BAB 10 - Apa Kamu Bersedia?

1430 Words
Suasana hatiku tidak karu-karuan, tapi tidak mungkin saat ini aku minta pulang sebab coklat panas kesukaanku telah dipesan, hanya saja aku harus menguatkan diriku menahan rasa malu dan tidak enak hati. Masih jelas ucapan Daffa barusan bahwa aku harus menghentikan kepura-puraanku. Ya, siapapun akan tahu aku berpura-pura konyol karena tidak ada siapapun yang benar-benar bersikap sepertiku saat ini. "Wa, kamu baik-baik saja?" tanya Daffa dengan memiringkan kepalanya agar bisa melihat wajahku dengan jelas. Aku meliriknya sedikit dan itu cukup membuat hatiku berdesir. Alamak! Tampan sekali makhluk ini, senyum tipisnya itu loh, membuat jantungku tiba-tiba bergetar tidak karuan. Rasanya kulit wajahku bagai terkena api kompor, seketika terasa panas dan ada sedikit rasa malu-malu. Ya, Tuhan … aku tobat deh, aku gak tahu kenapa aku merasakan sesuatu yang mirip dengan apa yang kurasakan dulu pada Azriel, tiga tahun lalu. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain terpaku dan mematung, kesadaranku akan lingkungan tumpul seketika. "Wa …." "Nazwa! Hei, kamu baik-baik saja? Ini loh coklatnya, kalau keburu dingin nanti gak enak." Suara Daffa samar-samar kudengar tapi cukup menyadarkanku dari keheninganku sendiri. "A-pa?" tanyaku tergagap. "Wah, kok melamunnya dalem banget sih? Apa yang dipikirin?" tanya Daffa seraya menyodorkan cangkir berisi coklat panas padaku. "Ah, i-itu … maaf, aku gak mikirin apa-apa kok," sahutku, jelas terasa semburat hangat menyerang pipiku. Duh, aku merasa malu hati, kenapa juga aku harus menjawab dengan nada so sweet kaya gitu sih? Bukannya aku harus bersikap yang akan membuat dia ilfeel padaku? Kenapa juga aku harus merasa malu-malu dan menciut kaya anak kucing sih? Aku terus merutuki diri di dalam hatiku. "Aku mau pulang," kataku yang kini berusaha berkata dengan nada tegas dan datar. "Boleh, setelah coklatnya habis, kita pulang ya. Besok kita kencan lagi? Aku gak akan menyerah sampai kamu jawab 'Iya' untuk lamaranku," kata Daffa. Aku mengabaikan kalimat terakhirnya. Bukan sesuatu yang harus kujawab iya atau tidak. Peduli pun tidak. Masih banyak yang ingin aku tanyakan kepada lelaki itu. "By the way, kenapa kamu berani melamar aku yang belum pernah menikah sementara kamu pernah menikah?" tanyaku sambil menoleh padanya. "Kamu percaya pada pernyataan 'Cinta pada pandangan pertama'?" Daffa merubah posisi duduknya menjadi miring hingga menghadap kepadaku. "Aku gak terlalu paham dengan hal-hal kaya gitu. Sering dengar dan baca tapi belum pernah ngalamin," jawabku sejujurnya. "Dan aku ngalamin saat ini, sebelumnya belum pernah juga. Percaya gak percaya, aku justru ngalamin love at the first sight justru ke kamu. Aku melihatmu dan sangat tertarik hingga tak mampu mengalihkan pandanganku saat kamu sedang antri untuk naik ke panggung pengantin. Sangat bersinar meski tampak marah dan gelisah," ungkap Daffa dengan tatapan mata yang serius. "Heh." Aku mendengus sambil memalingkan wajahku. Rasanya tidak percaya dengan apa yang dia ungkapkan. Apakah dia sedang coba merayuku dengan kata-kata gombalnya? Apa dia pikir aku akan terlena terus klepek-klepek? Hell, big no! "Aku bertekad untuk mengejarmu, mengungkapkan perasaanku padamu, hanya saja, aku tidak tertarik