Obrolan Santai

1162 Words
Sena sudah duduk bersama Bayu yang berdiri di sampingnya, yang kemudian diminta oleh Arka —daddy-nya Sena, untuk ikut duduk. "Aku enggak bisa lama, Dad. Sebelum waktu makan siang, aku sudah harus ada di rumah." "Ya, ya, Daddy tahu. Daddy hanya mau meminta pendapatmu mengenai akuisisi yang hendak perusahaan kita lakukan." "Akuisisi PT. Sentosa Abadi?" "Hem, ya." Arka tampak mengangguk. Sejenak Sena berpikir sebelum bicara. "Tumben sekali, Dad. Biasanya perihal kaya gini tidak pernah Daddy minta pendapat aku. Insting Daddy biasanya lebih tajam dan tepat dibanding aku." Arka tampak mendesah. Ia lalu menghela napas cukup panjang. "Daddy ini sudah tua. Kamu tahu tidak mungkin selamanya Daddy memegang tampuk kepemimpinan ini. Ada banyak pekerjaan yang sudah tidak lagi bisa Daddy urusi. Tidak seperti waktu Daddy masih seusia kamu, Sena." "Jangan merendah seperti itu, Dad. Aku tahu keahlian Daddy masih bisa diandalkan seperti dulu. Justru aku yang masih harus banyak belajar sama Daddy." "Ah, kamu ini. Bahasa halusmu menolak berdalih memuji seperti itu." "Aku enggak nolak, Dad. Siapa bilang? Aku siap saja kapan Daddy meminta aku mengurusi perusahaan, tetapi aku ingin kemampuan yang Daddy miliki selama ini, juga aku miliki." "Oleh sebab itu, mulailah dengan mengambil alih perusaan pusat." Sena terlihat gelisah. Permintaan sang daddy terlalu dini. Meski usiannya sudah kepala tiga, Sena merasa selama ini kemampuannya masih di bawah lelaki tua yang kini duduk di hadapannya. "Jangan menampilkan wajah seperti itu. Kamu tahu, Daddy sudah tidak bisa terus menerus memimpin perusahaan kita yang tidak sedikit itu. Mommy sudah cerewet sekali meminta Daddy istirahat atau minimal cukup mengawasi kamu saja." "Ah, aku sudah menebak sejak tadi. Ini semua memang karena mommy." Senyum tampak di wajah tampan putra sulung keluarga Mahesa itu. "Kamu tidak suka dengan permintaan mommy-mu itu?" "Tidak. Aku sih santai. Cuma lucu aja, sepertinya kalau dilihat-lihat, Daddy sebetulnya masih ingin sibuk dan memanfaatkan keahlian yang dimiliki dalam berbisnis. Tapi, karena mommy-lah Daddy akhirnya meminta aku supaya mengambil alih perusahaan sejak sekarang." Arka tergelak sampai terlihat barisan giginya yang masih putih dan bagus meski usianya sudah tidak muda lagi itu. "Sudah lebih dari tiga puluh tahun, rasanya seperti melepas sebuah kebahagiaan yang sulit untuk kembali didapatkan jika Daddy sudah tidak lagi berada di kursi itu!" tunjuk Arka ke arah kursi kebesarannya dengan mata penuh arti. Sena paham jika sang daddy sedang berada di posisi yang serbasalah. Satu sisi ia masih semangat dalam menjalankan perusahaan, tetapi di sisi yang lain ia seperti enggan atau tidak sanggup menolak permintaan sang mommy yang ingin suaminya menyudahi semua kegiatan tersebut dan memintanya untuk lebih banyak bersantai dan beristirahat di usia senjanya. "Tapi, Daddy tidak ingin membuat perempuan itu terluka dan bersedih. Daddy terlalu mencintainya," ujar Arka akhirnya seraya kembali menatap sang putra dan tersenyum. "Aku tahu Daddy begitu mencintai mommy, tetapi apakah Daddy akan menyerah begitu saja dengan kebahagiaan Daddy tentang perusahaan ini?" "Saat ini bukan lagi waktunya kata menyerah atau maju terus pantang mundur dijadikan pembahasan kita dalam menghadapi sosok perempuan yang begitu berarti dalam hidup Daddy selama ini, Sena. Tiba waktunya nanti, kamu akan mengerti jika seorang istri yang sangat dicintai, sejatinya adalah tempat sandaran bagi seorang lelaki di akhir perjalanan hidupnya." Sena terdiam setelah mendengar kalimat yang Arka katakan di akhir percakapan mereka sebelum Sena akhirnya pamit pergi menuju kediaman orang tuanya. Kalimat panjang yang lelaki tua itu ucapkan seolah menjadi sebuah nasehat yang tanpa sadar ditujukan kepada sang putra mahkota, yang seharusnya sudah memberikan menantu dan cucu di usianya tersebut. Namun, Sena adalah Sena. Lelaki itu tak lebih berbeda dari sosok sang daddy saat muda dulu. Arka Mahesa, siapa yang tidak tahu dia. Si pecinta wanita yang terkenal akan kekejaman keangkuhan sifatnya dengan karakter dingin yang mendominasi. "Daddy tidak ikut makan siang dengan aku dan mommy?" tanya Sena sesaat hendak meninggalkan ruangan sang daddy. Arka tampak menggeleng. "Sepertinya mommy-mu ingin bicara empat mata dengan putra sulungnya yang sudah lama tidak berkunjung." "Ah, aku jadi takut. Apa aku batalkan lagi saja yah, Dad?" "Jangan gila kamu. Daddy pastikan rumah yang kamu tempati akan mommy-mu bongkar dan akan dibuat berantakan." "Silakan saja, aku sih tenang karena sudah ada yang siap merapikan." "Apa maksudmu?" tanya Arka sambil menatap heran. "Siapa yang kamu maksud?" Sena seketika terkejut atas mulutnya sendiri yang mengoceh tanpa dipikir. " Eh itu ... eh, biasa, Mbak Santi. Asisten rumah." Untungnya Sena tidak berbohong dengan mengatakan sosok perempuan yang kerap membantu membereskan rumahnya itu. Terlebih kedua orang tuanya pun sudah lama kenal. Kalau tidak, mungkin ia akan keceplosan dengan mengatakan munculnya sosok Kinan yang ia tolong tanpa sengaja, ada di kediamannya. "Eh, bener nih, Daddy tidak ikut?" Kembali Sena memastikan sembari mencoba mengalihkan tatapan heran daddy-nya itu. "Iya. Mommy sudah tahu kalau Daddy tidak akan menemani kalian karena masih harus keluar ketemu kolega." "Alasan nih, Daddy." Sena menatap sebal Arka, yang ditatap senyum jahil seperti biasa. "Bilang aja Daddy emang sengaja bikin aku masuk perangkap mommy." "Hei, memang kamu anggap mommy kamu apa, kok masuk perangkap." Terkekeh Sena sesaat sudah berdiri di ambang pintu ruangan. Sedetik kemudian senyum itu hilang. Berganti dengan tampang angkuh dan dingin seperti biasanya. *** Malika begitu bahagia ketika bisa melihat kembali sosok sang putra sulung berdiri di depannya. Hampir satu setengah bulan putranya tidak datang berkunjung, padahal biasanya setiap dua pekan sekali ia akan muncul dan menemaninya menikmati weekend bersama daddy dan adik perempuannya yang juga pasti ada di rumah. "Apa kabar, Mom?" tanya Sena menanyakan kabar sang mommy. "Tidak baik." Malika menjawab santai. Sena pun mengernyit. "Mommy sakit?" "Iya," sahut Malika cepat. "Sakit apa?" Sena terlihat sedikit khawatir meski ada ragu sebab melihat wajah bugar wanita yang begitu ia cintai itu. "Sakit apa namanya kalau seorang ibu yang selalu menunggu kehadiran sang putra yang tak kunjung datang?" "Ya ampun, Mommy berlebihan banget." Sena menatap tersenyum. Ia tahu mommy-nya memang orang yang paling berlebihan yang pernah ia kenal. Lelaki itu lantas mendekat, lalu memeluk tubuh paruh baya sang ibu. "Maafkan aku, yah, Mom. Pekerjaan aku memang agak sibuk belakangan ini." "Kamu sibuk karena kerjaan atau karena kencan terus sama Bianca?" Perlahan Sena melonggarkan pelukannya. Lalu, yang bisa ia lakukan hanya tersenyum demi menghadapi Malika, yang selalu sensitif jika membahas mengenai kekasihnya itu. "Udah ah, Mom. Aku datang ke sini 'kan karena mau nemenin makan siang sama Mommy. Kok jadi ngomongin Bianca?" "Ehm, ya udah. Ayo!" ajak Malika kepada putra sulungnya itu menuju meja makan. "Daddy bilang kamu dari kantor?" tanya wanita itu kemudian, seiring langkah kakinya bersama sang putra. Bayu —asisten pribadi Sena— mengekor di belakang. Namun, tidak sampai mereka tiba di ruang makan, lelaki itu izin untuk ke kamar kecil. "Daddy pasti bilang sama Mommy 'kan?" terka Sena. Malika mengangguk, "Ya. Tadi Daddy memang bilang katanya kamu diminta untuk datang." Keduanya sudah sampai di ruang makan dengan aneka makanan terhidang di atas meja. "Mommy nyediain ini semua, pasti sebuah sogokan." "Sogokan apa? Mommy enggak pernah ikut campur sama hubungan kamu sama Bianca selama ini, terus mau nyogok apa?" "Duh, sensitif bener sih! Sogokan biar aku lama dan enggak pulang-pulang-lah." Malika menahan malu, tuduhannya ternyata salah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD