Hantu Cantik
Layar laptopku tidak berubah sejak satu jam yang lalu, hanya mempertontonkan sebuah bentuk abstrak berwarna dominan oranye di atas latar biru tua. Aku melirik cangkir besar berisi es s**u coklat yang sudah habis tiga perempat. Apakah seharusnya aku minum kopi ya?
"Hei, El!"
Tepukan keras di bahu membuatku memekik kesakitan. Cuma ada satu orang di kantor yang punya tenaga seperti ini! Aku menoleh sengit memelototi seorang wanita muda berambut gimbal sebahu.
"Riana! Tenaga badak! Sialan lo! Sakit, b******k!" omelku dalam satu tarikan nafas.
"Hehehe habisnya gue lihat dari tadi lo bengong aja lihatin laptop. Nanti laptop lo salting loh!" Riana menarik kursi dan duduk di sebelahku.
Keki, aku mendorong kursinya dengan satu kaki, "Sana jauh-jauh! Tukang jahil! Emang kerjaan lo sudah beres?? Gue bilangin Firza ye!"
"Jangan dong ... gue bisa disuruh lembur. Gue nggak mau lembur." Riana segera merunduk seperti prajurit di medan perang.
"Makanya jangan gabut. Sudah sana. Gue lagi semedi cari inspirasi. Kerjaan gue nggak kelar-kelaaaar!" Meskipun gestur Riana terlihat menggelikan, tapi aku menolak untuk tertawa. Bisa-bisa temanku yang antik itu betah nongkrong di mejaku kalau diberi respon positif.
Riana mengernyit, "Lo niat lembur ya?"
"Nggak lah. Biasa, pulang jam enam. Kerjaan gue tanggung," kilahku.
"Hmm ... enak sih yang tinggal di apartemen dekat sini. Sepuluh menit jalan kaki sampai. Lah gue, harus naik kendaraan umum, empat puluh lima menit baru bisa rebahan."
"Siapa suruh cari kost jauh-jauh."
"Gue nggak kuat bayar kost di kawasan sini, Bro. Mehong! Mending duitnya gue kirim ke kampung."
Aku tahu keadaan ekonomi keluarga Riana di kampung halamannya, maka aku tidak banyak komentar. Lain halnya denganku ... hanya sibuk mengelola harta warisan nenek yang nominalnya mencapai lima belas digit. Dengan kata lain seharusnya aku tidak perlu bekerja. Akan tetapi hidup sebaiknya tidak mencolok, bukan?
"Ya sudah. Gue siap-siap dulu deh. Hampir jam lima nih. See you!"
"Oke. See you." Aku melambai pada Riana yang bergegas kembali ke mejanya.
Begitu jam analog maupun digital di kantorku menunjukkan pukul lima tepat, segenap karyawan langsung bergerak menuju mesin absensi di dekat pintu keluar ruangan masing-masing lantai. Semua, kecuali aku. Yah, aku tahu pulang melebihi jam kantor bukan hal favorit semua karyawan, tapi aku punya alasan sendiri.
Mendekati jam enam sore suasana mulai meremang. Aku senang melihat langit senja dari jendela di belakang meja. Suasananya romantis sekali, khususnya bagi wanita lajang sepertiku yang berkhayal didatangi pangeran berkuda putih.
Ah, kapan ya pangeranku datang?
Aku bertopang dagu menatap jendela, menghela nafas berkali-kali sampai lelah sendiri. Suasana begitu hening membuatku nyaman. Sampai suara benda bergeser membuat jantungku berhenti sepersekian detik ...
"Oke. Time to go home."
Tidak menunggu lebih lama lagi aku membereskan meja, menjejalkan semua barang pribadiku ke dalam ransel dan melesat ke lift.
Tunggu! Jangan lupa absen atau uang makanku akan dipotong!
Terpaksa aku berbalik kembali ke mesin absensi. Beberapa detik terbuang menghambat pelarianku dari entah apa. Tuntas kewajiban absen, aku berlari lagi ke lift. Beberapa detik lagi berlalu dalam suasana yang tidak mengenakkan.
"Eliana ...."
Demi apa pun, bulu kudukku meremang disko mendengar bisikan lirih yang—aku sangat yakin—tidak memiliki wujud tersebut. Angka di atas pintu lift baru sampai di lantai tujuh. Ayo, lima lantai lagi!
"Eliana ...."
Heran. Dari mana sih makhluk-makhluk ini tahu namaku? Sambil terus menatap angka di atas pintu lift aku bernyanyi-nyanyi dalam hati. Sembilan. Sepuluh. Sedikit lagi.
Akhirnya dua belas!
Pintu lift terbuka dengan suara denting merdu. Aku bergegas masuk dan menekan tombol untuk menutup pintu.
"Eliana ... dompetmu ketinggalan ...."
Aku terkesiap. Tanganku segera menahan pintu lift yang sedang menutup. Dompet lebih penting dari nyawaku!
Suara tawa lirih mengiringi langkahku yang kembali ke meja. Dalam hati aku menggerutu panjang lebar mengomeli si hantu penghuni gedung karena tidak memberitahu lebih awal tentang dompetku.
"Maaf ... habisnya kamu lari seperti melihat hantu."
"Kamu hantunya!" cetusku.
Aku yakin siapa pun yang mendengar suara tawa berkepanjangan seperti saat ini pasti akan pingsan ketakutan. Untung aku sudah terbiasa.
"El, tidak jadi pulang?" tanya suara tanpa sosok itu.
Helaan nafas panjang kuhembuskan—dengan harapan bisa meniup sosok tak kasat mata itu terbang ke pojok, "Batal lah. Kamu sudah muncul. Mau apa nih sekarang?"
Sesosok berwujud manusia transparan muncul di hadapanku. Aku duduk di kursi dan memperhatikan gerak-gerik si hantu. Ya iya lah! Meskipun terkesan friendly, tapi aku harus tetap waspada! Jangan sampai makhluk-makhluk dunia lain ini mengambil alih tubuhku dan berbuat seenak jidat!
Sebuah kursi bergeser mendekat. Hantu berwujud wanita muda itu duduk dengan anggun. Dari gaya berpakaiannya—ya iya lah berpakaian, hantu juga bisa malu dong—terlihat bahwa semasa hidup dia adalah wanita berkelas.
"Tolong aku, El. Aku yakin liontinku masih ada di gedung ini," pinta si hantu berwajah cantik.
"Tapi di gedung ini nggak ada toko perhiasan. Setahuku juga nggak ada karyawan yang suka memakai perhiasan." Aku menekan pelipis. Bukannya tidak mau menolong orang, eh ... maksudku, hantu.
Si hantu terlihat sedih, "Aku perlu tahu liontinku berada di tangan yang tepat."
Aku menghela nafas, "Jangan suruh aku naik ke atas lagi deh. Bisa tertangkap kamera CCTV terus dipecat loh."
Mata si hantu langsung berbinar, "Please?"
"Nggak ada deh. Brankas si bos juga cuma terisi dokumen penting, bukan perhiasan."
"Kamu sudah lihat?"
"Kata sekretarisnya."
"Itu dia. Aku juga tidak bisa melihat apa yang ada di dalam brankas. Pasti ada yang dia sembunyikan. Please, lihatlah untukku?" Si hantu menangkupkan dua tangan di d**a.
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Sudah satu bulan hantu satu ini memintaku mencarikan liontin. Sudah satu bulan juga aku menjelajahi setiap lantai gedung ini demi mencari benda tersebut. Berdasarkan pengalaman begitu mendapat apa yang mereka inginkan, hantu-hantu ini akan berhenti menggangguku.
Yah, paling ada satu dua hantu yang masih iseng menyapa, tapi selebihnya tidak terlihat lagi.
"Begini ya. Kalau aku nekat ke ruangan bos, berarti aku sudah siap dipecat. Aku masih ingin bekerja di sini."
Hantu itu mencibir, "Untuk apa bekerja kalau tidak perlu uang? Warisan Virginia masih sangat banyak, 'kan?"
Sudut bibirku berkedut. Hantu ini mengintip rekeningku??
"Eh, aku tidak mengintip loh. Virginia yang memberitahu," kata si hantu lagi.
Jantungku berdebar, "Kamu bertemu nenek?"
Si hantu mengangguk, "Dia selalu memperhatikan kamu dari jauh."
Mataku terasa panas. Stop! Aku tidak mau menangis di depan hantu! Ugh, menyebalkan sekali ...
"Oke lah. Kita naik. Tapi! Ini yang pertama dan terakhir!" Aku berdiri dan memakai ransel, bersiap untuk melakukan petualangan ala detektif.
"Aku tunggu di atas." Si hantu segera lenyap dari pandangan.
Rasanya kakiku berat sekali melangkah ke lift. Namun, kalau tidak dituntaskan bisa-bisa hantu satu ini menggangguku sampai di dunia mimpi. Aku 'kan butuh mimpi indah sebagai selingan atas hari-hariku yang monoton.
Tiba di lantai tiga belas, suasana lebih mencekam. Hampir semua lampu telah dimatikan oleh office boy. Lampu yang tersisa malah membuat suasana terasa mistis.
Aku mengendap-endap mendekati pintu ruangan bosku. Sebisa mungkin aku menghindari kamera CCTV. Biasanya pintu tidak dikunci karena tidak akan ada karyawan yang berani naik. Pintu berukuran besar tersebut terbuka tanpa suara. Engselnya pasti selalu diminyaki.
"Di sana, El."
Jantungku berhenti sedetik karena bisikan si hantu yang mendadak muncul di sebelahku. Aku mencak-mencak dalam hati.
"Kaget ya? Maaf." Si hantu meringis cantik.
"Sialan lo," desisku.
Tanpa membuang waktu aku berjalan melintasi ruangan berukuran besar ini. Aku pernah beberapa kali masuk kemari untuk melaporkan hasil pekerjaanku, yaitu desain untuk promosi produk. Namun, tetap saja kakiku tersandung karpet. Lagi-lagi aku mengomel dalam hati.
"Ceroboh," ejek si hantu.
"Berisik nih ... mau kubantu nggak?" ketusku.
Hantu itu meringis.
Lanjutkan perjalanan. Kini aku tiba di meja kebesaran si bos. Tanganku menyentuh permukaan meja dan segera saja potongan-potongan gambar muncul di kepalaku. Aku terkesiap. Sialan! Bos yang sudah berusia kepala lima ini sering 'mengerjai' karyawan wanita di atas meja!
"Ya, aku juga sering lihat aksinya," lirih si hantu.
Jantungku berdebar kencang. Adegan-adegan tersebut terlalu mengerikan bagi seorang wanita lajang seperti aku!
"Brankasnya di sana, El."
"Iya, tahu. Mataku masih bisa lihat," cetusku keki.
Hati-hati sekali aku menggeser panel kayu di dinding. Tampaklah sebuah brankas besar ditanam di dalam dinding tersebut. Aku menyentuh pintu brankas tanpa berharap apa pun.
"Eliana! Berhenti!"