5. Surprise

1660 Words
"Mel, kita-kita udah tahu kali kalau lo dapet promosi, gantiin Mbak Yuni, kan?" sambut Anin ketika aku berangkat kerja hari ini. Aku berangkat jauh lebih pagi di hari pertama ini. Sengaja, agar bisa sarapan bersama kedua sahabat yang sudah aku kenal sebelumnya di Gayatri Publishing, Anin dan Nathan. Tepat pukul tujuh tadi kedua orang ini sudah menungguku di salah satu sudut McD yang berada tepat di seberang gedung Gayatri. "Hmm," aku menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Sedikit pengalihan agar aku bisa menyiapkan jawaban. Karena kupikir semua orang di kantor pusat belum tahu kalau aku dimutasi untuk menggantikan posisi Mbak Yuni sebagai managing editor. "Kata Mbak Ajeng?" akhirnya aku balik bertanya. "Iyalah, udah dari minggu lalu, Mbak Ajeng koar-koar kalau lo bakalan dipindah ke pusat. Gue sih udah curiga aja kalau elo bakalan gantiin posisi Mbak Yuni." Nathan ikut berkomentar. "Rumor says it, nggak usah sok cari alasan deh, iya kan bener tebakan gue?" Anin kembali memicingkan mata menatapku. "Hmmm, ya gimana ya, udah rejeki gue kali," jawabku sambil meringis lebar. "Rejeki nggak boleh ditolak bestie, pamali," imbuhku sembari mengulum senyum. "Tuuh kan bener, apalagi kalau elo udah senyum-senyum najis gitu," ujar Nathan spontan menepuk lengan Anin hingga gadis itu mendelik. "Berengsek! sakit Nath!" "Ehh, sorry, sorry kelepasan. Saking happy-nya ini gue, karena Mbak Yuni digantiin sama Meli," kelakar Nathan bertepuk tangan. "Setidaknya gue bisa bernapas lega karena bisa lepas dari keruwetan ibu yang satu itu." "Ya, kalau Mbak Yuni resign karena ikut suaminya, kan emang harus ada yang gantiin posisinya, Nath, Nin." Aku tersenyum manis karena kepindahanku ke kantor pusat disambut bahagia oleh kedua sahabatku, meskipun belum serah terima secara resmi. "Entar kalau udah official, kita-kita ditraktir dong, Bu Redaktur Pelaksana," goda Anin sambil mengguncang lenganku. Anin dan perut gratisannya dari dulu memang sudah tersohor seantero Gayatri. "Beres pokoknya, beres." Aku menaikturunkan alis. “Kalian mau ditraktir apa hayuk aja, starbucks gimana?” "Ya udah buruan kelarin sarapannya, abis itu kita nyebrang," seru Anin sambil mengendikkan dagu ke seberang jalan, di mana gedung tempat kami bekerja berada. Makanan sudah tandas, hanya menyisakan potongan daun selada yang memang menjadi musuhku selama dua puluh delapan tahun hidup di dunia. Sedangkan di sebelahku, Nathan langsung melanjutkan kegiatann makannya. Tadi dia bilang kelaparan, makanya pesan dua porsi, eh ternyata sekarang malah hampir menyerah saat harus menghabiskannya. "Masih ada lima belas menitan lagi, Anin. Santai dikit ah," gerutuku setelah membersihkan ujung bibir dengan selembar tissue. "Lo lupa kalau Bu Nad itu perfectionist banget, telat satu detik juga doi bakalan tau, Mel," kelakar Anin disambut gelak tawa Nathan. "Eh iya ya? duh gue nggak tau, kan belum pernah jadi 'anaknya' langsung." "Laaah makanya, buruan deh makannya. Anak pindahan kayak lo kan malah harus persiapan juga buat kenalan ke tim yang lain. Jangan sampe duluan Bu Nad yang naik ke lantai tujuh." Ah... iya, Bu Nad si paling perfectionis, itu adalah panggilan para staf kantor untuk Bu Nadia, pimpinan redaksi kami yang baru menjabat menggantikan posisi ayahnya. Mungkin sekitar delapan atau sembilan bulan ke belakang beliau memimpin Gayatri Publishing. Aku bahkan belum pernah sekalipun bertemu secara langsung dengan boss cantik yang satu itu. Hanya sekilas saja melihatnya dari foto-foto yang disebar anak-anak kantor lewat percakapan grup. Kalau boleh jujur, Bu Nadia ini sangat cantik, masih muda juga. Mungkin usianya hanya terpaut lima atau enam tahun di atasku. Dari wajahnya sih terlihat kalem, tapi entah lagi kalau nanti bekerja secara langsung di bawah naungannya. Namun ada satu hal yang mengganjal, wajah Bu Nadia ini rasanya tak asing bagiku. Pokoknya sangat-sangat familiar deh, sayangnya aku lupa, di mana tepatnya pernah melihat atau bertemu beliau. "Tapi Bu Nadia baik, kan?" tanyaku lagi pada Anin dan Nathan begitu kami keluar dari resto. "Baik kok, asal kerjaan lo beres tanpa cela." Nathan yang pertama kali menjawab. "Gue sih yakin kerjaan Meli pasti tanpa cela, kalo nggak, nggak bakalan dia naik jabatan kayak sekarang. Iya tak?" goda Anin sambil menjawil daguku. Beruntungnya aku punya mereka berdua di kantor pusat, setidaknya hari-hari pertama di kantor tak akan sekaku bayanganku semula. "Woiya jelas dong, setidaknya gue bakal dapat ruangan sendiri, bukan lagi kubikel." Aku terbahak sambil mengibaskan rambut panjangku hendak meledek. Namun satu tanganku gegas ditarik mundur oleh Anin saat sebuah mobil hitam melintas di sebelah kami dan berhenti di lobby kantor. "Sstt ... stt ... tuh kan Bu Nad udah dateng," seru Anin mengendikkan dagu ke arah mobil yang baru saja berhenti. Gadis itu langsung menyeret tanganku agar kami bertiga berjalan sedikit lebih cepat. Aku memicingkan mata saat mobil tersebut berhenti tak jauh dari kami bertiga. Sesosok perempuan cantik keluar dari pintu belakang mobil. Benar, itu memang Bu Nadia yang kami bicarakan barusan. Setelah menutup pintu belakang mobil, perempuan cantik itu membuka pintu depan mobil di sebelah kursi penumpang. Satu detik kemudian seorang anak kecil tampan melompat keluar dan dengan cekatan menggandeng tangan Bu Nadia. Lucu sekali, itu pasti anaknya. Ah, ngomong-ngomong aku baru tahu kalau Bu Nadia sudah punya seorang putra sebesar itu, mungkin usianya sekitar enam atau tujuh tahun. "Ayo buruan, nggak enak kali kalau sampai barengan sama Bu Nad." Anin kembali menarik tanganku saat berbelok di pintu utama. Nathan sendiri malah sudah berjalan beberapa meter di depan kami dan menekan tombol lift untuk kami. "Kenapa sih, nyapa aja nggak apa-apa kali, Nin. Nggak bakalan kena SP," dengkusku pada Anin. "Kerjaan gue ada yang kurang Mel, gue baru inget kalau ada satu naskah yang belum gue kirim email ke Mbak Ajeng buat disetor ke bagian proof reading siang nanti. Anjir sumpah, anjir!!" Ternyata karena Anin yang kelupaan dengan kerjaannya sendiri, tanganku sampai jadi korban tarik-tarikan gini. Ckk ... ini anak nggak sembuh-sembuh juga ternyata penyakit 'the power of kepepet'-nya. “Kebiasan banget lo, Nin!” sentakku tak membuat gelak tawa gadis itu reda. "Bye, Jagoan, nanti siang ayah jemput ya. Sekarang ikut sama bunda dulu." Deg ... suara itu! Aku membeku seketika hingga tanpa sadar menarik pergelangan tanganku dari genggaman Anin. Bodoh amatlah kalau gadis itu sampai memekik gemas. "Mel, ayo!" "Lo duluan aja deh, Nin," ucapku tanpa menoleh lagi. Karena perhatianku langsung tersita pada suara familiar yang baru saja kudengar. Suara yang berasal dari balik kemudi mobil yang ditumpangi Bu Nadia tadi. Tak mau dihantui rasa penasaran, aku langsung mundur beberapa langkah dan berhenti di depan meja resepsionis. Tersenyum basa-basi pada dua gadis yang menjaga di sana, masih gadis yang sama dengan beberapa tahun silam. Meski sebelumnya aku bekerja di kantor cabang, aku juga terhitung sering berkunjung ke kantor pusat untuk kepentingan pekerjaan. Jadi wajar saja kalau aku tak asing dengan wajah-wajah pekerja di gedung ini. Apalagi untuk bagian front liner. "Ayo langsung naik, Nak." Kali ini suara pelan Bu Nadia yang terdengar. Perempuan itu melambaikan tangan sekilas ke arah mobil lalu melangkah masuk bersisian dengan putranya. Aku melongokkan kepala ke depan lobby, tapi sayang aku tak sempat melihat pria di balik kemudi yang suara beratnya mendadak mengacaukan pikiranku. "Pagi, Bu Nadia." "Pagi," "Pagi, Bu Nad," "Iya, pagi," Sapaan demi sapaan saling bersahutan menyambut kedatangan pimpinan redaksi Gayatri Publishing. Aku yang sempat membeku kembali menormalkan raut wajah kemudian ikut tersenyum dan menyapa beliau. "Pagi," sapaku melebarkan senyum. "Pagi juga," balas Bu Nadia ikut tertular senyum. Sambil berlalu menuju lift, aku ikut mengantre di belakang Bu Nadia dengan beberapa karyawan lain. Tak sepenuhnya karyawan Gayatri, tapi juga ada staff dari perusahaan lain yang ada di lantai dua dan tiga gedung ini. "Ke Gayatri juga, Mbak?" tanya Bu Nadia dengan ramah saat aku ikut berhenti di lantai tujuh. Wajar beliau merasa asing dengan wajahku, meski sudah kupoles sedemikian rupa pagi ini. Kami memang tak pernah bertemu secara langsung, kalaupun pernah itu hanya lewat pertemuan daring alias virtual meeting. "Eh iya, Bu Nadia. Hmm... saya Melisa Hanum yang dimutasi ke pusat perhari ini," jawabku sedikit kikuk sambil mengangguk hormat. "Astaga, kamu Melisa Melisa itu. Sorry, sorry ... saya beneran pangling ini. Setau saya kamu pake kacamata soalnya." Pasti Bu Nadia membaca resume milikku yang ada di bagian HRD. Memang waktu itu aku masih mengenakan kacamata silinder, tapi sekarang jarang kugunakan karena bisa kuatasi dengan lensa kontak. Lebih modis saja menurutku daripada harus mengenakan kacamata. “Dulu emang pake kok, Bu. Sekarang udah nggak lagi.” “Pantesan anak-anak dari kemaren udah rame aja ngomongin kamu, ternyata secantik ini.” Aku membalas pujian Bu Nadia hanya dengan ringisan lebar. “Ayo masuk barengan, sekalian saya kenalin ke tim baru kamu.” Aku mengangguk penuh semangat. Euforia jabatan baru di kantor baru memang begitu luar biasa mempengaruhi suasana hatiku. Mengekor beberapa langkah di belakang Bu Nadia, aku tersenyum lebar setiap kali atasanku ini memperkenalkanku ke semua staff di lantai tujuh. Ada satu dua orang yang sudah aku kenal sebelumnya, tapi juga ada staff baru yang benar-benar baru aku lihat hari ini. Bu Nadia juga sangat jelas mendeskripsikan jobdesk-ku, memberitahu hal-hal penting yang harus aku perhatikan yang berkaitan dengan pekerjaanku, juga memberikan kontak penting orang-orang yang mungkin akan langsung berhubungan langsung denganku juga tim yang ada di bawahku. Satu hal yang membuat pagiku semakin ceria, ternyata Nathan masuk menjadi salah satu senior editor di timku, lain halnya dengan Anin yang lebih ke tugas-tugas jurnalistik. “Mel, sebelum jam makan siang ke ruangan saya di sebelah ya, ada hal yang harus saya jelaskan langsung sebelum serah terima sama Yuni,” pesan Bu Nadia saat meninggalkan ruanganku sambil menggandeng putra tampannya yang sedari tadi sibuk dengan miniatur mobil di tangannya. “Siap, Bu.” Setengah hari pertama ternyata cepat sekali berlalu. Setelah menyalakan laptop, menyusun rencana kerja juga merapikan beberapa berkas di meja baruku, aku gegas menuju ke ruangan Bu Nadia yang berada persis di sebelah ruanganku sepuluh menit sebelum jam makan siang. Hanya mengetuk dua kali, aku langsung mendorong pintu begitu mendengar suara Bu Nadia yang mempersilakan aku masuk. Keputusan yang sepertinya aku sesali karena mengakibatkan dentuman hebat yang menyerang jantungku. Karena di sana, bukan hanya wajah tenang Bu Nadia yang menyambutku, melainkan ada satu sosok yang pagi tadi membuat kacau syaraf di otakku. “Lis- Lisa?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD