"Woi! Bengong aja. Pasti mikirin cowok."
Aku yang memang sedang memikirkan Alex terbungkuk kesakitan di atas meja karena Riana menepuk bahuku dengan tenaga badak. Kadang-kadang aku curiga Riana adalah lelaki yang terperangkap dalam tubuh wanita.
"Riana! Gue gunting rambut lo ye??" sergahku.
Wanita berambut gimbal itu tertawa terbahak-bahak, "Lagian masih pagi sudah mengkhayal. Dipelototin Firza tuh."
Spontan aku melirik ke arah ruangan Art Director kami, Firza si kulkas dua pintu. Lelaki itu tidak sedang memelototiku kok. Dasar Riana reseh.
"Sebentar lagi meeting. Hawa-hawanya bakal dikasih kerjaan lebih. Capek deh. Di meja gue kerjaan masih numpuk, masih proses revisi, masa iya tambah lagi?" Riana memandangi langit di belakang mejaku.
"Tapi bonusnya 'kan lumayan. Bisa untuk bayar tato half sleeve impian lo," cetusku. Mendadak aku teringat pada tato sepasang sayap di punggung Alex ... punggung yang lebar dan kokoh. Duh, kenapa harus ada lelaki se-macho itu sih?
Riana meringis, "Iya sih. Cuma, kalau benaran bikin tato gue takut nggak diakui anak lagi sama emak gue. Tahu sendiri emak gue orangnya konservatif."
"Anaknya? Patut di-konservasi."
"Sialan lo. Emangnya gue badak bercula dua?"
Aku meringis ketika Riana kembali menepuk bahuku, "Lah, lo 'kan memang badak? Tenaga badak! Tuh, cula lo di rambut."
"Woi, pada mau meeting nggak? Dipanggil atasan noh!" cetus Romy, rekan desainer kami.
"Iya, iya. Duluan gih sana. Kalau bisa absenin ya," balas Riana.
"Absenin gimbal lo," balas Romy.
Aku mematikan layar laptop dengan kecepatan seekor kungkang. Saat aku baru melangkahkan kaki masuk ke ruang meeting kecil Firza menghadang. Aku menatap kulkas dua pintu ini dengan heran.
"Kamu dipanggil Bos," katanya.
"Sekarang?"
"Bukan, Eliana. Minggu depan. Ya iya lah sekarang! Cepat sana ke atas!"
Duh, salah apa lagi aku di mata CEO berumur lima puluhan itu? Jangan-jangan dia mengincarku jadi salah satu wanita simpanannya. Mengerikan ...
"Hei. Cepat ke ruangan bos sebelum diberi SP satu," kata Firza yang keki melihatku enggan bergerak.
"Iyaaa. Wish me luck deh."
Firza geleng-geleng kepala dan menutup pintu ruang meeting di depan mukaku. Dasar kulkas dua pintu bar-bar. Gaya sih keren, tapi tidak bisa memperlakukan wanita dengan baik. Pantas saja dapat nama julukan kulkas dari karyawan wanita segedung.
Penuh keengganan aku menaiki tangga menuju lantai tiga belas. Kusapa sekretaris cantik berambut merah di depan ruangan CEO. Wanita seksi yang selalu memakai pakaian ketat itu membukakan pintu untukku. Hawa dingin dari dalam ruangan langsung menerpa kulit. Memang sudah kebiasaan si bos memasang AC pada suhu kamar pemulasaran jenazah.
"Pagi, Pak," sapaku pada seorang lelaki paruh baya berjas mahal yang duduk di belakang meja besar.
"Ke sini," titahnya.
Nada suara yang sangat tidak enak didengar itu membuatku semakin enggan mendekat. Namun, sebagai karyawan biasa aku harus mematuhi atasan, bukan? Kakiku melangkah perlahan di atas karpet empuk mendekati meja,
"Ada apa, Pak?" tanyaku dengan wajah sedatar mungkin.
Pak Budi—demikian nama CEO-ku—mengarahkan remote ke dinding. Sebuah panel terbuka menampakkan layar LED berukuran empat puluh inci. Aku berusaha tetap terlihat normal saat Pak Budi menyetel video rekaman CCTV kemarin sore. Terlihat aku mengendap-endap mendekati brankas, kemudian layar menghitam.
Loh, cuma itu hasil rekamannya? Aku ingat dengan pasti bahwa setelah frame terakhir itu Alex muncul dan memelukku, setelah itu kami berciuman.
Astaga Eliana! Malah ingat ciumannya! Bos lagi siap ngereog di depan mata loh!
"Sedang apa kamu kemarin sore, hmm?"
Aku merasa tidak nyaman karena tatapan sang CEO seperti sedang menelanjangiku, "Emm ... sepertinya saya menjatuhkan sesuatu saat terakhir kali kemari, Pak. Tapi saya tidak yakin di mana posisinya. Saya coba cari saat tidak ada orang supaya tidak mengganggu."
Pak Budi menyipitkan mata, "Kamu tahu ruangan ini tidak boleh sembarang dimasuki karyawan? Bagaimana kalau ada dokumen rahasia yang hilang? Siapa lagi pelakunya kalau bukan kamu?"
"Tapi saya tidak akan mengambil sesuatu yang bukan milik saya," kilahku.
Hening mencekam ketika tidak ada seorang pun yang bicara. Aku semakin tidak nyaman dengan tatapan Pak Budi. Mendadak aku menyesal karena tidak memakai jaket Alex.
"Sayang sekali. Saya lihat kamu karyawan yang rajin. Hasil kerjamu juga bagus. Perusahaan akan sangat kehilangan kalau kamu dapat SP tiga sekaligus," ucap Pak Budi dengan senyum samar.
"SP tiga? Tapi saya baru satu kali melakukan pelanggaran, Pak." Aku tidak terima dengan ucapan tersebut.
Pak Budi menyatukan dua tangan di atas meja, "Siapa yang akan mempercayaimu?"
Sebal sekali aku melihat lelaki itu bergaya sok cool. Dia pikir mukanya seganteng George Clooney, apa?
Suasana kembali hening.
"Saya tidak terima, Pak. Anda menuntut karyawan mematuhi peraturan, tapi Anda sendiri tidak. Satu pelanggaran, satu surat peringatan. Lebih dari itu berarti Anda bertindak sewenang-wenang," ketusku.
"Oh ya? Dan kamu punya hak apa untuk berkata demikian? Kamu seperti karyawan lainnya terikat dengan surat kontrak, tanda tangan di atas meterai, yang menyatakan bahwa semua keputusan ada di tangan saya. Suaramu lemah, Nona." Kali ini Pak Budi tersenyum lebar seperti seekor serigala.
Kedua tanganku terkepal. Tua bangka ini mau bermain-main denganku rupanya. Sialan. Beginikah caranya menjerat karyawan-karyawan wanita? Aku bergidik mengingat gambaran-gambaran tidak pantas yang dilakukan Pak Budi terhadap para wanita di atas meja.
"Kalau begitu saya mengundurkan diri. Atau silakan saja Anda berikan langsung SP tiga itu. Masih banyak perusahaan yang lebih manusiawi," balasku. Ini sudah harga diri yang berbicara loh.
Karena kulihat Pak Budi tidak berminat bicara lagi, aku balik badan berjalan ke pintu. Secepatnya aku pergi dari tempat ini lebih baik. Loh, pintu tidak dapat dibuka??
"Kamu pikir ini perusahaan milikmu, mau pergi tinggal pergi? Tidak semudah itu, Nona."
Aku berbalik mendengar suara langkah kaki Pak Budi yang mendekat. Dia mengunci pintu dengan tombol tersembunyi di meja!
"Di sini saya yang memberi perintah. Kalau kamu menurut, saya akan memperlakukanmu dengan baik. Paham? Bukan tidak mungkin saya akan mengangkat posisimu di perusahaan." Pak Budi tersenyum jahat.
"Buka pintunya." Tidak perlu lagi sopan santun. Lelaki ini sudah menunjukkan itikad tidak baik.
"Atau apa?"
"Atau saya akan teriak." Aku memperhitungkan situasi. Secara fisik Pak Budi jelas lebih kuat. Namun, kalau aku bisa menghindar dan mendapatkan senjata, situasi akan berbalik.
"Teriaklah, Nona. Tidak ada yang akan mendengarmu. Patuhlah. Kamu akan mendapat banyak keuntungan." Pak Budi semakin mendekat.
"Mimpi!" Aku mundur ke tengah ruangan sambil mencari-cari benda apa yang bisa kugunakan sebagai senjata.
"Kamu tahu? Saya suka wanita yang memberikan perlawanan. Membuat suasana lebih panas."
"Berani sentuh saya akan tahu akibatnya!" Aku mengitari meja. Tanganku meraih pulpen mahal yang tergeletak di atasnya.
"Oh. Apa yang akan kamu lakukan dengan pulpen itu, hmm? Menikamku? Kamu membuatku takut."
Kejar-kejaran berlangsung cukup lama. Sebagai wanita aku merasa gentar juga melihat lelaki paruh baya itu terus mendekat. Mungkin karena panjang kaki yang berbeda, perlahan jarak di antara kami mengecil.
'Eliana! Bertahanlah, sebentar lagi aku sampai!'
Lengah sedikit karena suara Alex yang bicara dalam pikiran, kakiku berkhianat dengan saling menjegal. Tubuhku oleng, tapi tidak sampai jatuh karena berpegangan pada meja. Pak Budi melihat kesempatan dan menerkam.
"Kena kamu!" Pak Budi menindihku tengkurap di atas meja.
"Sialan! Lepasin!" Aku meronta sekuat tenaga. Kakiku menendang ke belakang.
"Susah payah kutangkap, tidak akan kulepas. Kamu masih perawan, 'kan?"
Lelaki menjijikkan ini bicara begitu dekat telingaku. Aku menyentakkan kepala ke belakang dan mengenai wajahnya. Terdengar suara mengaduh. Bagus! Tanpa menunggu lama aku membebaskan diri.
"Perempuan b******k!" Pak Budi memegangi wajahnya.
Babak kedua pengejaran belum lagi dimulai, seseorang menendang pintu ruangan sampai nyaris copot dari engsel. Aku dan pengejarku terpaku oleh suara keras yang ditimbulkan.
"Alex!"