BAB 21 - Dia Bukan Anakku! (1)

1013 Words
Mas Daffa membawaku ke sebuah rumah yang sangat terlihat kalau sudah lama tidak berpenghuni. Rumput di pekarangan depan sudah meninggi layaknya alang-alang, bahkan lantai untuk tempat mobil di dalam pagar pun telah terisi dengan rumput liar. Mobil berhenti di depan pagar yang berkarat di mana-mana, seketika aku membayangkan begitu banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Aku mengamati keadaan sekitar dengan tatapan tidak yakin, ntahlah, ada rasa ragu dan takut dalam diriku. "Mas, rumah kosong ini rumah siapa? Kok aku takut ada ular deh, Mas. Apa gak sebaiknya panggil orang untuk babat tanaman dulu?" kataku yang mendadak enggan turun dari mobil. "Ya, sudah panggil dua orang kok, kalau kurang, biar minta temannya lagi datang ke sini, bagian dalam kan juga harus disapu pel kan," sahut Mas Daffa seraya turun dari dalam mobil. Mas Daffa membuka kunci gembok pagar yang karatan, tidak lama, dua orang lelaki menyambanginya dan tampak mereka bercakap-cakap sebentar. Pintu pagar telah dibuka lebar-lebar. Mas Daffa kembali ke dalam mobil. "Sementara mobilnya parkir di luar biar halaman dibersihkan dulu. Ayo, kita ke dalam rumah," ajak Mas Daffa. Mas Daffa menatapku, aku mencoba mencari keberanian di dalam mata itu. Akhirnya karena aku tidak tega padanya dan karena dia bisa meyakinkan aku, aku pun turun dari mobil dan mulai berjalan di sisinya. Rumah itu tidak terlalu besar tapi juga bukan rumah kecil, garasi cukup untuk dua mobil dan ada taman di depan teras. Sementara Mas Daffa membuka kunci pintu depan, aku melihat ke sekeliling lalu mengintip ke dalam rumah. Ternyata perabotan lengkap di sana, semuanya tertutup kain dan plastik, tapi debu di lantai sangat tebal. Seseorang ikut masuk ke dalam rumah, membawa peralatan pembersih dan tertegun setelah melihat kondisi di dalam rumah. "Pak, apa gak lebih baik Bapak dan Ibu istirahat dulu di tempat lain? Kalau kami sudah rapikan dan siap ditempati, saya akan telepon Bapak," ujar seorang wanita yang rupanya ditugaskan untuk membersihkan rumah. Aku melirik suamiku, rasanya aku setuju karena akan sangat tidak nyaman berada di dalam rumah yang kotor selama dibersihkan. "Mas, ke hotel aja dulu, gimana?" usulku pada Mas Daffa. "Ya, oke. Lagi pula, mestinya malam ini juga belum bisa beres," sahut Mas Daffa seraya membalikkan tubuhnya sambil menggamit pinggangku, membawaku ke arah luar. Kami kembali ke dalam mobil, memutuskan mencari penginapan yang tidak jauh dari rumah. Ada penginapan sederhana tapi bersih dan aku pun setuju tinggal satu malam di sana. "Mas, itu rumah siapa? Rumah keluarga?" tanyaku yang masih penasaran. "Rumahku, tapi rumah lama, makanya gak aku rapiin, karena rencananya, untuk tempat tinggal kita, aku sudah beli kavling dan sedang dibangun, masih sekitar delapan bulan lagi baru selesai. Untuk sementara, tinggal di rumah lama dulu gak apa-apa kan?" Mas Daffa tersenyum, nadanya seperti bujukan. Aku mengangguk. "Gak apa-apa, yang penting gak ada mamamu dan adikmu," sahutku merasa bersyukur. Tidak peduli rumahnya seperti apa, asal hanya berdua dengan suamiku, bagiku adalah kebebasan hidup yang nyata. Tampak wajah Mas Daffa mendadak muram setelah aku menyebut ibu dan adiknya. Melihat seperti itu, aku yakin telah terjadi sesuatu yang bukan sekedar teguran Mas Daffa tapi lebih dari itu. Hanya saja, meskipun aku kepo, tapi aku enggan bertanya ada apa. Kami menghabiskan waktu dengan bercengkrama, makan malam, nonton televisi dan bercinta sampai tengah malam, sebelum tidur nyenyak. Sayangnya, keesokan pagi saat aku bangun, Mas Daffa sudah tidak ada di dalam kamar. Aku berpikir sedikit bahwa dia tega meninggalkan aku di dalam kamar hotel, rasanya kok kurang elok, tapi sisi lain aku harus memahami situasinya, yaitu Mas Daffa harus kerja. Aku menghela napas sebentar. Lalu, dengan malas aku mengangkat tubuhku perlahan-lahan sambil menyambar kertas catatan dari atas nakas. Aku segera membacanya. Aku yakin kalau Mas Daffa yang menulisnya. Morning, Cantik. Maaf, mas harus kerja dan tidak berani membangunkan kamu yang tidur sangat nyenyak. Sarapan sudah di dalam kamar ya. Nanti akan dikabari kalau rumah benar-benar sudah bersih. Kamu ke rumah pakai taksi aja ya, mas gak bisa bantuin beres-beres dan angkut barang ke mobil. Sampai ketemu nanti malam, love you. Suamimu. Kulemparkan catatan pesan itu ke lantai, rasanya tidak enak harus menempati rumah baru tanpa ditemani suami, aku pun merasa kesal dan geram. Sepagi itu, bagiku masih pagi meski jam masuk kantor telah dua jam berlalu, aku telah ditinggalkan di hotel kecil dan harus pulang ke rumah sendiri, sungguh terasa aneh dan menyebalkan. Di atas meja kecil dekat lemari, ada nampan berisi nasi goreng dan seteko kecil teh. Perutku seketika meronta, tapi rasa kesal karena tidak ada suami, mencegahku untuk menyantapnya. Aku turun dari atas kasur sambil menghentakkan kakiku, entah kenapa, aku diselimuti perasaan gondok pada Mas Daffa. Kalau sudah begini, mau mandi pun rasanya malas, tapi mau tidak mau harus mandi karena tidak bisa juga berlama-lama ada di kamar hotel. Selesai mandi, aku langsung beres-beres barang dan tidak merasa lapar sama sekali, kemudian, tanpa menunggu kabar dari Mas Daffa apakah rumah sudah siap apa belum, aku segera memanggil taksi. Pangling melihat rumah yang tampak segar dengan taman depan sudah tidak berumput lagi, tapi ada orang-orang yang sedang menanam rumput baru. Aku turun dari dalam taksi dan menenteng koper satu per satu dengan dibantu oleh wanita yang kemarin menyuruh kami menunggu di tempat lain. Beliau menyambutku dengan ramah. "Ini langsung ke kamar utama ya, Bu?" tanya wanita itu seraya mengangkat dua travel bag sementara aku menggusur koper. Aku menganggukkan kepalaku. "Ya, kamar utama aja dulu, apa sudah rapi semua?" tanyaku padanya. "Dapur sedikit lagi sama halaman belakang tinggal rapiin saja, Bu," jawab wanita itu, memimpin jalan untukku. Aku masih mengedarkan pandanganku ke sekitar sambil menggerutu dalam hati karena aku masih sebal dengan suamiku. Ruang tamu tampak besar dengan kursi sofa kayu jati yang masih sangat bagus. Namun, aku terpaku di tempat karena pemandangan dari pintu masuk adalah sebuah foto besar di tengah-tengah dinding. Deg! Foto itu membuat kedua lututku langsung lemas dan tubuhku gemetaran, bagaimana tidak jika ukuran foto sama dengan ukuran manusia sebenarnya itu adalah foto kebahagiaan dari dua pasang orang mengenakan baju pengantin ala barat dan tersenyum bahagia ke arah pintu? Foto yang menandakan sambutan bagi siapapun yang menginjakkan kaki di rumah itu, membuat jantungku berderap kencang dan membangkitkan rasa panas yang membakar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD