Part 1. Januari Bagaskara
Janu kecil berjalan menyusuri komplek demi komplek perumahan di sekitar tempat tinggalnya. Ibunya sedang sakit hingga tidak bisa bekerja. Janu yang ketika itu berumur 7 tahun, menangis sesampainya ia di rumah sepulang sekolah. Mendapati sang ibu yang meringkuk sambil menggigil. Tubuhnya panas. Setelah memakan apapun yang tersedia diatas meja kecil yang biasa mereka jadikan tempat untuk makan, ia bergegas keluar rumah.
Mengais tiap tong sampah yang terdapat didepan tiap rumah, Janu berharap menemukan botol-botol plastik atau apapun yang bisa ia jual untuk dibelikan obat turun panas. Dengan membawa tas plastik besar, ia mulai memasukkan apa yang didapat dari tong sampah ke dalamnya. Keringat bercucuran kala sang mentari menaungi sepanjang perjalananya. Berhenti beberapa saat untuk mengelap keringat yang mulai membasahi wajahnya. Tubuh kurus anak itu terus berjalan dan mengais hingga kantong plastik yang dibawanya terlihat penuh. Ia tersenyum senang. Berpikir ia bisa pulang dengan membawa obat untuk ibunya.
Membawa hasil buruannya kepada pengepul sampah yang sudah dikenal kala ia sering mengikuti sang ibu memulung. Jangan salah … ibunya bukan hanya seorang pemulung. Dipagi hari ibunya akan mendatangi rumah besar tak jauh dari rumah reot yang mereka tinggali. Bekerja di rumah itu hingga siang hari. Lalu berpindah ke rumah besar lainnya hingga sore. Disaat sore hari itulah ia kadang memulung sampah. Baginya, sang ibu adalah super heronya. Ia tidak mengenal super hero ala anime ataupun ala Hollywood. Di rumahnya tidak ada televisi, hanya ada radio yang sering ia dengarkan ketika berada sendiri di rumah sepulang sekolah. Ibunya juga pintar, bisa membantu menyelesaikan soal-soal yang diberikan bapak dan ibu guru di sekolah. Ibunya itu HEBAT. Janu tersenyum menerima satu lembar uang 5 ribu rupiah. Anak itu bergegas lari meninggalkan tempat pengepul barang rongsok. Kaki-kaki kecilnya menghampiri warung bu Isah yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Memberikan uang yang didapatnya untuk membeli obat turun panas. Bu Isah, pemilik warung yang merasa iba dengan Janu kecil, bahkan memberikan 2 bungkus roti dagangannya untuk Janu bawa pulang. Tak kurang-kurang Janu berterima kasih.
Begitu memasuki rumah, Janu kecil segera membersihkan tubuhsebelum menghampiri sang ibu di kamar mereka. Tangan kecilnya menyentuh dahi sang ibu.
“ Masih panas” gumamnya. Ia segera membangunkan sang ibu. Wanita itu mengerjap-ngerjapkan matanya sebelum akhirnya bisa membuka kedua kelopak matanya.
“ Kamu sudah pulang nak” lirihnya. Janu mengangguk, lalu mengangsurkan obat yang dibelinya. Ibunya hanya menggumam lirih “ Dari mana kamu dapat ini nak?” namun tangannya tetap menerimanya. Setelah membantu ibunya meminum obat dan menyelimuti kembali sang ibu, Janu segera keluar kamar. Menghidupkan radio sambil memakan roti pemberian bu Isah. Satu bungkus roti sudah ia sisihkan untuk ibunya.
***
2018
Pria gagah dengan stelan jas rapi itu terlihat melangkah memasuki sebuah gedung perkantoran besar. Tangan kanannya memegang erat sebuah buku usang berwarna coklat. Ia berjalan menghampiri meja resepsionis. Wanita yang duduk dibalik meja itu menyapa dengan sopan.
“ Selamat pagi pak … ada yang bisa saya bantu?”
“ Saya ingin bertemu dengan bapak Sabhaga Husein”
“ Maaf … apa sudah ada janji temu sebelumnya ? atas nama siapa ?” Sang resepsionis membuka buku catatannya. Namun karena tak kunjung mendapatkan jawaban, ia mendongak dan kembali bertanya
“ Sudah ada janji pak ?” Janu menghela nafas “ Belum” jawabnya tegas. Sang resepsionis yang terlihat rapi dengan rambut digelung itu tersenyum.
“ Kalau begitu maaf pak, bapak belum bisa menemui beliau tanpa ada janji temu terlebih dahulu.”
“ Saya hanya perlu menemuinya sebentar. Tolong beritahu dia Januari bagaskara ingin bertemu.”
Sang resepsionis kembali tersenyum.
“ Maaf pak, S O P di kantor ini hanya boleh mempersilahkan tamu untuk beliau yang sudah memiliki janji temu sebelumnya. Tolong bisa dimengerti.” Tak ingin membuat orang lain dalam masalah, Janu mengalah.
“ Baiklah, tapi apakah beliau sudah datang hari ini ?” tanyanya yang mendapat gelengan kepala dari wanita itu. Janu kemudian mengangguk.
“ Kalau begitu, saya akan menunggu di sini. “ Sang resepsionis langsung panik.
“ Aduh pak … jangan. Nanti saya yang kena marah.”
“ Saya tidak akan membuat keributan. Saya bukan orang bar-bar. Kalau dia tidak bersedia menemui saya, maka saya akan pergi. Saya tidak akan mempersulit anda. Jangan khawatir.” Tatapan menyakinkan Janu akhirnya membuat sang resepsionis yang bernama Marinka – dilihat dari name tag- itu akhirnya pasrah, dan mempersilahkannya duduk di sofa yang tersedia di lobi.
Dengan berbekal selembar foto yang diambilnya dari dalam buku usang yang dibawanya, Januari memperhatikan sosok-sosok yang memasuki lobi kantor. Setengah jam lebih ia menunggu akhirnya sosok yang menyerupai dengan gambar di foto itu terlihat. Sosok itu masih sama, hanya warna rambut yang sudah mulai memutih, dan kerutan disekitar wajahnya yang tampak. Ia segera berdiri, berjalan menghampiri sosok yang ditunggunya itu.
“ Permisi Bapak Shaba.” Sosok yang disapanya berhenti melangkah. Memperhatikan pemuda yang berdiri tegap didepannya. Tubuhnya tinggi tegap, sedikit lebih tinggi darinya. Dahinya berkerut.
“ Saya ingin meminta waktu Bapak sebentar.” lanjut Janu.
“ Apa kita sudah ada janji temu ?” tanya dingin Shaba. Janu menahan emosinya. Tangannya terkepal erat namun bibirnya tetap menampilkan senyum.
“ Sameeta Yusuf.” satu nama yang disebut Janu sanggup membuat pria didepannya berdiri tegang. Rahangnya mengeras, wajahnya memerah. Janu tahu pria didepannya sedang menahan amarah.
“ Saya tidak mengenal nama itu.” Jawabnya angkuh. Janu masih tersenyum meski kepalan tangannya menguat.
“ Hanya 10 menit. Pertama dan terakhir. Setelah ini saya tidak akan pernah menemui anda.” Shaba menatap tajam pemuda didepannya tanpa memberi jawaban.
“ Meetinggnya 15 menit lagi pak.” Pria muda yang sedari awal bersama dengan Shaba menyela. Pria itu masih bergeming dengan mata tajam tak beralih dari sosok pemuda asing yang tampak familier dimatanya.
“ Kalau 10 menit masih terlalu lama, beri saya waktu 5 menit cukup.” Janu masih berusaha membujuk. Mendapat gelagat penolakan akhirnya dia sedikit mengancam.” Atau saya akan berteriak disini menjelaskan kepada semua orang siapa itu Sameeta Yusuf.” Pria itu melihat jam tangannya, lalu menoleh pada pria muda disampingnya
“ Tunda meeting 30 menit Ris.” Pria itu mengangguk. Shaba kembali menoleh ke depan.
“ Ikut saya.“ Janu tersenyum lega, lalu mempersilahkan Shaba berjalan terlebih dahulu bersama asistennya, sedangkan dia berjalan mengikuti dibelakang.
Setelah tiba di lantai 10 Shaba membawa Janu memasuki ruang kerjanya. Janu memperhatikan sekilas ruang kerja Shaba. Besar dan maskulin. Menjelaskan orang seperti apa Shaba.
Ia duduk di kursi kebesarannya tanpa mempersilahkan Janu untuk duduk. Pria angkuh itu kembali melihat jam tangannya sembari berucap “ Waktumu 5 menit dari sekarang.” Janu tersentak. Dasar b******k, pikirnya. Tak mau membuang waktu, ia segera membuka mulutnya.
“ Sameeta Yusuf, yang sebelumnya saya kenal bernama Kartini adalah wanita yang sudah melahirkan saya 29 th silam.” Shaba terlihat sedikit kaget. Hanya sedikit.
“ Ini ..” Janu mengangkat buku usang yang sedari awal digenggamnya “ Adalah hal terakhir yang menghubungkan saya dengan anda. Entah apa nama hubungan itu, tapi saya datang untuk mengakhirinya. Mulai detik ini, Januari Bagaskara tidak memiliki hubungan apapun dengan Shabaga Husein. Keduanya hanyalah orang asing.” Mata pria dihadapannya sesaat membesar, namun tak lama sudah kembali normal.
“ Seperti yang anda katakan tadi bahwa anda tidak mengenal wanita bernama Sameeta Yusuf, maka saya juga tidak mengenal pria bernama Shabaga Husein.” Janu melempar kasar buku yang dipegangnya hingga mengenai pigura yang berada di meja kerja Shaba. Pigura yang Janu yakini berisi potret keluarga bahagia Shaba, yang tentu saja tidak ada ibunya, apalagi dirinya. Shaba sontak berdiri,sebelah tangannya menahan pigura yang tergeser ketepi meja, menahannya agar tidak terjatuh dan menjadi pecahan di lantai. Sementara sebelah tangannya menggebrak meja
“ KAMUUUU!!!” teriaknya." Berani-beraninya membuat masalah denganku.”
Janu tidak gentar “ Saya bukan lagi bayi yang akan dengan mudah anda bunuh. Saya lebih kuat dari anda. Kalau saya mau, maka detik ini juga saya bisa menghabisi nyawa anda.” Shaba menggeram. Janu memajukan tubuhnya hingga mendekat kearah Shaba berdiri. Jarak mereka hanya dua jengkal tangan. Tatapan penuh amarah mereka lontarkan bersama.
“ Sayangnya ibu saya tidak pernah mengajari saya untuk membunuh.” Janu kembali menegakkan tubuhnya.
“ Saya tidak ingin terbakar dalam dendam saya, maka saya mengembalikan buku itu pada anda. Mulai detik ini anda hanya orang asing dalam hidup saya. Selamat tinggal.” tanpa melihat reaksi lawan bicaranya, Janu berbalik meninggalkan ruang kerja Shaba dengan membanting pintu.
Shaba masih memperhatikan punggung pemuda yang kini sudah keluar dari ruang kerjanya. Kepalan tangannya menguat. Ia berusaha mengatur nafasnya, tidak ingin penyakit darah tingginya kambuh. Tatapannya perlahan beralih pada seonggok buku coklat lusuh yang tergeletak diatas mejanya. Perlahan kepalan tangannya melonggar. Jemarinya beralih mengambil buku lusuh itu. Ia terduduk kembali di kursinya. Jemarinya membuka lembar pertama buku diari seorang bernama Sameeta Yusuf. Nama yang sudah dikuburnya 30 tahun lalu. Nama yang sebenarnya tidak pernah menempati ruang hatinya, namun pernah berada dalam lingkar hidupnya meski tak lebih dari 2 tahun.