Ini gila ... benar-benar mau gila rasanya. Padahal tadi siang hanya hitungan menit saja aku bertatap muka dengan pria itu. Tapi kenapa efeknya sampai segitunya sih? Sekarang sudah hampir tengah malam, dan mataku masih terbuka lebar, padahal hampir seluruh dunia tahu kalau aku paling anti begadang. Bahkan biasanya jam sembilan atau sepuluh malam aku sudah berkelana di alam mimpi.
Namun nyatanya? malam ini rasa kantuk tak juga berhasil membawa anganku pergi. Kilasan demi kilasan ingatan pada kejadian tujuh tahun lalu kembali menghampiri. Bagaimana bisa aku tak mengenali Bu Nadia sebagai istri seorang Arfino Hesta, pria menawan yang membuat duniaku jungkir balik karena terlalu memujanya. Aku memejam sesekali demi menggali kenangan pahit itu, tapi tetap saja tak menemukan ingatan tentang wajah Bu Nadia.
Aah ... tapi bisa saja, karena memang waktu itu aku tak terlalu fokus pada wajah si mempelai wanita yang menjadi ratu sehari. Saat itu, tatapan sedihku hanya terpaku pada sosok si pria yang nampak terkejut dengan kehadiranku yang mendatangi pesta asmaranya. Apalagi hal tersebut hanya berlangsung beberapa saat, karena tak sampai tiga puluh menit mendadak saja aku jatuh lunglai hilang kesadaran saking terkejutnya. Begitu sadar, tahu-tahu aku sudah berada di sebuah klinik di antar salah saorang kerabat Bang Fino yang entah siapa namanya.
Aku mendesah saat melirik jam dinding di sudut ruangan. Hampir jam satu malam, dan aku belum beristirahat sama sekali. Memilih bangkit sesaat menuju nakas, aku membuka laci kecil dan mengacak isinya demi mencari satu strip obat tidur yang dulu pernah aku beli. Rasanya masih ada satu atau dua butir yang bisa aku konsumsi malam ini. Besok aku dan Mbak Yuni harus serah terima jabatan, meski tak begitu formal, aku tetap mau tampil maksimal tanpa gangguan dari dark circle di sekitar mataku. Akan jadi hal yang memalukan sekali jika besok aku muncul bak seorang zombi dengan lingkaran hitam di bawah mata kan?
"Meliii buruan!!" Suara Nathan memekakkan telinga saat aku baru saja mengangkat panggilannya. "Ditungguin Mbak Yuni tuh sepuluh menit lagi katanya!"
"Iya, Nathan, iya. Gue udah di parkiran kok ini," pungkasku lantas mematikan ponsel dan memasukkannya lagi ke dalam saku blazer.
Sambil berjalan cepat aku melirik ke arah jarum jam di pergelangan tangan kiri. Masih setengah delapan, rajin sekali Mbak Yuni sudah datang sepagi ini. Padahal sebelumnya kami sepakat bertemu di ruangan baruku jam delapan pagi. Sebelun nantinya kami serah terima lalu ia akan berpamitan pada semua staff di lantai tujuh karena akan pindah ke luar pulau mengikuti dinas sang suami.
Menuju jalan pintas di sebelah slot parkir, lenganku mendadak ditahan oleh seseorang. Hampir saja aku menjerit karena menyangka akan menjadi korban tindakan criminal atau semacamnya. Ini ibukota negara guys, banyak kejadian seperti itu yang sering aku lihat di tayangan berita malam. Membayangkan saja sangat mengerikan, apalagi mengalaminya secara langsung. Amit-amit jabang bayi!!
"Lisa!" ternyata tangan Bang Fino yang menahanku. Tapi bagaimana bisa ia muncul sepagi ini di gedung Gayatri sih? serajin itukah pria ini mengantar sang istri pujaan hati?
"Bang," jawabku spontan. "Pak Fino?" ralatku sedetik kemudian.
"Abang minta maaf," katanya tiba-tiba, masih menahan lenganku dengan genggamannya yang tak begitu erat. "Abang benar-benar menyesal udah nyakitin kamu, Lisa."
Kenapa dia harus mengungkit hal itu lagi. Aku jadi memaksa mengukir senyum miris. Meski sulit, aku ingin terlihat tegar di depan pria yang ternyata masih bisa membuat debar jantungku menggila.
"Bukan sepenuhnya salah Pak Fino kok, dari awal, sepertinya saya yang terlalu menaruh harapan, maklum, saat itu masih belum banyak pengalaman cinta-cintaan," balasku sedikit sarkas tak mau berbasa-basi. Aku juga paham kok maksudnya mendadak meminta maaf, pasti karena pengkhianatannya tujuh tahun lalu. Heh, apa itu tandanya dia juga tergganggu dengan kejadian di masa lalu?
"Bukan salahmu juga, Lisa." Aku menarik lenganku sedikit keras. Tak ingin berlama-lama merasakan sentuhan tangannya. "Hmmm … bisa ganti sebutan 'Pak' itu? tolong," imbuhnya kemudian.
Aku mengernyit sesaat, tapi kemudian tergelak dalam hati. Pria ini benar-benar tak bisa ditebak.
"Maaf, tapi saya harus segera naik." Pamitku tak mau berlama-lama.
"Kalau begitu nanti kita bicara lagi." Bang Fino terlihat sedikit kecewa.
"Maaf, tapi saya sibuk, Pak."
Bang Fino terdiam, namun sorot matanya yang tajam menunjukkan ketidaksukaan dengan panggilan formalku untuknya.
"Aku sibuk, Bang," ralatku pada akhirnya. Tak lupa aku selipkan decakan singkat untuk menunjukkan kalau waktuku benar-benar tak bisa disita untuk pembicaraan kurang faedah seperti ini. "Lagi pula tidak ada yang perlu kita bicarakan. Anggap saja kita baru kenal kemarin."
"Abang akan tunggu sampai kamu nggak sibuk!" putusnya terdengar egois.
"Aku nggak ada waktu untuk berbincang dengan suami orang!" tegasku pada akhirnya.
"Suamimu pencemburu ya?"
Suami?
Aku sontak menganga mendengar pertanyaan Bang Fino. Pria ini tahu tentang pernikahanku? sungguh? Lalu ... dia tidak tahu tentang perceraianku begitu?
Aku berdeham sekali sekedar menormalkan mimik wajah. "Ya begitulah, dia pecemburu. Sangat," dustaku mengangkat kedua bahu.
Padahal seingatku, Bayu sama sekali bukan orang yang pecemburu. Ya bagaimana dia mau cemburu kalau dia sama sekali tak mencintaiku. Dia butuh aku jadi istrinya hanya untuk menutupi rahasia kelamnya saja. Ah … kampret!! kenapa malah inget kambing jantan jadi-jadian itu sih?!
"Sebentar saja, Lisa. Gimana kalau kamu saja yang tentukan waktu dan tempatnya, Abang ngikut." Ternyata setelah terpisah tujuh tahun lamanya merubah pria jangkung ini menjadi seorang pemaksa.
"Sorry, Bang, tapi pagi ini aku beneran sibuk!" putusku lalu cepat-cepat berlari kecil menuju pintu yang langsung terhubung ke lobby sebelah utara. Mataku terasa panas, gumpalan air mata sudah berdesakan ingin keluar bergantian. Oleh karena itu aku tergesa menjauh, agar Bang Fino tak mencemooh betapa lemahnya hatiku di hadapannya.
Bang Fino mendebas napas panjang. "Ya sudahlah, mungkin Abang yang terlalu tergesa-gesa," gumamnya masih sempat kudengar sebelum kami terpisah di ruangan yang berbeda.
Baru dua hari aku bekerja di kantor pusat, dan sudah dua kali ini pula jantungku dipaksa berdisko ria dengan semua kejutan yang disiapkan semesta. Sialan!! Padahal aku berharap bisa lebih tenang ketika menjauh dari Surabaya dan segala kenangan buruk tentang Bayu. Ternyata prediksiku malah melenceng jauh, bukannya hidup damai justru masuk dan tenggelam ke dalam kenangan lain yang merubahku menjadi sosok Melisa yang sangat jauh berbeda.
Begitu sampai di lantai tujuh aku langsung memeluk tubuh Mbak Yuni yang sudah menunggu di dalam ruang kerja baruku. Perempuan yang dulunya gempal itu nampak jauh lebih langsing dan memukau dari tahun lalu saat aku terakhir melihatnya. Luar biasa sekali perubahan sosok yang dulu menjadi leaderku ini.
"Maaf udah bikin nunggu lama, Mbak," ujarku saat kami mengurai pelukan.
Mbak Yuni malah mengibaskan tangan. "Apaan sih, Mel. Baru lima menitan aja kok, santuy." Meskipun hanya lima menit, aku tetap saja nggak rela. Apalagi jika keterlambatan itu disebabkan oleh orang yang ingin aku hindari demi kesehatan hati.
Aku dan Mbak Yuni berbincang beberapa saat. Dia banyak memberiku arahan dan tips-tips agar pekerjaanku tak banyak kesalahan di kemudian hari.
Begitu jam menunjukkan pukul sepuluh. Bu Nadia mengumpulkan semua staff penghuni lantai tujuh. Bu Nadia yang hari ini tampil elegan dengan setelah berwarna navy berdiri di antara aku dan Mbak Yuni. Semua staff tentu saja sudah tahu akan hal ini. Bu Nadia akan secara resmi melepas Mbak Yuni yang memilih mengundurkan diri dari karirnya.
Semuanya berjalan lancar dan penuh keharuan, bahkan ada beberapa teman yang menitikkan air mata saat Mbak Yuni menyampaikan salam perpisahannya dengan suara bergetar. Maklum, Mbak Yuni termasuk karyawan senior karena mulai bergabung dengan Gayatri sejak penerbitan tersohor ini berdiri hampir dua belas tahun silam. Jadi wajar saja kalau ikatan antara Mbak Yuni dan tempat ini sangat-sangat terasa sekali.
Setelah acara berakhir aku bergabung makan siang dengan Bu Nadia, Mbak Yuni dan dua timku yang lain. Kata Bu Nadia makan siang perpisahan untuk Mbak Yuni karena besok ia akan terbang ke tempat tinggal barunya.
“Mbak Yuni sejak nikah bucin banget ya sama Mas Rey?” goda Anin di sela-sela makan siang kami.
“Namanya juga pengantin baru, Nin. Makanya nikah gih, biar tau rasanya. Tapi habis nikah jangan ikutan resign ya!” Bu Nadia ternyata sangat bisa berbaur dan bercanda dengan staff yang lain.
“Tuuh dengerin Bu Nad, Anin. Jangan kelamaan pacaran kamu sama cowokmu itu,” balas Mbak Yuni disambut bibir Anin yang langsung maju beberapa centi.
Aku hanya menyimak saat mereka mulai bersahut-sahutan. Meski mengenal Anin dan Mbak Yuni sejak lama, aku kurang nyaman dengan pembahasan tentang pasangan kali ini. Aku paling anti jika dikorek-korek tentang uruna pribadi. Cukup sahabat terdekatku saja yang tahu bagaimana perjalanan cintaku yang tak mulus jalan tol cipularang itu.
“Bu Nadia sama Pak Hesta siapa yang paling bucin?” celetuk Nathan membuatku tersedak seketika. Kenapa masih berlangsung sih pembahasan tentang bucan-bucin ini. Aku enggan mendengarnya. Apalagi jika itu mengenai Bu Nadia dan … Bang Fino. Bisa-bisa nangis di tempat aku nanti.
“Hmmm, siapa ya?” Saat kulirik, Bu Nadia tengah menggaruk dagunya seolah sedang berpikir. “Rahasia perusahaan dong, jangan dibahas deh, malu.”
Untunglah Bu Nadia enggan menjawab. Setidaknya aku bisa terhindar dari serangan jantung mendadak jika membayangkan bagaimana manisnya perlakuan Bang Fino pada istri cantiknya ini. s**t!! memikirkannya saja sudah membuatku sesak seketika.
“Kalau kamu Mel? siapa yang paling bucin? kamu atau Bayu?” tanya Mbak Yuni menatapku. Mbak Yuni datang saat pesta resepsiku dengan Bayu lebih dari setahun silam. Tapi dia tak tahu menahu tentang perpisahan kami. Beda dengan Anin dan Nathan yang sudah tahu dengan statusku ‘janda’ yang aku sandang saat ini.
“Sttt… Mbak Yun!” Aku mengatupkan bibir saat melihat Anin menyikut lengan Mbak Yuni. Mungkin mencoba memberi peringatan karena itu hal yang sensitif bagiku.
“Apaan sih, Anin. Jangan bilang elo ngiri deh, karena gue nanya ke Meli tentang Bayu.” Mbak Yuni terkekeh saat mengerling padaku.
“Kami udah nggak barengan lagi, Mbak Yun. Jadi nggak perlu dipertanyakan lagi ya,” ujarku dengan senyum mengenaskan. Sekalian saja aku mengaku daripada di masa yang akan datang aku kembali dihadapkan dengan situasi seperti ini.
***