11. Bertepuk sebelah tangan.

1149 Words
Abijar POV. Aku mungkin sedang cemburu. Ini tidak pernah aku alami sebelumnya. Karena memang aku tidak pernah jatuh hati pada seorang gadis. Dan sejujurnya ini bukan salah nya Rindu. Dia pun tidak tahu seperti apa perasaanku. Alpian Bahtera adalah anak kelas sekertaris, yang baru baru ini terlihat lebih sering mendekatinya. Aku tahu benar kalau dia adalah sahabat dekatnya Dilan. Dan saat ini lelaki itu sedang duduk di kantin, bersama Rindu dan Raya. Bukankah itu tempatku? Bukankah biasanya aku di sana? apakah kali ini Pian akan mengambil tempatku juga? Tidak! aku tidak akan membiarkan itu. Dan karena itu saat ini aku membawa makanan ku ke arah meja di mana ada Rindu dan Raya, juga laki laki itu. "Eh, lo ke mana aja?" Rindu bertanya padaku. Kala ku letakan mangkuk dan gelas berisi es teh manis. "Ah, lagi mager aja." jawabku. Kemudian duduk di depan Rindu, tepatnya di sampingnya Pian. "Eh, lo Abijar anak TI kan?" Pian bertanya padaku. Aku mengangguk pelan. "Iya, lo anak SK kan? temannya si Dilan?" aku balik bertanya. "Kita udah mau tiga tahun, tapi baru kali ini ngobrol kaya gini." Raya menyahut. "Ya, karena kitakan beda kelas." ujar Rindu. "Mau tahu enggak, apa alasan kita pada ngumpul di sini?" ujar Raya. Dan kami semua menggeleng. Raya menatap Rindu dengan senyuman. "Karena ada janda cantik, yang baru aja putus dari doinya!" ledek Raya. Rindu menatap sahabatnya itu dengan kesal. "Anjirr! Gue bukan janda! enak aja, masih orisinil nih!" terdengar murka, namun nadanya manja. Ah, gadis ini membuatku semakin gila. Aku dan Pian terkekeh. "Iya, sih. Bisa jadi." Pian berkata. "Nah, kan. Benerkan? Pian aja ngakuin. Nah, si Abijar juga kayanya!" Raya menatap padaku, yang aku tanggapi dengan mengangkat kedua bahu. "Udah, deh, jangan ngaco! Gue sama Abijar tuh udah lama keles! Kita itu parthner!" Rindu berkata. "Lebih tepatnya parthner hidup!" Raya mulai berkelakar "Raya! Jangan semabarangan deh. Abijar nanti marah." Rindu berkata. "Lah, masa. Orang senyum senyum aja tuh!" Sahabatnya Rindu ini terlalu jujur. Dan terlalu peka. Aku tidak tahu wajahku seperti apa. Aku merasa berdebar dan malu. "Eh, btw. Lo tambah bening ya, sekarang!" Raya kembali berkata. "Lo pake apa sih?" lanjutnya. Rindu mengerjap dan menatap wajahnya di cermin kecil yang dia ambil dari dalam saku roknya. "Masa sih, biasa aja." dia berkata. Yang aku tahu, cewek akan malu bercermin di depan para lelaki seperti kami. Apalagi kami berdua ini, bisa dibilang cowok yang selalu di cari keberadaannya di sini. Bukan sombong, tapi kenyataannya memang seperti itu. "Iya, lo tambah cantik!" ucap Pian, dengan tatapan yang entahlah. Membuatku mendidih. Aku benci Pian menatapnya seperti itu. "Bisa aja lo!" Rindu melempar gulungan tisu pada laki laki itu. Yang ditanggapi Pian dengan mengacak gemas rambutnya. "Pian! berantakan nih! gue nyisirnya sepuluh menit loh!" Rindu terlihat merenggut. "Gue serius kali!" Pian kembali berkata. "Dan gue seneng lihatnya. Gue suka pas si Dilan terus lihatin lo! Dia pasti nyesel putus dari lo!" Aku menatap ke arah Dilan yang duduk di meja pojok bersama Meta. Iya, dia menatap Rindu meski di sampingnya Meta terlihat keki. "Eh, si Dilan kan sahabat lo! lo malah dukung Rindu. Kenapa?" Raya bertanya. "Gue mulai hari ini mau jadi sahabatnya Rindu aja." Pian menyeruput colanya. "Emang gue mau jadi sahabat lo?" ledek Rindu. Dan menatap rindu seolah ingin membunuhnya. Rindu pura pura takut, kemudian terkekeh. "Anda penghianat, berarti!" Raya terlihat pura pura memojokan Pian. Dan ditanggapi laki laki itu dengan sebuah gelakan kecil. "Bisa ae loh!" timpal Pian. "Pacaran dua tahun, kalau putus rasanya gimana sih?" tanya ku pada Rindu. Sehingga gadis itu menatap padaku dengan lekat. "Sakit atau malah senang?" tanyaku lagi. "Pertanyaan lo aneh. Ya sakit lah," Raya yang menyahut. Sedangkan Rindu hanya mengalihkan tatapannya ke arah lain, dengan memakan rotinya. "Emang lo enggak pernah punya cewek?" tanya Pian padaku. "Enggak ada," jawabku. "Wah! dusta lo! setahu gue, lo itu anak hit yang sering di gosipkan para cewek. Masa lo enggak pernah punya cewek?" Pian kembali berkata. "Ya, kan. Gimana ya? gue lebih suka sama cewek yang enggak kepincut sama gue!" Dan salah satunya adalah Rindu. Aku sering memperhatikannya secara diam diam, bahkan terang terangan. Tapi gadis itu sama sekali tidak pernah berubah sikapnya padaku. Ia cuek, juga tidak merasa canggung, seperti para gadis lainnya yang kadang terlihat malu malu. Dia tegar dan kuat. Aku seolah mulai kehilangan akal untuk mendapatkannya. "Misalnya, Rindu, gitu?" Ah, Raya ini benar benar membuatku malu saja. Lihat wajah jelitanya Rindu yang menatap tajam pada nya. "Heh! denger. Si Abijar itu lebih cocok sama ketua Cheer, atau pun anak OSIS yang paling cakep itu, siapa?" Rindu bertanya pada ku. "Maria?" Aku malah balik tanya padanya. Dan Rindu mengangguk. "Nah, itu. Mari cocok sama lo. Dia cantik, anak OSIS. Smart juga, dan tahun ini dia juara satu kontes kecantikan di sekolah kita. Masa lo enggak suka?" Aku hanya tersenyum hambar saja. Bahkan Maria sudah aku tolak, ketika minggu kemarin menyatakan perasaannya. Anak kelas sebelas itu memang cukup berani. Mungkin karena ia merasa sangat percaya diri. Dia cantik dan berprestasi. Tapi ..., mataku tetap tertuju padanya. Gadis tegar dan kuat seperti dirinya. Gadis yang bahkan tidak menganggapku seorang lelaki tampan seperti para gadis lainnya. "Eh, si Maria gue denger pernah nembak lo ya?" Pian tahu dari mana? sontak saja aku terbatuk. Dan hal itu membuat Rindu, dan Raya menatap penuh tanya padaku. "Hayo lo! beneran?" tanya Raya. Sedangkan Rindu terlihat membuka ponselnya dengan sebuah kerutan di dahi. Entah pesan dari siapa yang ia terima. "Iya," jawabku. "Di terima enggak sama lo?" Raya semakin kepo. "Dia cakep lo! Gue aja, sebagai cewek. Ngakuin kalau di cakep." tambah Raya lagi. "Nah, bener." sahut Pian. Aku malah menatap Rindu yang sedang memijat keningnya. Apakah dia sedang memikirkan sesuatu. Tapi apa? "Enggak!" jawabku, dan pada saat itu Rindu mengangkat tatapannya langsung bertemu dengan sorot mataku. "Kenapa?" dia bertanya dengan kerutan di kedua alisnya. "Ko, lo aneh. Dia jadi rebutan loh di sekolah kita. Bahkan gue kenal sama yang namanya Ikrar. Dia anak kelas sebelas, dia ketua OSIS. Dia naksir berat loh sama Maria. Nah, lo yang ditembak malah nolak." Aku terdiam beberapa saat, dan masih menatap gadis itu. "Apa lo seneng kalau gue jadian sama dia?" tanyaku. Rindu mengerjap, dan terkekeh. "Apaan, kenapa gue harus seneng? aneh lo!" Dia mengalihkan tatapannya ke arah di mana Dilan pun menatap padanya. Sialnya, mereka terdiam di satu titik untuk beberapa saat. Membuatku berdiri, dan pergi dengan kesal. "Eh, lo mau ke mana?" Pian bertanya. Terus terang aku kesal pada diriku yang enggak bisa mengontrol perasaanku. Sementara dirinya sama sekali tidak tahu dan memang masih saja belum move on dari sang mantan. "Gue cabut!" sahutku. Ku lirik lagi Rindu, dia sepertinya biasa biasa saja. Ah, apalagi yang harus aku lakukan! Aku tidak mungkin tiba tiba menyatakan perasaanku padanya. Sementara dia bahkan sama sekali tidak memikirkanku. Lucu nya perasaan. Awalnya merasa simpati padanya, dan aku berniat membahagiakannya. Tapi malah mengiring diriku menjadi seorang lelaki yang mencinta. Lalu bertepuk sebelah tangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD