Wow. Aku terpana melihat Alex berjalan masuk ke ruangan dengan penuh wibawa. Dia terlihat sangat keren memakai stelan jas serba hitam. Kemejanya pun berwarna hitam dengan dua kancing teratas dibuka. Kulihat si sekretaris juga terpana melihat Alex.
"Siapa kamu, hah??" bentak Pak Budi.
Aku bergegas lari ke dalam pelukan penolongku. Saat seperti ini aku sudah tidak peduli apakah dia pangeran berkuda putih atau malaikat pencabut nyawa, yang penting selamat dulu! Alex memelukku erat dengan satu lengan, sementara tangan yang lain mengangkat daguku hingga mata kami bertatapan.
Oh, aroma tubuhnya benar-benar melumpuhkan!
"Dia tidak menyentuhmu, Gadis Kecil?" tanya Alex dengan suaranya yang bisa membuatku mimpi indah seumur hidup.
Saking mabuk oleh feromon, aku hanya bisa menggelengkan kepala.
"Aku tanya, siapa kamu berani-beraninya menerobos masuk?? Sandra! Panggil security!" seru Pak Budi.
Usai bandot tua itu bicara empat lelaki berjas masuk ke ruangan. Aku menatap cemas. Apakah Alex bisa menghadapi empat orang sekaligus?
"Bawa dia keluar," titah Alex.
Mataku membulat.
"Apa?? Hei, bukan aku, tapi dia yang harus kalian usir!" Pak Budi mundur sampai ke meja karena empat lelaki berjas tadi berjalan ke arahnya.
"Pak ...." Sandra si sekretaris tergopoh-gopoh menghampiri Pak Budi, "Beliau pemilik perusahaan ini."
Belum pernah aku melihat Pak Budi melotot seperti itu. Wajahnya berubah warna seperti bunglon. Aku sampai harus memalingkan wajah agar tidak tertawa.
"P–Pak Alexander??"
"Katakan. Apa yang harus kulakukan terhadap orang yang menindas istriku?" Alex nyaris tersenyum.
"D–dia istri Anda??"
Perkataan itu bak geledek di siang bolong. Aku yakin Pak Budi ingin menggali tanah dan bersembunyi di dalamnya sampai abad ini berlalu. Pasti tidak pernah terlintas sedikit pun dalam otaknya bahwa wanita yang sedang dia kerjai adalah istri pemilik perusahaan.
"Lempar dia ke jalanan." Suara Alex memecah keheningan.
"Baik, Pak," sahut keempat lelaki berjas serempak.
"Pak, Pak Alexander, mohon dengar dulu penjelasan saya ...," rengek Pak Budi.
Sandra yang terlihat gugup sekaligus terpesona menutup pintu setelah Pak Budi berhasil diseret pergi. Aku? Tidak usah dikatakan lagi ... aku merasa seperti anak ayam yang malang dalam cengkeraman burung elang.
Alex terkekeh, "Pikiranmu memang selalu menarik."
"Nggak tuh. Biasa saja. Eh, mau apa?" Aku sedikit panik karena Alex mendudukkanku di atas meja.
"Katakan. Apa yang kamu lihat di sini?" Alex mengungkungku dengan kedua tangannya bertumpu di meja.
Aku melengos. Ogah banget harus menceritakan adegan m***m si Budi yang muncul dalam penglihatanku. Jangan sampai dia terinspirasi.
"Bagaimana kalau membuat adegan kita sendiri?"
"Nggak mau!" Aku mendorongnya mundur dan melompat turun. Aneh. Dia tidak menahanku?
"Kenapa heran? Kamu ingin aku melakukan sesuatu?" Alex tersenyum jahat.
"Aaahh! Berhenti membaca pikiranku!"
Lelaki itu tertawa, "Pergilah. Kamu ada meeting, bukan? Aku akan menunggu di sini."
Insiden dengan Pak Budi melunturkan semangatku untuk bekerja. Apalagi di perusahaan yang ternyata pemiliknya adalah Alex? Bisa-bisa mejaku dipindah ke ruangan ini.
"Eliana. Fokus. Atau kamu mau resign?"
"Aku resign kalau kamu yang jadi atasan."
Senyum Alex membuatku meleleh di tengah suhu AC enam belas derajat. Bibir tipis itu berkata, "Kembali ke departemenmu. Apa yang terjadi di ruangan ini harus tetap menjadi rahasia. Oke?"
"Ya sudah. Aku turun dulu." Ragu, aku berjalan melewati pintu ruangan yang menggantung sengsara di ambangnya. Kalau bisa bicara pintu itu pasti sudah protes berat.
'Nanti kita makan siang bersama.'
Aku bergidik karena Alex bicara dalam pikiranku. Sial. Karena cincin ini!
Semua orang di dalam ruang meeting kecil menoleh ketika aku masuk seperti angin ribut. Tanpa ba-bi-bu aku menarik kursi dan duduk di menyempil di antara Riana dan Romy. Aku meringis pada Firza yang menatap seperti hendak menelanku bulat-bulat.
"Sudah selesai bicara dengan Pak Budi?" tanyanya sedingin es Kutub Selatan.
"Sudah."
Hening sejenak. Semua orang melirikku dan Firza bergantian seperti sedang menonton pertandingan tenis meja.
"Kembali ke pembahasan tadi." Firza mengalihkan pandangan.
Aku bernafas sangat lega karena tidak jadi sasaran lidah tajam atasanku.
Baru dua detik merasa lega mendadak bulu kudukku meremang. Aduh, apa lagi ini?
"Eliana ...."
Tanganku spontan mencengkeram lengan Riana karena terkejut mendengar bisikan dari alam lain yang berhembus tepat di telingaku.
"Aduh ...! Sakit ... El, gila lo ...!" desis Riana.
Firza memelototi kami.
"Sorry." Aku meringis.
Wajah cantik hantu penghuni gedung muncul di depanku. Untung aku tidak spontan menjerit kaget. Hantu sial. Muncul kok di siang bolong??
"El, suamimu menyeramkan sekali ... aku tidak berani naik ke atas," keluhnya.
Lah, memangnya salahku?? Suamiku ... EH, maksudku, Alex tidak seseram itu, 'kan?
"Tapi kurasa suamimu melepas jimat yang dipasang di pintu brankas ... tadi kulihat dia berdiri lama di sana," bisik si hantu.
Mataku berkedip cepat. Jimat? Apakah itu yang disebut Alex sebagai perangkap? Pantas saja hantu ini tidak bisa melihat menembus brankas.
"Bantu cari liontinku ya ...? Sekarang sudah tidak ada penghalangnya ...."
Lama-lama aku terganggu dengan suara bisikan hantu ini. Kenapa juga dia harus berbisik? Apa dia tidak tahu kalau suara bisikannya serupa suara manusia sekarat? Apa gunanya berbisik sih? Memangnya ada orang lain yang bisa mendengar?
Benar dugaan Riana. Meeting kali ini bertujuan untuk menambah beban pekerjaan kami para desainer grafis. Sebenarnya di perusahaan properti seperti ini kami tergolong santai. Coba kerja di advertising, atau retail, mana ada yang namanya pulang on time?
Selesai meeting Firza menghalau kami kembali ke meja masing-masing. Memang yah, si kulkas dua pintu ini kadang bisa bertindak seperti ibu tiri. Aku dan Riana berjalan tanpa cakap ke meja kami yang berseberangan.
"Mulai sekarang gue akan sering-sering pulang jam enam juga, Bro," ucap Riana sebelum kami berpisah di mejanya.
"Oke lah. Santai saja, Bro." Aku meringis.
"Eh, by the way gue baru perhatiin, cincin apaan tuh? Keren banget?" Dengan kecepatan mengagumkan Riana menjambret tanganku.
"Setan lo. Ini tangan, bukan kain pel," gerutuku.
"Ini cincin kawin??"
"Sembarangan. Cincin peninggalan nenek gue, tahu." Aku menarik tanganku sebelum Riana bicara lebih banyak.
"Kawin, eh ... nikah sama siapa lo? Kok nggak undang-undang?"
Aku mengernyit keki karena Riana membuntuti ke mejaku, "Sok tahu nih. Kata siapa gue udah nikah? Lo aja belum, masa gue duluan?"
"Sialan. Maksud lo? Umur kita cuma selisih dua tahun woi!"
"Nah, tuh tahu."
"Nanti gue minta pindah meja dekat jendela juga ah. Pemandangannya keren banget. Bikin ide mengalir deras ini mah." Riana menggeliat di depan jendela.
"Minta aja sana sama si kulkas dua pintu." Kalau dikasih, sambungku dalam hati.
Suara berdeham keras mengejutkanku. Perlahan aku dan Riana berbalik. Penampakan wajah masam Firza menjadi pertanda buruk. Salahku duduk membelakangi ruangan kantor, kalau tidak aku tidak akan bicara sembarangan.
"Sepertinya kalian terlalu banyak waktu senggang," kata Firza dengan nada penuh ancaman.
Aku tidak percaya betapa cepatnya Riana berlari. Hanya butuh dua detik bagi si rambut gimbal itu untuk duduk manis di belakang mejanya. Firza sampai geleng-geleng kepala.
"Aku tidak tahu ada masalah apa kamu dengan atasan, tapi kamu dipanggil lagi ke atas," info si kulkas, maksudku, Firza.
"Sekarang?"
"Kenapa kamu selalu menjawab begitu? Ya iya lah sekarang!"
Aku meringis. Yah, setidaknya Firza bukan tipe atasan yang kepo. Aku senang dia langsung kembali ke ruangannya tanpa banyak tanya.
Giliran aku yang bertanya-tanya, apa lagi yang diinginkan Alex? Katanya makan siang bersama? Memangnya sekarang jam berapa?
Eh, kok handphoneku berbunyi? Aduh, ini 'kan nomor Alex. Sesegera mungkin aku berlari sprint ke lantai tiga belas. Aku bahkan tidak mempedulikan si hantu wanita yang muncul di tengah tangga, terus berlari menembus sosok tak kasat mata itu.
"Langsung masuk saja, Bu." Sandra—si sekretaris seksi—tersenyum ramah padaku. Wih, peristiwa langka!
"Oke."
Ternyata pintu ruangan CEO sudah diperbaiki. Tanpa mengetuk aku langsung membuka pintu dan berlari masuk. Baru dua langkah seseorang menangkapku. Refleks aku menjerit.
"Ssshh ... ini aku, Cantik."
Sejuta topan badai. Aku kesulitan bernafas dalam pelukan Alex. Kenapa lelaki ini suka sekali menyergapku sih?
"Karena kamu begitu manis, membuatku ingin melakukan sesuatu yang menarik," ucapnya dengan suara menggoda.
"Bukannya kamu yang membiarkanku pergi?" lirihku. Argh! Suaraku berkhianat!
"Aku tidak bilang akan berhenti menggodamu."
Aku terkesiap saat Alex menyurukkan wajah ke ceruk leherku. Sial. Dia menciumiku. Sentuhannya merasuk ke dalam jiwa. Kalau bukan karena Alex memelukku, aku pasti sudah jatuh ke lantai.
"Aku akan membuatmu menginginkannya, Cantik."