Dua hari kemudian.
Bukan berita namanya kalau tidak tersebar dengan cepat, bahkan kadang-kadang kecepatannya menyaingi kecepatan cahaya. Menyebalkan sekali tapi itulah kenyataannya.
Mendadak ponselku terus menerus berdering, bahkan ada yang sangat aktif mengejarku ke semua akun media sosialku, semuanya ingin jawaban pasti tentang kabar kalau aku akan dilamar oleh seorang duda dengan perbedaan umur sebelas tahun.
Siapa lagi kalau bukan tante, om, saudara jauh, yang jelas yang paling ganas adalah para sepupuku.
Semua berawal dari telepon mama dengan tanteku–adiknya mama, hanya ke satu orang saja mama cerita tentang niat Daffa yang ingin ta'aruf dan aku telah menerimanya.
Dua menit kemudian, aku diserbu seolah-olah yang kulakukan adalah tindakan pelanggaran berat.
Pertama memang mereka hanya bertanya, "Apakah benar kamu akan menikah dengan seorang duda? Nazwa! Sadar! Kamu tuh masih piyik, ya Tuhan!"
Setelah kujawab, "Yes!" Sontak berbagai pendapat mengerumuni halaman inbox, DM serta membanjiri pesan w******p di ponselku.
Aku berpikir kenapa jadi heboh begini ya? Bukankah kata mama kalau nikah itu salah satu dari ibadah? Yang pasti, menikah adalah sesuatu yang baik, toh aku tidak akan kehilangan kebebasanku dan masih tetap bisa melanjutkan studiku. Salahnya di mana?
Duda, istilah dari seorang lelaki yang pernah menikah lalu kandas, entah karena ditinggal mati oleh istrinya atau bercerai karena sesuatu hal, kenapa sang duda tidak boleh menikah lagi denganku?
Lagi pula, duda yang ingin melamarku adalah lelaki tampan dan mapan, intinya aku sendiri merasa nyaman dan suka atas sikap tenangnya, dia memperlakukanku yang ceroboh dan seenaknya ini dengan sangat baik.
Pada akhirnya, aku terlalu lelah untuk membalas mereka satu per satu, meskipun mereka telah meng-capture obrolanku dan membagikannya di grup-grup keluarga, tetap saja pada ingin dapat cerita dariku langsung.
"Kamu kelihatan stress, abaikan saja mereka," kata mama yang entah sejak kapan telah duduk di sampingku.
"Tapi, Ma … bukankah satu hari lagi kita mau arisan keluarga? Maksudku kan supaya nanti gak dibahas lagi kalau aku menjelaskan pada mereka," jawabku dengan lemas.
"Percuma, mereka sangat haus akan gosip, kamu tidak akan dibiarkan tenang sama sekali. Lebih baik, matiin aja teleponnya. Abaikan," timpal mama kemudian.
Aku menghela napas dengan berat. "Aku gak datang aja pas arisan nanti?" pintaku sedikit merengek pada mama.
"Gak bisa dong, kita kan mau umumin kalau Daffa akan melamar dua hari kemudian," sahut mama sambil menggelengkan kepalanya.
"Ah, Mama …," keluhku merasa berat hati. "Lalu, papa gimana? Apakah sudah setuju?" tanyaku.
"Papamu masih bersikukuh tidak rela kalau anaknya menikah dengan duda, mama akan terus berusaha memberikan pengertian pada papamu ya, tapi, Wa, mama pikir juga kamu kan baru beranjak dewasa ya, masih sembilan belas tahun, apa kamu yakin mau menikah? Pikir-pikir saja dulu, jangan ambil keputusan cepat-cepat. Teman-temanmu saja belum ada kan yang mau menikah?"
Mama menggoyahkan niatku, sampai-sampai aku benar-benar memikirkannya. Dari semuanya yang bisa aku rangkum, merujuk pada satu pertanyaan saja, "Yakin?"
Aku mengangkat tubuhku dari atas kursi lalu beranjak menuju kamarku, meninggalkan mama sendirian di ruang keluarga kami yang ruangannya kecil juga, sama seperti ruangan-ruangan lain di rumah ini.
Sampai kamar, kurebahkan diriku di atas ranjang berukuran untuk satu orang supaya bisa menghemat ruang agar bisa menata barang-barang lain.
Aku menatap baling-baling di langit-langit kamar yang tidak henti-hentinya berputar mengacaukan udara menjadi angin yang tujuannya adalah untuk meredam rasa gerahku.
"Hai, baling-baling, kamu adalah saksi yang melihat semua tentangku. Jawablah aku, apakah aku harus mundur dari Daffa? Secara keluarga besar jadi heboh gara-gara dia," ucapku nyaris putus asa.
Siang itu, kulalui dengan kegelisahan dan perang batin, karena yang menentang Daffa seluruh keluarga besar dari mama maupun papa, bahkan, papa masih bergeming dengan ketidaksetujuannya.
Satu-satunya yang menyatakan setuju hanya mama, tapi itu pun, saat berbicara tadi, mama memberi masukan yang cukup menggoyahkan penerimaanku atas pinangan Daffa.
"Argh! Aku bingung! Pusing! Pusing!" teriakku tanpa sadar.
Terpaksa aku matikan ponselku meski tahu kalau tanpa ponsel dan tidak melakukan apa-apa, aku akan dilanda rasa bosan yang sangat.
Akhirnya, aku tertidur membawa segala resahku pada mimpi siang yang tidak nyaman. Tidurku pun gelisah, tanpa tahu harus bersikap bagaimana menghadapi serangan keluargaku.
Aku terbangun sebelum magrib tiba, beberapa saat aku hanya berguling-guling di atas kasur sebelum mendengar teriakan mama dari balik pintu.
"Nazwa! Bangun! Udah mau magrib kamu masih tidur?!"
Aku menurunkan kakiku dari atas kasur dengan rasa malas, tapi aku harus mencegah mama teriak lebih kencang kalau satu teriakannya tadi aku abaikan. Lebih baik aku menyelamatkan diri dengan menuruti apa kata mama.
Aku ke luar dari kamar dengan rambut dan baju yang acak-acakkan di bawah pelototan tajam mama di mana jari telunjuknya yang lentik mengarah ke kamar mandi.
Dengan patuh, aku pun melangkah ke kamar mandi dan segera menanggalkan baju rumah lalu mengguyur seluruh tubuhku dengan air.
Saat itu aku menyadari kalau ternyata aku sangat ingin bertemu dan melihat Daffa, sejak ke Ancol dua hari lalu, melakukan permainan yang sangat melelahkan dan membuat kami tertawa-tawa bahagia, sangat membekas di hatiku.
Namun, Daffa sama sekali tidak bisa datang setelah itu karena ada pekerjaan mendadak yang langsung membuatnya sangat sibuk dan esoknya, mendadak hariku terasa sunyi, juga hari ini. Tidak adanya pesan yang dikirim untukku, membuat aku merasa kesal dan terganggu.
"Magrib! Jangan lama-lama di kamar mandi!" Lagi-lagi teriakan mama terdengar dari balik pintu, mengagetkanku tapi mama benar, aku memang tidak boleh berlama-lama di kamar mandi.
Kuraih handuk yang menggantung di dinding, lalu mengeringkan tubuhku cepat-cepat dan kusambar dasterku setelahnya.
Aku bergegas ke luar dari kamar mandi, sambil berpikir apakah aku tadi menyabuni tubuhku apa belum ya? Ah, sebodo deh, tidak mungkin juga aku kembali ke dalam dan menyabuni tubuhku kalau tidak ingin mendengar teriakan mama lagi, lama-lama malu juga sama tetangga.
"Papa tunggu kamu, cepat," kata mama sambil membuka pintu kamarnya.
Aku pun mengikuti mama melaksanakan shalat jamaah rutin tiap magrib, isya dan tidak dengan subuh, karena aku pasti tidak bangun. Maafkan aku ya, Allah.
Setelah makan malam, aku kembali menenggelamkan diri di dalam kamar dan mulai menyalakan ponselku.
Aku terlonjak senang sekaligus malu-malu saat menerima pesan dari Daffa, pesan yang cukup singkat tapi membuatku memeluk ponselku sambil setengah tertawa. "Yes! Yes! Yes!" seruku kegirangan, hampir saja lupa membalas pesannya.
Kembali aku membaca pesannya lagi.
Daffa : Cantik, jam berapa bisa video call?
Pesan itu masuk dari sepuluh menit yang lalu. Aku pun segera membalasnya.
Nazwa : Sekarang
Kulemparkan ponselku ke atas kasur saat aku berbalik untuk mengunci pintu kamar dan segera kembali, duduk di atas kasur menunggu panggilan video dari Daffa dengan jantung yang berdebar-debar.
Sejak pulang dari Ancol, malamnya kami melakukan video call sampai sama-sama tertidur.
Panggilan pun masuk, aku segera menerimanya, tampak wajah Daffa memenuhi layar ponsel dengan background ruang kamarnya.
"Hai."
"Hai."
"Malam ini sleep call lagi?" tanya Daffa dengan senyumnya yang memikat.
"Hm, tapi aku selalu tidur duluan," sergahku malu-malu.
"Itu kan tujuannya, aku temani kamu sampai bobok sampai bangun lagi paginya," jawab Daffa seraya mengerucutkan bibirnya. "Kiss, kiss."
Kami memang hanya mengobrol hal-hal ringan sampai aku tertidur seperti malam ini, aku yang lelap duluan dengan ponsel yang tergeletak di dadaku. Aku sedang menikmati masa-masa indah bersama Daffa.
Keesokan harinya, aku bangun karena pintu kamarku diketuk keras oleh mama. "Bangun!"
Dengan linglung aku pun bangun lalu meraih ponselku. "Pagi, Sayang!"
Daffa menyapaku dengan senyum, lelaki itu telah mengenakan kemeja berdasi siap untuk kerja. Tak ayal, aku pun merasa malu karena baru bangun tidur itu pun karena mama mengetuk pintu dan teriak.
"Aku kerja dulu ya, hari ini cuma ketemu klien, pulang dari sana aku jemput kamu ya. Met sibuk," kata Daffa.
"Ya, met sibuk juga," balasku seraya mematikan ponselku.
Setelah sarapan pagi, kami menunggu saudara yang akan menjemput kami dan sama-sama ke tempat arisan keluarga yang hari ini dilakukan di rumah kakak mamaku.
Papa tidak banyak bicara seperti biasa sejak sarapan tadi sampai kami tiba di rumah uwa-ku. Mungkin, papa sudah tahu kalau ia akan diberondong oleh pertanyaan-pertanyaan mengenai Daffa.
Turun dari mobil, tiba-tiba, tanganku ditarik seseorang yang tak lain adalah kakak sepupuku, lelaki yang baru saja kuliah semester dua.
Aku dibawanya ke lantai dua, ke sebuah ruangan yang ternyata sepupu-sepupuku yang lain telah berkumpul di sana.
"Eh, tumben pada datang, biasanya kan sibuk dengan acara sendiri-sendiri," kataku pada mereka merasa heran.
Biasanya, mereka selalu absen dalam acara keluarga, apalagi cuma acara arisan yang membosankan karena itu adalah acara bagi para orang tua kami dan sepupu yang sudah menikah.
"Duduk!" Kata sepupu yang menculikku tadi.
"Ada apa ya?" tanyaku mulai merasa cemas.
"Apa kamu hamil?"
"Iya, jujur aja sama kita-kita."
"Ha-hamil? Apaan sih aku gak ngerti?!" seruku dengan panik.
"Soalnya kenapa kamu yang masih kecil ini udah mau nikah sama duda pula."
"Ya, pokoknya kita gak setuju! Lagian kamu kan harusnya kuliah."
"Jangan bikin lelucon yang gak lucu. Kamu pikirin deh, masa indah remajamu akan berakhir begitu saja."
"Duda? Om-om? Oh my God!"
"Nazwa! Tega ya sama diri kamu sendiri?"
"Lagian mana ada sih di keluarga kita yang menikah di umur belasan tahun?"
"Ya, tunggulah sampai umur dua lima, kaya ngebet banget. Jadinya kan semua curiga, ada apa?"
Cukup! Aku tidak tahan lagi mendengar ocehan mereka. Dengan berlinang air mata, aku segera berdiri dan menghambur ke luar ruangan sambil membanting pintu di belakangku.
Aku tergesa-gesa menuruni tangga, lalu berlari ke halaman dan meninggalkan rumah uwa-ku, berlari terus sampai jalan raya lalu mencegat taksi dan menyebutkan alamat rumah pada supir taksi.
Aku memejamkan kedua mataku seraya menyandarkan kepala pada sandaran jok mobil, tidak peduli dengan air mata yang berjatuhan.
Kata-kata mereka masih terngiang-ngiang di telingaku, rupanya, menikahi seorang duda dengan perbedaan umur yang cukup jauh merupakan aib bagi keluargaku, bahkan tega-teganya mereka menuduhku telah hamil! Sangat keterlaluan sekali dan semuanya gara-gara Daffa!
Tanganku dengan cepat membuka tas selempang dan mengeluarkan ponselku dengan gerakan tidak sabar.
Lalu aku membuka aplikasi pesan dan mulai mengetik.
Nazwa : Aku gak mau menikah. Batalkan acara lamarannya!
Klik, pesan pun terkirim tapi Daffa belum juga membacanya.