Jerit Luna membuat Adhitya gemetar. Akhirnya Adhitya mengetahui alasan perbuatan bengis Ardhy. Bukan karena tak direstui sebab dia pria asing dalam hidup Luna, tetapi cinta terlarang Ardhy menjadi akar kecemburuan. Tangannya gemetar, menyaksikan Luna meronta ketika disentuh dan dicium Ardhy begitu posesif dan rakus. Hingga akhirnya sang istri jatuh ke kolam dan tenggelam di dasar.
"Luna."
Adhitya menjatuhkan kepalanya ke atas meja, terasa berdenyut dan cengkeramannya takkan menghilangkan rasa sakit itu begitu mudah. Mengingat dan membayangkannya saja membuat Adhitya merasa mual sebab asam lambung yang terpancing akibat tingkat stress.
Suara jerit Luna mengiringi langkah sempoyongan Adhitya menuju toilet di sudut. Kran dihidupkan hingga suaranya mengisi hening saat pria itu memuntahkan makan siangnya tadi. Rasa sakit yang memicu stress, menggambarkan bayangan mengerikan malam pengantin itu di depan cermin.
Bruk!
Adhitya jatuh ke lantai dan hilang kesadaran. Empat tahun bertahan untuk mengubur masa lalu, kenangan itu membuatnya jatuh sekali lagi.
Jauh di sana, di rumah sakit Bogor, Bintang baru saja kembali setelah selesai sift di cafe. Suara monitor jantung itu masih menjadi irama yang dia dengar tiap detiknya. Asal Luna tetap terjaga dan jantung itu berdetak, Bintang sangat bersyukur. Tiap hari juga selalu mengawasi oximeter di sana.
"Lun, aku tadi jenguk Kak Ardhy di penjara."
Bintang menarik kursi untuk duduk di samping kasur Luna, digenggamnya erat tangan hangat kekasih hatinya itu.
"Dia bilang kangen sama kamu. Aku nggak tau apa kamu masih marah karena perbuatannya. Tapi, mungkin dia akan bebas tahun ini."
Bintang terlihat sangat sedih, mengangkat jemarinya untuk mengusap rambut legam itu.
'Empat tahun terakhir, aku nggak pernah menyinggung sedikit pun tentang Dhitya. Apa kamu nggak bangun karena mengira dia udah meninggal?' batinnya.
Bintang menunduk sesaat, menghela napas berat sambil menggenggam jemari itu di dekat pipinya. Sesekali dikecupnya pelan. Akhirnya, dia memutuskan untuk menyinggung suami Luna yang mungkin saja akan membangkitkan Luna dari koma panjangnya.
"Adhitya masih hidup, Lun. Apa bisa kamu bangun untuk nemuin dia?"
Adhitya, itu nama yang dirindukan Luna. Tak lama, derik bunyi dari grafis jantung Luna membuat Bintang terkejut. Detak jantungnya lebih cepat dari sebelumnya.
"Luna?"
Saat hendak pergi, ditatapnya jemari Luna yang mulai bergerak. Luna siap menyambut kembali dunia yang ditinggalkannya. Bintang menekan bel suster berulang kali. Tak sabar, lalu keluar untuk menggiring dokter masuk agar memeriksanya kembali.
"Tolong bangun, Lun," lirihnya, menaruh harapan pada tangan dingin pada petugas medis untuk menyembuhkan.
Setengah jam berlalu, Bintang dipanggil masuk ke ruangan itu. Masih terhubung pada ventilator, pelan-pelan Luna bernapas lebih bebas. Bintang memangkas jaraknya dengan kasur, langkahnya gugup. Perlahan, kelopak mata itu terbuka. Bias senyum dan air mata Bintang menjadi yang pertama dilihat Luna.
"Alhamdulillah. Makasih sudah kembali, Luna."
Saat Adhitya dihantam kenyataan mengerikan terkait perasaan Ardhy, Luna kembali menyambut hari baru. Luna memilih tidur lelap untuk menghindari mimpi buruk, tak tahu bagaimana jatuh bangun Adhitya yang berusaha melawan ingatan mengerikan silam. Akankah mereka ditakdirkan bertemu kembali?
*
Senja akhirnya terlewati. Adhitya berbaring di kamarnya. Setelah Seo Jin menemukan atasannya itu pingsan di toilet, dia membawa Adhitya pulang untuk mendapatkan perawatan. Tentu peralatan medis juga berada di sisi kasurnya. Ini kantong kedua cairan infus yang habis.
Seo Jin dan Yuki berada di ruangan itu, menanti semalaman Adhitya tak kunjung sadar. Adira ada meeting penting di Jeju, tak mengabarinya kondisi putranya ini menjadi pilihan keduanya.
Adhitya mengalami goncangan lagi. Yuki menyadari itu. Jika hanya sakit biasa, pria itu tak mungkin lama terlena dalam tidurnya. Sesekali Yuki beranjak memeriksa tekanan infusnya, atau mengusap telapak tangannya yang dingin. Adhitya belum terjaga sejak kemarin.
"Kenapa dia masih belum bangun juga, Noona?" tanya Seo Jin tanpa mengedarkan pandangannya pada Yuki, hanya serius menatap wajah pucat Adhitya.
Yuki menarik napas dalam dan membuangnya perlahan. Sudah sejak lama terakhir kali Adhitya kembali terguncang, tak tahu hal apa yang membangkitkan sisi trauma dari alam bawah sadarnya. Dipandangnya jendela kaca, menikmati daun maple yang berguguran jatuh mengurai keindahan musim gugur ini.
Musim ini, tepatnya empat tahun yang lalu, Adira membawa Adhitya ke Jepang untuk menyembuhkan luka dan mentalnya. Osaka menjadi pilihan mereka untuk menetap.
Yuki merasa sangat kasihan pada adik sepupunya ini. Disentuhnya perlahan kepala Adhitya, mengisi sela-sela jemarinya dengan helai rambut legam itu.
"Aku juga nggak tau pasti. Tapi sebelum kamu tinggalkan dia sendiri, apa terjadi sesuatu?" tanya Yuki.
"Nggak ada, Noona. Dia keliatan senang mau pulang ke Jakarta. Dia ngerjain laporan di komputer, lalu kutinggal pergi."
Luka Adhitya kembali menganga lebar. Video itu membangkitkan luka yang susah payah disembuhkan Yuki dan Adira. Entah terluka karena kematian Luna -sepengetahuan Adhitya, atau kejadian mengerikan di malam itu.
Yuki mengajak Seo Jin ke dapur untuk menyajikan sarapan. Seo Jin pasti hanya sibuk mengurusi Adhitya sesuai tugas yang diembannya. Menikmati santapan pagi, keduanya bercengkrama sangat akrab.
Sementara di kamarnya, mimpi buruk mengusik Adhitya. Dahinya berkerut dengan pelipis yang mulai dibanjiri keringat. Mimpi buruk itu lagi. Tatapan bengis dan marah Ardhy, membuat tubuh Adhitya sesekali tersentak membayangkan hantaman keras dan tusukan benda tajam itu.
Saat itu dia masih sangat muda, lalu mendapatkan perlakuan mengerikan. Bayang wajah Luna malam itu menarik Adhitya dari mimpinya.
"Luna!"
Adhitya bangkit dengan wajah pucat pasi, dengan d**a naik turun menghirup oksigen dan melepas kasar karbon dioksida. Disekanya keringat yang membanjiri, juga air mata yang tanpa sadar menetes. Dinding sudut menjadi tempat sandarannya untuk duduk. Adhitya menekuk lututnya, mengusap wajahnya dengan rasa takut dan rindu. Meletakkan dagu pada tumpuan lututnya.
"Nggak bisa, Lun. Aku nggak bisa lagi nggak ada kamu," lirihnya.
Tak peduli dengan jarum infus yang bergeser, rasa perih itu tak mampu mencegahnya mengobrak-abrik laci di sisi kasurnya. Terburu-buru hingga dia menemukan tabung obat berwarna putih. Dikeluarkan dua butir pil dari botol itu dan ditenggaknya dengan segelas air. Pil anti depresi. Dia hanya mengkonsumsi sewaktu-waktu ketika mendapatkan tekanan terkait masa lalunya. Beberapa tahun ini belum cukup baginya untuk mengubur kenangan pahit.
"Luna."
Entah berapa kali dirapalnya nama itu, lalu bersandar di dinding dengan tiang infus yang jatuh ke lantai. Dia sangat merindukan istrinya itu.
Tak lama, Seo Jin dan Yuki masuk ke kamar Adhitya. Terkejut melihat Adhitya sudah sadar, mereka membimbing Adhitya kembali berbaring di kasur.
"Istirahat aja dulu. Aku udah batalin tiket keberangkatan kamu, Dhit," pinta Seo Jin, prihatin.
Perlahan, Adhitya kembali membingkai senyum. Ditatapnya raut prihatin Yuki, juga mimik cemas sahabatnya. Sangat optimis, Adhitya selalu menguatkan hatinya.
"Gue nggak bisa sembuh karena memang ada yang belum gue selesaikan. Masih ada yang tertinggal dan gue nggak boleh berlari lagi," tutur Adhitya.
Adhitya meminta Yuki untuk melepas jarum infusnya. Baru dirasanya perih saat darah mengucur dari sana sebab tergeser. Adhitya tak ingin sembunyi lagi dalam perlindungan sang ayah. Dia harus keluar dan menghadapi mimpi buruk itu.
"Gue harus pulang, Jin."
Tak ada yang bisa mencegah Adhitya. Hanya beristirahat beberapa jam lagi, Adhitya berangkat ke bandara dengan persiapan hatinya untuk kembali ke Jakarta. Tempat dia menciptakan mimpi indah untuk Luna, dan dalam sekejap, Ardhy mengubahnya menjadi mimpi buruk.
*
"Bintang?"
Bintang menangis haru saat itu kata pertama yang diucapkan Luna saat dia sadar. Para dokter membimbing wanita itu kembali stabil sepenuhnya. Bias bahagia Bintang mengisi hening perasaan Luna yang mulai sirna dan berganti akan ingatan-ingatan terakhir yang disimpan.
Perlahan, air matanya jatuh dan menyadari tak ada siapa pun bersama Bintang. Di mana Ardhy? Lalu bagaimana keadaan Adhitya?
"Dhitya?" tanyanya pelan, lalu membalas genggaman Bintang.
Tak tahu haruskah menyampaikan berita tentang Adhitya, tapi penting baginya menyampaikan kabar Ardhy. Luna membalikkan wajahnya dari Bintang saat Bintang mengatakan kakaknya Luna itu berada di penjara.
"Tapi mungkin dia bebas sebentar lagi, Lun. Hukumannya lebih ringan karena dia dalam keadaan mabuk."
Luna menangis dalam diam. Sakit. Perlakuan b***t sang kakak juga menjadi momok yang akan menghantui. Dia pun tak ingin menanyakan Adhitya karena takut mimpi buruk itu adalah nyata. Apakah Adhitya masih hidup? Itulah yang bersarang di kepalanya.
Dokter itu meminta Bintang keluar untuk memeriksa lanjutan keadaan Luna. Dalam diamnya, wanita itu terus memanggil nama suaminya.
"Dhitya."
Bintang tertegun, hanya melangkah mundur dan menyadari bahwa ini adalah akhir kesabaran empat tahunnya. Kehilangan Luna.
*
Sudah sehari berlalu sejak tiba di Jakarta, Adhitya belum berani keluar dari apartemen milik ayahnya itu. Dunia luar terasa menakutkan. Itu adalah dunia nyata yang harus dia hadapi.
Ditatapnya secarik kertas di atas meja. LP Kuala, Jalan Anggrek Hitam IV, Bogor. Itu adalah lapas di mana empat tahun Ardhy menghabiskan waktu di balik jeruji. Selain mencari makam Luna, Ardhy adalah salah satu dari list wacana dalam agendanya.
"Tapi kalau nggak nemuin dia, aku nggak akan tau di mana makam Luna," keluhnya.
Memberanikan diri, Adhitya pun beranjak. Dirapikannya kembali tampilannya di depan cermin. Sangat berbeda dari kesan urakannya dulu, kini dia tampak necis walau hanya memakai kemeja biru muda. Empat tahun sudah, mungkin tak banyak yang tahu kejadian mengerikan itu.
"Aku juga harus cari temen-temen. Kali aja mereka tau makam Luna. Ah, apa mereka tau, ya, apa yang terjadi sebenarnya?"
Bahkan jika diberondong pertanyaan dengan nada interogasi oleh orang yang dikenalnya nanti, Adhitya tak bisa menjawab. Semua begitu cepat berlalu di bawah kendali Adira, sang ayah yang dengan sigap menyelamatkan hidupnya ini.
Adhitya keluar dari apartemen, melaju cepat dengan mobil hitam itu menuju Bogor. Berniat mengunjungi Ardhy di penjara, dia tak tahu bahwa beberapa tahun ini, Adira mengasingkan Luna dirawat di rumah sakit Bogor. Takdir semakin dekat.