Aku merasa sangat gugup menghadapi dua orang yang sedang menunggu jawabanku. Mendadak lidahku kelu dan jawaban hanya sampai tenggorokanku, sementara suara yang keluar dari mulutku lebih bisa dikatakan erangan.
Mama segera berdiri dan menarik tanganku mengajak duduk lalu menyodorkan gelas berisi air putih yang terhidang di depan papa. "Ini, minum dulu dan katakan pelan-pelan pada kami."
Aku berusaha menenangkan diri karena jujur saja, aku sangat takut pada papaku, tapi mereka benar-benar menunggu jawabanku.
"Bagaimana?" desak mama.
Aku menyeruput minuman papa sampai habis tak bersisa, lalu menghembuskan napas dengan keras. Mama dan papaku masih menatapku tajam dengan raut wajah yang sulit diartikan.
"A-aku berencana menerimanya, Ma, Pa," kataku pelan, bahkan sangat pelan.
"Ngomong yang jelas! Apa kamu bilang?!" teriak papa padaku.
"Dia bilang, dia akan menerimanya, Pa. Bisa gak sih gak usah teriak kaya gitu?" tegur mama dengan wajah kesal kepada papa.
"Anak sekarang tidak paham apa artinya sesuatu yang berharga! Kamu tidak tahu terima kasih atas jerih payah orang tua kamu membesarkanmu selama sembilan belas tahun! Tiba-tiba minta kawin sama duda tua? Gak beres didikan kamu itu!" teriak papa, kalimatnya ditujukan padaku sekaligus pada mamaku.
Papa berdiri sambil menghentakkan sebelah kakinya ke lantai lalu beranjak menuju kamarnya diikuti oleh mama yang tergesa-gesa menyusulnya dengan marah.
Aku termenung sendirian, menyadari bahwa akulah penyebab mama dan papa ribut saat ini, tapi apa salahnya kalau menikah dengan lelaki yang pernah menikah sebelumnya sih? Aku tidak melihat kalau itu sebuah kesalahan.
Lagi pula, di mana mau menemukan lelaki tampan dan mapan sekarang ini? Apalagi dia adalah pamannya Azriel, menikah dengannya justru membayar kontan dendamku pada Azriel.
Sampai sana, aku justru ingin membulatkan tekad, lelaki yang baik sikapnya pada saat terburukku adalah lelaki langka. Aku bisa bergantung dalam segala hal padanya.
Rasanya tidak sabar ingin segera berganti hari untuk bertemu dengan Daffa. Aku kembali masuk ke dalam kamarku dan merebahkan diri sambil mengutak-atik ponselku.
Menit ke menit berlalu membuat aku merasa bosan, tapi ketika aku mengingat perjalanan tadi dengan Daffa, mau tidak mau aku senyam-senyum sendiri dan merasa malu hati sebab kekonyolanku ditanggapi dengan sangat santai oleh Daffa.
Tok tok. Lagi-lagi ketukan di pintu kamarku. "Masuk!"
Wajah mama yang kesal muncul di sela pintu. "Kamu sudah makan? Makan dulu," kata mama.
Ia menarik diri dari sela pintu tapi tiba-tiba kepalanya masuk lagi sambil melihat pada kanting kertas hitam yang cukup besar. "Apa itu?" tanya mama.
Aku ikut melirik ke arah yang ditatap mama. "Oh, itu tas sengaja aku pilihkan untuk mama, new arrival loh, Ma," jawabku tak acuh.
"Tas? Buat mama? Tas apaan sih?" tanya mama sambil membawa dirinya masuk ke dalam kamar.
Aku bergeming, tidak merespon pertanyaan mama karena merasa telah terganggu di saat aku sedang memikirkan kencan aneh bersama Daffa tadi pagi.
"Ah, tasnya, ini kan mahal sekali, Nazwa!" pekik mama yang hampir terlonjak karena kaget.
"Hmm, ya, mahal banget, terima aja, Ma," kataku malas-malasan.
"Kamu sendiri beli apa?" tanya mama mulai kepo.
"Aku gak beli apa-apa, gak kepengen apa-apa juga," sahutku tak acuh.
"Apa boleh kalau mama jual, biar jadi uang ya? Kan banyak banget uangnya, mama bisa beli satu stel baju, tas dan sepatu," kata mama seraya membolak balikkan tas barunya.
"Terserah Mama aja," kataku tidak berminat dengan pikiran dan rencananya.
Entah kenapa, aku saat ini justru ingin bertemu dengan Daffa. Ada apa dengan diriku? Memang siapapun akan mudah jatuh dalam pesona Daffa, tapi tidak harus secepat ini juga kan? Aku terus berkeluh kesah di dalam hatiku.
Aku tidak tahu kapan mama ke luar dari kamarku membawa kantung berisi tas mahal dan entah apakah dia kembali melongokkan kepalanya melalui celah pintu atau tidak untuk mengingatkanku makan, rasanya aku tidak sadar untuk beberapa saat.
Aku telah jatuh pada lamunanku terdalam, melamunkan seorang Daffa ….
Entah kenapa juga, mama mengalah padaku, ia membawakan nampan berisi makanan ke kamarku, tidak lagi bawel menyuruhku mandi dan merapikan kamar, seolah-olah aku adalah pasien yang harus bed rest di dalam kamar.
Dalam hal tertentu, aku akui kalau mama adalah satu-satunya orang yang bisa mengerti keadaanku, dan ya, memang aku merasa sakit, sakit karena merindukan hadirnya Daffa di sampingku saat ini. Apakah aku sudah gila?
Ponselku berbunyi, suara notifikasi pesan telah masuk , aku pun meraihnya dengan enggan. Pesan itu terkirim dari nomor tidak dikenal, tapi isi pesannya sungguh-sungguh membuatku bangkit terduduk di atas kasur.
Seseorang : Hai, Cantik! Aku sudah siapkan Ocean Ecopark untukmu, bahkan kita bisa datang pagi-pagi, jauh sebelum jam buka, khusus untuk kamu. Semoga kamu senang ya.
"What?! Apa ini maksudnya ya? Dia bisa buka Ocean Ecopark sebelum jam buka? Sebenarnya, om-om tampan ini siapa sih?" Aku benar-benar dikejutkan dengan kabar itu. Sampai lupa untuk mengetik balasan padanya.
Alih-alih membalas pesannya, aku justru browsing di om google, sambil mengetik namanya; Daffa. Aku tidak tahu nama yang sebenarnya, jadi sebenarnya sia-sia aku mencari tahu. Daffa, bisa saja cuma nama panggilan teman-teman dan keluarga.
Ah, kenapa aku jadi ingin tahu segala hal tentangnya sih? Aku bingung dengan situasiku saat ini, tapi dorongan dari dalam hatiku untuk terus kepo padanya tak bisa aku halau begitu saja.
Bahkan, aku tertidur dengan ponselku yang masih menayangkan hasil pencarianku di media sosial, yang tidak aku temukan sama sekali tentang dia.
Seperti biasa, aku memang tidak bisa bangun pagi-pagi, harus selalu mama yang membangunkanku, seperti pagi ini. Mama berbisik di telingaku, "Wa, bangun, Daffa sudah datang, jangan sampai suruh nunggu lama, nanti papamu lagi yang nyamperin dia."
Seketika aku bangkit dari rebahku lalu cepat-cepat menurunkan kakiku dari atas kasur, tergesa-gesa menuju kamar mandi.
Mandiku pun ala koboy, asal basah untuk menghilangkan keringat dan cepat-cepat kembali ke dalam kamar.
Pagi itu aku memilih mengenakan celana jeans dan kaus serta sepatu sport sambil menyelempangkan tas ransel kecil ke punggungku.
Aku tidak berdandan hanya membubuhkan pelembab dan cream SPF ke wajahku, lalu rambutku yang panjang aku ikat di belakang kepalaku, kemudian aku ke luar kamar menghambur ke ruang tamu.
Hatiku merasa lega karena Daffa dengan baju yang sama denganku–celana jeans serta kaus, sedang duduk menunggu sendirian di ruang tamu, aku pun melirik jam dinding dan paham, biasanya, jam segini memang papa sedang berkegiatan di dalam kamar mandi.
"Langsung jalan yuk," ajakku kepada lelaki itu.
"Pagi, Siap, Cantik!" jawab Daffa seraya berdiri.
"Cepat keburu papa ke luar kamar," kataku sambil menarik tangan Daffa yang sedang senyam-senyum tidak jelas.
Kami segera masuk ke dalam mobil, diantar oleh mamaku yang melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum hangat. Aku sangat berterima kasih pada mamaku saat itu.
Mobil yang nyaman dan bagus pun segera melaju meninggalkan rumah dan aku yang masih merasakan kantuk, memejamkan kedua mataku, menikmati sejuknya udara yang bercampur dengan pengharum yang lembut.
"Kamu masih ngantuk? Tidurlah, masih sekitar dua puluh menit lagi baru sampai Ancol," kata Daffa saat mobil yang kami tumpangi tengan antri menuju pintu tol dalam kota.
"Makasih," jawabku pendek dengan jantung berdebar-debar. Aku mengarahkan wajahku ke kaca jendela hanya karena tidak ingin terbaca kegundahan hatiku oleh Daffa.
Kenyataannya, aku justru tidak bisa tidur meskipun keberadaanku sangatlah nyaman dan melenakan.
"Papa tidak setuju kita menikah," kataku tiba-tiba tanpa membuka kelopak mataku.
"Oya? Menurutmu, aku harus gimana supaya papamu setuju?" tanya Daffa sambil menghela napas kecewa.
"Harus gimana? Ya, harusnya maksimal beda usia kita tiga tahun dan belum pernah menikah," jawabku sarkatis. Memang siapa yang bisa merubah kenyataan itu?
"Maafkan aku, tapi aku tidak kuasa menolak rasaku padamu, Wa, seandainya bisa, aku tidak akan pernah mencarimu dan menemuimu," kata Daffa seraya menoleh ke arahku yang sedang memicingkan kedua mataku ke arahnya.
"Mama setuju karena kamu janji kalau aku tetap bisa kuliah," kataku kemudian.
"Lalu, kamu sendiri bagaimana? Sudahkah memiliki jawaban menerimaku?" tanya Daffa dengan nada cemas.
"Maunya gimana?" tanyaku iseng, aku sudah tahu jawaban Daffa bagaimana.
"Tentu saja aku mau kamu menerima pinanganku dan kita akan segera menikah lalu kita akan berbulan madu, ke mana pun, itu biar kamu yang pilih." Daffa semakin terlihat was-was.
"Bulan madu? Apa yang dilakukan orang-orang saat bulan madu?" tanyaku tidak mengerti.
"Hm, ibaratnya kaya pacaran aja sih, menghabiskan waktu berdua, tidur bersama, jalan-jalan, makan, melakukan hal-hal yang menyenangkan tanpa ada campur tangan orang lain, benar-benar hanya berdua saja," jelas Daffa padaku.
"Hanya berdua dan beberapa hari? Bukannya itu sangat membosankan ya? Yang seru itu kan kalau jalan rame-rame bareng temen-temen apalagi kalau punya temen yang heboh, makin seru deh," kataku sambil membayangkan teman-teman sekolahku yang kelakuannya amburadul semua.
"He he, bulan madu itu istilah khusus bagi pasangan pengantin. Memang ada pengantin isinya beberapa orang?" timpal Daffa sambil terkekeh.
"Iya, sih … tapi kalau sama Om, berduaan terus bahkan tidur bareng, apa gak serem ya, Om?" Aku masih belum bisa membayangkan bulan madu itu seperti apa.
"Kalau sudah menikah harus tidur bersama, karena sudah halal, kalau belum menikah dilarang tidur bersama, dosa besar itu," kata Daffa.
Tidak terasa kami sudah memasuki gerbang Ancol dan mobil pun siap diparkirkan, tapi, Daffa tidak langsung ke luar dari mobil. Tanpa mematikan mesin mobil, ia duduk miring menghadap ke arahku.
"Kamu ingin pergi ke negara mana?" tanyanya dengan mimik serius.
"Maksudnya luar negeri? Aku pengen lihat menara eiffel," kataku yang sangat menyukai kota Paris dengan segala t***k bengeknya.
"Kita akan bulan madu ke Perancis kalau begitu, mau berapa lama berada di sana?" desak Daffa.
"Gak tahu, seminggu cukup buat keliling atau dua minggu?" Aku malah balik bertanya padanya.
"Berapa lama nanti kamu yang putuskan, sebelumnya kita harus menikah dulu. Ingin pesta besar atau punya bayangan pesta seperti apa? Supaya kita bisa diskusikan dengan event organizer-nya." Daffa meraih tanganku dan menggenggamnya dengan lembut.
Aku menelan salivaku dengan perasaan gugup luar biasa. "Pestanya biasa aja, yang penting semua temanku diundang," jawabku tanpa sadar.
"Baik, mulai saat ini, kamu adalah calon istriku, kita akan sama-sama bekerja sama untuk mewujudkan pesta pernikahan yang sesuai mau kamu, ya," ucap Daffa sambil meraih kepalaku dan mengecup keningku dengan kelembutan yang membuat seluruh tubuhku bergetar.
Saat itulah aku baru sadar kalau Daffa, dengan caranya telah mendapatkan jawabanku secara gamblang bahwa aku telah menerima pinangannya.