Bab XIII

2769 Words
Fergus dan Versa kembali meneruskan perjalanan, atau lebih tepatnya pelarian mereka. Matahari sudah berada di puncak ketika mereka bersiap meninggalkan gubuk. Sebelumnya mereka sempat mengamati terlebih dahulu di sekitar lepas pantai apabila ada penjaga atau orang yang membuntuti. Ini diperlukan karena mereka tak boleh kecolongan. Jika saja ada mata-mata di dekat mereka, sama saja semua sudah berakhir. Setelah kurang lebih dua jam mereka yakin tak ada orang, barulah mereka keluar, menuju jalanan di Kota Hacres. Kota yang terkenal akan kekayaan laut dan predikat sebagai "Kota Kelahiran Kesatria" itu nampak sangat indah dan ramai. Kemarin Fergus belum sempat menyadari dan sekarang ia berjalan dengan mata membulat sempurna. Terkesima dengan suasana kota yang sangat berbeda dari Simia. Kota yang benar-benar makmur. Sebuah kota yang penuh kebahagiaan. Letak keindahan Hacres ada dimana-mana, baik di tepian jalan maupun pemukiman serta deretan toko tua. Bebatuan besar menghiasi sepanjang jalan yang dipaving dengan batuan kekuningan. Tepat di tengah-tengah perempatan jalan terdapat bundaran besar dengan sebuah patung batu kesatria bertameng besi. Pedangnya tengah diarahkan ke langit. Dibandingkan dengan Simia, Hacres lebih dominan menjual senjata dan peralatan tajam. Sisanya sama. Toko penjaja ikan dan kue terdapat pada beberapa tikungan jalan. Hanya, di Hacres, itu tak pantas disebut pasar raya. Disebut toko besar jauh lebih tepat karena semuanya berdiri dalam sebuah bangunan bertingkat yang terpisah, bukan kios kecil dari kayu. Bukan pula satu deretan pertokoan yang melekat satu sama lain. Berbeda. Melihat lebih jauh lagi, Fergus akan mendapati sebuah kastil kecil. Kastil tersebut dulunya adalah kastil milik Kerajaan Hacres. Namun, saat ini nama dari kastil tersebut adalah kantor administrasi pusat kota. Menyebalkan memang mengingat bangunan itu tak layak disederhanakan sebagai 'kantor' biasa. "Fergus, sebisa mungkin kita tak boleh mendekati kantor administrasi." Versa menepuk bahu Fergus, sadar ke arah mana laki-laki itu sedang melihat. Ia memperingatkan dengan nada pelan tapi tegas di dekat telinga Fergus yang tertutup tudung jubah. "Kantor administrasi itu sekaligus markas kesatria." "Kita harus ekstra hati-hati. Untuk memutar sedikit sulit karena arah yang berlawanan justru mendekatkan kita ke tempat yang paling kuhindari," jelas gadis itu lagi dengan setengah berbisik pada Fergus. Ia yang mengenakan tudung hitam terlihat sangat waspada terhadap siapapun dan apapun di sekitarnya. "Apa arah yang berlawanan membawamu ke rumahmu?" tanya Fergus pelan. "Mansion," ralat Versa. "Kalau rumahku ada di kantor administrasi." Fergus mendecakkan lidah. Kagum. Itu berarti Versa seseorang yang sangat penting. Sungguh melebihi ekspektasi Fergus. Ia mengira, Versa hanya gadis kesatria biasa. [Mungkin saja ia memang seorang putri?] tanya Fergus di dalam hatinya sendiri. Menerka, mencoba memahami. [Tapi, tidak cocok. Versa tidak cocok sebagai putri.] [Jika ia ternyata seorang calon panglima perang, aku lebih bisa mempercayai itu.] Ia sebenarnya sudah penasaran semenjak gadis itu menyinggung tentang istana ketika mereka bertemu pertama kali. Meskipun begitu, Fergus tak berani menanyakan lebih jauh karena dirinya tak berhak banyak bicara. Menjaga profil tetap sederhana itu ada gunanya. Semakin sederhana akan semakin menghindarkan seseorang dari masalah besar. Semakin sederhana juga berarti semakin kecil kemungkinan untuk dicurigai. Ketika saatnya tiba, barulah Fergus akan memperhitungkan diri untuk mengungkap identitasnya yang asli. "Tapi, kenapa mansion itu 'mansion' dan bukan rumahmu?" tanya Fergus masih belum mengerti benar maksud Versa. Mansion, satu kata yang rumit. Satu kata pendek, tapi tak bisa dipahami Fergus sekeras apapun ia berpikir. "Kenapa juga kantor itu menjadi rumahmu?" "Karena aku besar di kantor administrasi. Semua keluarga ada di sana, memiliki hak kepemilikan atas tanah dan bangunannya," jelas Versa. "Kemudian aku tinggal di mansion selama mempelajari etika, tata krama, dan berpedang. Secara teknis, mansion hanya tempat sementara agar aku fokus menguasai semua itu." Fergus ternganga, ia sekarang berharap apa yang didengarnya palsu. Jika benar begitu, Versa sungguh dihormati di kota ini. Ada apa dengan gadis itu sampai pergi menelantarkan semua yang ia punya. "Kau tidak merindukan keluargamu?" Fergus membenahi tudung jubahnya. Sedari tadi banyak mata yang penasaran. Ia lalu menutupi setengah wajah dengan kain hitam pada bagian hidung hingga mulut. Gadis itu menggeleng cepat. Ia tak berpikir dua kali. "Keluargaku meskipun keluarga garis utama, aku tak pernah menganggap mereka keluarga. Ayah sangat keras padaku." "Apa kau memiliki saudara?" Lagi-lagi Versa menggeleng dengan cepat. Gadis itu sampai berhenti berjalan sejenak untuk membenahi tudung jubah yang nyaris lepas dari kepalanya. Ia mengikuti Fergus dengan mengikat kain hitam tipis untuk menyamarkan hidung hingga mulut. Dengan begini, mereka berdua tak perlu khawatir jika dilihat oleh banyak orang. Konon lima di antara sepuluh orang di jalanan Hacres adalah mata-mata dan kesatria dalam pengintaian. Perbandingannya sangat banyak. Waspada perlu mereka tingkatkan lagi, tapi apabila mereka khawatir berlebihan, itu juga akan berakibat buruk. Mewaspadai orang asing menjadi problematika tersendiri. Semakin jauh mereka melihat ke depan, bukannya semakin aman, justru semakin menakutkan. Karena mereka mengkhawatirkan banyak hal dan berakhir terus-menerus menimbang langkah. Akibatnya mereka bisa saja tak cepat sampai. Oleh karena itu, kecerdikan sangat diperlukan agar rasa khawatir mereka tak menimbulkan kecurigaan dan prasangka. "Versa, sebaiknya kita menciptakan nama samaran.." ujar Fergus pada akhirnya. Namun, tak disangka Versa justru menolak. "Tidak, itu tidak perlu." "Kita kesulitan memanggil nama masing-masing!" protes Fergus. "Tidak," tegas Versa tetap kekeuh. "Kita tak perlu. Cukup diam tanpa memanggil nama sudah hal yang tepat. Aku tak mau menipu orang dengan nama lain." "Andaikata aku ditemukan karena namaku, aku tak menyesal." "Karena di dalam namaku, kekuatanku ada." Ucapan Versa ada benarnya. Gadis itu berkacak pinggang melihat sekitar sebelum akhirnya kembali menatap Fergus dalam-dalam. Sekarang Fergus mengalah. "Ya sudah. Kita mau ke Syre bukan? Jika tak bisa memutar dan harus terjun ke jalan yang lumayan dekat dengan 'rumah', apa yang akan kau lakukan agar mereka tak curiga?" "Tinggal jalan saja," gumam Versa. "Mereka tetap tak tahu. Dari sekian banyak orang yang berlalu-lalang, kita akan membaur. Mereka tak bisa mengamati pejalan kaki satu persatu. Fergus mengangguk. Nyali Versa cukup besar. Dan dia akan mempercayai semua yang diucapkan oleh gadis itu. "Uangmu masih kan Fergus?" tanya Versa tiba-tiba. "Eh? A-ah, tentu," jawab Fergus menaikkan satu alis. "Kenapa bertanya? Apa kita butuh sesuatu untuk dibeli? Selain makanan dan air.." "Kain," gumam Versa pendek. "Kita butuh kain." Lagi-lagi Fergus tetap tak mengerti jalan pikiran Versa. "Untuk?" Satu jari telunjuk Versa terangkat pada sebuah toko yang cukup besar dan berisik. Toko itu terlihat ramai pembeli. Kain-kain yang dijualnya diborong sampai nyaris saja habis tak bersisa. Pembeli berlalu-lalang membawa satu hingga lima ikat kain berwarna-warni, ada yang putih polos, hitam, warna coklat, dan beberapa warna biru langit. "Penjaga kota akan mengira kita turis," kata Versa menjelaskan rencana. "Turis di Hacres pasti membeli beberapa lembar kain itu sebagai cinderamata." "Kenapa?" tanya Fergus bingung. "Bukankah kain terkenal dengan ikan dan kesatria hebat saja? Tidak lebih?" "Lantaran semua lembar kain di Hacres memiliki simbol cap tameng dan pedang. Kain itu dianggap memberikan energi positif dan perlindungan layaknya kesatria." "Belum lagi, harganya murah meskipun kualitasnya bisa dibilang cukup bagus," Versa tersenyum, "jadi, kain itu terjangkau untuk kalangan orang banyak. Itu poin tambahan yang membuatnya menjadi cinderamata utama!" "Dengan itu, akan semakin meyakinkan orang-orang bahwa kita adalah turis. Kita akan berpura-pura senang membawa tumpukan kain dan bicara cukup keras ketika melewati penjaga. Penjaga pasti langsung tahu kita turis dan tak memedulikan kita." Fergus berkedip dua kali. Ia mengerti. Setelah dijelaskan panjang lebar, kini maksud rumit Versa dapat ia tangkap sepenuhnya. "Sepertinya, itu hal yang layak dicoba," kata Fergus setuju. "Kalau begitu ayo!" Versa menyeringai puas setelah mendengar Fergus setuju atas ucapannya. Gadis itu tanpa berkata-kata langsung meraih tangan kanan Fergus, menggandengnya. Entah itu adalah refleks atau memang sengaja. Kini wajah Fergus kembali sedikit bersemu merah. Ia tak protes. Fergus berniat membiarkan gadis itu menariknya seiring hatinya yang mulai berdebar kencang. [Sensasi ini.. disebut apa.. ya?] Benaknya sedikit kacau. Fergus entah senang atau bingung, ia tak bisa memilih perasaan yang bergejolak dalam dirinya itu. Sebuah perasaan baru semenjak Versa datang dalam hidupnya. Dan Fergus akan mencari tahu lebih, lebih lagi dengan menghabiskan waktu bersama gadis itu. Mereka berdua bergegas menuju toko yang menjual kain Hacres. Pada awalnya, mereka mengantri di belakang antrian orang yang sudah mengular hingga ke luar pintu toko. "Baiklah," kata Fergus mulai gusar. Ia tak suka menunggu. "Ini akan lama." Versa melihat ke depan. Gadis itu mengangguk setuju. Akan tetapi, selanjutnya ia terkekeh kecil. "Tidak apa-apa. Jangan dirasakan. Memang ini yang menyenangkan dari berbelanja." Sampai mereka mengantri pun, Versa tidak melepaskan tangan Fergus. Ia terus memegangi telapak tangan besar milik Fergus. Sesekali memainkan jemarinya. Fergus menahan diri untuk tidak bertanya. Aneh memang. Ia yang biasanya digandeng oleh anak-anak di Simia, tapi sekarang konsentrasi dirinya pecah karena Versa. [Apa aku.. menyukainya?] Jantung Fergus semakin berdebar. Seolah mengiakan perkataan pikiran Fergus. Hal itu menyebabkan pipi Fergus semakin memerah. Beruntung wajahnya tertutup kain. Jika tidak ia sudah kelihatan semerah tomat. Fergus masih baru dengan hal ini. Sarah pernah menyinggung bahwa pria dan wanita suatu hari akan berpasang-pasangan dalam sebuah ikatan. Untuk mengikat mereka adalah dengan mengerti perasaan masing-masing. Jujur, dia masih tidak mengerti maksudnya. Tapi setelah merasakan hal ini, Fergus mendadak gugup. Semua tentang Versa membuat dirinya lemah. Ia ingin melindungi gadis itu, ia ingin bersamanya. Ia mau kemana saja mengikuti rambut kemerahan gadis itu. Fergus mau melihat senyumnya. Lalu ketika gadis itu terlihat sedih, Fergus ingin menghukum siapapun yang menjadi penyebab kesedihan gadis itu. [Tak masuk akal.. ini tak masuk akal..] Hanya dengan sentuhan kecil, Fergus sudah sangat senang. "Oh, tiga orang lagi! Sebentar lagi sudah giliran kita!" Versa tiba-tiba melepaskan gandengan tangannya dari Fergus. Sedikit hampa. Perasaan Fergus yang meluap-luap sedikit berbeda setelah Versa melepaskan tangannya. Saat ini itu terasa pahit. Tidak, bukan.. bukan pahit. Rasanya seperti akan ditinggalkan. Fergus tak suka itu. Ia kembali meraih tangan Versa. Giliran dirinya yang memegang tangan mungil itu. Fergus tak berani mengeratkan genggamannya. Tangan Versa begitu mungil dan seringan bulu sampai ia takut akan menyakiti gadis itu. Fergus hanya memegangnya saja dengan sedikit longgar. Lagi, Fergus merasakan perasaan hangat itu lagi. Setelah tangan mereka kembali bersentuhan, Fergus kembali merasa aman. Ia tak mau melepaskan begitu saja. Versa tertegun. Ia tak tahu apa yang dipikirkan Fergus. Membiarkan laki-laki itu memegang tangannya, Versa sebenarnya juga tidak mengerti mengapa. Lantas ia menyimpulkan bahwa Fergus tak suka keramaian dan takut berpisah darinya. Mungkin efek pergi jauh ke tempat asing membuat laki-laki itu jadi sentimental dan membutuhkan orang lain di sisinya. [Padahal ia selalu terlihat berani,] Versa membatin. [Nyatanya dia hanya anak kecil.] [Tapi, Fergus memegang tanganku dengan hati-hati. Longgar sekali. Memangnya kenapa?] [Jangan-jangan, ia takut tanganku sakit hanya karena digandeng?] Tepat. Versa tertawa kecil. Ia menahan tawanya di balik kain yang menutupi wajahnya itu. [Ya ampun. Aku benar-benar sedang bersama laki-laki yang baik.] [Dia memikirkan perasaan orang lain melebihi dirinya sendiri. Mungkin saja dia sama sekali tak tahu.] [Ia tak tahu.. kalau hatinya sedang takut.] "Selanjutnya!" Teriakan pemilik toko sudah memanggil mereka. Mereka berdua melangkah masuk. Bahkan ketika pintu terbuka pun di dalamnya masih ada banyak orang. Dari yang Fergus dan Versa lihat, tempat itu memiliki rak yang menjulang tinggi berisikan banyak potongan kain berwarna serta kain putih. Di sudut ruangan terdapat beberapa potong jubah ditampilkan pada manekin setengah badan. Di sudut lain terlihat gulung demi gulung kain rol panjang. Tepat di depan mereka sebuah meja kaca besar dengan isian pita, potongan kain kecil, dan beberapa manik serta benang. Di atas meja beberapa kertas perhitungan nampak dicorat-coret oleh pegawai toko. Pemilik toko berada di meja paling tengah. Terlihat ia sedang memerintah beberapa pegawainya untuk membawa pesanan. Pemilik toko itu seorang laki-laki muda. Wajahnya cukup rupawan. Dengan rambut kekuningan dan mata biru, tampilan itu mamou membius pelanggan terutama pelanggan wanita. Wajah mudanya sedikit mengherankan. Fergus dan Versa tak tahu dan mereka ragu apakah laki-laki itu memang seorang pemilik toko atau hanya orang yang diminta berjaga dan memimpin, menggantikan pemilik sebenarnya. "Selamat datang," ujar laki-laki itu tergesa. Netra birunya bergantian melihat antara Versa dan Fergus lalu kembali pada catatan di meja. Jemarinya terus bergerak tanpa henti menghitung sesuatu. "Kain apa yang kalian cari? Apakah kain untuk oleh-oleh? Sapu tangan? Jubah? Atau kain bahan untuk pakaian?" "Kain untuk oleh-oleh," jawab Versa cepat. "Kami turis ingin membeli yang sama seperti yang lain. Sapu tangan juga boleh. Berikan masing-masing dua untuk kami." Laki-laki muda itu lalu mencoret angka di catatan. Mungkin itu untuk menghitung jumlah stok. Lalu ia berseru, "Bawakan yang lainnya dari gudang!" "Maaf, Vincent! Kain bercapnya habis!" Terdengar sahutan dari lantai atas. Lebih tepatnya dari tangga mengular yang menghubungkan lantai pertama dan kedua. Laki-laki muda itu.. sekarang mereka tahu namanya. "Pesanan terbaru sudah datang?" tanya Vincent lagi, sekarang pada salah satu pegawai di kanannya. "Mungkin sore nanti! Kereta kudanya belum sampai dari pabrik penenun!" jawab pegawai itu kemudian kembali melipat kain besar. Versa dan Fergus saling melempar tatap. Itu artinya mereka kehabisan stok. "Ah sial! Selalu begini.." Terlihat Vincent yang bergumam kesal sendirian. Ia lalu melihat ke belakang Fergus dan Versa. "Balikkan tanda di depan pintu! Sampai kain bercapnya datang, kita tak menerima pesanan lagi kecuali pesanan khusus!" "Baik, Vincent!" Seorang pegawai di belakang Fergus bergegas membalik tanda kayu di pintu. Ia juga keluar untuk memberitahu pelanggan yang hendak memesan kain yang sama bahwa stok mereka habis dan hanya menerima pesanan khusus. Vincent lalu kembali menatap Versa dan bergantian melihat Fergus. Ia bertanya, "Apa kalian terburu-buru? Kain bercapnya masih harus datang sore nanti. Jika kalian ada keperluan yang mendesak, bisa menuliskan pesanan terlebih dahulu di tempat kami lalu mengambilnya nanti. Pesanan khusus." Jika ditanya terburu-buru atau tidak, Versa dan Fergus tak bisa menjawab. Karena yang namanya pelarian membuat mereka memiliki seluruh waktu asalkan tak ada orang yang mengejar. Mereka berdua berharap hari ini juga akan pergi ke perbatasan Hacres dan Simia. Tapi sepertinya, satu hari lagi mereka akan tetap di Hacres. "Berapa untuk pesanan khusus?" tanya Versa. "Seharusnya sepuluh keping perunggu tiap satu kain, jadi totalnya dua puluh," gumam Vincent berpikir. Mata birunya tenggelam pada buku berisikan angka itu. Setelahnya, wajah Vincent terangkat. Ia tersenyum kecil. "Tapi karena telah membuat pasangan serasi seperti kalian menunggu, cukup lima belas keping saja untuk dua. Bagaimana?" Mereka mendapatkan potongan harga. Fergus tadinya khawatir karena Vincent terus melihat Versa. Wajah laki-laki yang cukup tampan itu bisa saja mencuri perhatian Versa. Akan tetapi, setelah mendengar Vincent yang menganggap mereka 'pasangan serasi', Fergus memikirkan ulang akan hal itu dan menganggap Vincent orang baik. Vincent pintar memuji orang, terutama pelanggannya. "Wah, terima kasih," kata Versa senang dengan potongan harga itu. Senyumnya kikuk. "Tapi kami bukan pasangan serasi.. kami hanya teman." "Ah, benarkah?" Vincent terbahak. "Yah, maaf, Nona. Saya sekali melihat Anda dan Tuan ini langsung tahu kalian cocok bersama." Versa menyikut Fergus untuk mengeluarkan uang. Sekarang lima belas keping telah diserahkan Fergus pada Vincent. "Akan saya catat pada pesanan khusus, Tuan. Kalian bisa mengambilnya sekitar pukul tiga." Vincent menjelaskan dengan detil. "Apa kalian mau menunggu di sini atau ingin berkeliling kota?" Saat ini hari sedang menunjukkan pukul dua belas. Seharusnya mereka makan siang. Namun mengingat makanan yang mereka bawa adalah perbekalan, lalu uang Fergus yang sedikit juga telah berkurang, sepertinya mereka takkan mengelilingi kota. "Boleh kami menunggu di toko ini saja? Lagipula hanya tiga jam, kami bisa melihat-lihat jika boleh," kata Fergus membujuk. "Kami sudah berkeliling tadi pagi dan membeli kain adalah tujuan terakhir kami. Jadi, kami tak memiliki keinginan untuk berkeliling lagi." Mendengar itu, Vincent tak bisa menolaknya. Toko tersebut memang memiliki ruang tunggu, meskipun agak kecil. Alternatif lain Vincent akan mengajak mereka melihat barang di tokonya. Tapi, ini jam istirahat. Mereka harus makan siang. "Um, maaf, Tuan," Vincent menundukkan kepala. "Ini jam makan siang dan dapur kami terbatas. Kami harus memasak sendiri dan tak bisa menemani kalian menunggu di toko." "Oh, tidak apa-apa, kalau boleh saya akan membantu memasak di dapur kalian." Seperti biasa, Fergus dan kebiasaannya untuk mengakrabkan diri dengan cepat. Versa sampai terheran-heran. "Eh?" Vincent pun bertanya-tanya. "Tuan adalah pelanggan! Mana mungkin kami akan—" "Sebenarnya saya ahli memasak," potong Fergus. "Saya ingin meminjam dapur juga karena sudah lama tak memegang pisau. Perjalanan ini menuntut kami untuk tak banyak menikmati makanan enak." Vincent masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. Memperhatikan Fergus dan Versa sekali lagi, sepertinya mereka seumuran dengannya, meskipun ia tak terlalu jelas melihat wajah di balik kain tipis itu. Fergus lalu menyadari. Dan ia membuka penutup wajahnya. Senyum itu terlihat jelas. "Boleh ya? Saya juga akan memasak untuk semuanya." Mereka tak memiliki koki dan harus berhemat karena gaji pegawai tak cukup untuk memberikan uang makan. Ini kesempatan bagus. "Baiklah," kata Vincent pasrah. Sebenarnya ia senang karena baru kali ini orang yang harusnya mereka layani justru berbalik melayani. "Ikut saya, Tuan dan Nona." Mereka menuju lantai dua dari toko. Tempat dimana tak pernah seorangpun pelanggan menginjakkan kaki. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD