Part 9. Selangkah Maju

1294 Words
*** Shaba yang baru saja kembali dari perjalanan bisnis ke Singapura dikejutkan dengan kabar bahwa kantornya di datangi orang-orang dari Kepolisian. Dengan membawa surat resmi, mereka meminta semua dokumen yang berkaitan dengan proyek kawasan elit yang akan dibangunnya. Sebuah kawasan yang memberikan fasilitas lengkap untuk para penghuni nantinya. Tidak seperti perumahan elit pada umumnya, kawasan itu juga akan menyediakan Mall, tempat hiburan, tempat makan, tempat olah raga, pertokoan, taman-taman, juga bangunan-bangunan yang akan digunakan untuk perkantoran para pengusaha. Beberapa sekolah elit juga sudah direncanakan dibangun di daerah itu. Proyek mega besar pertama yang ia bidik setelah sekian lama berkecimpung di dunia bisnis. Lelaki 56 tahun itu segera bergegas masuk ke dalam mobil yang menjemputnya di bandara. Haris, sang asisten segera mengikuti masuk ke dalam mobil setelah menutup pintu mobil begitu sang atasan nyaman di tempat dia duduk. “ Bukankah semuanya bersih ?” tanya Shaba tanpa mengalihkan pandangan ke depan. Haris menoleh. Menatap wajah tegas Shaba dari samping. Pria yang sudah diikutinya selama bertahun-tahun. “ Iya Pak … bersih.” Jawab Haris. Dia sendiri merasa heran bagaimana nama sang atasan pada akhirnya terendus. Semua sudah dikerjakan dengan baik seperti sebelum-sebelumnya. Percaya tidak percaya, memang seperti itulah duania bisnis. Kalau ingin semua lancar, akan selalu ada uang yang berperan sebagai jalan tol. “ Lalu bagaimana mungkin mereka bisa mencurigai kita ?” Shaba menoleh ke samping, menatap sang asisten yang sudah menjadi kepercayaannya. Haris menggeleng. “ Saya juga belum tahu Pak. Saya sedang di jalan sewaktu mereka mendatangi kantor kita.” Shaba menghela nafas kasar. Dia tidak pernah membayangkan akan berurusan dengan pihak kepolisian. Selama ini dia tidak pernah bersinggungan dengan para penegak hukum tersebut. Team nya melakukan semua dengan mulus. Tapi sekarang, justru saat mega proyek akan dibangun, ia harus berurusan dengan mereka. “ Apa kamu sudah menghubungi pengacara kita ?” selidik Shaba. Ia tidak ingin berurusan dengan pihak kepolisian terlalu lama. “ Sudah Pak. Mereka sekarang menunggu Bapak di kantor.” Tangan Haris bergerak membetulkan letak kaca mata minus nya. Ia sudah 7 tahun bekerja bersama Shaba, dan menjadi kepercayaan pemilik SHABA GROUP itu. Tentu saja dia tahu semua detail yang terjadi di dalam perusahaan itu. “ Apa kamu sudah memberita Dondi ?” “ Saya sudah mengirim pesan pada Pak Dondi. Tadi saya sudah coba menelepon tapi tidak diangkat.” Shaba mengangguk. “ Dia sedang mengurus proyek yang di Singapura.” “ Bagaimana dengan media ?” “ Masih aman Pak untuk saat ini, tapi saya yakin tidak lama mereka akan segera mencium kabar ini.” Shaba mendesah. Dia paling benci berurusan dengan para pencari berita. Orang-orang yang akan pantang menyerah, serta melakukan apapun untuk bisa mendapatkan sebuah berita. “ Sebisa mungkin bungkam semua media.” Sahut Shaba dengan nada meninggi. wajahnya terlihat mengeras. “ Baik Pak.” Haris segera mengeluarkan ponsel canggih dari dalam saku jas yang ia kenakan. Mengetikkan pesan untuk team nya agar segera menjalankan perintah bos besar mereka. Bunyi ponsel di saku jas Shaba membuat pria itu segera memasukkan tangan, lalu meraih benda pipih persegi itu. Ia menghela nafas sebelum menerima panggilan. “ Papa sudah sampai ?” suara wanita yang sudah dia nikahi selama 30 tahun menyapa. “ Sudah … tapi Papa harus langsung ke kantor.” Jawab Shaba tenang. “ Kenapa tidak pulang dulu ? istirahat. Papa pasti lelah.” Helaan nafas lelah Shaba terdengar di telinga Alin. Seandainya saja mereka memiliki seorang putra yang bisa membantu pekerjaan sang suami, pasti suaminya itu tidak perlu bekerja sekeras sekarang. Sayangnya bahkan setelah mencoba program kehamilan, mereka tetap tidak bisa mendapatkan anak laki-laki. Ketiga anak mereka perempuan, dan tak satupun diantara mereka yang tertarik di dunia bisnis. “ Kalau saja kita punya anak laki-laki yang bisa membantu pekerjaan Papa.” Alin mendesah. “ Maaf … tidak bisa memberimu seorang putra.” Lanjutnya. Kedua matanya sudah memerah. “ Jangan mulai lagi Ma.” Shaba tahu wanita yang ia cintai itu selalu merasa bersalah karena tidak bisa melahirkan seorang putra. “ Tapi Mama benar-benar merasa bersalah. Kalau saja kita punya anak laki-laki, dia pasti bisa membantu pekerjaan Papa. Lihatlah bagaimana Papa masih harus bekerja keras mengurus perusahaan sendirian.” “ Sudahlah … jangan dibahas lagi. Aku punya Haris yang sudah seperti anakku sendiri.” Shaba menoleh pada pria muda yang duduk di sebelahnya dengan tenang. Dia memang sudah menganggap tangan kanannya itu seperti anak sendiri. Dia tahu tidak bisa terus memegag kendali bisnisnya seorang diri. Umurnya semakin bertambah, sedang ketiga putri yang ia miliki lebih senang menghambur-hamburkan uang, dari pada membantunya bekerja. Sesaat ia teringat pria muda yang menemuinya beberapa bulan lalu. Anak Shameeta Yusuf. Kalau saja anak itu lahir dari rahim Alin, pasti dia sudah bisa membantu mengurus perusahaan. “ Pa … “ Panggil Alin saat suaminya tak lagi bersuara. “ Kita bicara lagi nanti di rumah. Sebentar lagi Papa sampai kantor.” Alin mendesah kecewa, namun tidak bisa menolak saat ia tahu sang suami pasti sudah sangat lelah tetapi tidak memiliki pilihan kecuali tetap mengurus pekerjaannya. “ Baiklah. Cepat pulang.” Hanya itu yang bisa Alin ucapkan sebelum sang suami mengakhiri penggilannya. *** Janu berjalan bersama Pak Fendi. Mereka baru saja menemui Jenderal Agus di kantornya. Setelah pihak kepolisian resmi mengeluarkan surat penyelidikan atas kasus pelepasan lahan di kawasan Elit Jakarta, beberapa anggota kepolisian langsung meluncur menuju kantor SHABA GROUP. Mereka menyita semua dokumen atas proyek yang akan mereka bangun diatas lahan yang menjadi kasus penyelidikan, sebagai pihak yang memenangkan tender. Bukti-bukti yang mereka kantongi memang belum cukup untuk menyeret pemilik SHABA GROUP itu ke dalam jeruji besi, jadi sang pemilik perusahaan itu hanya akan dipanggil sementara sebagai saksi. Meskipun begitu, mereka tetap merasa lega setelah berbulan-bulan menyelidiki kasus tersebut, akhirnya ada titik terang terlihat. Jerih payah mereka akan segera terbayar dengan rasa kepuasan setelah bisa menjebloskan orang-orang yang terlibat kasus korupsi. Beberapa anggota dewan yang disinyalir menerima aliran dana dari Shaba juga sudah diamankan pihak kepolisian. Harta mereka sudah di sita. “ Shaba sudah kembali dari Singapura.” Pak Fendi berucap setelah selesai menerima panggilan dari salah satu anak buahnya. Janu menganggukkan kepala. Sepertinya dia akan segera bertemu kembali dengan pria itu. Tak lama lagi setelah team nya selesai mengolah data yang di perlukan. “ Kamu harus mulai lebih berhati-hati.” Shaba menoleh sesaat mendengar peringatan dari pak Fendi. “ Kita tidak tahu apa yang akan mereka lakukan untuk menutupi kasus ini. Mereka pasti tidak ingin kasusnya terungkap, dan akan melakukan segala cara untuk membungkam kita.” Lanjut Pak Fendi menjelaskan kebingungan di wajah Janu. Mata Janu mengerjap. Ini adalah kasus pertamanya selama menjabat sebagai salah satu penyidik K*K. Pak Fendi menepuk bahu pria muda disampingnya. “ Kita akan berjuang bersama. Kalau kamu membutuhkan pendamping, kamu hanya perlu mengatakannya.” Janu mengangguk. “ Terima kasih Pak.” Sampai di Parkiran, mereka berpisah menuju kendaraan mereka masing-masing. Janu membuka kunci mobil, lalu segera menarik handel pintu, membuka kemudian mendudukkan tubuhnya dibelakang kemudi. Mengambil ponsel di dalam kantung jas, Janu mengetik beberapa pesan sebelum memasang seat belt dan menyalakan mesin. Ia melajukan mobil Mazda nya kembali ke kantor. Dia harus segera menyiapkan data-data yang dibutuhkan untuk proses interogasi. 30 menit Janu habiskan di perjalanan sebelum akhirnya memasuki pelataran gedung tempat ia bekerja. Setelah memarkirkan mobil, ia segera turun, lalu berjalan cepat memasuki gedung. Team nya sudah menunggu di kantor. Tanpa mengalihkan pandangan selain ke depan, Janu melintasi lobi. Segera menekan tombol lift yang akan membawanya ke lantai tempat kantornya berada. Tiba di lantai 7, Lila sang sekertaris sudah menunggu. Wanita berambut sebahu itu bergegas menyambut kedatangan pria yang sudah beberapa bulan menjadi atasannya. Sebagai seorang wanita normal, dia sangat mengagumi sang atasan. Pria 29 tahun yang terlihat sangat cerdas dan menarik. Wajah tampannya menjadi poin tambahan seorang Janu bagaskara. Namun Lila sadar, Janu tidak sedikitpun tertarik padanya. “ Selamat siang Pak. Semua sudah menunggu Bapak di dalam.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD