6. Pengacau Hati

1662 Words
Aku berharap ini hanya mimpi. Mimpi buruk yang begitu ingin aku hindari selama lebih dari tujuh tahun ke belakang. Tapi … kenapa semesta seolah mengejek usahaku selama ini dengan mempertemukan kami berdua dalam suasana membingungkan seperti tadi siang. Sial kuadrat!! Sial yang pertama, tentu saja karena pertemuan dengan Bang Pino di saat hatiku belum siap. Lalu yang kedua, hatiku kembali remuk dihantam kenyataan karena faktanya Bang Pino adalah suami dari Bu Nadia, atasanku sendiri. Double kill banget kan rasanya menjadi seorang Meli di hari pertama dengan jabatan baru ini. “Mel, makan siang yuk,” seru Anin tahu-tahu sudah membuka pintu ruanganku. “Duluan deh, Nin. Kerjaan gue kurang dikit banget kok ini,” balasku memaksakan senyum. Demi menutupi riuhnya debaran jantungku setelah bersitatap dengan pemilik tatapan tajam namun menenangkan seperti Bang Pino. Sialan sekali karena sampai detik ini hatiku masih bergetar aneh tiap memikirkan pria itu. Sadar Meli sadar!!! Dia udah jadi suami orang, yang tak lain adalah atasan lo sendiri. Makiku pada diri sendiri. “Gue tungguin di meja gue deh, ya? mau ngajakin Nathan sekalian.” Anin mengedipkan satu matanya lantas menutup pintu. Bagaimana bisa aku menolak ajakan Anin dan Nathan di hari pertama kami bergabung di kantor yang sama. “Oke, sepuluh menit lagi gue susul,” putusku pada akhirnya. Belum sampai sepuluh menit, terdengar suara pintu ruang kerjaku dibuka perlahan. “Sabar Nin,” lirihku sambil menggeser kursor di layar laptop kemudian menekan mode sleep. “Li- sa,” jelas itu bukan suara Anin. Suara berat yang bisa membuatku merinding seperti ini hanya milik Bang Pino seorang. Saat aku mengangkat wajah, baru kusadari kalau ini memanglah bukan bunga tidur. Namun memang kenyataan yang harus aku hadapi dengan tangguh dan lapang d**a meskipun nantinya akan mengulang rasa perih yang sama. “P- Pak?” jawabku serupa cicit anak tikus. Bagaimanapun dia adalah suami atasanku, nggak mungkin kan kalau aku panggil dengan sebutan Bang Pino atau Bang Pinpin seperti tahunan silam. Terdengar sangat alay sekali. Ah, rasanya memang sudah saatnya aku mengubah panggilan Pino-Pino itu menjadi Fino, agar tak terdengar seperti Meli di usia belia yang masih terjebak di masa lalu dengan segala kenangan yang- jujur saja- masih melekat sampai detik ini. Mungkin awalnya akan sulit terbiasa, tapi sepertinya memang harus aku coba secepatnya. Fino. Fino. Just, Fino! Pak Fino, bukan Pino, Pinpin ataupun Bang Pino! “Ka- kamu ternyata kerja di sini?” Dengan satu tangan Bang Fino menutup pintu di belakang punggungnya. Tak sampai tertutup rapat, karena aku masih bisa melhat sela di belakang punggung pria itu. Aku hanya memberi anggukan sebagai jawaban atas pertanyaannya tadi. Jujur saja, aku masih bingung dengan pertemuan kami yang di luar prediksi sepert ini. Mungkin karena itulah lidahku mendadak kelu tak bisa lancar mengeluarkan kalimat-kaimat panjang seperti biasanya. “Baru?” tanya Bang Fino singkat sambil mengangkat satu alisnya. “Baru dimutasi ke pusat sejak hari ini lebih tepatnya,” ralatku cepat-cepat tanpa berani membalas tatapan Bang Fino yang berkemungkinan kembali melemahkan benteng di dalam hatiku. “Kabar kamu gimana, Lisa?” Jujur, kini aku membenci suaranya saat memanggil namaku dengan sebutan Lisa yang sangat khas ‘dia’ sekali. Rasanya seperti ditarik pada masa beberapa tahun silam di mana kami berdua masih sama-sama terlena dengan sensasi cinta pertama. Aku terutama, kalau dia, mungkin saja saat itu hanya memanfaatkan keluguanku akan yang hal yang berkaitan dengan asmara. “Ba- baik, Pak,” jawabku tergeragap lantas melarikan pandangan ke mana saja asal tak terpaku pada binar matanya. “Pak?” tanya Bang Pino dengan nada meledek. “Serius kamu panggil Abang dengan sebutan, Pak?” Ini tak bisa dilanjutkan! Jantungku rasanya hampir meledak setiap kali mendengar suaranya yang masih sama seperti tujuh tahun silam. Di mana aku dibuat bertekuk lutut tak berdaya dengan segala perhatian dan kharismanya. “Lis—” “Terus maunya dipanggil apa? Bang Pino atau Bang Pinpin seperti tujuh tahun lalu gitu? No! udah beda jauh keadaannya!” potongku tegas saat tak bisa lagi menahan gejolak aneh yang mendadak muncul di dalam kepalaku. “Jelas-jelas Pak Fino suami dari atasan saya, jadi saya harus berlaku sopan kan?” “Tapi kita kan—” “Maaf saya sudah ditunggu temen yang lain,” potongku lagi membuang pandangan ke arah meja. “Lagian nggak enak sama Bu Nadia kalau Pak Fino terlalu lama si ruangan saya.” “Nadia lagi ke kamar kecil sama Nando.” Oh, jadi nama anaknya Nando. Sebenarnya aku tak perlu tahu, dan memang tak ingin tahu juga. Ckk, lagian kenapa pula pria ini tiba-tiba muncul lagi setelah kejutan tadi sih? Nggak takut sama bininya apa? Percakapan ini harus segera berakhir. Aku benci saat mendengar Bang Fino menyebut nama Bu Nadia ataupun putra mereka. Ada bagian hatiku yang ngilu kala pria itu tanpa sengaja menceritakan keluarga kecilnya. Aneh kan? "Maaf, Pak, tapi saya sudah ditunggu." Bodoh amat kalau dia menganggapku menghindar. Nyatanya aku memang menghindar kok. Berdekatan dengan ex crush yang dulu aku cintai setengah mati namun kini sudah menjadi suami orang ternyata tak baik untuk kesehatan jantungku. Dasar Meli lemah!! "Jangan menghindar," sergah Bang Fino menahan lengan kananku. "Saya nggak menghindar, Pak," kilahku memberanikan diri menatapnya nyalang meski harus susah payah menahan dorongan air mata yang siap tumpah kapan saja. "Tapi, Lis—“ "Tolong," gumamku mencoba memelas. Sial, aku benci situasi seperti ini. Apalagi saat tiba-tiba kedua mataku sepet terasa semakin memanas kala sekilas saja menatap netra teduh milik Bang Fino. Menghembuskan napas pelan, akhirnya Bang Fino bergeser satu langkah untuk memberiku jalan. Tak mau melewatkan kesempatan, aku langsung membuka pintu hendak menuju kubikel Anin. Sayangnya aku justru bertemu dengan Bu Nadia yang sedang menggandeng Nando, putranya. "Kamu di sini, Hesta?" sepertinya Bu Nadia melihat suaminya yang masih mematung di ruanganku. Perempuan cantik itu tersenyum padaku lantas mengalihkan pandangannya ke sosok yang ada di belakangku. Siapa lagi kalau bukan Bang Fino, aah ... tapi ternyata di sini ia punya panggilan lain yang baru kuketahui. Bang Hesta, not bad, tapi masih terasa asing di telingaku. "Hmm, aku kira masih jadi ruangan Mbak Yuni. Tadinya mau pinjam Gayatri News edisi terbaru. Ternyata pemilik ruangannya sudah ganti pemilik ya?" Bisa saja nih manusia membual dan mencari alasan dengan cepatnya. Sumpah, aku tak berani menoleh dan menatap pria jangkung itu ataupun menelaah raut wajah Bu Nadia. Tapi aku bisa merasakan aura dingin saat Bang Fino berjalan melewati bahuku. "Iya, Melisa ini yang gantiin Mbak Yuni jadi managing editor. Baru hari ini masuk kerja, tadi udah kenalan kan?" "Udah dong, udah kenal." Saat bertemu lagi beberapa saat lalu, kami berdua memang seolah tersihir karena sama-sama membatu di tempat. Jadi saat Bu Nadia memperkenalkan Bang Fino sebagai ayah dari putranya, aku hanya manggut-manggut sambil menunduk malas. “Saya permisi duluan ya, Bu. Sudah ditunggu temen yang lain mau makan siang bareng.” Secepat kilat aku menghias wajah datarku dengan senyum ramah. Jangan sampai atasan baruku ini menganggapku bawahan yang tak tahu sopan santun karena memasang wajah tak bersahabat. “Oh, oke, silakan Meli. Cepet banget akrab sama yang lain ya?” “Kan dulu sering juga ada kerjaan di kantor pusat, Bu. Apalagi sama Nathan juga satu alumni, jadi kami sudah kenal lama,” seruku masih mempertahankan senyum palsu. “Alumni mana memangnya?” Aku memejam sesaat ketika Bang Fino menyambar percakapan. Ngapain coba tanya-tanya segala. “Kalau Nathan lulusan UI kamu juga dong, Mel?” suara Bu Nad kembali mengalun. Duuh, males banget terjebak basa-basi lagi kan! Anin mana sih! “Iya, gitu deh, Bu,” balasku asal. “Ayah, ayo! Aku udah ngantuk banget ini.” Oh, God!! aku harus berterima kasih pada bocah tampan yag menjadi putra atasanku ini. Setidaknya rengekan singkatnya bisa menyelamatkanku dari percakapan tak berfaedah dengan sepasang suami istri yang membuat hatiku kelonjotan tak nyaman ini. “Mari, Bu. Saya duluan kalua begitu.” Bu Nadia mengangguk sambil tersenyum, lalu sibuk mengekor putranya yang kini berpindah ke gendongan Bang Fino. Aku sempat melirik keluarga kecil itu saat ketiganya di sebelahku. Family goals banget kan? harusnya aku ikut senang karena lelaki yang pernah aku cintai kini hiudp dengan bahagia. Namun anehnya, hatiku malah kalut dan merasa ngilu. Bahkan tanpa sadar sedari tadi aku hanya mematung sambil menekan-nekan d**a kiriku demi menenangkan detak nyeri yang lancang datang tak mau pergi. "Lo kenapa, Mel?" Nathan menepuk pundakku, membangunkanku dari lamunan. Saat aku menoleh ternyata sudah ada Anin juga di sampingnya, menutupi gugup aku meringis saja selebar mungkin. "Ngelamun?" "Dikit," jawabku singkat. "Ngelamun kok pake nangis?" Anin mengulurkan jari telunjuk untuk mengusap basah di sudut mataku. Sial, ternyata benar aku menangis. Tangisan tak berguna yang lagi-lagi tumpah karena pria sialan yang baru saja mengacaukan hati dan pikiranku. "Siapa yang nangis?" "Eh, Pak Hesta. Balik lagi, Pak?" Anin mengangguk hormat. Aku tak perlu repot menoleh, karena sudah sangat tahu siapa pemilik suara itu. "Iya, mainan si Nando ketinggalan di meja bundanya," suara berat Bang Fino terdengar sangat dekat di sisi kananku. "Tadi siapa yang nangis?" ulangnya sekali lagi. Kepo banget nih makhluk! Aku semakin membuang muka tak ingin pria itu mendapati sembab di wajahku, atau bahkan mendengar dentuman jantungku. "Melisa tuh, Pak. Leader baru kita," sahut Anin lagi sembari mengendikkan dagu ke arahku. "Kelilipan Nin, kelilipan doang ini mah," kilahku mengedipkan kelopak mata beberapa kali sambil mencondongkan wajah ke arah Anin. "Diih, ada gitu kelilipan sampe mata dua-duanya? Aneh." Anin manyun seolah tam percaya dengan kalimatku. Memang sih aju berdusta, tapi tolonglah setidaknya sekali ini saja percaya, Nin!! "Baru hari pertama pindah ke kantor pusat kok udah sedih," ujar Bang Fino seakan mengajakku bercanda dengan ramahnya. Kampret! Aku memilih tak menjawab, lalu dengan cekatan aku malah menggamit lengan Nathan dan menarik sahabatku itu menjauh. "Yuk cabut, Nath. Nin, elo ikut makan nggak? gue traktir!" Meski kalimatku tertuju untuk Anin, aku sempatkan melirik Bang Fino yang ternyata juga sedang menatapku lekat. Masa bodoh kalau dia besar kepala. Setidaknya aku ingin menunjukkan padanya kalau aku sudah berubah menjadi Melisa yang tangguh dan sekuat baja. Bukan lagi si gadis polos yang tujuh tahun silam dengan bodohnya bisa ia khianati. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD