagaimana, lalu pemuda itu malah menarik tanganku seperti itu secara mendadak.
“Hei, apakah kau tidak punya sopan santun? Jika kau bekerja sebagai satpam di tempat ini kenapa tidak menanyakan aku mau diseberangi atau tidak?” seruku dengan sedikit kesal, ini sudah kedua kalinya ia menarikku tanpa berbicara apa pun dan meninggalkanku di sebuah gang di mana tempatku tinggal.
Sesampainya kami di seberang jalan, ia langsung melepaskan tanganku dan menatapku intens kemudian pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun lagi. Aku benar-benar sangat emosi dengan pemuda itu, kenapa dia tidak mengenalkan namanya atau berbicara apa pun daripada seperti ini tidak jelas.
“Aku benar-benar sudah habis kesabaran dengannya, aku harus membawa Jeselyn jika aku pulang agar pemuda itu tidak menarikku lagi,” ucapku dengan wajah sebal kemudian masuk ke dalam gang di mana aku akan pulang ke kost Jeselyn.
Aku kembali berbalik hendak melihat keberadaan pemuda misterius yang selalu saja menyebrangiku seperti itu, namun nihil dia sudah tidak ada di motor tersebut membuatku merasa sedikit kecewa karena ia dengan cepat pergi membuat aku yakin bahwa dia hanya berbaik hati menyebrangiku jalan bukan suka atau sebagainya.
Beberapa kali aku menggeleng pelan agar aku tidak berpikir tentangnya terus karena bagaimanapun aku tidak pernah mengenalnya, kami bertemu secara tidak sengaja di depan gedung diskotik itu. Dengan langkah perlahan aku masuk ke dalam kost Jeselyn kemudian merebahkan tubuhku di tempat tidur empuk itu membayangkan wajah tampan pemuda misterius tersebut.
Aku tidak pernah merasakan perasaan yang sesenang itu bertemu orang lain kecuali ibuku, namun seperti yang diketahui bahwa dari dulu aku adalah anak dari orang kurang mampu jadi aku tidak sempat merasakan cinta di bangku sekolah. Aku tidak tahu apa yang sedang aku rasakan saat ini adalah cinta atau bukan yang pasti jika memang ini adalah sebuah perasaan cinta, maka aku tidak boleh membiarkan itu karena aku tidak tahu siapa pemuda itu. Baik atau tidak, aku tidak mengenal latar belakangnya begitu pun dengannya.
“Arrrghh! Benar-benar menyebalkan, seharusnya dia biarkan saja aku menyebrang sendiri, lagi pula aku paham bagaimana caranya menyebrang daripada ia berbuat baik seperti ini dan membuatku salah paham,” kataku yang sedikit tidak terima karena pemuda itu sangat baik padaku.
Aku memutuskan untuk bangun dari posisi tidurku kemudian mengambil air wudhu agar perasaanku lebih tenang daripada sebelumnya. Aku sudah pernah merasakan bahwa air wudhu dan sholat adalah cara agar hati yang gelisah diredam.
Perlahan namun pasti aku mengambil wudhu setelah itu membuka sajadah dan melakukan kewajibanku sebagai umat muslim. Terkadang aku benar-benar tidak paham mengapa kekuatan sholat begitu besar, hatiku yang sedari tadi merasa gelisah tiba-tiba saja terasa sangat tenang dan itu benar-benar aku rasakan setiap kali aku gelisah.
Dulu, aku tidak percaya kata ibu bahwa sholat bisa meredam segalanya. Namun, setelah beranjak dewasa aku tahu betul dan sudah merasakan hati gelisah menjadi lebih tenang dengan sholat dan juga berzikir.
“Astagfirullah, untung aku lihat dia sedang sholat,” gumam Jeselyn yang terdengar terkejut karena aku membelakangi pintu, mungkin ia kira aku adalah pocong. Untung saja aku bisa menahan tawa, kalau tidak mungkin aku harus mengulangi sholatku lagi karena ulah Jeselyn yang tiba-tiba.
Aku merasakan Jeselyn yang duduk di kursi seperti menungguku selesai sholat karena walaupun Jeselyn adalah seorang non islam, ia sangat toleransi. Pantas saja gadis itu sangat disenangi oleh banyak orang, selain sifatnya yang supel, ia juga menjunjung tinggi toleransi beragama. Aku senang padanya karena ia dengan sopan menunggu di belakangku padahal bisa saja ia lewat di hadapanku yang sedang sholat.