Sampai di rumah, bukan hanya pintu kamar yang kubanting tas pun jadi sasaran hingga teronggok di lantai, lalu kuhempaskan diri ke atas kasur.
Aku belum pernah mengalami situasi seperti ini, situasi pelik yang melibatkan seluruh keluarga besar papa dan mama.
Peran utamanya adalah aku dan Daffa. Padahal mereka belum pernah sekali pun bertemu Daffa, tapi kebencian terhadap lelaki itu sudah dikobarkan hanya karena satu alasan; Duda.
Tiba-tiba aku mendengar suara-suara langkah kaki menuju ruang keluarga dan pertengkaran antara mama dan papa.
Tanpa ingin bergerak bangun, aku tetap terlentang sambil merasa heran, kenapa mama dan papa sudah pulang? Padahal acara inti dari arisan keluarga belumlah dimulai.
"Papa kan sudah bilang, kalau si Daffa itu tidak akan bisa diterima oleh keluarga, kenapa harus ngotot sih? Lagian anak kita masih kecil, Ma!"
"Ya, tapi kita juga kan gak bisa mengabaikan perasaan Nazwa, Pa! Dia baru saja menderita patah hati karena Azriel. Baru bisa move on karena Daffa, lalu, kita akan buat dia patah hati lagi?"
"Urusan patah hati urusan biasa, Ma. Lama-lama juga dia lupakan semuanya. Masa depannya masih panjang, kenapa kita harus nyerah karena patah hati bocah kecil?!"
"Karena kebahagiaan dia lebih penting buat mama!"
"Yang ada, anak kamu nantinya yang menderita! Mana ada laki-laki mau tahan sama anak kecil? Anak kita jelas-jelas belum siap berumah tangga, menyetujui mereka sama saja dengan jeblosin anak kita sendiri pada penderitaan lain, Ma!"
"Daffa bukan laki-laki seperti itu. Dia sadar betul kalau Nazwa belum dewasa. Justru mama senang karena dia bisa mengayomi anak kita!"
"Eh? Dari mana Mama tahu kalau laki-laki itu bakal ngayomin Nazwa? Apa Mama sudah kenal sebelumnya? Ada apa ini? Kenapa Mama ngotot seperti ini?"
"Karena mama cuma peduli sama anak kita, Pa. Mama tidak mau mengekang keinginannya. Intinya, kalau Nazwa mau nikah sama Daffa, mama izinkan, kalau dia gak mau nikah sama Daffa, mama juga akan dukung dia. Simple!"
"Susah ngomong sama orang yang gak bisa mikir panjang, cuma mikir saat ini doang! Ibu sama anak, sama saja!"
"Hei, Pa! Mau ke mana? PA! PAPA!"
BRAK! Terdengar olehku suara pintu dibanting dengan keras. Rupanya, papa memilih pergi dari perdebatannya dengan mama.
Mendengar semua yang mereka katakan justru membuatku semakin merasa sedih.
Meskipun aku tidak memahami perkataan papa, tapi aku merasakan bagaimana papa ingin tampil untuk melindungiku.
Di balik itu semua, aku sangat menyukai gagasan mama yang lebih memilih aku bahagia saat ini. Mama mengikuti apa yang aku ingin lakukan dan putuskan.
Namun, dampaknya bagiku justru lebih membingungkan. Haruskah aku menolak Daffa dan menyingkirkannya jauh-jauh dari hidupku? Tapi kenapa rasanya hatiku sesakit ini saat memikirkan tidak lagi bisa bertemu Daffa? Ah, aku benar-benar dibuat pusing hari ini.
Tok Tok. Suara ketukan tangan mama di pintu kamarku. Aku enggan menjawab, hingga akhirnya mama membuka pintu dan nyelonong masuk lalu duduk di pinggir ranjang.
"Wa, kamu kenapa? Bilang sama mama, tadi kenapa kamu pergi begitu saja setelah bertemu sepupu-sepupumu? Ada apa?" Pertanyaan mama begitu banyak membuatku semakin pusing saja.
Ingin rasanya aku hanya menjawab tidak ada apa-apa, tapi tiba-tiba, pecahlah tangisku di luar kontrol diriku.
"Me-mereka menyudutkanku, Ma. Mereka bahkan me-menuduh aku hamil, mereka bilang aku ja-jahat sama diriku sendiri karena mau menikah sama du-duda. Apa salahnya perasaanku ini pa-pada Daffa, Ma? Me-memangnya aku tidak berusaha a-agar Daffa membatalkan keinginannya? Aku su-sudah berusaha, Ma! Ju-justru dari sana aku merasakan bagaimana hati Daffa yang se-sesungguhnya buat Wawa …," kataku sambil terbata-bata di antara isak tangisku.
Mama merebahkan dirinya di sampingku dengan posisi tubuh miring menghadap ke arahku, lalu tangan kanannya melingkari pinggangku. "Sstt …," desis mama.
"Mama ngerti, dalam waktu singkat kamu telah jatuh hati kepadanya. Itu jangan ditolak, Sayang. Perasaan cinta itu anugerah dari Allah, yang mama inginkan adalah, kamu menimbang diri dulu, yakinkah bahwa kamu akan bahagia bersama Daffa?" ucap mamaku panjang lebar.
"Jujur aku gak tahu, Ma," jawabku masih tersedu-sedu.
"Kamu punya waktu dari sekarang sampai besok siang untuk memikirkannya dan mempertimbangkan baik-baik. Kalau sudah ada jawaban, belum terlambat untuk membatalkan acara lamaran lusa," kata mama.
"Kalau ternyata aku masih mau terima Daffa, keluarga besar Mama dan papa, gimana? Aku harus bersikap bagaimana sama mereka?" tanyaku yang merasa sangat terusik dengan ikut campur mereka padaku terlalu dalam.
Padahal, kami jarang bertemu, dan tidak menggubris kehidupan kami masing-masing, tapi kenapa hanya karena aku mau menikah dengan duda, mereka bagaikan kebakaran jenggot?
"Jalan hidup manusia, tidak ditentukan oleh orang lain, maupun itu keluarga sendiri, semua kembali pada diri kamu sendiri, hasilnya hanya kehendak Allah yang terjadi.
Mereka sama sekali tidak berhak untuk memprotes keputusanmu, seharusnya, kita mampu menghargai setiap keputusan orang walaupun di mata kita tidak baik.
Maksud mama, jangan terpengaruh oleh apa kata orang, tapi, ikutilah apa kata hatimu, tentu setelah kamu pertimbangkannya matang-matang. Mama di sini untuk dukung kamu, apapun yang akan kamu putuskan, ok?" Mamaku mengakhiri kuliahnya padaku.
Aku mengangguk, aku pun berpemikiran sama seperti mama. Dalam hidup kita tidak bisa bergantung dari apa kata orang lain dan apa pemikiran mereka, sebab, yang bisa menyetir hidup kita adalah diri sendiri bukan orang lain.
Mama melepaskan pelukannya dariku, ia turun dari atas kasur lalu memungut tas yang tergeletak di lantai, kemudian menyerahkannya padaku. "Barusan ponselmu bergetar," kata mama seraya berbalik dan meninggalkan kamar.
Dengan malas, aku mengambil ponsel dari dalam tas ku dan ternyata ada beberapa misscall dari Daffa serta ratusan pesan dari grup keluarga.
Aku meletakkan ponselku kembali ke dalam tas, tapi ponsel itu bergetar lagi, dan aku pun segera mengangkatnya.
"Halo?"
"Cantik, kenapa dengan pesanmu tadi? Apa yang telah terjadi? Apa di acara arisan keluarga?" tanya Daffa bertubi-tubi.
"Ya, begitulah … aku dibully habis-habisan dan aku disudutkan bahkan sampai dituduh hamil karena mau menikah mendadak," jawabku yang masih belum meredakan tangisanku.
"Hai, hai … kamu tahu? Aku tidak menerima penolakan dengan alasan yang tidak jelas bahkan tidak masuk akal. Aku akan tetap melamarmu lusa, kalau kamu menolak aku akan terus mengejarmu, karena hanya kamu satu-satunya yang kuinginkan di dunia ini," tutur Daffa.
Apa yang dikatakan Daffa, menghancur leburkan keraguanku, meluluhkan kekerasan hatiku dan membuat perasaanku melambung tinggi, setinggi-tingginya. Bagaimana aku harus menolak benih-benih kebahagiaan seperti ini?
"Iya deh, jadi, jadi," kataku tanpa berpikir lagi, ah kenapa terlalu mudah mengatakan persetujuan?
"Baiklah, Cantik. Aku minta nomor rekening kamu, bukankah kamu harus membeli banyak hal untuk menerima kedatangan keluargaku? Jangan sampai merepotkan orang tuamu," kata Daffa yang membuatku langsung terdiam.
Haruskah aku menerimanya atau menolak?
"Aku sih belum ada baju." Lain di mulut lain juga di hatiku.
"He he, kirim lewat WA ya nomor rekeningnya dan aku minta maaf gak bisa nemenin kamu belanja, aku harus selesaikan pekerjaanku supaya hari lamaran nanti tidak terganggu dengan urusan pekerjaan, gak apa-apa kan?"
"Gak apa-apa, tapi kamu selalu sibuk seperti ini kah, Om? tanyaku.
"Kenapa masih panggil aku om? Apa tidak ada nama lain yang lebih enak didengar dan mengandung ikrar kalau kita saling memiliki?" desak Daffa.
"Aku gak tahu harus panggil apa," sergahku cepat.
"Banyak loh, misalnya, sayang, darling, mas, abang, tapi aku lebih suka kalau dipanggil sayang sih," kata Daffa, nadanya benar-benar menggodaku.
"Enggak ah, aku panggil Mas aja. Mas Daffa, udah, jangan nawar lagi," tegasku sambil menahan tawa.
"Baiklah, Cantik, mas mu ini mau sibuk lagi ya, jangan lupa kirim nomor rekening. Love you," pungkas Daffa, mengakhiri obrolan yang sangat menyenangkan buatku.
Aku segera duduk dan membuka laman pesan sambil senyam senyum. Padahal baru saja aku menangis jeri dan merasa sakit, tapi seketika berubah menjadi kebahagiaan hanya karena satu kali telepon dari Daffa.
Aku mengetikkan pesan berupa nomor rekening dan nama Bank, nomor rekening yang dulu dibukakan oleh sekolah untuk tabungan siswa.
Pada hari perpisahan sekolah, mereka menyerahkan buku tabungan serta kartu ATM pada seluruh siswa, ya hanya ini nomor rekening yang aku punya.
Jaraknya hanya dua menit saja dari pesanku terkirim, tiba-tiba masuk bukti transferan dan jumlahnya membuatku ternganga lebar-lebar.
"Ha?! Lima puluh juta cuma buat acara lamaran? Bukankah terlalu banyak? Memangnya mau makanan yang terbuat dari apa?!" seruku nyaris tidak percaya.
"Tidak, tidak akan aku pakai semua. Aku akan serahkan sepuluh juta pada mama, lalu membeli tiga setel baju yang senada untukku, mama dan papa, sisanya akan kusimpan untukku sendiri," gumamku dengan perasaan senang bukan kepalang.
Seumur hidup, aku baru melihat angka yang nyata sebanyak itu, bahkan hasil dari menabung selama tiga tahun pun tidak sampai satu juta.
Aku segera turun dari atas kasur sambil menelepon teman dekatku, aku mengajaknya ke mal sore itu, beruntung bagiku, gayung pun bersambut dan aku akan menjemputnya menggunakan taksi.
"Ah, keindahan hidupku menanti bersama mas Daffa!" seruku seraya menghambur ke kamar mandi.
"Nazwa?" panggil mama yang terlihat kaget melihat sikapku yang ceria.
"Mama, aku mau ke mal bersama Dea, aku mau beli baju buat acara lamaran, beli buat aku, mama dan papa juga nanti aku ke ATM, ada titipan sepuluh juta buat acara lamaran, beli makanan dan lain-lain, nanti aku serahkan Mama uangnya," kataku seraya menutup pintu kamar mandi.
"Sepuluh juta? Banyak amat? Memangnya berapa orang yang mau datang?" tanya mama.
"Gak tahu, Ma, gak sampai sepuluh orang kok," jawabku sok tahu.
"Pastiin dulu, Wa, biar gampang atur uangnya," jawab mama.
"Ya, nanti aku tanyain lagi, Ma."
"Mama ikut!" seru mamaku.
"Ha? Napa ikut?" tanyaku merasa agak keberatan, pasalnya, aku mau bergosip ria dengan Dea, kalau ada mama, bagaimana caranya?
"Kamu kan mau beli baju mama sama papa, kan? Ya harus ikutlah, daripada salah ukuran, warna dan lain-lain," paksa mama.
"Iya deh," jawabku terpaksa.