bc

Lets Break Up!

book_age4+
1.5K
FOLLOW
11.9K
READ
love-triangle
possessive
second chance
arrogant
CEO
sweet
bxg
highschool
first love
school
like
intro-logo
Blurb

Rindu selalu memperhatikan Dilan. Selalu mengutamakan Dilan. Ia bahkan rela mengeluarkan uang tabungannya demi kepentingan Dilan. Rindu pikir hal itu akan membuat Dilan semakin sayang padanya. Namun malah berbeda kenyataannya. Dilan berkata kalau ia jenuh dan merasa terkekang oleh Rindu. Dilan juga lebih sering berkumpul dengan teman temannya karena ingin suasana baru.

Di pikir pikir, Rindu merasa bertepuk sebelah tangan dan diabaikan. Dilan yang menyatakan perasaan dan mengejar ngejar dirinya. Dan Dilan juga yang akhirnya jenuh lalu mengabaikan dirinya. Tidak ada lagi yang bisa Rindu lakukan.

Rindu : Dilan, mending kita putus aja.

Awalnya Dilan menerima itu, namun tiba tiba merasa kehilangan ketika ada seorang Abijar di sisi Rindu.

Dilan : Maafkan aku, dan kembalilah padaku.

Apakah Rindu akan kembali padanya? Atau gadis itu malah menolak dan menerima cinta baru? Karena ternyata ada dua lelaki lain yang juga mengejar gadis itu.

chap-preview
Free preview
1. Mending Kita Putus.
"Kamu lagi datang bulan? sakit enggak? udah minum obat? mau aku beliin enggak?" Tanyaku pada Rindu, perempuan yang sudah menjadi pacarku selama dua tahun, sejak kami MOS. Dia menggeleng pelan. "Enggak, enggak usah. Aku masih kuat ko," kemudian ia pergi begitu saja. Membuatku teringat ketika dulu dia datang bulan. Dia dulu sangat manja dan selalu mengeluh kalau perutnya sakit. "Lan, tolongin aku. Perutku sakit. Aku butuh obat." "Kamu itu udah berumur 17 tahun. Masa sakit datang bulan aja manja banget. Beli aja sendiri obat di kantin. Aku lagi nanggung main game." kataku, kala itu menolaknya kasar. Kemudian aku meninggalkannya di UKS begitu saja. Dan sekarang dia tidak pernah mengeluh lagi kalau sedang datang bulan, meski aku bisa melihat wajahnya yang pucat. Aku tidak tahu apakah dia marah padaku. "Rindu!" aku mengejarnya, dan dia hanya melirik sekilas dengan sebuah ringisan. "Kamu beneran enggak apa apa?" tanyaku lagi. Dia hanya menggeleng, dan diam. "Bu ada obat pereda nyeri enggak?" dia membeli obat di kantin. Obat pereda nyeri saat datang bulan. "Ada, sebentar." Aku melihat Rindu berjongkok dengan mengusap kedua matanya. Apakah datang bulan memang sesakit itu? "Ini, Nak Rin. Datang bulannya masik sakit aja?" tanya Bu tukang warung. Aku melihat Rindu hanya mengangguk dengan sebuah senyuman yang dipaksakan. "Sedikit, Bu." dia terlihat merokoh saku roknya untuk mengambil uang. Namun aku menahannya. "Biar aku yang bayar!" Namun lagi, sebuah penolakan yang aku dapatkan. Rindu menggeleng dan menepiskan uangku dengan lembut. "Aku ada ko, uang kamu simpan aja!" aku terpaku, dan hanya bisa menatapnya dengan kosong. "Aku mau pinjem uang lima ribu aja, boleh enggak? uangku ketinggalan." "Maaf, uangku udah habis jajan sama Meta, tadi." Dulu aku memang pernah menolaknya memijamkan uang. Dan karena memang uangku habis aku pakai untuk mentraktir Meta, sahabatku. Karena di sedang berulang tahun. Namun aku tidak tahu kalau ternyata hal itu bisa membuat Rindu menjadi berubah seperti ini. "Rindu!" aku duduk di kursi kantin. Dia hanya menoleh sekilas lalu menelan obat pereda nyeri itu, kemudian di timpa dengan air. "Mau pulang? aku antar pulang ya? dari pada kamu sakit begini." "Enggak usah, aku bisa pulang sendiri ko. Jangan repot repot." "Aku enggak repot, ko. Kamu kan pacar aku." Dia hanya menatapku beberapa saat, kemudian mulai makan rotinya. Setiap istirahat, yang dia makan memang hanya roti dan s**u kotak. Entahlah kenapa ia tidak tertarik makan bakso seperti Meta, dan teman temanku yang lainnya. "Malam minggu mau jalan ke mana?" tanyaku lagi, mengingat hari ini adalah hari sabtu. Aku ingin mengajaknya jalan, karena memang sudah lama sekali aku hanya sering main dengan Meta dan teman temanku yang lainnya. "Aku mau dirumah aja." jawabnya singkat. "Jadi aku ke rumah nih?" "Enggak perlu. Aku sedang ngerjain banyak orderan. Mending kamu maen aja sama Meta dan teman teman kamu yang lain." Aku menganga. Kenapa setiap penolakan yang ia katakan terasa sesak di d**a. "Oh, emang ada orderan apa?" tanyaku padanya. Dia hampir menjawab pertanyaanku ketika Abijar datang, dia adalah anak kelas TI. Dia memberikan kertas HVS pada Rindu. "Gimana? suka kan?" tanya Abijar dengan sebuah senyuman, lalu nular ke Rindu. Gadis itu terlihat semringah dengan sebuah helaan napas lega. "Ko lo hebat banget, sih? gimana ngelakuinnya?" tanya Rindu, terlihat begitu membanggakan nya. Abijar mengusap kepalanya sendiri, berperilaku seperti model."Enggak tahu gue aja. Mana ada cewek yang mau nolak cowok seganteng gue!" ujarnya. Aku terdiam melihat keakraban mereka. Sejak kapan Rindu bisa seakrab itu dengan Abijar. Lelaki paling hit di kelas TI (Tekhnologi Informatika). Dan jujur saja aku tidak suka melihat keakraban ini. "Ceileh bisa aja!" Rindu mendorong keningnya Abijar bebas tanpa beban. Seolah kehadiranku tidak ada arti baginya. "Jadi mau nambah lagi enggak? gue sih, siap siap aja bantu lo." ucap Abijar. "Gue harus order ke atasan dulu dong. Kebetulan stock nya emang udah habis." "Sip, nanti tinggal hubungi gue aja ya, kalau nanti mau jualan lagi." "Pasti, pasti. Lo model gue yang paling hebat." Dan Abijar pun pergi meninggalkan kami berdua. "Dia barusan ngapain?" tanyaku. Rindu menoleh. "Oh, dia jualin kosmetik punyaku." jawabnya singkat. "Kamu jualan kosmetik?" tanyaku. Dia hanya mengangguk. Kemudian tenggelam pada kertas HVS, dengan sesekali tersenyum semringah. "Kamu mau aku bantuin jualan enggak?" tanyaku. Jujur saja keterdiamannya ini membuatku merasa asing akan sosoknya saat ini. "Enggak usah." jawabnya singkat. Dan aku mulai tidak suka dengan segala penolakannya. "Kenapa?" "Ya, karena enggak penting." "Enggak penting?" "Iya." Dan hanya itu. Sekali lagi dia mengabaikan diriku. Oh, entah kenapa kepalaku mulai terasa panas dan berasap, sepertinya. "Tapi Abijar jaualan buat kamu loh. Kenapa aku enggak boleh?" "Karena aku enggak mau ngerepotin orang lain." "Orang lain? maksudnya?" Dia terlihat menghela napas. "Iya, aku enggak mau ngerepotin kamu. Dari pada jualan barang barang aku. Kan mendingan kamu jalan dan pergi sama Meta." "Kamu nyindir aku?" Dia tersenyum, tenang sekali. Padahal aku sudah mulai kehilangan kesabaranku. "Enggak. Aku memang tahu diri siapakah aku buat kamu. Aku bukan siapa siapa kan? Aku enggak pantes ngerepotin kamu." "Ko, gitu ngomongnya? kamu marah sama aku? kamu enggak suka aku jalan sama temen aku sendiri?" Dia lagi lagi menggeleng dengan sebuah senyuman aneh. Yang baru kali pertama aku melihatnya. "Aku ..., aku ngerasa memang diriku tidaklah lebih penting dari semua teman temanmu. Dan aku tahu diri. Dan aku mulai sadar, kalau kamu itu benar. Aku hanya lah seorang Rindu, yang bertemu kamu sejak kita sekolah di SMK ini. Sedangkan Meta dan semua teman kamu. Sudah bersahabat selama sepuluh tahun. Kau benar. Dan aku yang salah." Aku tidak tahu kenapa hatiku semakin sakit mendengarnya. Rindu mulai menjauhiku. Apakah selama ini aku memang telah banyak melakukan kesalahan? "Rindu ...," "Aku sayang sama kamu. Aku mau kamu bahagia. Jadi mulai hari ini dan seterusnya, aku enggak mau lagi nyusahin kamu." "Tapi aku enggak bermaksud. Aku hanya--" "Persahabatan lebih penting dari pada sekadar cinta monyet. Dan kamu sudah benar. Aku minta maaf, karena selama ini udah bikin kamu ngerasa gak nyaman." Entah kenapa semua kalimat yang ia ucapkan terasa begitu menusuk hatiku. Sakit sekali mendengarnya. "Maksud kamu apa?" "Mending kita putus aja!" A-apa! Aku terpaku. Otaku seolah buntu. "Kenapa? apa kamu udah punya yang lain, selain aku. Apa kamu udah enggak cinta lagi sama aku?" Lagi, lagi dia tersenyum. "Bukan. Tapi karena aku enggak layak buat kamu!"

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
287.0K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.8K
bc

DENTA

read
18.1K
bc

Head Over Heels

read
16.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
202.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
219.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook