Vincent berkeringat dingin. Membawa dua orang asing, terlebih lagi adalah pelanggan toko, membuat beberapa pekerja bingung. Bukan main, Fergus justru menyalami mereka satu persatu. Mengikuti Fergus, Versa ikut memberikan salam.
Dapur terlihat berantakan. Vincent tak berusaha menutupi fakta itu. Inilah apa adanya. Mereka hanya berusaha untuk makan dengan cepat dan kembali bekerja. Fokus pada dapur, entah bersih atau kotor, tidak terlalu banyak mereka perhatikan.
Asal bisa makan sudah cukup.
"Tuan yakin.. ingin membantu kami?" Mempertanyakan lagi keputusannya, Vincent tidak ingin kedua pelanggan yang baru ditemuinya itu menyesal dengan keputusan mereka sendiri. Jika diperhatikan, rasanya Fergus dan Versa bukanlah sembarang orang, setidaknya itu anggapan Vincent.
"Dapur kami seperti ini," gumam Vincent. "Kami makan apa adanya."
Jika mereka penjelajah, situasi yang unik seperti saat ini mungkin sering juga mereka lakukan pada orang lain.
Vincent adalah orang yang berpikir secara terbuka, ia menerima segala kemungkinan termasuk kemungkinan terkecil. Setiap kemungkinan kecil bukan berarti tidak mungkin terjadi. Dan mereka berdua adalah contoh dari kemungkinan kecil yang saat ini terlintas dalam benak banyak orang di ruangan itu.
Alih-alih mengubah keputusan, Fergus justru mengambil satu kain kotor yang tergeletak tak beraturan di meja dapur dan mulai mengelap, membersihkan sisa serpihan bahan makanan yang tidak dibersihkan. "Jadi, apa yang kalian punya untuk dimasak?"
Vincent saling melempar tatap pada pegawai toko yang lain. Ia lalu mengangguk. "Kami memiliki roti, ikan laut, sedikit ikan air tawar, dan keju lama."
"Apa kalian punya rempah?" celetuk Fergus menelusuri dapur dan menyiapkan semua bahan yang disebutkan Vincent secara ajaib. Darimana Fergus mengetahuinya Vincent juga tak menyangka. Tangan Fergus kini mencari pisau. Lemari kayu, lemari penyimpanan, ia mengeluarkan semua dengan cepat. Lalu Fergus menuju panci kuali sedang yang ada di tungku, mengisi panci kuali itu dengan air yang cukup dari tempat penampung air yang mereka letakkan di sudut dapur. Kemudian, Fergus membakar kayu bakar sesigap mungkin. Tangannya sudah sampai tak bisa diikuti lagi.
[Dia benar-benar bisa memasak, ya?] batin Vincent membelalakkan mata, takjub.
"Ka-kami.. ingin membantu!" Seorang pemuda lain yang berdiri di belakang Vincent berseru. Melihat Fergus yang bekerja begitu cepat membuat dirinya ikut bersemangat. Memasak yang sebelumnya adalah beban untuk mereka, kini terlihat menarik.
"Tuan, apa yang harus kami lakukan?" Kini giliran Vincent maju. Ia menyingsingkan lengan baju putih miliknya yang panjang, menggulung lengan itu sampai cukup untuk membuatnya bergerak lebih bebas.
Fergus balas berseru tanpa melihat ke arah mereka. "Ah, kalian memisahkan semua ikan dari tulangnya!"
"Jadikan satu lalu letakkan saja dalam mangkuk."
"Ikan laut atau ikan tawar?" tanya Vincent lagi.
"Campur saja semuanya."
"Eh? Boleh? Apa tidak merusak rasanya?" Ragu-ragu Vincent mengenai hal itu. Pisau sudah di tangannya, dua ikan yang berbeda juga ia siapkan. Tapi tangannya belum bergerak sedikitpun.
Fergus terkekeh. "Coba saja. Hal baru akan membuat lidah terkejut."
Karena Vincent terlalu lama, pada akhirnya Fergus meraih semua ikan itu dan mencontohkannya pada Vincent. "Hilangkan tulangnya seperti ini lalu potong seperti dadu kecil."
Suara pisau sangat meriah. Kecepatan Fergus luar biasa. Saking kagetnya, Vincent tak lagi berani mendekat. Ia berdiri terdiam, hanya mengamati.
Kepulan asap dari panci kuali mulai terlihat. Fergus kemudian menuang semua daging ikan ke dalam. Aroma amis dari ikan tergantikan dengan aroma kaldu.
Sup.
Dari baunya mereka dapat menyimpulkan Fergus sedang membuat sup.
Tapi, wanginya sedikit berbeda. Ini lebih segar, tidak pekat, dan berhasil membuat perut mereka berbunyi.
Versa diam. Mulutnya terbuka. Sekarang ia paham, makanannya pagi tadi dibuat seperti apa. Tangan terampil Fergus di depan matanya saat ini sungguh tidak berbohong.
"Apa Tuan akan membuat sup?"
Beberapa orang bertanya.
"Ti~dak," kata Fergus senang. Sendok sayur ia celupkan dalam kuali. Ia mengaduk isinya dengan kecepatan konstan. "Roti isi."
Sekarang Fergus mengambil roti panjang. Ia membelah roti itu menjadi dua bagian sama besar lalu memotongnya sesuai jumlah orang yang ada di toko itu.
"Lima orang ya? Termasuk saya dan Versa jadi tujuh," gumamnya kecil.
Tak! Tak! Tak!
Suara pisau menghantam papan kayu terdengar lagi. Fergus melesat mencari tujuh piring dan menatanya di meja berjejer. Ketujuh roti itu ia bagikan. Posisi roti itu terbuka menjadi dua bagian.
Sekarang Fergus kembali pada panci kuali. Ia mengambil keju.
"Jangan! Keju itu! Basi!" sahut Vincent panik ketika tahu Fergus hendak mencampurnya.
Semua bahan di dapur mereka hanya untuk satu hari. Tiap pagi ada satu orang yang bertugas berbelanja untuk makan pagi dan siang. Jika lebih dari itu akan basi. Seseorang lupa menyimpan keju, dan keju itu sudah tersimpan cukup lama.
Fergus berhenti sebentar menatap Vincent. Ia menyeringai.
Tangannya tetap menjatuhkan potongan keju bulat itu ke dalam panci kuali.
Selesai sudah.
"Nah, tenanglah," kata Fergus berusaha menjelaskan. "Keju itu terbuat dari s**u yang dipanaskan terus-menerus lalu didiamkan hingga padat. Secara harafiah, itu berarti s**u basi juga. Keju jika basi masih tetap enak ketika dicampur bahan yang tepat. Percayalah."
"Kemampuan saya cukup bagus, Tuan Vincent. Tanyakan pada Nona bernama Versa di sana, ia sudah merasakannya sendiri." Fergus menunjuk Versa.
Vincent beralih melihat gadis itu. Versa hanya menggaruk leher dan mengangguk.
Lima orang pegawai toko, termasuk Vincent dalam hitungan itu, sekarang duduk berjejer di meja.
Setelah lima belas menit, Fergus mengambil piring satu persatu. Ia menuangkan cairan kental pada roti. Potongan daging ikan juga dimasukkan hingga penuh. Dengan satu sisi pisau, Fergus melipat roti hingga menutup sempurna. Ia lalu menuangkan lagi cairan keju kental di atas roti. Dalam dan luar.
Tak disangka baunya sungguh nikmat. Aroma keju dan ikan bercampur sempurna menggoda selera. Sampai mereka bingung harus berkata apa lagi. Belum pernah mereka melihat teknik memasak seperti itu.
Satu piring pertama disajikan.
Fergus kemudian mengeluarkan botol kecil dari tas. Sekali lihat mereka tahu itu rempah.
Lebih tepatnya, itu parsley kering yang telah dihancurkan hingga menjadi serbuk.
"Sebenarnya akan lebih enak jika sedikit pedas. Ditambah merica misalnya," kata Fergus seraya menaburkan parsley di atas cairan keju kental yang menutupi roti. "Tapi tak apa. Dengan daun ini, rasanya takkan terlalu manis."
Piring pertama ia berikan pada Versa. Kepala gadis itu terangkat dan Fergus hanya membalas dengan senyuman simpul.
Ia mengambil piring kedua, mengisinya dengan keju kental dan ikan, menutup roti lalu kembali menaburi parsley. Begitu seterusnya hingga piring ketujuh.
Dan panci kuali itu masih bersisa setengah meskipun semua piring telah terisi penuh.
Karena dapur itu ala kadarnya, mereka tak memiliki peralatan makan yang lengkap. Hanya ada sendok yang cukup dibagikan, sedangkan garpu kurang tiga buah. Apalagi pisau makan. Mana ada yang seperti itu ketika dapur digunakan dengan efisien.
Berikutnya Fergus mencari gelas. Diam-diam ia sudah meracik minuman dari daun teh yang ia temukan di dapur dan jeruk. Ia sempat membawa satu buah jeruk dari Simia. Sebekum pergi, Fergus mengambil buah itu dari keranjang. Hanya satu buah.
Karena ia tak ingin Sarah kehabisan buah di rumah.
Mereka terkesima karena warna minuman itu tidak gelap. Warnanya oranye seperti langit sore yang misterius.
Mereka duduk berjejeran pada meja panjang. Sebenarnya sedikit berdesakan, tapi tak apa. Lengan mereka masih ada jarak satu sama lain.
Fergus duduk berhadapan dengan Versa. Sementara Vincent duduk di samping kanan Fergus.
Tak ada yang mulai menyantap hidangan. Semua lapar dan penasaran, tapi tak ada yang berani memulai.
"Em, kenapa tidak dimakan?" Fergus menoleh pada mereka, heran.
"Sebaiknya Tuan dulu yang memulai?" ujar Vincent ragu. "Karena Tuan yang memasak."
Alis Fergus terangkat. "Oh begitukah? Ya sudah. Selamat makan!"
Fergus memotong kecil roti isinya dan menyendokkan potongan itu ke dalam mulut. Bahkan ia sendiri terkejut dengan rasanya.
Ia tak berhenti menyendokkan makanan hasil karyanya sendiri.
Versa berkedip dua kali. Ia lalu melepas kain yang menutupi wajahnya, serta tudung yang menutupi rambutnya.
Sebenarnya ia tak ingin hal itu dilakukan. Hanya saja, orang-orang ini.. sepertinya Versa bisa bergantung pada mereka.
Setelah rambut merah milik Versa terlihat jelas, ada perubahan pada wajah Vincent yang ramah. Akan tetapi, pria itu tak berkata sepatah kata apapun.
Versa lalu mengikuti Fergus, menyendokkan roti isi itu dalam mulutnya perlahan.
"I-ini.. Fergus.." Versa menatap tajam pada laki-laki di depannya. "Sebaiknya buka restoran."
Dia tertawa. "Versa, ada-ada saja.."
"Pasti ramai!" Versa semakin berseru. Bahkan ia menjamin dengan heboh ucapannya baru saja.
Sekarang Vincent menelan ludah.
Hidangan itu sungguh unik. Ia sama sekali belum pernah melihatnya. Masakan Hacres memang perpaduan dari ikan, daging, dan roti. Akan tetapi, penyajian yang seperti ini baru pertama kali ia lihat.
Memegang sendok kuat-kuat, Vincent memotong roti isi itu. Pertama kali hidangan tersebut menyentuh lidah Vincent, hampir saja pria itu menangis.
Bahkan masakan restoran yang memiliki mantan koki bangsawan di seberang jalan tak ada apa-apanya.
"Enak sekali.." Vincent tak berhenti menyuapkan roti itu. Ia terus memuji mahakarya Fergus, bahkan dalam kondisi mulut penuh. "Terlalu enak.. ini terlalu enak!"
"Apa saya pantas memakannya, Tuan?"
Fergus sampai tergelak. "Apa itu tadi.."
"Semua orang pantas menikmati hidangan yang enak." Fergus memiringkan kepala. Melihat mata biru Vincent yang penuh rasa senang, ia menepuk pundak Vincent seketika. "Benar bukan?"
"Tak peduli siapa itu, mendapatkan makanan enak adalah hal yang pantas diterima siapapun. Bahkan orang dengan golongan terendah."
"Status dan golongan tak ada hubungannya dengan hak atas cita rasa."
Empat pekerja lain ikut menyendokkan makanan ketika telah melihat Vincent menyantap dengan lahap.
Mereka histeris.
Cita rasa yang pecah di dalam mulut berhasil menciptakan ledakan emosi terharu dan bahagia.
"Tuan! Ini enak sekali!"
"Astaga! Tak pernah seumur hidupku memakan yang seenak ini!"
"Kenapa keju basi bisa sangat manis dan gurih di mulut?!"
"Ini luar biasa!"
Fergus berdeham. Pujian itu sudah cukup untuk menerbangkan dirinya ke langit yang tertinggi.
"Ahaha, terima kasih banyak," Fergus sampai kikuk dibuatnya. "Ah, kita bisa bicara santai saja! Jangan memanggilku tuan.. aku tidak nyaman dengan panggilan terhormat semacam itu, haha!"
"Panggil aku Fergus. Aku tak memiliki jabatan terhormat. Jadi, santai saja. Umurku tujuh belas."
[Setidaknya untuk saat ini,] tambah Fergus dalam hati.
Vincent yang mewakili semua para pegawai mengulurkan tangan. "Namaku Vincent. Aku berumur sama sepertimu. Toko ini warisan keluarga, dan aku yang menjalankannya sekarang ketika kakakku memilih pergi melaut sebagai armada."
Sekali lagi mereka saling menjabat tangan.
"Bagaimana dengan Nona itu?" Tunjuk salah satu pria.
Fergus melirik Versa. [Benar, bagaimana denganmu, Versa?]
[Kau.. bangsawan bukan?]
[Berbeda dariku yang harus merebut lagi semua, kau memiliki masa depan yang jauh lebih cerah.]
Kembali Fergus tenggelam dalam pikirannya. Ia terdiam. Kesempatan untuk menjawab, ia serahkan sepenuhnya pada Versa.
"Aku juga kurang nyaman."
Versa tersenyum manis.
Semua mengenai dirinya, terutama rambut itu, berhasil membius kelima pria dalam ruangan tersebut.
"Maaf atas kelancanganku, tapi, Nona Versa.. bukan? Versa de Fritz?" tanya Vincent dengan nada halus. "Putri kesatria Hacres."
"Rambut itu.. sebaiknya Anda terus menyembunyikannya," tambah Vincent lagi.
Bagi Versa, mendengar hal itu sudah seperti dunianya telah runtuh diterjang topan.
"Seorang kesatria bernama Leo terus mencari Anda," jelas Vincent lirih.
Ia tahu Versa sedang kabur. Mengedipkan sebelah mata, Vincent tersenyum lebar. "Aku mengusirnya, Nona. Dua kali berturut-turut. Sedangkan tempat lain sampai tujuh kali. Jika Nona di sini, ia takkan bisa menemukan Nona."
"Percaya pada kami!"
"Ya percaya pada kami!"
Versa mendapatkan banyak dukungan. Ia tak menyangka akan hal itu.
Melihat ke arah Fergus, laki-laki itu juga tersenyum. Tapi kemudian, memalingkan wajahnya.
"Kalau boleh tahu, kenapa kabur?" Vincent hati-hati menyebutkannya.
"Mereka memaksaku menikah dengan pria tua," jawab Versa takut. Ia meraih gelas berisi teh jeruk yang penuh. Sama sekali belum tersentuh.
Dengan orang yang ia kenal, Versa takut. Taoi kepada mereka yang baru dikenalnya, Versa merasakan rasa aman. Entah mengapa, selaku begitu.
Vincent mengangguk. "Memang ada yang salah dengan Hacres. Aku merasakannya."
"Bahkan raja juga."
Kepala Fergus terangkat. "Raja?"
"Ya," kata Vincent mengiakan. "Meronia, Raja Mero I. Mencurigakan sejak awal. Entah apa yang disembunyikan. Karena itu aku tidak suka dengan pemerintahan."
"Apa kau, tak menyukai raja yang sekarang?" tanya Fergus setengah menginterogasi.
"Apa yang kau maksud, Fergus?" Vincent tersenyum miring. "Tak ada satupun orang di negeri ini yang menyukainya. Bahkan di Lydei sekalipun."
Fergus menoleh pada yang lain. "Kalian juga berpikir hal yang sama?"
"Ayolah," celetuk salah satu dari mereka, "tak ada yang menyukai raja dan itu rahasia umum."
Semuanya mengangguk.
Keheningan merayap. Mereka semua sedang berpikir.
Merasa kering, Versa meminum tehnya. Kembali matanya terbuka lebar.
"Fergus, ini enak sekali! Kau menambah jeruk? Aku menyukainya!"
Sekarang semua orang langsung meminum teh di gelas itu. Tak disangka, mereka melewatkan kejutan Fergus yang lainnya.
"Oh ini enak sekali!"
"Harum!"
"Mencampurkan jeruk dengan teh, menarik!"
Fergus meringis. "Terima kasih.."
Sikapnya.. sedikit berbeda.
Versa menyadari perubahan Fergus. Mungkin itu karena ia tidak berterus terang mengenai siapa dirinya. Ia lalu menundukkan wajah.
Ada hal yang sedang dipikirkan oleh Fergus. Laki-laki itu masih bekum yakin. Neraca di dalam benaknya masih terus menimbang mana yang harus diputuskan. Ia tak boleh sembarangan atau langkah yang ia ambil justru masuk ke dalam kesalahan yang lebih besar.
"Oh, bagaimana Nona bertemu Tuan bernama Fergus ini?"
Vincent memecahkan suasana.
"Apa jangan-jangan, Anda melarikan diri bersamanya?" goda Vincent. "Pasangan? Benar pasangan?"
"Oh, cinta!"
"Astaga!"
"T-tidak, bukan seperti.. itu!"
Gadis itu merona. "Fergus, katakan sesuatu!"
Ia mendapat suntikan keberanian.
"Aku sudah memutuskan."
Tiba-tiba Fergus berdiri.
"Vincent!" panggil Fergus kencang.
Vincent pun berdiri menyusul Fergus.
"A-ada apa?"
Fergus melipat tangan. "Jangan menggoda Versa."
"Ya??" Kening Vincent berkerut bingung.
"Dia adalah!"
"Adalah.."
Sekuat tenaga, Fergus berusaha mencari kata yang tepat.
"Adalah partnerku!"
"Kami kabur bersama!"
"Nah, maukah kalian mendukung kami?!"
Semua yang diucapkan Fergus berapi-api. Vincent sampai tak tahu harus mengatakan apa sebagai tanggapan perkataan Fergus. Sedangkan pegawai lainnya bertepuk tangan heboh. Beberapa bersiul kencang mendukung Fergus.
Hanya Versa yang diam. Wajahnya semerah kepiting rebus.
"Tentu harus kudukung!" Vincent tertawa hebat. "Sebagai pemilik toko ini, aku hanya bisa mendukung kebahagiaan Putri dari Kota Hacres!"
"Nona Versa terlihat bahagia bersamamu Fergus, semua mendukungmu!"
"Karena semua orang berhak bebas menentukan nasib mereka! Aturan kuno tak boleh merusak kebahagiaan yang ada saat ini!" tegas Vincent menggebu.
Puas dengan jawaban Vincent, Fergus mengangguk.
"Sekarang, aku ingin mengatakan hal lain!" Ia melihat ke arah Versa. Gadis itu masih diam di posisinya dengan wajah merah. Jantung Fergus ikut berdebar.
Ini hal yang lebih serius.
"Kalian sudah mendengar tujuan Versa, tapi kalian belum mendengar tujuanku."
"Bahkan Versa sendiri tidak tahu."
Mereka menelan ludah. Tekanan yang diberikan Fergus bersungguh-sungguh.
"Kalian harus berjanji mendukungku. Aku percaya, orang baik seperti kalian bisa menerimanya."
Vincent menaikkan alis. "Tentu. Setelah kami mendengar apa maksud ucapanmu itu, Fergus."
Fergus mengetuk meja dua kali.
Mereka masih baru dalam mengenal satu sama lain. Namun, Fergus percaya, ia bisa bersama mereka.
[Ibu, aku menemukan banyak orang yang sama sepertiku.]
"Kalau kalian mendengar keturunan dari keluarga kerajaan Lydei yang sebelumnya masih ada, apa yang kalian lakukan?" tanya Fergus cepat.
Vincent menghela napas. "Kukira tentang apa. Mana ada yang seperti itu. Jika ada orangnya aku akan mengarak ia keliling kota dan bersedia menjadi pendukungnya. Tidak, aku akan menjadi ketua yang memimpin para pendukung orang itu. Jika perlu, aku akan berlibur dan pergi ke kota lain mencari dukungan."
"Hacres tidak akrab dengan Lydei, sampai kapanpun. Kota lain juga," guman Versa serius. "Jika keturunan itu ada, kami akan memintanya agar kesembilan kerajaan bisa memiliki hak mengatur sendiri. Tak perlu berpisah dari nama Meronia, asalkan kami bisa bernapas lega. Jujur saja, keluargaku kerepotan karena Lydei mengambil semua kesatria hebat Hacres."
Vincent dan yang lainnya mengangguk setuju.
Fergus tersenyum lebar.
"Versa.. orang itu ada di hadapanmu."
"Hah?" Versa mengerjapkan mata. "Apa maksud..mu.."
Tujuan Fergus.
Versa ingat laki-laki itu tak pernah mengatakan tujuannya dengan jelas!
Fergus mengeluarkan buku saku tua. Ia menghempaskan buku itu di atas meja. Semua mata tertuju padanya dan buku itu. Wajah mereka penuh tanda tanya.
Melirik ke arah Vincent, Fergus sekali lagi tersenyum penuh kemenangan.
"Kau berjanji akan mencari pendukung bukan?"
Menarik napas, Fergus memejamkan mata sejenak.
Ia membuka mata perlahan. "Namaku Fergus de Rasel. Aku keturunan terakhir Keluarga de Rasel."
***