Hari yang berat

1212 Words
 “Kamu kenapa, sakit?” tanya Aksa saat melihat keringat menetes di dahi Zeline serta wajahnya yang memucat. “Oh, tidak, Pak,” ucap Zeline sambil mengambil tisu untuk membersihkan keringatnya. “Perasaan ruangan ini sudah sangat dingin karena AC, tetapi kamu malah keringetan,” ujar Aksa dengan mengernyit bingung. Padahal keringat dingin tersebut karena perasaannya yang berdebar menunggu komentar dari Aksa dan takut jika makanan yang dipesannya tidak sesuai dengan selera Aksa. Aksa mulai memakan makanan yang di belikan oleh Zeline tadi. Enak, karena merupakan makanan kesukaannya. “Terima kasih, Zel,” ucap Aksa dengan senyumannya. “Sama sama, Pak,” ucap Zeline seraya menghembuskan napasnya dengan lega dan membersihkan meja kembali. “Saya permisi dahulu, Pak,” sahut Zeline sambil meninggalkan ruangan Aksa. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Zeline berkemas merapikan mejanya untuk segera pulang. “Pulang bareng, Zel?” ucap Jovanka saat berpapasan di depan pintu lift. “Tidak usah, Jov. Pulang sama ojol saja,” ujar Zeline. Mereka berpisah di basement perusahaan untuk pulang kerumah masing masing. Zeline memasuki rumah kontrakannya dengan bahagia. Dia bersyukur hari pertamanya bekerja di perusahaan berjalan dengan lancar. Dia berharap semoga kedepannya akan terus di berikan kemudahan. *** Hari kedua Zeline bekerja sebagai sekretaris. Semuanya berjalan dengan lancar. Zeline sudah bisa menguasai jobnya sendiri. “Keruangan saya sekarang,” sahut Aksa melalui intercom yang ada di meja Zeline. Zeline segera berjalan menuju ruangan Aksa yang berada di depan ruangannya. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” ucap Zeline begitu melihat Aksa yang sedang menunggunya dengan seorang pria yang ada disampingnya. Zeline terpaku menatap kepada Farrel yang berdiri di samping Aksa. Aksa yang memperhatikan ekspresi Zeline dapat menangkap ada sesuatu antara sekretaris dan asistennya tersebut. “Selamat datang Nona Zeline, semoga betah bekerja di sini,” ucap Farrel sambil mengulurkan tangannya ke arah Zeline. “Kenalkan saya Farrel, rekan kerja anda,” ucap Farrel menambahkan. “Nanti jika ada kendala atau jika ada yang mau ditanyakan, bisa ditanyakan kepada Farrel,” ucap Aksa karena melihat Zeline yang diam membisu. “Oh iya. Terima kasih, Pak,” ucap Zeline dengan gugup karena sungguh diluar dugaannya akan bertemu dengan Farrel sebagai rekan kerjanya. Pria dari masa lalunya yang telah menghancurkan hati dan perasaannya. “Jika kalian mempunyai masalah pribadi, jangan sekali kali membawa masalah tersebut ke dalam ruang kerja. Jadi, harap bekerja secara professional demi kemajuan perusahaan,” ucap Aksa yang merasakan suhu disekitarnya sudah berubah sedingin kutub utara. “Ba-baik Pak,” ucap Zeline menganggukkan kepalanya paham. Setelah pertemuannya dengan Farrel tersebut, Zeline keluar dari ruangan Aksa dengan wajah sedih. “Ya Tuhan, mengapa aku dipertemukan kembali dengan Farrel di sini?” ucapnya sedih dengan air mata yang mengalir deras. Sedangkan Aksa dan Farrel memperhatikan Zeline dari ruangannya melalui dinding kaca ruangan Aksa. “Aku merasa bersalah dengan Zeline,” ucap Farrel dengan wajah sedih. “Bukankah semuanya sudah diselesaikan pada masa lalu?” tanya Aksa pelan. “Sudah. Sepertinya Zeline sangat tersakiti, Sa,” lirih Farrel. “Lupakanlah dia, bukankah kamu sudah mempunyai Zanna. Kasihan Zanna jika kamu seperti ini,” ucap Aksa sambil melihat Zeline yang masih menangis diruangannya. “Ya. Semoga saja Zeline akan bahagia bersamamu,” bisik Farrel dengan suara bergetar. “Zeline belum tentu mau denganku, Rel,” lirih Aksa. “Semoga saja dia bisa betah bekerja di sini,” gumam Farrel. Farrel dan Aksa merupakan saudara sepupu. Farrel lebih memilih menjadi asisten Aksa karena dia tidak mau bekerja di perusahaannya sendiri. Perusahaan yang sekarang dipimpin oleh Aksa merupakan perusahaan milik mereka berdua. Farrel sedang berkunjung ke tempat temannya minggu lalu yang bernama Frans. Saat dilihatnya lamaran Zeline berada pada tumpukan kertas di atas meja Frans. Farrel mengamati surat lamaran Zeline tersebut, sambil tersenyum penuh arti. “Berikan dia kepadaku,” ucap Farrel. “Kamu mengenalnya?” Frans menatap lamaran dengan penasaran. “Iya. Dia wanita dari masa lalu aku. Berikan dia kepadaku. Biar dia yang menjadi sekretaris Aksa,” ujar Farrel pelan. “Apa imbalannya untukku?” Frans membuka lamaran Zeline dan memperhatikan foto yang tersemat di dalamnya. “Aku akan mencarikan sekretaris untukmu,” jawab Farrel seraya mengambil lamaran tersebut. “Akhirnya aku menemukanmu, Zel,” bisiknya sambil tersenyum penuh kemenangan. Farrel membawa lamaran Zeline tersebut, dan memberikannya kepada Aksa. Kemarin, saat hari pertama Zeline masuk kerja, Farrel sengaja tidak datang karena takut akan membuat Zeline terkejut dan malah membuat gadis tersebut tidak jadi bekerja di tempatnya. Dan disinilah mereka bertiga sekarang, akan tetapi Zeline tidak mengetahui hal tersebut. Karena Zeline terlalu banyak mengirimkan lamaran di saat yang bersamaan, jadi dia tidak mengingat ke mana saja lamaran dikirimkannya. Disaat ada panggilan untuk interview tiga hari yang lalu, sedikitpun dia tidak ada menaruh rasa curiga, karena sejatinya dia memang sedang membutuhkan pekerjaan. Ditambah lagi dengan Zeline yang tidak mengenal Aksa sebelumnya. “Bisa kita bicara nanti sepulang kerja, Zel?” ucap Farrel saat melihat mata Zeline yang sudah memerah karena menangis. “Jangan sekarang, Rel. Aku belum siap,” ucap Zeline parau. “Bisa ya, Zel. Please!” mohon Farrel dengan wajah sendu. “Tunggu dahulu sampai suasana hati aku membaik, Rel,” ucap Zeline tanpa menoleh ke arah Farrel. “Ya sudah. Disaat kamu sudah baikan, kita bicara ya,” ucap Farrel sambil berjalan meninggalkan meja Zeline. “Bagaimana?” tanya Aksa penasaran. “Suasana hatinya masih belum membaik, Sa. Dia belum bisa diajak bicara,” ucap Farrel lesu. “Tunggu saja sampai dia bisa, Rel. Jangan dipaksa, takutnya ntar malah mengundurkan diri dari kerjaannya,” jelas Aksa. Farrel berjalan ke mejanya yang berada di depan meja Aksa. Pikirannya tersita oleh Zeline. Hati kecilnya masih menginginkan gadis itu, akan tetapi pilihan orang tuanya berkata lain. Pikiran dan hatinya masih milik Zelin, sedangkan kenyataannya Farrel telah mempunyai tunangan yang bernama Zanna Kirania. Gadis pilihan orang tuanya. Tepat jam lima, Zeline mematikan laptop dan komputernya. Dia segera berkemas dan bersiap untuk pulang. Bertepatan dengan Aksa dan Farrel yang juga keluar dari ruangannya. Zeline bergetar saat melihat Farrel yang memperhatikan gerak geriknya. “Selamat sore, Pak. Saya duluan pulangnya,” ucap Zeline sambil melangkahkan kakinya melewati Aksa dan Farrel yang berdiri didepan mejanya. “Pulang dengan saya saja,” ucap Aksa dingin. “Tidak usah, Pak. Saya tadi sudah janjian sama Jovanka untuk pulang bareng,” tolak Zeline dengan kebohongan, karena dia sudah mencium aroma tidak baik jika pulang dengan Aksa. Jika pulang dengan Aksa otomatis dia akan bertiga dengan Farrel juga. Zeline belum sanggup berada berdekatan dengan Farrel. “Saya tidak menerima penolakan,” ucap Aksa dengan tatapan kemarahan. “Baiklah, Pak,” jawab Zeline karena takut membantah lagi. Farrel segera membuka pintu belakang dan langsung duduk dibelakang, dan diikuti oleh Zeline yang duduk disampingnya. Sedangkan Aksa duduk di depan kemudi “Pindah kedepan, saya bukan driver gocar,” ucap Aksa kesal karena duduk sendirian di depan. “Zeline, kamu pindah kedepan,” ucapnya dingin saat tidak ada yang bergerak. “Jangan saya, Pak. Farrel saja yang didepan,” tolak Zeline karena merasa tidak enak jika harus duduk di samping Aksa. “Kamu paham maksud saya?” tanya Aksa dengan mata elangnya yang tajam. Zeline yang merasa takut, dengan cepat membuka pintu mobil dan pindah ke depan. Suasana di dalam mobil terasa sangat mencekam. Tidak ada yang berani membuka suara untuk berbicara. Mereka hanyut dalam pikiran masing masing.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD