"Namaku Fergus de Rasel. Aku keturunan terakhir Keluarga de Rasel."
De Rasel.
Telinga mereka terngiang-ngiang dengan nama panjang Fergus. Lebih tepatnya, marga keluarga yang dimiliki Fergus. Mereka berlima, termasuk Versa, mengerutkan dahi dan alis. Sedikit demi sedikit, mereka kembali melihat Fergus dengan wajah takjub. Mulut mereka terbuka, sungguh tak percaya.
Versa yang pertama mengatakan sesuatu. "De Rasel? Itu bukankah nama keluarga dari Raja Tarius de Rasel? Raja yang mati saat peperangan?"
"Benar," kata Fergus mengangguk. "Aku satu darah dengan raja terdahulu."
"Tapi Raja Tarius de Rasel tidak memiliki keturunan!" Vincent berseru bingung. "Dia menyerahkannya begitu saja tahta kepada Mero!"
"Kalian lupa, bahwa raja memiliki saudara laki-laki bungsu?" tanya balik Fergus. Ia menyentuh rambutnya yang sempat tertiup angin dari ventilasi dapur. "Pangeran ketiga, Alastair de Rasel."
"Itu ayahku."
Sekarang penjelasan Fergus menjadi seterang cahaya. Mereka tak pernah memikirkan kemungkinan itu sebelumnya.
Vincent masih tak tahu. Ia meragukan kebenaran dari Fergus. "Tapi, semua de Rasel terbunuh secara misterius, bahkan sebelum Hacres menyerang. Yang Hacres tahu, saat itu Mero sudah memimpin pasukan p*********n ke segala penjuru. Bagaimana mungkin?"
"Bagaimana mungkin.. kau selamat?"
Fergus kembali duduk di sisi Vincent. Fokus mereka masih pada Fergus, sampai beberapa menit kemudian terdengar pintu diketuk di lantai bawah. Vincent menunjuk dua pegawai untuk turun. Toko masih harus diurus.
"Keretanya sudah datang, ambil pesanan kita, Rick, Yuos," perintah Vincent. "Setelah itu, tutup sementara tokonya. Lalu, jangan katakan apapun mengenai hal ini."
"Aku perlu mendengar lagi, lebih banyak."
Rick mengangguk. "Tentu." Ia lalu menuruni anak tangga.
"Memangnya kenapa, Vincent?" Yuos melirik ke arah Fergus dan Versa. Ia berbisik kecil di telinga Vincent. "Sebaiknya kita menghindari orang asing ini atau keadaannya akan bahaya.."
"Tidak, aku masih perlu berurusan dengannya," tegas Vincent. "Keluargaku turun-temurun ikut melayani Hacres, tapi semenjak Raja Mero menjabat, kami hanya mampu menjalankan bisnis ini tanpa dapat berkomentar."
Mereka lupa bahwa Vincent juga memiliki darah kesatria.
Keluarga Vincent termasuk setia di pemerintahan. Akan tetapi, setelah Meronia terbentuk, tak ada yang bisa dilakukan selain mengelola bisnis kecil yang tak bisa dijagakan penghasilanya. Selepas orang tua Vincent meninggal, kakak Vincent, Vreder, nekad mengikuti tes armada laut, dikirim sampai samudra terjauh demi mengubah nasib keluarga. Setidaknya itu yang Kerajaan Meronia berikan pada Vincent, beban.
Ia ingin percaya dengan mudah segala ucapan Fergus. Namun faktanya, hal tersebut sangat sulit untuk langsung diterima begitu saja.
Sementara Rick dan Yuos turun, Vincent kembali memberi perintah pada dua orang pegawai yang tersisa. "Kalian juga. Kita tak boleh mengungkapkan hal ini pada siapapun. Lan, Dio."
Lan dan Dio mengangguk paham. Mereka menjawab bersamaan. "Takkan."
Vincent melihat Fergus dan Versa lagi. Ia menunduk.
"Itu mengagetkan, kau langsung menutup toko untuk mendengar ceritaku," ujar Fergus tak bisa menghapus senyum di wajahnya. "Tidak apa-apa tokomu tutup?"
"Jika seorang laki-laki sudah berjanji, maka harus ditepati," gumam Vincent lirih, ia menggaruk dahi. "Sekarang, apa bukti nyata yang kau miliki, Fergus?"
"Takkan ada orang yang langsung mengakuimu kalau kau tak memiliki apapun untuk ditunjukkan." Vincent menoleh pada Versa. "Berbeda denganmu, Nona Versa bahkan terlihat jelas sebagai seorang bangsawan dari rambut merahnya yang langka. Itu hanya diwariskan pada putri terbaik negeri Hacres. Semua orang di Hacres tahu."
"Ceritakan semua dari awal," tuntut Vincent mengakhiri suaranya.
Fergus memiringkan kepala. Ia kembali mengetukkan meja. "Menurutmu apa isi buku ini jika bukan bukti?"
Versa menyaut buku itu dari tangan Fergus. Dengan cepat, jemari Fergus membalik semua halaman yang ada. Tulisan kuno, lukisan kecil di atas kertas khusus yang menunjukkan wajah seorang wanita bangsawan dengan penampilan yang sangat mirip wajah Fergus, lalu stempel Kerajaan Lydei.
Di halaman selanjutnya, sebuah surat kelahiran. Surat itu ditulis tangan dengan tergesa-gesa, terlihat dari goresannya yang tertekan dimana-mana. Itu surat yang sah karena memiliki stempel merah Lydei.
"Pangeran Alastair dan ibuku, Lady Veronica, tak pernah diperlihatkan pada acara khusus kerajaan. Itu yang Sarah ceritakan padaku," Fergus mulia mengungkap semua perlahan.
"Siapa Sarah?" tanya Versa yang sesekali mengangkat wajah dari buku, menatap Fergus.
"Dia pelayan ibuku," jawab Fergus kelu. "Sekaligus ibu.. yang membesarkanku selama ini.."
Vincent bisa menangkap semua arah cerita Fergus sekarang. Ia mulai mengumpulkan fakta-fakta yang Fergus berikan.
"Aku bisa selamat karena kelahiranku tidak diketahui," sambung Fergus. "Istana hanya memperhatikan keinginan Raja Tarius saudara ayahku, atau bisa kusebut, pamanku. Dan ketika perang besar, ibuku menitipkan aku pada seorang pelayan."
"Kenapa Lady itu tidak kabur sekalian?" tanya Vincent kritis. Ia mendapati kejanggalan.
"Karena,"
"Raja Mero berencana membunuh seluruh de Rasel setelah Raja Tarius sudah ia bunuh."
"Tidak mungkin!" sergah Vincent saking terkejutnya. "Bukannya Raja Tarius mati karena serangan pasukan penyusup di dalam istananya?!"
"Apa kau tidak merasa aneh dengan sejarah?" Fergus berbalik menanyai Vincent. "Serangan pasukan penyusup dalam istana.. itu benar-benar musuh, atau pengkhianatan dari tangan kanan kepercayaannya?"
"Astaga.." Vincent sampai terengah. Kisah pembentukan Meronia benar-benar memakan banyak darah, dan sejarah telah diputar balikkan. "Raja Mero mengklaim tahta begitu saja setelah membuat Hacres menyerah. Kukira selama ini, semua salah ketidakbecusan Raja Tarius. Raja Tarius yang dengan bodohnya sampai terbunuh di tangan pasukan lain."
"Aku tak pernah menyangka ini adalah pengkhianatan.. Lydei benar-benar buruk."
Versa ikut tercengang. "Tapi sebenarnya kenapa.. kenapa Raja Tarius berkeinginan menyatukan sembilan kerajaan?"
"Itu ambisi yang besar," kata Fergus menyesal. "Aku yakin seseorang mencoba mencuci pikiran sang raja untuk ekspansi besar-besaran dengan jalan yang lebih diplomatis, bukan perang besar. Hanya saja, ia tak sadar bahwa seseorang dengan ambisi yang besar juga ada di sisinya."
"Akibatnya seisi keluarga kerajaan tewas. Pertumpahan darah tak terkendali."
"Meronia.. Meronia.."
Versa terus bergumam. Ia tahu, apa yang diceritakan Fergus adalah kebenaran. Tapi ada yang kurang. Ia membalikkan buku saku milik Fergus, mencoba mencari petunjuk yang ia inginkan.
Saat ia sampai pada halaman akhir, hanya ada beberapa kalimat kecil yang tertulis rapi di tengah halaman.
[Cinta bisa membawa petaka. Keindahan cinta mampu meruntuhkan hati raja dan menimbulkan api yang dahsyat untuk seisi negeri.]
[Hanya karena cinta.. aku pun berjaga siang dan malam menahan lelah.]
[Gadis berambut merah, Meronia...]
[Perwujudan dari cinta dan keberanian yang diperebutkan.]
Setelah membaca keras-keras kalimat halaman terakhir, kepala Versa berdenyut kencang. Pandangannya berputar. Keseimbangannya runtuh.
Sekilas, Versa melihat gadis berambut merah menari penuh semangat di sebuah hutan dengan seorang pria. Mereka tertawa penuh kebahagiaan.
Lalu Versa jatuh pingsan.
"Versa!"
"Nona!"
Mereka panik ketika Versa terjatuh dari kursi. Buku saku Fergus langsung terhempas di meja hingga beberapa halaman tercecer ketika Versa terjatuh. Lan dan Dio dengan tergopoh mengambilnya satu persatu lalu menyatukan lagi di meja. Mereka tak tahu urutan halaman buku itu dan hanya menindihnya saja dengan buku sakunya. Setidaknya hanya itu yang bisa mereka perbuat.
"Versa! Versa!" seru Fergus mengguncangkan pundak gadis itu. "Dia kenapa? Apa yang terjadi, kenapa.. kenapa dia pingsan?!"
"Aku tidak tahu juga! Nona Versa terlihat baik-baik saja hingga saat membaca isi buku itu!" Vincent tak kalah panik.
"Ada apa ini?" Terlihat Yuos dan Rick sudah kembali naik dari lantai bawah. Melihat Vincent dan Fergus membopong Versa yang roboh, mereka bertanya lagi pada Dio dan Lan.
"Nona pingsan!"
"Kami juga tidak tahu kenapa!"
"Serahkan padaku," Rick tiba-tiba mendekat. "Aku bisa sedikit menolong."
"Tidak!" Fergus justru menjauhkan Versa dari Rick. "Kita tidak tahu apa yang membuatnya pingsan. Salah pengobatan bisa beresiko!"
"Lebih baik kita menunggu— ah, Versa! Kau terbangun!"
Gadis itu membuka matanya lagi. Ia mengalami pusing yang luar biasa.
"Ugh.."
"Aku.. "
"Jangan berusaha berdiri, Versa," Fergus langsung membantu gadis itu untuk duduk pelan-pelan di lantai. "Duduk saja dulu."
"Kau tiba-tiba pingsan," jelas Fergus tanpa diminta. "Kami terkejut bukan main."
"Meronia.."
"Gadis berambut merah.."
"Siapa..?"
Versa melantur tak jelas. Tak ada seorangpun yang dapat mengetahui maksud Versa. Alih-alih bertanya, Fergus meraih segelas air dan memberikan pada gadis itu.
Kelopak mata sayu milik Versa sedikit terangkat. Ia menenggak air di gelas sampai tersedak.
"Pelan-pelan!" Fergus lagi-lagi berdiri dan mencari apapun yang dibutuhkan Versa. Ia mengambil kain putih, yang Fergus tahu itu adalah sapu tangan milik Versa dari jahitan motifnya, tergeletak di meja. Laki-laki itu memberikannya, atau lebih tepat.. ia mengelap langsung bibir Versa.
Tentu siapapun yang melihat aksi kecil Fergus sempat menahan napas.
Sepertinya, Fergus hanya bergerak sesuai dengan keinginan hatinya. Spontanitas atau kebaikan, hanya Fergus yang tahu.
Versa mengambil sapu tangannya dari tangan Fergus, menghentikan Fergus mengelap bibirnya terus-menerus. "Sudah.. aku hanya tersedak."
Tiba-tiba Versa berdiri cepat.
"Jangan berdiri dulu!"
"Aku tidak apa-apa," Versa mendorong tangan Fergus. Ia lebih khawatir dengan buku yang sempat dihempaskan olehnya.
Melihat itu buku dengan kertas yang sudah mencuat kemana-mana, Versa menepuk dahi. "Maafkan aku."
"Aku bisa mengurutkan halaman buku ini lagi," sahut Fergus berusaha menenangkan. "Jangan memikirkan ini. Aku lebih khawatir padamu. Apa yang terjadi, Versa? Kenapa kau pingsan?"
"Sekilas aku melihat orang lain." Suara Versa terdengar ketakutan. Tapi setelah beberapa detik menyadari ucapannya sendiri, Versa mengangkat kepala dan menggeleng pada mereka agar tak lagi memikirkan ucapannya. "Ah.. aku hanya bingung. Ketika membaca buku itu, mendadak saja kepalaku pusing. Sungguh, hanya itu."
"Aku tidak suka melihatmu pingsan seperti tadi," ujar Fergus menggertakkan gigi. Ia mengurutkan halaman pada buku seraya bertanya. "Halaman mana yang kau baca?"
"Halaman terakhir."
Fergus membalikkan halaman satu persatu. Mencoba mencari yang dimaksudkan Versa.
"Yang ini?"
Fergus lalu membacakan kata-katanya.
"Cinta bisa membawa petaka. Keindahan cinta mampu meruntuhkan hati raja dan menimbulkan api yang dahsyat untuk seisi negeri."
"Hanya karena cinta.. aku pun berjaga siang dan malam menahan lelah."
Selesai. Fergus menutup buku.
Versa mengerjapkan mata. "Masih ada lagi bukan? Kenapa berhenti?"
Fergus menaikkan alis. "Tapi halaman akhirnya memang hanya ada kalimat ini saja. Seingatku juga begitu. Aku sudah membaca buku ini berkali-kali."
Vincent menoleh, ia ikut penasaran. Fergus pun membuka lagi halaman paling akhir, membiarkan Vincent mencoba membaca kalimat yang baru saja disebutkannya.
"Benar, hanya itu isinya," kata Vincent membenarkan Fergus.
Berikutnya empat orang pegawai Vincent ikut membaca. Dan mereka hanya dapat hal yang sama seperti yang sudah dikatakan oleh Fergus.
Jantung Versa seakan berhenti berdegup.
"Aku yakin ada.." protes lirih Versa, "ada.. yang menyinggung tentang Meronia.."
"Lalu?" tanya Fergus hati-hati.
"Lalu.." sambung Versa mencoba meneruskan Fergus, tapi lidahnya terasa kaku. Ia tak bisa mengucapkan kata-kata yang telah dibacanya sebelum ini. Kepala Versa semakin berat lagi. Ia sungguh kebingungan.
Sekarang, ia tak ingat. Versa tak mengingat satupun kata pada dua kalimat terakhir di buku milik Fergus.
Seolah, kalimat itu memang tak pernah ada.
"Apa, ya..?"
"Aku juga.. tidak ingat.." Pada akhirnya, gadis itu kebingungan sendiri.
Versa terus menahan tangisan, namun tetap juga keluar. Fergus yang melihat Versa menangis langsung membulatkan mata dan mendekat.
Kali ini Fergus memeluk Versa. Mencoba menenangkannya.
"Maafkan aku.. ini berat, pembicaraan yang berat," kata Fergus penuh pengertian. "Aku tidak memberitahu juga padamu pada awal kita bertemu."
Tangis Versa semakin menjadi. Ia tak mampu bersuara.
Suaranya hanya ia simpan di dalam hati.
[Tapi, Fergus.. sepertinya itu.. sangat penting bagiku.]
[Entah kenapa, aku.. aku..!]
[Aku merasa.. sangat.. sangat.. menyesal.]
***