Tubuhku bergetar menahan amarah dan rasa sakit hati di depan ibu mertuaku. Saat ini, aku benar-benar dibungkam dengan kalimat "Jangan berani ngomong sebelum disuruh ngomong" bentuk keegoisan macam apa yang seperti itu?
Wanita setengah baya yang bahkan tampak muda itu, sangatlah cantik dan bergaya, tapi garis-garis wajahnya dingin dan menakutkan. Ia kembali melambaikan tangannya padaku yang dari tadi berdiri di hadapannya.
"Ke luar! Jangan pernah kamu berani mengadukan hal ini pada Daffa, putraku! Ingat itu!" titahnya dengan nada yang menusuk tajam.
Aku yang memang ingin segera kabur dari sana, serta merta berbalik dan menghambur ke arah pintu yang dibukakan oleh seorang gadis muda berseragam.
Tanpa menghentikan langkahku, aku pun segera menerobos ambang pintu, terus berlari menuju tangga sambil berurai air mata.
Saat berhasil menggapai pintu kamar, aku segera menutupnya dan menyandarkan punggungku pada daun pintu sambil menahan isak tangisku.
Apa salahku hingga harus menerima ucapan yang teramat menyakitkan seperti itu? Kalau memang mereka tidak setuju mas Daffa menikahi seorang gadis kecil, kenapa mereka tetap menikahkan kami?
Seandainya mereka menyesali keputusan itu, lalu, kenapa harus melampiaskannya padaku?
Aku masih belum puas menangis dan yang paling menyesakkan dadaku adalah kemarahan yang tidak mampu aku lampiaskan, tapi sedetik kemudian aku sadar saat ingat bahwa aku tidak diperbolehkan mengadukan hal itu pada mas Daffa.
Jikalah tidak boleh mengadu, berarti aku pun tidak boleh terlihat kacau seperti saat ini, sebab, mas Daffa akan mencecarku kalau aku kedapatan dengan air mata dan kesedihan serta kemarahan.
Perlahan, aku bergerak menuju kamar mandi, setelah menengok mas Daffa yang ternyata masih tidur lelap. Hatiku sedikit merasa lega, sebelum menutup pintu kamar mandi.
Aku menyegarkan wajahku, membasuhnya dengan hati-hati sambil berusaha menahan diri agar menyudahi tangisanku. Aku pun berpikir setelah ini, lebih baik aku merebahkan diri di samping mas Daffa dan berharap ikut terlelap demi agar tidak terpikirkan pertemuan dengan ibu mertua yang menyakitkan seperti tadi.
Beruntung, saat aku mulai menjalankan rencanaku, mas Daffa masih terlelap dalam tidurnya, aku pun menyelinap ke dalam selimut sambil memunggungi mas Daffa dan mulai memejamkan kedua mataku.
Aku memang bisa tidur, tapi tidurku dihiasi mimpi yang tidak mengenakkan. Aku merasa gelisah dan ketakutan sebab, dalam mimpiku, aku ditinggal mama dan papa yang diartikan sebagai tidak bisa lagi bertemu dengan mereka.
Saat aku dibangunkan oleh mas Daffa, saat itu aku sedang terisak-isak.
"Kamu mimpi apa, Sayang?" tanya mas Daffa sambil mengelus pipiku dengan tatapan khawatir.
"Mas!" seruku sambil bangkit dan memeluknya. "Aku ditinggal mama dan papa untuk selama-lamanya," kataku dalam tangisan yang bagaikan tertumpah.
"Ya, bukannya memang kamu tidak bersama mereka lagi karena kamu harus ikut suami?" kata mas Daffa.
"Bukan yang seperti itu, Mas, tapi benar-benar tidak bisa bertemu lagi," sergahku cepat.
Mas Daffa memelukku erat-erat. "Sayang … itu hanya mimpi, bunganya tidur, lagi pula, kamu baru pamitan sama mama jadi pasti masih melekat di pikiranmu. Tak apa, Sayang … itu wajar kok," hibur mas Daffa sambil mengelus punggungku.
Untuk beberapa saat, kami saling berpelukan sampai aku merasa tenang, kemudian melepaskan diri dari rengkuhan mas Daffa. "Mas, kayanya kita harus mandi deh. Eh, Mas! Kalau kita makan malam sendiri gimana?"
"Hm … sayangnya, malam ini belum bisa, kita harus ketemu mama dan papa," jawab mas Daffa yang membuatku sedikit kecewa.
"Baiklah, tapi yang belanja tadi apa sudah datang?" tanyaku sambil lalu.
"Sudah, aku sudah coba susun di lemari es, tapi aku gak tahu apakah cocok atau tidak susunannya, kamu yang cek nanti ya," sahut mas Daffa sambil menarikku dengan lembut, turun dari atas ranjang kami.
Waktu itu, sore hari telah lewat, langit di luar sana sudah tampak gelap dari dinding kaca ruang tidur kami. Untuk menghemat waktu, mas Daffa memintaku agar mandi bersama dan disinilah aku sekarang, di dalam kotak shower, berdua dengan mas Daffa, bertelanjang bulat.
Meski masih ada rasa malu-malu, tapi aku berusaha untuk menepisnya. Mas Daffa adalah suamiku dan telah meniduriku dua kali, rasanya, tidak ada alasan untukku merasa malu lagi.
Mas Daffa menyabuni punggungku, tapi ia menolak aku melakukan hal yang sama. Katanya belum saatnya aku berbuat demikian tapi justru aku yang harus menikmati setiap perlakuan mas Daffa untukku.
Hatiku selalu dan selalu berbunga-bunga di setiap ucapan mas Daffa yang membuatku merasa dilambungkan kebahagiaan. Dunia baru yang teramat menyenangkan bagiku.
Ia pun tidak lupa mengeringkan tubuhku sebelum memintaku untuk berpakaian yang cukup bagus. "Sementara pakai koleksi pribadi kamu dulu ya, aku belum sempat mengajakmu belanja."
Aku mengangguk sambil tersenyum. Koleksi bajuku lumayan up to date, hanya saja mungkin bagi mas Daffa dan keluarga, tidak sesuai standart value mereka.
Hal ini terbukti saat aku dan mas Daffa menghampiri mereka di ruang makan. Tatapan tajam mama mertua serta adik ipar, Novi, tampak membelalakkan kedua mata mereka menatap tubuhku yang terbalut mini dress. Jelas-jelas sorot mata mereka mengandung keterkejutan, penghinaan, rasa jijik tapi harus membalutnya dengan senyum.
Aku duduk di kursi yang telah ditarik mas Daffa untukku, sambil menundukkan kepalaku dan berpikir bahwa aku terlalu bodoh hingga memilih baju ini untuk kupakai makan malam keluarga. Satu kesalahan fatal untukku.
"Selamat malam semua, Ma, Pa, Novi," sapa mas Daffa yang ternyata hanya dijawab dengan dengusan oleh ayah mertuaku.
Mama mertua dan Novi tidak menjawab apapun, tapi justru mereka pura-pura sibuk memilih makanan, mengabaikan mas Daffa dan aku.
"Sayang, kamu mau makan apa? Aku ambilin ya," bisik mas Daffa di telingaku.
Aku bergeming sambil menatap pada satu titik di udara kosong. Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana sementara sorot mata Novi dan mama mertuaku sangatlah tidak ramah dan tampak tidak menyukai kehadiranku di sana.
Mas Daffa mulai mengambilkan nasi dan lauk pauk mengisi piring kosongku lalu meletakkannya di depanku. "Makanlah, Sayang."
Aku mengangguk sambil melirik ke arah tiga orang bergantian, papa mertuaku di sebelah kiri dan mama serta Novi berada di depanku. Ketiganya tampak tidak suka dengan apa yang mas Daffa lakukan untukku.
"Heh, begitulah kalau ngawinin bocah, bukannya melayani suami malah minta dilayani," gumam mama mertua, terdengar jelas olehku tapi tampaknya mas Daffa malah tidak mendengar apapun karena sedang sibuk memilih makanan untuk dirinya sendiri.
Aku sendiri berusaha mengabaikan apa yang kudengar, dan berusaha fokus pada makanan yang dipilihkan mas Daffa untukku.
Setiap suapan yang kuambil rasanya begitu kesat dan sulit kutelan. Mas Daffa terlibat obrolan ringan dengan papa mertuaku, tapi mama mertua dan putri bungsunya, saling lirik, saling bergumam, saling berbisik tanpa melepaskan tatapan mata mereka dariku, seolah-olah aku adalah mahluk aneh bagi mereka.
Selama makan malam adalah momen yang sangat menyiksa bagiku. Meskipun mas Daffa tidak pernah lepas dari memperhatikanku, tetap saja, hujaman tatapan mama dan Novi, benar-benar meluluh lantakkan pertahananku.
Satu jam rasanya bagai satu abad, kukira bukan mengada-ada. Nyatanya aku merasa terpaku di sana sampai rambutku memutih semua dan aku mulai gelisah tidak tahan.
Aku mengulurkan tangan menyentuh paha mas Daffa dalam rangka menyampaikan bahwa aku ingin segera pergi dari sana, tanpa harus berlanjut dengan makanan penutup. Entahlah itu menyalahi aturan atau tidak, aku cuma berharap, mas Daffa akan mengeluarkanku dari situasi yang mencekik itu.
Keberuntungan memang dihadirkan mas Daffa untukku. Dia tahu apa yang sedang kurasakan, dia paham bagaimana sikap ibu dan adiknya yang telah mengintimidasi aku.
"Kalian lanjut ya tanpa aku untuk makanan penutupnya. Aku punya sesuatu di dalam kamar," kata mas Daffa kepada mereka lalu beralih menatapku.
"Sayang, ayo …," lanjutnya padaku.
Aku mengangguk ingin sambil tersenyum, tapi sepertinya senyumku begitu kaku hingga aku sendiri merasa kalau aku menyeringai. "Iya, Mas."
Tanpa menunggu lagi, aku segera berdiri dan sedikit membungkuk pada mereka tanpa mengucapkan apa-apa karena lidahku terasa kelu seketika.
Mas Daffa menggamit pinggangku diiringi tatapan keluarganya, kami melangkah menuju tangga dan menaikinya, lalu menyusuri koridor sampai ujung dan masuk ke dalam kamar.
Aku menghempaskan diri di atas sofa. "Mas, aku gak mau tinggal di sini," kataku tanpa sadar.
"Aku tahu, tapi aku minta kamu bersabar sebentar ya, aku harus siapkan semuanya sebelum membawa kamu pergi dari sini."
"Tapi kapan?"
"Segera."