Part 8. Permohonan

1233 Words
*** Shameeta mencoba melepaskan cekalan tangan Shaba. Pria itu baru saja menyeret Meeta keluar rumah. “ Apa mau mu ? Lepaskan Shaba !!” “ Masuk !!!” Shaba membuka pintu samping kiri mobil, mendorong tubuh Meeta untuk segera masuk. Dengan terpaksa meeta masuk, lalu duduk di kursi samping pengemudi. Shaba berjalan memutar untuk kemudian masuk dari pintu kanan mobil. Tergesa, Shaba menyalakan mesin lalu melesatkan tungganggannya. Meeta segera memasang sabuk pengaman. Ia tidak tahu kemana Shaba akan membawa dirinya. Wajah pria itu masih dipenuhi amarah, dan dia sudah lelah beradu urat dengan pria itu. Meeta memilih melihat jalanan sepanjang perjalanan hingga akhirnya mobil berhenti. Ia menoleh, rumah sakit. Untuk apa Shaba membawanya ke rumah sakit ? Apa yang akan pria itu lakukan ?. “ Cepat turun, jangan malah bengong … seperti orang bod*h saja!!” Meeta mengerjap, lalu membuka seat belt dengan cepat. Ia akan tahu sebentar lagi. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam kepalanya. Shaba kembali menarik tangan Meeta begitu Meeta turun dari mobil. Dengan langkah yang tak sepanjang langkah Shaba, Meeta mencoba mengimbangi. Wanita itu sedikit berlari agar bisa menyamai langkah sang suami. Shaba bahkan tidak mengindahkan pandangan menelisik penuh tanya orang-orang yang melihat mereka berdua. “ Saya sudah ada janji dengan Dokter Rani.” Ucap Shaba kepada perawat yang berjaga di depan poli kandungan. Keening Meeta mengernyit. Shaba membawanya ke poli kandungan. Mendadak perasaannya menjadi tidak nyaman. Apa yang direncanakan pria itu ? Meeta kembali berusaha melepaskan tangannya dari cekalan Shaba. Shaba menoleh menatap tajam Meeta ketika merasakan pergerakan tangan wanita itu. “ Mari silahkan masuk Pak.” Ucap sang perawat setelah meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya. Shaba kembali menarik tangan Meeta mengkuti seorang perawat yang kini sudah membuka pintu ruang praktek seorang dokter kandungan. “ Silahkan Pak … Bu … “ Shaba mengangguk kecil, kemudian membawa Meeta masuk ke dalam ruang dokter. Meeta menatap nanar pria yang seharusnya menjadi pelindungnya itu. “ Selamat sore Dokter Rani.” Wanita yang duduk dibalik meja dengan mata menekuri ipad itu mendongak, kemudian senyum terukir di bibir merahnya. Ia segera berdiri, lalu berjalan memutari meja, menyapa sosok yang kini berdiri di hadapannya. “ Apa kabar Shaba ?. Lama nggak jumpa.” Shaba menyambut pelukan Rani sesaat. Ketika pelukan terurai, pandangan Rani beralih pada wanita yang terlihat pucat tanpa make up, yang berdiri di balik punggung tegap Shaba. Ia mengenal wanita itu. Siapa yang tidak mengenal keluarga Yusuf di Jakarta ini ? tapi yang aneh untuknya adalah kondisi wanita itu yang tampak tidak baik-baik saja. Wajah pucat, rambut terikat asal dengan beberapa bagian yang mencuat keluar ikatan, lalu baby doll bergambar the pooh yang membungkus tubuh putihnya. Ia menelengkan kepalanya pada Shaba, menatap bertanya pada sosok itu. “ Dia hamil.” Wajah datar Shaba saat mengucapkannya, membuat Rani semakin tidak mengerti. Lelaki yang tak lain adalah suami wanita putih pucat itu tidak menampakkan kebahagiaan sedikitpun. Padahal layaknya pengantin baru, seharusnya kehadiran seorang bayi adalah hal yang paling membahagiakan. “ Aku ingin kamu menggugurkannya.” Dokter Rani langsung melotot, sementara  Meeta beringsut mundur, namun cekalan tangan Shaba membuatnya tak lagi bisa mundur lebih jauh. “ Kamu tidak salah bicara ?” tanya Dokter Rani dengan alis yang hampir bertubrukan. Shaba mendesah. Melihat wajah terkejut sang sahabat lama. “ Kecelakaan Ran. Kami belum ingin punya anak.” Jawab enteng Shaba. Dokter Rani berdecak. “ Kalau belum siap ya jangan bikin. Orang jaman sekarang memang aneh. Hobi bikin tapi tidak mau bertanggung jawab.” Ketus Dokter Rani yang entah mengapa memberi sedikit kelegaan di hati Shameeta. Ia berharap Dokter cantik itu akan menolak keinginan Shaba. “ Itu urusan kami. Urusanmu hanya melakukan apa yang diinginkan pasien.” Dokter Rani menatap tajam Shaba, pria yang sudah dikenalnya sejak jaman SMA. Dia sungguh tidak mengerti dengan pikiran pria itu. “ Apa tidak bisa kamu pikirkan lagi ? anak itu anugrah Shaba. Tidak seha--” “ Aku tidak punya waktu berdebat Ran.” Potong cepat Shaba. Badan Shaba sedikit membungkuk, memberikan hunusan tajam ke manik wanita di depannya. Dokter Rani menghela nafas panjang. “ Berapa usia kehamilannya ? aku tidak bisa melakukannya saat usia kandungan sudah menginjak 4 bulan.” Shaba tersenyum simpul. “ Tentu saja belum ada 4 bulan.” Dia terlihat berpikir sejenak. “ Dua bulan.” Lanjutnya yakin saat mengingat kapan dia terjebak dengan wanita yang ia benci itu. Dokter Rani mengalihkan pandangan pada wanita yang tampak ketakutan dibelakang Shaba. Meeta menggeleng lemah. Mencoba memberi tanda pada Dokter Rani untuk menolak permintaan Shaba. “ Tinggalkan dia di sini, lalu urus rawat inap nya.” Shaba menatap tak suka wanita berjas putih itu. “ Kamu pikir dia bisa langsung pulang setelah aborsi ?” Mata Dokter Rita melebar menatap Shaba. “ Dia akan mengalami pendarahan hebat, dan aku tidak mau ambil resiko dia pulang, lalu mati karena kekurangan darah.” Jelas Dokter Rani dengan mata melebar. Justru itu akan lebih baik … batin Shaba. “ Terserah Ran. Yang pasti buang calon bayi itu.” Setelah mengatakan itu, Shaba langsung berbalik, dan berjalan ke luar ruang prakter Dokter Rani. Rani menghela nafas lega. Teman masa SMA itu masih sama. Masih egois, dan sulit di bujuk. “ Duduklah.” Dokter Rani berjalan kembali menuju kursi dibalik meja. Meeta berjalan pelan. Kedua tangannya saling bertaut di depan. Jelas sekali wanita itu sedang cemas. “ Tolong saya Dok.” Dokter Rani mendongak menatap Meeta yang masih berdiri di seberangnya. “ saya tidak ingin menggugurkan kandungan ini. Anak ini tidak berdosa. Jangan bunuh dia.” “ Seharusnya kamu mengatakan itu pada suamimu.” Sela Dokter Rani. Meeta menggelengkan kepala. “ Dia tidak akan mau mendengarku.” “ Kalau begitu saya tidak bisa berbuat apa-apa.” Nafas Meeta langsung memburu. Tangannya bergerak menangkup perut yang bahkan belum terlihat menonjol sama sekali. “ Saya tahu Dokter teman dia.” Meeta tidak ingin menyebut nama laki-laki itu. Dokter Rani mengernyit. “ Tapi Dokter juga seorang wanita. Suatu saat nanti Dokter juga akan menjadi seorang Ibu. Saya mohon … jangan menjadi seorang pembunuh. Saya akan berterima kasih seumur hidup saya. Tolong selamatkan anak saya.” Air mata sudah mulai mengalir membasahi pipi mulus Shameeta. Mata yang tidak terlalu lebar itu semakin menyipit kala sang pemilik berusaha menahan isakan yang akan lolos. “ Kami tidak melakukannya atas dasar suka sama suka. Dia mabuk. Dari awal anak ini memang tidak pernah ada dalam rencana hidupnya, begitupun dengan saya setelah saya tahu orang seperti apa dia.” Meeta menahan kalimatnya, tangannya sibuk menghapus lelehan air mata yang semakin deras. “ Tapi Dok … saya tidak ingin menjadi pembunuh. Anak ini tidak berdosa. Saya akan membesarkan anak ini sendiri. Tolong biarkan dia menghirup udara, dan menikmati hidup seperti kita. Saya mohon.” Tubuh Meeta bergerak turun. Ia bersimpuh dihadapan Dokter Rani. Rani terhenyak melihat wanita di depannya yang sudah sangat putus asa. Kepala Meeta menunduk. Bahunya naik turun dengan cepat. Sesekali suara isakan lolos meskipun sudah susah payah coba dia tahan. Dokter Rani mengambil nafas panjang. Ia beranjak dari tempat duduknya, berjalan menghampiri Meeta yang masih bersimpuh. Menunduk, menatap prihatin wanita yang membuat iri banyak kaum hawa. Punya wajah cantik, otak cemerlang, lahir dari keluarga kaya raya, kemudian menikahi lelaki tampan, dan mapan. Itu yang publik tahu, tapi ternyata hidup wanita itu tidak seindah bayangan semua orang. Ia bisa dengan jelas melihat kesengsaraan dalam mata wanita itu. Perlahan kedua tangannya meraih bahu yang masih bergetar itu, kemudian membawanya berdiri. Tatapan penuh harap Meeta membuat hatinya bergetar. Apakah keputusannya sudah benar ?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD