Abijar POV.
Mengantar Mamah pergi ke toko perhiasan. Membuatku teringat pada Rindu yang tidak terlihat memakai anting atau pun kalung. Gadis itu benar benar polos tanpa perhiasan apapun.
"Mah, anting itu bagus banget. Boleh minta satu enggak?"
Dan karena pertanyaanku itu, Mamah sontak menatap penuh tanya. Mungkin beliau berpikir bahwa aku ini adalah seorang laki laki. Untuk apa aku meminta sebuah anting.
"Buat apa sayang?" tanya Mamah.
"Eh, enggak boleh ya Mah?" ku garuk tengkuk ini meski tidak gatal.
"Ya kan, kamu ...," Mamah terdiam untuk beberapa saat. Lalu ia tersenyum. "Ah, buat pacar kamu ya?" Mamah meledeku.
Aku jadi malu. "Bukan Mah. Buat temen."
"Temen? yakin cuma temen? sampe kamu mau ngasih perhiasan?"
Aku pun tidak mengerti, kenapa diriku ingin sekali membelikan Rindu perhiasan itu. "Kalau ngasih ke temen cewek, boleh enggak sih Mah?"
"Dalam rangka apa dulu, dia ulang tahun apa gimana? oh, ya? Snacker cewek yang kamu beli waktu itu, buat dia juga?" Ah, Mamah masih ingat saja.
Aku jadi salah tingkah. "Mamah masih ingat aja sih?" keluhku.
Mamah terkekeh dan mengusap kepalaku. "Enggak apa apa. Boleh ko, kamu ngasih. Asal kamu tahu kalau cewek itu emang pantas buat kamu kasih. Harus cewek baik baik dan kamu yakin, kalau dia pantas buat kamu."
"Hanya temen Ma ..."
"Hmm, anak Mamah ternyata enggak punya keberanian." Mamah mengalihkan tatapannya ke etalase perhiasan itu."Yang itu tuh, bagus. Mata satu tapi bening banget. Kalau ceweknya cakep, pake perhiasan apa aja boleh ko,"
Aku tersenyum sendiri. Mamah tahu seleraku. Beliau meminta itu pada sang pelayan toko. "Ini model baru, dan satu satunya, Bu." ujar pelayan itu.
Mamah mengambil anting itu dan menatapnya lebih dekat. "Cantik banget. Boleh deh." Mamah memberikan perhiasan itu untuk dibungkus. Setelah dibayar, Mamah memberikan itu padaku.
"Nanti Abi ganti di rumah ya Mah." ujarku.
Mamah tersenyum. "Enggak usah lah. Itu kan mamah ngasih buat calon mantunya Mamah."
"Ikhs, kan Abi bilang cuma temen."
"Iya, tapi kamunya suka duluan tuh. Ceweknya kayanya cuek cuek aja tuh."
"Kan lagi usaha Mah."
"Cewek yang baik baik, biasanya enggak mau dikasih ginian, sayang."
"Bakal Abi paksa deh."
Mamah terkekeh. "Bapak kamu banget!" gumam Mamah.
***
"Mau ikut barbeque an enggak?"
Langkahku terhenti ketika melihat Rindu dan Pian berbicara di Koridor sekolah, saat ini. Aku penasaran, sehingga berhenti di depan mading dan berpura pura membaca karya anak mading yang tertempel.
"Di mana?"
"Di rumah gue, bareng anak anak SK. "
"Emang ada acara apaan?"
"Gue ulang tahun. Tapi enggak mau ngerayain, ya pengennya kita barbeque aja. Biar bisa lebih akrab sama semuanya. Kita kan udah kelas dua belas."
"Tapi kan itu anak SK semua. Gue malu lah."
"Kenapa malu sih?"
"Ya kan gue anak perdagangan. Terus gabung sama anak anak SK. Kayanya minder aja gitu, gue."
"Lah, enggak kaya gitu lah. Ngapain juga harus minder. Atau gini deh, lo boleh bawa temen temen anak perdagangan ke sana juga. Biar lebih seru."
"Enggak kebanyakan tuh?"
"Ya enggak lah, Rin. Dateng ya?"
Terlihat Rindu berpikir. "Nanti gue kabarin deh. Emang kapan acaranya?"
"Hari minggu ini. Pokoknya harus datang yaa. Gue marah kalau lo enggak datang."
"Yee, maksa."
"Harus dong,"
"Masalahnya hari minggu tuh, gue ada part time di resto."
"Emang jam berapa mulainya?"
"Udah Duhur sih,"
"Mmm ..., gimana kalau enggak usah part time dulu aja. Gue ganti deh, berapa yang lo dapetin sehari di sana?"
"Yee, enggak gitu juga kali. Inikan masalahnya bukan tentang berapa gajih yang bisa gue dapetin dalam sehari. Tapi tentang kedipilinan gue juga. Kalau mereka seneng dengan pekerjaan gue. Otomatis gue juga bisa kerja di sana lebih lama. Iyakan?"
"Iya sih. Tapi gimana ya? Gini deh, kita pajuin acaranya lebih pagian. Jam delapanan kita udah mulai. Dan lo bisa dateng meski sebentar. Bisakan?"
Rindu terlihat terdiam untuk beberapa saat. "Baiklah, akan gue usahain ya. Meski lo tahu lah, kalau hari minggu tuh, gue maunya tiduran sebelum kerja. " Dia terkekeh sembari berkata. Aku tahu gadis itu sepertinya malas pergi.
"Pokoknya nanti gue jemput ke kosan lo ya?"
"Ih, enggak usah. Lo share lock aja. Nanti gue ke sana deh. Serius."
"Ok, beneran ya? Gue bakal nungguin lo. Eh, tapi nanti di sana bakal ada Dilan. Lo enggak apa apa kan?"
"Ya, enggak apa apa lah. Emang kenapa?"
"Hehe, enggak apa apa sih. Pokoknya dateng ya. Awas kalau enggak, gue bakal marah banget. Kita udah temenan kan?"
"Iya, bawel!"
"Ya udah, gue ke kelas dulu ya..." Lelaki itu pun pergi. Dan Rindu melanjutkan jalan menuju keasnya, namun sebelum itu, aku segera menghampiri dan membuatnya kembali berhenti. "Bi?" Ah, panggilan itu aku sangat suka sekali. Aku tersenyum dan berhenti di depannya tepat satu langkah.
"Mmm, ikut gue yuk, sebentar aja?"
"Ikut ke mana?" menautkan kedua alis.
"Ada sesuatu yang mau gue kasih ke lo!"
"Ngasih apaan? Gue curiga sama lo!"
Aku terkekeh."Curiga apaan?"
"Jangan jangan lo udah beneran nganggep gue anak yatim. Soalnya lo mau ngasih ngasih segala!"
"Yee, dasar lo!" Segera ku tarik pergelangan tangannya dengan lembut. Lalu membawanya ke dalam ruangan musik yang tidak jauh dari mading. "Duduk di situ!" aku menyuruhnya duduk, sementara ku raih perhiasan itu yang berada di dalam tas sekolahku.
"Ini bagus, lo suka enggak?" Dia mengerjap dan menatapku beberapa saat.
"Lo mau ngasih ini ke gue?" dia bertanya dengan bingung.
Aku mengangguk pelan.
"Serius?"
Aku mengangguk lagi.
"Bi, ini tuh bukan mainan. Ini tuh perhiasan yang enggak seharusnya lo kasih ke orang yang sama sekali enggak punya hubungan apapa sama lo kan?"
"Emang kenapa sih, gue cuma mau ngasih aja."
"Tapi dalam rangka apa?"
"Dalam rangka kalau loh itu sahabat gue. Emang enggak boleh?"
"Enggak lah! Pokoknya gue enggak mau. Untuk seukuran persahabatan, itu terkesan berlebihan tahu enggak?"
Dia hampir berdiri, namun aku tahan, sehingga ia kembali terduduk. "Bi ..."
"Diem bentar!" Ku dekatkan wajahku pada telinganya untuk melihat apakah sudah memiliki lubang telinga? ternyata sudah.
"Bi lo ngapain sih?" dia mendorongku.
"Bentar dulu, ya ampun. Gue enggak akan ngapa ngapain lo."
"Tapi kenapa deket banget sih!" ku dengar suaranya bergetar. Dan percayalah, aku lebih gemetar karena jarak yang terlalu dekat ini. Namun aku tidak peduli. Aku akan menjauh setelah memakaikan anting ini.
"Bi ...," dia membulatkan kedua mata, kala aku selesai memakaikan anting itu di sebelah telinganya. "Enggak sakitkan?" tanyaku pelan tepat di atas kepalanya.
"E-enggak. Ta-tapi..."
Tidak ku biarkan dia bicara lagi. Segera ku pakaikan lagi yang sebelahnya, membuatnya mematung bisu terlihat menggigit bibitnya."Berhasil!" Perlahan menjauh dan menatap kedua telinganya secara bergantian. "Cantik banget, sumpah!" Dia mengerjap bingung dengan perlakuanku.
"Lo--"
"Gue pergi ya!"
"Lo--"
"Jangan dilepas!"
"Eh, tapi--"
"Gue enggak terima kalau sampe hilang atau lo lepas!"
"HEH ABI!" dia berteriak. Namun aku segera pergi, setelah sebelumnya tersenyum padanya. Maaf aku memaksamu. Tapi kamu harus menerima itu. Agar aku bisa mengikatmu kelak. Semoga!