Malamnya, aku dan mas Daffa mengukir kebahagiaan kami sendiri, bersama maa Daffa, aku merasa hidupku semakin sempurna karena kehangatan dan kemesraannya yang tidak kunjung usai.
Kami terus bercengkrama dengan cinta kami sampai-sampai tidak terasa, malam pun telah melewati puncaknya.
Kulirik jam di dinding dengan kelopak mata berat, jarum jam pendek berada di tengah-tengah antara angka satu dan dua. Benar-benar menjelang subuh dan aku sangat kelelahan serta lumayan terasa pegal-pegal seluruh tubuhku.
Kami baru saja selesai melakukan pertempuran sampai dua kali, rasanya nano-nano. Menyenangkan, memuaskan sekaligus remuk redam dalam balutan peluh dan deraan napas kami.
Mas Daffa telah tergolek tidak berdaya di sampingku dan ia lupa, pergi begitu saja menyambangi mimpi tanpa membawaku dalam pelukannya.
Aku turun dari atas kasur sambil agak sempoyongan menuju kamar mandi, sebab aku tidak betah dengan keringat yang mengering di tubuhku, aku segera membasuh diri dan mengenakan kembali baju tidur sebelum merebahkan diri di samping mas Daffa.
Pukul dua lewat sepuluh menit saat kelopak mataku menutup, diiringi kesadaran bahwa aku akan tidur dengan sangat nyenyak menjelang pagi dan tidak ada yang perlu aku khawatirkan karenanya.
Perlahan aku tersadar saat udara hangat menyergapku di atas tempat tidur, aku memicingkan mataku dengan rasa heran, karena tirai penutup telah dibuka lebar-lebar serta ujung tirai masih bergerak-gerak.
Aku yang tersentak segera bangun dan duduk sambil menoleh ke arah pintu yang tidak tertutup. Seseorang telah berada di kamar ini, tapi siapa yang berani?
Dengan tergesa-gesa, aku pun turun dari atas kasur dan menghambur ke ruang serbaguna. Tepat saat itu, aku melihat pintu menutup. Aku pun segera meraih pintu dan membukanya lalu melongokkan kepalaku ke luar ruangan.
Tidak ada siapa-siapa di lorong panjang itu. Kemana orang tadi menghilang? Sambil menghela napas, aku menutup pintu dan kembali ke ruang tempat tidur. Di sana, aku berdiri di depan dinding kaca yang lebar.
Aku meraih tirai yang panjang sepanjang dinding kaca dan tirai itu cukup berat tapi, orang tidak perlu repot menariknya dengan tangan telanjang sebab, ada panel otomatis untuk mengembangkan tirai atau membukanya, cukup dengan menekan tombol atas atau bawah saja.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh dan mas Daffa tentunya sudah berangkat kerja pagi-pagi, sementara aku masih membutuhkan tidur setelah kelelahan dalam tiga hari terakhir.
Aku duduk di pinggiran kasur dengan perasaan masygul. Semestinya, tidak ada yang berani masuk ke dalam kamar dan membangunkanku dengan cara seperti itu, aku masih mengira-ngira, siapa yang berani melakukan hal ini, karena tidak mungkin seorang pelayan, atau … mungkin saja pelayan kalau diperintah oleh mama mertuaku.
Terdengar suara bel pintu berdentang halus, dengan malas aku beranjak ke sana untuk membukakan pintu yang tadi telah aku kunci dari dalam.
Seorang pelayan berdiri kaku di hadapanku. "Ya?"
"Siang, Nyonya. Dipanggil ibu di dapur," ucap pelayan tersebut tanpa ekspresi apapun di wajahnya.
"Ya, sebentar." Aku pun segera menutup pintu kembali dengan perasaan kesal.
Perlahan aku kembali ke kamar dan terus menuju kamar mandi sambil terus bertanya-tanya, ada urusan apa sih sampai aku dipanggil ke dapur? Apakah harus memasak? Tapi kan di sini semua dikerjakan oleh para pelayan, bahkan keluarga sombong ini justru menyewa seorang chef pribadi, lalu, apa urgensinya aku harus ke dapur?
Setelah buang hajat dan mandi, aku berganti pakaian. Satu jam telah berlalu dari panggilan pelayan tadi dan kini sudah pukul sebelas lewat, aku baru saja membuka pintu lalu menyeret langkahku menuju tangga dan terus berbelok ke arah dapur melewati ruang makan.
Dapur itu ternyata cukup jauh dari ruang makan, aku yang belum sempat tahu tata ruang, lumayan kesulitan untuk menemukan posisi dapur di mana meski akhirnya aku sampai juga di sana dan tatapanku terpaut dengan tatapan mama mertua.
"Jam berapa sekarang?! Kenapa dipanggil dari tadi, baru nongol sekarang?" tegur mama dengan nada yang tajam.
"A-aku mandi dulu, Ma," sahutku terbata-bata.
"Ya kenapa baru mandi?! Kenapa bangun siang? Punya suami bahkan kamu tidak tahu kapan suami kamu berangkat kerja?! Istri macam apa kamu? Saya heran sama Daffa. Dia lihat apa dari perempuan model begini?"
Aku terhenyak mendengar kata demi kata yang meluncur dari mulut mama. Bagiku kata-kata itu terlalu keras dan sangat menyakitkan. Aku menundukkan wajahku sambil berdiri di depan pintu dapur, di iringi tatapan beberapa pasang mata para pelayan.
"Saya sudah kesal! Mood jadi hancur gara-gara kamu! Nazwa! Ini sudah jam berapa ha?! Cepat bantu masak! Jangan berdiri terus di situ! Ingat! Di sini tidak menerima orang-orang malas yang hanya bisa bangun siang, enak-enak ongkang-ongkang kaki, tahu makan doang?! Kerja! Dungu!" teriak mama yang tiba-tiba saja telah berada di depanku.
Mama berteriak tepat di wajahku, membuatku sangat terkejut dan seluruh tubuhku gemetar. Namun, aku menahan diri agar tidak dikuasai rasa takut pada perempuan yang bahkan, tidak ada kontribusi apa-apa di dalam hidupku.
"Aku tidak bisa masak dan mas Daffa tidak memperbolehkan aku ke luar dari kamar. Permisi," kataku dengan nada tegas tapi suaraku bergetar, menutupi rasa takutku dengan memaksakan diri bersikap tegar.
Gerakanku sangat cepat, berbalik lalu menghambur ke luar dari dapur, meninggalkan mama mertua yang membeliakkan kedua matanya lebar-lebar.
Tentu saja sikapku sangat kurang ajar dan aku yakin selama ini belum pernah ada yang berani melawan mama, tapi aku tidak sanggup menerima begitu saja ketika dengan sengaja, hatiku dilukai dengan penghinaan berdasarkan penilaian kalau putranya tidak pantas mempunyai istri aku.
Haruskah dengan cara menyemburkan kalimat-kalimat penghinaan? Haruskan bersikap kasar dan menyakiti? Haruskah mempermalukanku di hadapan para pelayan? Sungguh, aku tidak bisa menerimanya.
Aku menerobos masuk ke dalam kamar, mengunci pintu dan membantingkan diri di atas kasur, kemudian, aku meraung dengan keras, menangis tersedu-sedu entah berapa lama, yang jelas, saat telepon genggamku berdering, aku tidak melihat siapa yang meneleponku, tapi aku menggeser gambar telepon sambil tetap meraung.
Saat itu aku benar-benar tidak peduli jika mamaku sendiri yang telepon, intinya aku belum puas menangis dan hanya ingin menangis saja saat itu sampai kelelahan dan berhenti sendiri.
Aku melemparkan ponselku ke atas karpet tebal tanpa tahu siapa yang menghubungiku, rasanya belum puas ingin mengobati luka hatiku yang masih berdarah-darah itu.
Tiba-tiba saja, aku menyadari ada mas Daffa yang meraih tubuhku yang sedang bergelung di atas kasur sambil bertanya dengan penuh kekhawatiran.
"Sayang, kamu kenapa? Ya, Tuhan … ini kamu menangis terus dari tadi waktu mas telepon? Ada apa, hem? Cerita sama mas dong, Sayang."
Tangan kokoh mas Daffa membalikkan tubuhku dan merengkuhnya ke dalam pelukan. Aku mengerjapkan kedua mataku tanpa menghentikan suara aneh yang keluar dari tenggorokanku.
"Mas kok bisa masuk? Aku kan tadi udah kunci pintunya," tanyaku dengan suara serak.
"Ya ampun, Sayang … tentu saja mas bisa buka kan ini kamar mas sendiri?" sahut mas Daffa cepat-cepat. "Ayo, sekarang, ceritakan ada apa?" tanyanya sambil menghapus linangan air mata pada wajahku dengan lembaran tissue.
Aku pun menggeser tubuhku dan duduk di depan mas Daffa. "Aku tidak bisa menerima ucapan mama kamu, Mas. Sangat menyakitkan buatku, isinya penuh penghinaan," jawabku sambil menatap kedua mata mas Daffa.
Aku hanya berusaha jujur, menceritakan apa adanya tanpa dikurangi atau dilebih-lebihkan, aku pun menceritakan bagaimana aku bersikap kepada mama mertuaku dan meninggalkannya dengan perasaan marah di dapur.
Wajah mas Daffa perlahan memerah. Ia tampak marah dan untuk beberapa saat, aku merasa kalau mas Daffa justru marah kepadaku.
"Mas marah sama aku? Bagiku gak masalah. Aku akan telepon mama biar jemput aku di sini," kataku dengan nada ringan tanpa berpikir panjang.
"Bagaimana mungkin aku marah pada istriku yang dihina oleh keluargaku sendiri?" jawab mas Daffa seraya bangkit dari atas kasur.
"Eh, Mas. Mau ke mana?" tanyaku seraya menarik lengan mas Daffa.
"Aku mau nemui mamaku," sahut mas Daffa.
"Tidak usah, Mas. Percuma gak akan menyelesaikan masalah, harusnya Mas tanya aku, aku maunya gimana?"
"Kamu maunya gimana?" tanya mas Daffa seraya kembali duduk di atas kasur.
"Aku … maunya hari ini juga, pindah dari sini, Mas. Gak tahu ke mana pokoknya pindah sekarang juga!" tegasku merajuk pada suamiku.
Mas Daffa tampak berpikir. "Ya, kita pindah. Kamu siap-siap saja, tapi jangan halangi mas mau ketemu mama, ok?" pinta mas Daffa padaku.
"Oke, aku siap-siap," kataku cepat seraya turun dari atas kasur dan menghambur ke ruang pakaian.
Tidak banyak barangku, tapi aku harus membawa serta barang-barang mas Daffa agar tidak harus bolak balik ke sana lagi.
Aku menghela napas panjang setelah mas Daffa ke luar dari kamar besar ini. Sambil melihat ke sekeliling ruangan, ada perasaan sedih dan kecewa harus meninggalkan tempat ini, tempat yang sangat nyaman dan sangat aku sukai, sayangnya, aku tidak cocok dengan keluarga mas Daffa.
Entah apa yang dikatakan mas Daffa atau dia menegur apa pada mamanya, yang jelas, saat mas Daffa kembali ke dalam kamar, kemarahannya tampak berkali-kali lipat dari kemarahannya tadi saat mendengar aduanku padanya.
"Ada apa, Mas?" tanyaku dengan perasaan khawatir.
"Kita memang harus segera pergi dari sini. Apa yang kamu bereskan?" Mas Daffa melihat koper-koper di atas kasur yang terbuka lebar-lebar.
"Ini tinggal barang-barang Mas Daffa, peralatan mandi dan barangku yang lain juga belum," sahutku sambil melangkah ke kamar mandi.
Mas Daffa menggantikanku membereskan barang-barangnya sendiri dan ternyata, kami harus mengeluarkan semua koper serta travel bag karena barang kami menjadi banyak sekali.
Hampir tiga jam semua barang berhasil masuk ke dalam koper dan travel bag, tidak ada yang tersisa satu pun. "Mas, udah selesai," kataku setelah memeriksa seluruh ruangan.
"Biarkan barang-barang diangkut supir, kita bawa barang penting-penting saja," ucap mas Daffa seraya menenteng dua tas laptop dan peralatan lain.
Aku menenteng tas kosmetik serta tas selempang besar dan kami sama-sama ke luar dari ruangan dengan perasaan sedih menggelayuti.
Turun dari tangga ke lantai satu, aku tidak melihat siapa pun di sana, lalu aku menoleh pada mas Daffa. "Apa aku harus pamit sama mama?"
"Tidak usah!" tegas mas Daffa dengan nada yang terdengar aneh. Aku yakin, telah terjadi sesuatu antara mas Daffa dengan ibunya, tapi aku tidak berani bertanya.
Aku melangkah cepat mengikuti langkah-langkah panjang mas Daffa, menuju halaman samping di mana mobil mas Daffa tengah menunggu.
Setelah memasukkan tas kosmetik dan tas selempangku di jok belakang, aku segera menaiki mobil dari bagian depan dan menutup pintu.
Tiba-tiba, aku merinding saat memasang safety belt sambil melirik ke sekeliling dan tatapanku terpaku pada satu sosok yang menatapku dengan penuh kebencian serta kobaran amarah.
"Astagfirullah …."