“Kita antarkan Farrel terlebih dahulu, setelah itu baru saya antarkan kamu pulang,” sahut Aksa memecah kesunyian di antara mereka.
Zeline cuma menggangguk saja sebagai jawaban. Dia sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi.
“Sebelum di sini, kamu kerja di mana?” tanya Aksa kepada Zeline.
“Saya pengangguran, Pak,” ucap Zeline sambil menundukkan kepalanya.
“Lihat saya, kalau lagi bicara. Jangan biasakan menunduk seperti itu,” sahut Aksa.
Zeline mengangkat kepalanya dan menatap kepada Aksa. Aksa bisa menangkap kilatan air mata pada mata Zeline.
“Kamu kok menunduk terus, Zel. Apa seberat itu masalahnya, sampai sampai untuk menegakkan kepala saja sudah sangat sulit,” ujar Aksa lagi.
“Tidak apa apa, Pak,” ujar Zeline pelan bahkan hampir tidak terdengar.
Setelah mengantarkan Farrel pulang, Aksa membelokkan mobilnya ke sebuah restoran mewah yang berada di pusat kota.
“Kita ngapain kesini, Pak?” tanya Zeline bingung.
“Mau mandi,” ucap Aksa asal “Sudah jelas berhenti di restoran, kalau enggak buat makan untuk apa kesini, enggak mungkin buat mandi, kan?”
“Tetapi, saya mau pulang, Pak. Atau saya pulang sendiri saja,” ucap Zeline bingung sekaligus takut dengan Aksa.
“Kita makan dahulu, habis makan baru pulang,” ucap Aksa dingin.
“Tetapi, Pak….” Zeline tidak jadi melanjutkan ucapannya saat dilihatnya mata Aksa yang memerah menahan marah.
Mereka masuk ke dalam restoran, Aksa memilih meja paling pojok agar bisa bebas berbicara dengan Zeline. Aksa ingin mendengar jawaban Zeline nantinya.
“Kamu sudah lama kenal dengan Farrel?” tanya Aksa saat mereka sedang menunggu makanan datang.
Zeline yang mendengar pertanyaan Aksa hanya diam dengan wajah memucat.
“Bisa kita bicara yang lain saja, Pak?” ucap Zeline dengan nada memohon karena suasana hatinya yang memang belum membaik.
“Saya butuh penjelasan. Jadi jawab saja apa yang saya tanyakan,” ucap Aksa ketus.
“Dahulunya kita pernah kenal, Pak,” lirih Zeline dengan suara yang tercekat di kerongkongan.
“Kalian ada memiliki hubungan?” tanya Aksa lagi sambil memandang lekat wajah Zeline. Wajah yang sudah sangat lama dia rindukan.
“Tidak,” jawab Zeline singkat.
“Jangan berbohong, karena kamu tidak pintar dalam berbohong!” tegas Aksa kembali memperhatikan wajah Zeline yang memucat karena pertanyaannya.
“Kami hanya berteman, Pak,” ucap Zeline dengan kepala tertunduk lesu.
“Berteman? Atau calon istrinya?” tanya Aksa dengan tatapan menyelidik.
“Apa keperluan Bapak, menanyakan masalah saya. Semua itu adalah masalah pribadi saya dan tidak ada hubungannya dengan Bapak,” ucap Zeline menatap mata Aksa yang berwarna biru.
“Mulai sekarang, semua yang berhubungan dengan kamu akan menjadi urusan saya.” Aksa memandang lekat iris hijau milik Zeline.
Melihat Zeline yang diam saja tanpa merespon perkataannya, Aksa menambahkan “Karena kamu adalah sekretaris saya, maka saya tidak mau pikiran kamu terganggu oleh masa lalu,” ucap Aksa memberikan alasan yang logis.
“Makan dahulu, Pak. Ntar keburu dingin jadi tidak enak lagi,” ucap Zeline mengalihkan pembicaraan, sekalian biar bisa makan agar selanjutnya dia bisa pulang dan bebas.
“Jangan berharap kamu bisa lepas malam ini tanpa penjelasan yang pasti,” ucap Aksa yang seakan mengetahui jalan pikiran Zeline.
Huff! Zeline menghembuskan napasnya pelan, seakan mencari kekuatan untuk memulai pembicaraannya.
Drt!
Hape Aksa yang terletak di atas meja bergetar karena ada notifikasi pesan yang masuk.
Farrel : Sudah sampai di mana, Sa?
Aksa : Di restoran. Aku sedang menunggu dia untuk bercerita.
Farrel : Jangan dipaksa, Sa. Kasihan Zeline
Aksa tidak membalas lagi chat dari Farrel. Dia meletakkan hapenya kembali di atas meja.
Selanjutnya, melihat kepada Zeline yang duduk di depannya.
‘Kamu sangat cantik, Zel,’ bisik hati Aksa.
“Gimana? Sudah bisa dimulai ceritanya?” desak Aksa.
“Farrel teman aku dari masa SMP. Saat di SMA kami pernah dekat sampai kuliah. Setelah itu berpisah karena tidak ada restu orang tua,” ucap Zeline.
“Orang tua kamu yang tidak setuju?” tanya Aksa dengan alis bertaut.
“Bukan. Tetapi orang tua Farrel.”
“Alasan tidak setuju?” desak Aksa lagi. Meskipun dia sudah mendengar semuanya dari Farrel akan tetapi dia ingin mendengar dari mulut Zeline langsung.
“Kami tidak sebanding, Pak. Farrel dari keluarga yang kaya. Sedangkan aku hanya rakyat biasa,” ucap Zeline dengan mata berkaca, berusaha dengan keras untuk menahan air matanya yang hampir saja lolos.
“Apa ada alasan lain?” tanya Aksa.
“Pada intinya karena uang, Pak. Karena saya gadis miskin, sedangkan Farrel anak orang kaya.” Zeline menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir bayangan wajah orang tua Farrel dari kepalanya.
“Trus, kalian berpisah hanya karena hal itu?” tanya Aksa yang merasa bahwa Zeline tidak mau menceritakan semuanya jika tidak ditanya.
“Farrel dijodohkan dengan wanita pilihan orang tuanya,” ucap Zeline dengan terluka. Meskipun masalah itu sudah tiga tahun yang lalu, akan tetapi semuanya masih terasa segar di ingatan Zeline.
“Kamu tau dari mana semua itu?” ucap Aksa memancing jawaban yang lebih mendetail dari Zeline.
“Sangat sulit untuk menceritakan semuanya, Pak,” ujar Zeline.
“Bagaimana jika suatu saat nanti kalau aku jatuh cinta dengan kamu?” tanya Aksa tiba tiba.
“Kita pulang sekarang yuk, Pak, udah larut malam ini,” ucap Zeline.
“Baru juga jam tujuh malam. Apanya yang larut malam? Jawab dahulu pertanyaanku barusan,” ucap Aksa seakan memaksa Zeline untuk menjawab semuanya.
“Saya tidak akan pernah bisa jatuh cinta dengan Bapak,” ucapnya sambil menikmati minuman yang dipesan tadi.
“Mengapa?” Aksa memainkan hapenya sesaat dan kembali pokus dengan Zeline.
“Karena cinta tidak akan datang tanpa alasan yang menyertainya,” ucap Zeline mantap.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, akan tetapi mata Zeline tidak bisa tertidur. Perasaannya gelisah saja dari tadi. Dia berjalan menuju kamar adiknya.
“Kamu sudah tidur, Dek?” ucapnya saat dilihatnya Rania adiknya yang tidur membelakangi pintu.
Karena tidak ada jawaban dari Rania, akhirnya Zeline kembali masuk ke dalam kamarnya. Pikirannya kacau karena kejadian siang tadi.
Hari ini merupakan sudah seminggu Zeline bekerja di perusahaan milik Aksa. Hari ini Zeline akan menyampaikan keputusannya kepada Aksa.
Tok tok tok
Zeline mengetuk pintu ruangan Aksa dengan pelan.
“Masuk,” ucap sebuah suara dari dalam.
Zeline memasuki ruangan dengan perasaan yang berdebar cukup kuat. Tetapi dia berusaha santai dengan perasaannya yang bergemuruh hebat.