1. Bukan Jodoh
Arfino Hesta namanya, aku biasa memanggilnya Bang Pino, alih-alih Fino seperti yang lain memanggilnya. Iya sih aku baru mengenalnya hampir satu tahun belakangan. Belum terbilang lama. Entah kenapa, aku nyaman ketika berdekatan dengan pria jangkung ini. Senyumnya, tatapan hangatnya, suara ramahnya, tutur katanya, sopan santunnya. Semuanya.
Kalau kata Kak Rika aku sedang terserang sindrom cinta pertama. Maka dari itu semua hal yang ada pada Bang Pino selalu aku puja tanpa secuil cela. Entahlah, aku memang masih awam soal cinta, jadi aku iyakan saja pendapat dari Kak Rika.
Aku dan Bang Pino memang berjanji akan bertemu malam ini. Malam terakhir dimana aku bisa menemui pria itu sebelum esok siang aku harus terbang puluhan kilometer untuk kembali ke kota kelahiranku di Jawa Timur. Malam ini malam terakhir, di mana aku bisa menyimpan semua moment kebersamaan kami selama hampir satu tahun saling mengenal, merasa nyaman dan hampir terlena dengan sejuta angan akan masa depan.
"Hai, Lisa," sapa Bang Pino begitu melihatku melangkah mendekat.
"Haii, Bang," balasku dengan senyum lebar yang kupaksakan. Kenapa harus terpaksa? karena sebenarnya jauh di dalam hati, aku sangat ingin menangis tiap kali ingat bahwa ini adalah malam terakhir kami bisa bertemu.
"Happy banget kayaknya?" sambung pria itu ketika mengambil alih nampan persegi yang berisi beberapa potong pizza dan minuman bersoda yang sengaja kubawa.
Serius wajahku terlihat happy? Happy dari mana coba?
Oke baik, berarti aku berhasil mengelabuinya. Tak tahu saja dia bahwa di dalam hati, aku sudah ingin menjerit tak terima dengan perpisahan kami esok hari.
"Harus happy dong," sahutku lantas menghempaskan b****g duduk di sebelahnya. "Abang sendiri kan yang bilang, kalau kita harus selalu ngerasa happy apa pun yang terjadi."
Sebenarnya aku ini orangnya melankolis dan cengeng sekali. Merasakan telapak tangan Bang Pino yang mengusap rambutku saja sudah hampir membuatku menangis. Beruntung, dengan menggigit bibir bawah, aku bisa meredam keinginan untuk menumpahkan air mata saat ini juga.
"Udah packing?" tanya Bang Pino lagi setelah aku hanya diam menunduk selama beberapa menit.
"Udah, tinggal angkut aja," jawabku sembari menekuri kedua telapak tangan yang saling bertaut.
"Oleh-oleh buat orang rumah udah dipacking juga?"
Aku mengangguk lagi. "Udah, Bang."
Padahal aku ini terpaksa pulang ke Jawa Timur. Kenapa pula ya, aku yang repot belanja oleh-oleh untuk keluargaku di sana. Andai saja aku tak terikat janji sialan yang aku buat dengan Pak Hilman, bapakku sendiri yang sangat otoriter itu. Pasti aku akan menerima tawaran Pak Hendra untuk memperpanjang masa kontrak kerja di Starindo.
"Kalau boneka yang kemarin?"
"Hmm, sudah. Sengaja gak aku masukin koper. Biar bisa aku bawa terus selama di perjalanan," jawabku lirih.
Boneka yang dimaksud Bang Pino adalah boneka beruang putih dengan baju berwarna merah muda yang lucu sekali, hadiah pemberiannya kemarin. Kata Bang Pino untuk kenang-kenangan agar aku selalu mengingat sosoknya. Padahal sebenarnya, tanpa boneka beruang itupun aku pasti selalu mengingat segala hal tentangnya.
"Udah siap banget ya?" Bang Pino menarik kedua sudut bibirnya tersenyum lagi.
"Raganya aja yang siap Bang, hatinya belum," jawabku sembari menarik senyum miring, kali ini mengamati kedua kakiku yang berayun pelan di bawah kursi yang kami duduki.
"Kenapa hatinya berat?" tanya Bang Pino seraya menatapku lekat-lekat. Aah, aku suka sekali saat mendengar suaranya yang memanggil namaku. Lisa... dengan penekanan pada huruf S-nya.
"Ya karena Abang." Akuku jujur saat menatap sekilas ke arah Bang Pino. Sekilas saja, karena aku tak yakin hatiku bisa kuat berlama-lama menatap netranya. Bisa-bisa keputusanku goyah dan batal pulang kalau terperangkap dalam tatapan tajamnya.
Bang Pino tersenyum tipis paham dengan maksudku. Beberapa bulan dekat, sangat dekat malah. Dia pasti paham dengan apa yang sedang aku utarakan. Kalau aku, iya. Aku memang berat karena akan meninggalkan sosoknya yang sudah berhasil memerangkap hatiku. Entah lagi kalau buat pria itu yang bisa saja berkebalikan dengan perasaanku.
Dia pria dewasa, mungkin kedekatan dengan gadis belia seumuranku hanya dianggap angin lalu belaka. Bisa jadi perhatian Bang Pino selama ini hanya karena merasa iba karena aku merantau jauh dan terpisah jarak dengan keluarga kan? Atau bisa jadi karena sekedar ketertarikan sementara saja.
"Serius nih, berat ninggalin Abang?" ulang Bang Pino meminta kepastian.
Aku mengangguk tegas.
"Iya?" tanya Bang Pino lagi belum yakin.
"Iya," jawabku mantap.
"Kenapa berat?"
Aku menoleh dan memaku tatapan ke arah sepasang netranya. Apa binar sendu di mataku belum terbaca dengan jelas ya? Hingga pria ini tak bisa menebak perasanku padanya.
"Kamu sayang sama Abang?" tebaknya lagi setelah kami diselimuti hening beberapa menit.
"Hmm..." aku mengangguk lagi mengiyakan.
"Serius nih, sayang sama Abang?" ulangnya sampai ikut menunduk demi melihat raut wajahku yang sudah merah padam menahan tangis.
"Lisa?"
"Iya, aku sayang Abang." jawabku dengan air mata yang tiba-tiba saja sudah membanjiri wajah. Biarlah. Toh ini pertemuan terakhir kami. Di lain waktu, dia takkan melihat air mataku lagi.
Lagi-lagi kami saling diam. Terperangkap pikiran masing-masing. Aku dengan pikiran picikku yang ingin membatalkan kepulanganku esok hari. Entah lagi kalau pikiran Bang Pino, tentu saja aku tak bisa membacanya.
Hampir sepuluh menit berlalu, hanya terdengar tangisku yang semakin tergugu. Hingga aku merasakan telapak tangan Bang Pino yang mengusap lengan atasku dengan gerakan teramat pelan.
"Kalau sayang sama Abang jangan nangis-nangis gitu dong," pintanya dengan suara lirih.
Bukannya diam, aku malah semakin bergetar karena air mata. Memalukan memang. Entah bagaimana kacaunya wajahku saat itu, tapi aku setia menunduk. Enggan menengadahkan kepala membalas tatap teduh pria itu.
"Kalau nangis, berarti nggak sayang sama Abang." Kalimat Bang Pino yang satu ini sukses membuatku menghentikan tangis. Apalagi setelah jemari besar Bang Pino terangkat dan mengusap pelan wajahku yang basah karena jejak air mata.
Aku sayang padanya, jadi aku tak boleh menangis, cibir hatiku.
"Naaah gitu dong," ucapnya lagi. "Jelek kalau nangis kayak tadi." Pipiku mendadak hangat saat punggung tangan Bang Pino ikut mengusap di sana.
"Emang jelek," cicitku dengan suara serak.
"Kenapa jadi mellow sedih-sedih gini sih suasananya, padahal tadi udah happy loh." ucapnya tak mengalihkan pembicaraan.
“Ya gimana gak sedih, Bang," ucapku lirih masih tak berani mengangkat wajah. "Ini kan jadi pertemuan terakhir kita. Entah kapan lagi bisa ketemu sama Abang.”
Dari ekor mata, aku tahu Bang Pino melengkungkan senyum samar. Tatapan matanya yang teduh juga masih menaungiku dengan tenangnya.
“Kalau jodoh pasti ketemu."
Aahh iya, benar juga. Kalau jodoh memang tak akan kemana. Tapi kan kemungkinannya sangat kecil. Usia kami berbeda jauh, adat dan budaya kami bertolak belakang, belum lagi jarak puluhan kilo yang memisahkan kami. Teriak batinku tak terima.
"Tahun depan Abang ada dinas di Jawa. Kita bisa ketemu waktu itu."
Aku langsung melebarkan senyum. "Kita harus ketemu ya, tahun depan."
"Hmm..." Pria itu mengangguk sekali. "Harus ketemu, Abang akan membuktikan kalau kita berjodoh. Abang akan temui orang tua kamu."
Gurat bahagia pasti sudah tercetak jelas di wajahku saat itu. Pasti.
***
Namun hingga tahun depan yang dijanjikan, ternyata aku harus menelan pil pahit lantaran tak mendapat kepastian. Aku menunggu kedatangan pria itu dengan setia seperti yang aku ucap sebelumnya. Namun semakin hari Bang Pino semakin sulit untuk kuhubungi. Entah harapanku yang terlalu tinggi atau dia yang sengaja menjauhkan diri.
Tahun pertama aku lewati tanpa kepastian juga kabar dari pria yang hingga kini masih belum pergi dari benakku. Dari hatiku. Aku tetap setia menunggu sembari mencari kabar dari rekanku yang lain di kota tempatku merantau sebelumnya. Tak ada kabar pasti tentang keberadaan Bang Pino selain kabar bahwa ia dipindahtugaskan ke kota lain, kota kelahirannya sendiri.
"Beneran gak ada kabar, Kak?" tanyaku di suatu sore saat menghubungi Kak Rika.
"Nggak ada, Meli. Selama elo balik, dia udah jarang mampir. Sekarang malah gak pernah sama sekali."
Kak Rika sama seperti yang lain, memanggilku dengan sebutan Meli. Nama panggilanku sejak kecil. Hanya Bang Pino satu-satunya orang yang memanggilku dengan sebutan 'Lisa'. Aaaah, mengingat panggilan itu tentu saja membuatku mengingat sosok dengan senyum ramah itu. Sebenarnya, kemana perginya pria yang membawa hatiku itu.
"Udahlah, lupain aja. Namanya juga cowok, cepet dapet penggantinya."
Terdengar kekehan kecil di seberang sana. "Gue cuma mikir logis, Mel. Menurut kami yang udah dewasa malah menjelang tua ini, elo itu masih gadis kecil polos yang mudah diperdaya cinta sama sehingga mudah sekali jatuh hati. Sedangkan Bang Pinpin, dia udah dewasa kemana-mana euyy, bisa jadi elo cuma tempat persinggahan aja kan?"
Aku berdecak sebal dengan kalimat Kak Rika tadi. "Tapi Bang Pino beda Kak, dia udah janji." kilahku masih tak tergoyahkan.
"Dan elo percaya sama janji pria macem buaya kayak gitu?"
"Bang Pino bukan buaya!" belaku terpekik dengan nada kesal. Aku tak terima pujaanku itu disebut buaya.
"Tapi mereka sejenis. Cowok memang gitu, gampang janji, gampang mengingkari. Begitu ketemu cewek lain, janji lagi. Begitu terus siklusnya."
Tapi Bang Pino nggak gitu. Batinku masih membela.
“Life must go on, Meli. Kamu masih muda, masa depan cerah, jangan sedih berlarut larut gitu hanya karena janji manis orang asing,” sambung kak Rika dengan nada yang lebih tenang.
Aku mengangguk pelan, sebelum akhirnya kak Rika menutup panggilan. Ada benarnya juga sih apa yang dikatakan kak Rika. Bang Pino bukan siapa-siapa yang harus aku gantungkan harapku terlalu tinggi, dia hanya pria asing yang kebetulan sempat hadir untuk mewarnai hidupku.
Aku memutuskan untuk melanjutkan keseharianku seperti semula. Menyibukkan diri dengan banyak kegiatan demi melupakan sosok dengan senyum ramah itu. Melanjutkan kuliah, ikut les masak memasak, ikut kursus menulis demi menyalurkan perasaan yang tak bisa kuutarakan pada siapa pun selain pada goresan sederhana.
Tahun kedua hampir tiba. Masa di mana aku merasa terguncang dengan satu kabar yang ingin kutepis. Kabar tentang Bang Pino akan melabuhkan biduk cintanya pada seorang wanita yang entah siapa. Lagi-lagi Kak Rika yang menjadi sumber berita. Aku ingin tak percaya, tapi Kak Rika punya selembar bukti kuat untuk menamparku. Aku ingin mengelak dan melanjutkan memupuk rindu, tapi segala kenyataan itu setiap hari makin mengganggu kinerja jantungku.
Ini tak bisa dibiarkan, bertahun-tahun aku menggantungkan harap dengan janji manis pria itu. Segenggam rindu yang sudah lama kusimpan tak bisa dibiarkan lesap dan sia-sia begitu saja. Jadi, aku memutuskan untuk kembali mencarinya. Pria dengan senyum ramah yang hampir setiap hari membuatku menangis menggila karena terombang-ambing dalam ketidakpastian rasa.
Seminggu sebelum akhir tahun, aku kembali ke kota penuh kenangan itu. Selain untuk mengantarkan rindu yang ingin berujung temu, aku ke sana juga untuk menyaksikan dengan kepala sendiri bahwa kabar dari kak Rika hanya desas-desus belaka.
Sayang seribu sayang, begitu aku sampai di kota kelahiran si pria pujaan, bukan sambutan hangat yang aku terima. Melainkan hunusan belati tak kasat mata yang menghujam jantungku dengan kejamnya. Seiring dengan senyum pria yang kupanggil abang itu pada perempuan di hadapannya. Perempuan cantik yang memakai mahkota cantik di kepalanya. Pertanda bahwa ia tengah menjadi ratu sehari, sedangkan pria pujaanku itulah yang menjadi rajanya.
Aku tidak tau bagaimana keadaanku sekarang. Namun yang pasti dadaku sesak, mataku berembun, sarat dengan luka dan kecewa. Seumur hidup belum pernah aku merasakan sakit seperih ini. Namun sekarang, semesta seolah sedang mengejek dengan kesakitan yang ditorehkan oleh manusia yang padanya kujatuhkan semua mimpi dan harapku.
"Bang," suaraku mengalun parau.
Pria yang senyumnya selalu menghiasi mimpiku itu menoleh. Sepasang netranya membeliak sempurna tatkala bersirobok dengan mataku yang tertutupi embun. Wajahnya pucat pasi tatkala aku melangkah mendekat dengan langkah yang lemah gontai.
Kemana senyum ramahnya?
Kemana tatapan teduhnya?
Kemana suara hangatnya?
Kenapa wajah tampannya memucat di pertemuan kami yang seharusnya penuh rindu ini?
"Melisa!" sahutnya serupa bisik.
"Maaf..." kata kedua yang terjaring sangat pelan di telingaku, sebelum semuanya menjadi ... gelap.