untuk pacaran. Aku ingin menikah segera, mungkin ini mengejutkan bagimu, maaf, tapi aku tidak ingin menunda lagi saat aku merasa jatuh cinta sebab, sebelumnya aku sendiri tidak yakin bisa jatuh cinta lagi," kata Daffa kemudian. Aku menghembuskan napasku dengan gaya tak acuh dan pasti kalau ada mamaku melihatku, akan disambitnya aku dengan sandal. "Kenapa menikah bisa cerai? Bukankah akan sulit berpisah kalau sudah menikah ya? Kan menikah juga menyatukan dua keluarga yang asing satu sama lain?" tanyaku sungguh ingin tahu. Wajahnya berubah menjadi mendung, ia menundukkan kepalanya sebentar sebelum menjawab, "Dia … ketahuan selingkuh, mungkin aku tipe suami yang bisa memaafkan atas nama perkawinan yang agung, tapi … ketika berulang kali dia melakukannya, aku tidak tahan lagi, ego dan harga diriku yang terluka, akhirnya aku relakan dia pergi." "Ha? Sungguhkah? Kenapa dia bisa selingkuh dari kamu, Om? Kan kamu cakep, ganteng udah tuh banyak uang pula, kok bisa?" tanyaku semakin penasaran. "He he, kamu yakin masalah perasaan bisa diatur oleh cantik atau gantengnya seseorang atau bahkan karena kaya raya? Banyak istri konglomerat yang selingkuh dengan supirnya atau ajudannya, dan memilih hidup sederhana setelah perceraian," kata Daffa sambil terkekeh. "Ya, mungkin aku yang gak paham dunia orang-orang dewasa," kataku sambil lalu. "Karena itu aku sepertinya gak cocok dengan orang dewasa kaya Om," lanjutku menolak secara halus. "Menjadi dewasa itu pasti, Wa. Denganku atau tidak, kamu akan tumbuh dewasa. Alangkah bahagianya aku kalau perjalanan menjadi dewasa kamu saat kamu menjadi istriku," ucap Daffa seraya melemparkan senyum yang mampu membuat jantungku bergetar. Baiklah, berbicara dengan orang dewasa, apa yang aku katakan pasti akan menjadi jungkir balik, ujung-ujungnya, aku yang tersudut sampai mojok karena gak tahu harus bicara apa apalagi. "Anak Om ada berapa?" tanyaku, enggan untuk membantah masalah dewasa tadi. Daffa menggelengkan kepalanya. Ia malah menatapku lekat-lekat. "Aku ingin punya anak darimu," sahutnya. "Wei, gak mau! Aku masih ingin kuliah, punya anak masih jauh, ya ampun, aku masih sembilan belas sekarang, aku gak mau punya anak di bawah umur dua lima!" bantahku cepat-cepat. "Ya, aku bisa menunggu," jawab Daffa juga cepat-cepat. "Terus, anakmu sekarang sudah berapa, Om?" desakku karena dia belum menjawabnya. "Belum ada anak," sahut Daffa sambil menundukkan wajahnya. "Hem, duda kaya, tampan tanpa anak, begitu kan? Coba cari wanita dewasa, Om. Siapa pun gak akan nolak diajak nikah sama Om," saranku padanya. "Kamu menolak?" Daffa terlihat terkejut sambil menatapku dengan tatapan heran. "Aku masih sembilan belas, Om, aku masih ingin kuliah dan bekerja," ucapku untuk kesekian kalinya. "Aku tidak akan melarang kamu kuliah dan bekerja setelah menjadi istriku. Kamu juga bebas bergaul dengan siapa pun, aku hanya minta kamu sadar bahwa kamu punya suami. Hanya itu," ucap Daffa mencoba mematahkan alasan penolakanku. "Papaku gak akan setuju," timpalku, mengangkat sebuah kesulitan padanya. "Seiring berjalannya waktu, beliau akan setuju apalagi ketika melihat putrinya berbahagia," sergah Daffa dengan yakin. "Aku mau pulang," kataku, ingin mengakhiri percakapan yang menempatkan aku dalam posisi kalah berdebat. "Ayo." Daffa berdiri dan kembali menggamit pinggangku. Antara ingin menolak dan membiarkan, membuatku bingung harus mengambil sikap yang mana. Berdekatan dengan Daffa adalah sesuatu yang menyenangkan, aroma maskulin yang tercium olehku, mampu membuat hatiku terlonjak, aliran darahku seakan sedang balapan di dalam nadiku saking kencangnya dia meluncur ke atas dan ke bawah. Apa artinya ini?! "Wawa, besok kita jalan lagi ya? Aku ingin melakukan hal-hal yang kamu sukai atau yang kamu mau tapi belum kesampaian," pinta Daffa saat kita melangkah ke luar dari tempat ini. "Wahana bermain Ancol? Naik flying fox, bermain Paintball, wahana fun bike, Skuter Mobil, Learning Farm Individu, Kano, Water Pedal Boat, Ecotrike, Golf Car, Mobility ATV semuanya di Ocean Ecopark!" seruku sambil melompat. Detik berikutnya aku kaget sendiri, kenapa aku terpancing mengungkapkan apa yang kuinginkan padanya? Ada apa ini? "Besok pagi aku jemput kamu," sambar Daffa dalam senyum lebarnya. "Eh, memangnya Om gak kerja?" Aku mengernyitkan dahiku. "Aku meliburkan diri untuk kamu," jawabnya pendek sambil membukakan pintu mobil untukku. Kenyataan tidak sesuai rencana, hatiku dan perasaanku sendiri malah mengkhianati akal sehatku, kalau sudah begini, aku jadi kelimpungan sendiri. Sepanjang perjalanan, aku menolak diajak bicara karena kesal pada keceplosanku tadi. Sampai di rumah, ternyata papaku sudah pulang, beliau berdiri di teras menemani mama yang sedang menyapu, turun dari mobil, aku pun menghambur ke dalam pelukan papa. "Papa! Kok udah pulang? Bukannya kata Mama bakalan sampai sore ya?" "Hm, dari mana kamu? Siapa dia?" tanya papa dengan nada yang tajam. Adalah mama yang segera menengahi keadaan. "Eh, Nak Daffa, ayo masuk, Nak. Papa, ini adalah Daffa, pamannya Azriel," kata mama mengenalkan papa dan Daffa. "Pamannya si brengsekmu itu?" bisik papa di telingaku. Aku hanya mengangguk lemah sambil menggamit lengan papa dan membawanya ke dalam rumah. "Tunjukkin oleh-oleh Papa buatku." Mama yang membawa Daffa hingga duduk di ruang tamu dan rupanya, mama juga sudah cerita mengenai niat Daffa yang hendak ta'aruf padaku. Setelah memberikan satu bungkusan oleh-oleh buatku, papa berkata, "Papa akan ngobrol sama tamu kamu dan kamu gak boleh muncul kalau gak dipanggil, paham?" Aku hanya bisa mengangguk tidak peduli sambil menenteng bungkusan oleh-oleh melangkah ke kamarku. Entah apa yang dibicarakan papa dengan Daffa, yang jelas setelah Daffa pergi, papa memanggilku dengan suaranya yang keras. "Nazwa!" "Iya, pa." Aku tergopoh-gopoh ke hadapan papaku di ruang tamu. Wajahnya tampak mengeras dengan kedua mata yang memerah. "Jangan mau diajak nikah! Pokoknya papa tidak setuju!" "Mama setuju-setuju aja, toh tadi dia juga bilang kalau Nazwa boleh kuliah setelah jadi istrinya," timpal mamaku. "Aku tidak setuju!" teriak papa. "Aku setuju!" pekik mama. "Hei! Apa pemikiran kalian lebih penting dari pemikiranku sendiri? Yang diajak nikah sama dia kan aku, harusnya kan kalian tanya aku dulu, apa aku bersedia menikah dengannya?!" Aku pun ikut memekik. Papa dan mama menoleh kepadaku bersamaan, mereka bahkan mencondongkan tubuhnya ke arahku juga bersamaan. Lalu, pertanyaan mereka pun terucap bersamaan, "Apa kamu bersedia?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD