14. Pertemuan dengan Bintang dan Ardhy

1613 Words
Satu jam lebih, Adhitya duduk di salah satu cafe di dekat lapas. Masih belum memiliki keberanian untuk masuk, Adhitya menghabiskan waktu dengan beberapa cangkir latte di atas meja. Sesekali ponsel-nya berdering. Entah itu nada khawatir Seo Jin dan Yuki, atau interogasi menyebalkan Elsa, sang tunangan. "Hari ini aja? Atau besok?" Lantas, Adhitya keluar dari cafe dan mencari sebuah market di tepi jalan. Dia perlu cemilan untuk mengulur waktu dan mengisi lambungnya. Takdir bermain peran lagi. Menit berikutnya, Bintang masuk ke dalam market itu. Sebenarnya jarak rumah sakit dan market tidak terlalu jauh. Langkah membawa Bintang ke sana agar takdir mempertemukannya dengan Adhitya. "Kayaknya aku perlu beli peralatan mandi Luna, deh." Ronanya begitu bahagia. Dengan keranjang merah itu, dia memilih barang-barang perawatan wanita. Sabun cair dan sponge bath yang lembut. Masih ada juga shampoo, parfum, sikat gigi, dan handuk pada rak sudut. Masih ada juga makanan lain untuk kebutuhan sehari-hari. Bertahun-tahun bekerja, Bintang mulai menabung untuk masa depan Luna. Berpikir bahwa akan ada kesempatan yang diberi takdir untuk mereka bersama. "Kalau dalemannya?" Bintang menggaruk dahi, malu. Selama ini, suster itu yang mengurus keperluan terkait hal intim Luna. Dia hanya memberi uang dan para suster itu membelanjakannya. Saat Ardhy di penjara, Bintang berpikir Luna adalah tanggung jawabnya selanjutnya. Teringat dia akan Adira. Pria setengah botak itu telah memintanya mengabari jika Luna telah sadar. Dia yang ingin mengambil kembali kebahagiaan yang terenggut dari putranya. 'Nggak, sebaiknya aku jangan bilang dulu ke Om Dira. Mungkin kalau Luna tau aku yang jagain dia selama ini, masih ada kemungkinan dia tertarik padaku,' gumam Bintang, dalam hati. Hanya keinginan semata, Tuhanlah perancang takdir. Di sudut sana, Adhitya terkejut mendapati Bintang, salah seorang sahabatnya yang juga ikut putus komunikasi. Ingin rasanya dia kembali ke masa grasak-grusuk seperti dulu. Dibandingkan dirinya yang sedikit nakal, Bintang lebih pendiam. Hubungan keduanya juga sempat dingin karena tertarik pada gadis yang sama. "My Bro!" Keranjang yang dipegang Bintang itu jatuh ke lantai saat menatap Adhitya berjalan tepat ke arahnya. Baru saja dia berpikir merancang masa depan manis dengan Luna. Adhitya, pemilik sah wanita itu telah kembali seakan ingin mengakuisisi Luna kembali. "Lama nggak ketemu, Bro! Apa kabar?" Adhitya masih menatap enteng. Hanya tersenyum karena berpikir Bintang pasti shock bertemu dengannya tanpa rencana. Pria itu pun setengah jongkok, mengutip barang-barang belanjaan Bintang. "Pasti lo udah denger soal kecelakaan itu. Sorry juga karena nggak bisa komunikasi sama kalian," kata Adhitya. Pria itu menyerahkan keranjang itu pada Bintang. Masih bungkam. Tawa kecil dan manis Adhitya membuat Bintang berpikir bahwa pasti ada hal tersembunyi yang tak diketahui teman lamanya itu. "Ada waktu, nggak? Ayo ngobrol sebentar! Gue traktir makan," ajak Adhitya. Sejak tadi Bintang hanya mengangguk atau menggeleng saat ditanya Adhitya. Mereka pergi ke kasir, membiarkan petugas itu menghitung total belanjaan keduanya bersamaan. "Biar gue aja yang traktir, Bin. Oke?" Lagi, Bintang hanya mengangguk. Adhitya tertawa kecil sambil menyerahkan dua lembar seratus ribu pada sang kasir. "Lo dari tadi ngangguk-geleng doang. Nggak takut itu leher lo kecenglik, ya? Ngomong, kek," kekeh Adhitya. Empat tahun dilalui Bintang dengan harapan penuh akan kebersamaan dengan Luna. Dan sekarang Adhitya kembali, apa yang harus dia lakukan? Cafe tadi menjadi tempat perbincangan keduanya. Belum bicara, segelas teh hangat dan cappucino terhidang di atas meja. Adhitya tersenyum sambil melirik barang belanjaan Bintang tadi. "Itu barang-barang buat siapa? Cewek lo, ya? Atau Lo udah merit?" tanya Adhitya. Bintang mulai tersenyum simpul. Setidaknya dia bersyukur Adhitya sudah lebih baik dan selamat dari kematiannya dulu. Dia hanya ingin melihat sejauh mana takdir membawa pembicaraan mereka. "Gue ke sini mau ketemu Ardhy, Bin. Lo pernah jenguk dia di penjara juga, kan?" tanya Adhitya. "Ya. Dua minggu yang lalu." "Luna itu, apa seorang bidadari? Atau dewi bulan? Apa kecantikannya itu overload sampai bisa bikin kakak kandungnya jatuh cinta sama dia?" Bintang terkejut mendengar urai kata Adhitya. Bintang tak tahu akan perasaan Ardhy, berpikir Ardhy hanya tak menyukai jodoh adiknya itu dan gelap mata dalam keadaan mabuk. "Apa maksud lo, Dhit?" "Ya gitu. Gue juga baru tau kalau ternyata, Ardhy berusaha bunuh gue karena dia cinta sama Luna. Di CCTV hari itu jelas terlihat gimana menderitanya Luna saat Ardhy berusaha memperkosanya," tutur Adhitya, memaksa tegar untuk bercerita padahal tangannya gemetar dan dia sembunyikan di bawah meja. Bintang tak berucap. Pantas saja tanggapan Luna begitu dingin saat dia membicarakan tentang Ardhy. Ada rahasia masa lalu yang tak dia ketahui. "Gue harus gimana sekarang? Luna udah nggak ada. Gue juga nggak bisa maafin Ardhy gitu aja. Gue cuma pengen tau di mana makam Luna." Bintang terkejut saat Adhitya mengatakan hal itu. Makam? Sepertinya Adira menyembunyikan banyak hal darinya. Jelas Adhitya mengatakan bahwa Luna telah meninggal dan dia mencari makam sang istri. "Gue cuma pengen minta maaf sama Luna. Maaf karena gue nggak ada saat dia ketakutan dan butuh gue. Harusnya hari itu gue lebih kuat. Harusnya" Kesedihan Adhitya bukanlah palsu. Bintang menatap miris takdir keduanya. Haruskah dia ikut campur dan membahagiakan mereka? Atau ikhlas dan rela menyingkir? Menit berlalu, beriring gerimis di luar yang mulai jatuh. Secangkir kopi dan teh itu sudah tandas. Keheningan Bintang hanya dijawab senyum Adhitya. "Lo senggang, nggak? Temenin gue ke lapas, ya! Jenguk Ardhy. Gue butuh temen. Ya?" bujuk Adhitya. Permintaan harap Adhitya akhirnya disetujui Bintang. Dia pun menemani Adhitya ke lapas untuk menemui Ardhy. Sepanjang itu, hatinya berdetak hebat. Baru saja dia ingin bersama Luna. Akan tetapi kesedihan mereka menusuk perasaannya. 'Tak bisakah Luna jadi milikku, Tuhan?' batinnya. Hanya berselang sepuluh menit, Adhitya dan Bintang tiba di depan lapas. Terhenti sebentar, Bintang menarik tangan Adhitya untuk meyakinkan kembali bahwa dia sudah siap bertemu Ardhy. “Lo yakin, Dhit? Lo bisa?” Adhitya mengangguk optimis. Setelah bicara dengan penjaga lapas, mereka akhirnya diizinkan bertemu dengan sang narapidana. Adhitya enggan meminta bertemu di dalam ruangan, takut masih menyimpan rasa takut akan sinar mata Ardhy. Dia meminta dibimbing masuk ke dalam lorong penjara dan bertemu langsung dengan sang kakak ipar berbatas jeruji dingin itu. Opsir itu mengetuk jeruji dengan pentungan, mengundang perhatian Ardhy yang masih berbaring di sudut ruangan sempit itu. Hanya ada dua penghuni di tiap selnya. “Ardhy! Ada yang ingin menemui kamu! Cepat!” seru sang opsir. Ardhy beranjak bangkit, seiring dengan Adhitya yang melangkah mundur setapak karena harus menatap bias wajah itu lagi. Ardhy, kenangan terburuk dari ingatan Adhitya. Karena hasrat terlarang Ardhy, Adhitya kehilangan sang istri yang paling dia cintai. “Dhit,” panggil Bintang sambil memegang bahu Adhitya ketika temannya itu sempat tenggelam dalam lamunan rasa takutnya. Garis senyum sinis terukir di bibir Ardhy, pria yang tahun ini menginjak usianya yang ke-38 tahun. Pandangan tajamnya tertuju pada Adhitya. Adhitya sesekali mengalihkan pandangannya ke arah lain, takut melakukan kontak mata dengan Ardhy. “Masih idup lo, Adik ipar?!” sinis Ardhy. Bintang hanya memperhatikan ekspresi Adhitya saat ini. Mungkin karena Adhitya berpikir Ardhy adalah penyebab dia kehilangan semuanya, hidupnya nyaris tak stabil. Rasa takut mencengkram dirinya. Trauma. Susah payah dia buka suara untuk menyambut binar keangkuhan Ardhy. “Alhamdulillah. Gue masih bernapas sampai detik ini. Gue datang untuk mastiin kalau lo akan mendekam lebih lama di sini!” kecam Adhitya sambil mengeratkan jemarinya hingga bukunya memutih. Bintang tak menimpali apa pun, merasa kasihan pada Adhitya yang memaksa tegar meski terlihat takut. Sudah dia dengar dari Adira bahwa tahun ini Ardhy akan dibebaskan. Saat bertemu di luar nanti dan Adhitya merasa waktu itu kurang cukup untuk mengadili Ardhy, Adhitya akan lebih frustasi. Bahkan bertemu berbatas jeruji saja, dia sampai berkeringat dingin. “Kamu bicara apa? Masa tahananku akan berakhir dalam dua bulan lagi, Adhitya!” Selangkah lagi Adhitya mundur, berbalik untuk menstabilkan mentalnya. Sejak tadi suara-suara dingin Ardhy membuatnya takut, tapi berusaha dia tahan. Sempat dia menoleh pada Bintang, lalu berkata, “Kita pulang sekarang, Bin.” Hendak beranjak, Adhitya teringat tujuan penting mendatangi Ardhy, yaitu mencari makam Luna. Kembali dia berbalik, menatap sikap pongah Ardhy meski telah berada di jeruji besi. “Jadi, di mana makam Luna?” Pertanyaan Adhitya itu membuat Ardhy terkejut. Pria separuh baya itu justru mengalihkan pandangan pada Bintang yang menunduk, menghindari tatapannya. “Setelah lo bunuh Luna, apa nggak bisa gue tau di mana makamnya sekarang?!” pekik Adhitya, lagi. Bukan mendapatkan jawaban, Ardhy justru tertawa saat mengetahui kejanggalan dari sikap Bintang. Dia menyadari ada yang disembunyikan dari adik iparnya itu. Pun sepertinya, Bintang turut andil dalam hal ini. “Kenapa tanya gue? Tanya aja sama sahabat lo itu. Benar, kan, Bintang?” tukas Ardhy. Ardhy sepertinya lebih menginginkan tidur lagi di cuaca dingin ini. Ditinggalkannya saja percakapan itu dan membiarkan dua sahabat itu saling menaruh curiga. Adhitya menatap Bintang, serius. Padahal sebelumnya Bintang bungkam saat dia cerita tentang makam Luna. “Apa maksudnya, Bin? Kenapa dia bilang gue harus tanya lo? Apa lo tau di mana makam Luna? Kenapa lo nggak ngasih tau gue?” Bintang tak menjawab. Langkah sigap diambilnya untuk menghindari pembicaraan lebih lanjut itu. Merasa belum siap kehilangan Luna. Adhitya segera berlari, menyusulnya. Keduanya pun berhenti tepat tak jauh dari pintu masuk kantor polisi itu. “Bin! Lo tau di mana makam Luna dan lo nggak bilang apa-apa?!” Adhitya meninggikan suaranya, marah. “Kalau lo tau, harusnya lo bicara! Jadi gue nggak perlu harus datengin si b******n itu dan-“ Belum ada kata yang terurai dari bibir tipis Bintang. Membiarkan detik terbuang agar Adhitya lebih menstabilkan kondisinya saat ini. Hanya melihatnya saja, Bintang bisa menyimpulkan bahwa sahabatnya ini menderita PTSD (Post Traumatic Syndrom Disorder), vonis trauma akan kejadian mengerikan yang dia hadapi hingga tiap pikirannya selalu diintai kenangan buruk yang seakan-akan membawanya pada ingatan itu. “Lo trauma sama Ardhy?” tanya Bintang. Adhitya tak menjawab, bungkam. “Setelah beberapa tahun ini, lo belum sembuh? Gimana kalau sampai gue bawa lo ketemu Luna dan hidup lo bisa lebih hancur dari ini? Lo sanggup?!” bentak Bintang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD