Acara lamaran dengan rencana mendadak digelar pukul empat sore yang menurutku di jam tanggung. Umumnya dilakukan pagi atau pukul tujuh malam menjelang waktu makan malam.
Beruntung aku punya mama yang cekatan dan banyak ide, hingga ruang tamu dan ruang tengah kami yang kecil dalam sekejap telah disulap menjadi ruang kosong yang digelari karpet dengan hiasan bunga segar.
Berbagai makanan ringan serta potongan kue telah menempati bagian tengah-tengah ruangan.
Aku sempat melayangkan protes pada mama yang telah menyediakan space terlalu besar, tapi mama hanya menjawab, "Feeling mama gak cuma keluarga Daffa deh, tapi ada sanak saudaranya juga."
Aku pun hanya terdiam setelah mama menjawab seperti itu, percuma berdebat dengan mama sebab aku tidak pernah menang, sekalinya menang tetap aku yang harus mengalah.
Didandani pukul tiga sore oleh teman mama yang punya salon, satu jam kemudian, aku telah tampil cantik dan tampak dewasa.
Mengenakan kebaya modern berwarna peach yang 'gemoy', senada dengan yang dikenakan mama, aku duduk di dalam kamarku depan cermin panjang dengan hati yang berdebar-debar.
Sama sekali tidak tahu seperti apa acara lamaran itu, karena belum pernah menghadiri undangan lamaran selama ini. Aku dilanda gugup dan rasa malu yang mendominasi hati.
Tiba-tiba, wajah mama nongol di sela pintu, melihat ke arahku yang sedang melamun, aku semakin gugup karena mengira acara akan dimulai, ternyata, mama hanya memberi tahu kalau Doni, saudara sepupuku telah sampai.
Aku mengangguk setelah mama mengucapkan kalimatnya, sejurus kemudian, Doni yang perawakannya sedang-sedang saja masuk ke dalam kamar setelah mendapatkan kode dari mama.
"Hei."
"Hei, Don. Sama siapa?" tanyaku.
"Sendiri, cuma ngewakilin sepupu lain sekaligus wakilin mama papa," ucap Doni jujur dengan tatapan menyelidik.
"Oh, mereka pada sibuk ya?" tanyaku dengan nada kecewa.
"Sibuk semua, sibuk nunggu kabar dariku, he he," kata Doni sambil bercanda.
Seketika otakku berkelana pada saudara-saudaraku, masing-masing dari mereka sedang memelototi layar ponsel sambil menggibah tentangku di grup yang dibuat khusus secara mendadak, tentu saja aku tidak akan diundang karena sedang menjadi topik gibah mereka.
Ada sesuatu yang terasa menusuk-nusuk menyakitkan di dalam hatiku. Tidak menduga kalau saudara-saudara sendiri, ternyata tidak mampu menghormati keputusanku, mama dan papa.
"Memangnya seberapa aib sih pengen menikah dengan seorang duda? Apakah lebih aib dari pada anak gadis yang hamil di luar nikah?" tanyaku pada Doni dengan air mata yang menggenang kedua bola mataku.
"Eh, masalah itu aku gak tahu, beneran deh, Wa! Tapi kan aku datang buat dukung kamu," jawab Doni tampak kikuk mendengar pertanyaanku.
"Kamu bukan mau dukung, Don, tapi kamu di sini cuma buat pion dari saudara yang lain yang kepo ingin tahu siapa Daffa, bagaimana rupanya, setua apa dia, iya kan? Lebih baik kamu pulang saja, Don. Yang aku butuhkan kehadiran dengan doa restu yang tulus, bukan datang sebagai juru lihat mereka," tegasku sambil menatap tajam ke arah Doni dalam perasaan terluka.
Doni tampak salah tingkah dengan wajah yang memerah. "Ta-tapi, masa aku pulang sih, udah jauh-jauh datang ke sini," keluh Doni dengan wajah tanpa dosanya.
"Aku gak butuh kamu datang, Don. Kalau cuma buat bikin aku sakit hati, lebih baik kamu pulang sekarang," tegasku padanya.
"Eh, kamu serius nyuruh aku pulang?" Doni terdengar agak tersinggung.
"Serius. Pulang!" seruku dengan geram.
Tampak kilatan marah pada sorot mata Doni, tapi aku tidak peduli. Bagaimanapun ini adalah acaraku, aku berhak menentukan siapa saja yang boleh dan tidak boleh menghadiri acaraku.
Doni berbalik dengan cepat, membawa kemarahan di dadanya, sementara aku, tanpa sadar menitikkan air mata, jatuh menyentuh riasanku yang rapi, tapi aku tidak peduli, nyatanya aku merasa sakit hati karena memiliki saudara yang sama sekali tidak berguna.
Tepat saat itu, penata rias teman mamaku masuk ke dalam kamar dan terkejut melihat riasanku yang dialiri air mata.
"Aduh, ini kenapa kamu menangis? Siapa lelaki tadi?" Wanita itu tergesa-gesa mengambil bedak dan kuas dengan ragu-ragu, lalu mengambil kapas dan mulai mendempul lagi wajahku.
"Calonnya sudah datang, kamu harus ke ruang tengah sama saya," kata penata rias itu sambil mengutak-atik lagi wajahku.
Perasaanku campur aduk, antara gugup, malu, sedih dan kecewa, sungguh sangat tidak mengenakkan sama sekali hingga membuat mood-ku hancur berantakan, tapi aku tetap harus tampil ke depan keluarga Daffa.
"Sudah rapi, ayo berdiri, jalan pelan-pelan saja ya, jangan menunduk, angkat dagunya," kata penata rias itu.
"Iya, Tante."
Aku dipapah olehnya, melangkah perlahan menuju ke luar dari kamarku. Ternyata benar feeling mama, ruang tengah dan ruang tamu sampai teras depan, dipenuhi wajah-wajah yang satu pun tidak aku kenal.
Mereka menatapku dengan sorot mata cukup terkejut dan beberapa ternganga, hingga membuat perasaanku semakin kalang kabut.
Terdengar bisik-bisik yang selintas tertangkap indera telingaku.
"Wah, cantik ya."
"Cantik tapi kenapa anak-anak?"
"Kirain seumuran Daffa, tapi cantik sih."
"Nemu di mana sih cewek cakep begini?"
Aku berusaha mengabaikan semua yang kudengar sambil mengedarkan pandangan mencari Daffa, tapi aku tidak menemukannya.
Justru karena tidak melihat Daffa, perasaanku menjadi sangat tidak tenang. Aku semakin gugup dan pasti wajahku pun pucat pasi.
Duduk di atas kursi yang disediakan untukku, didampingi penata rias tanpa melihat satu pun wajah saudaraku, aku merasa terasing dan terbuang di tengah orang-orang itu.
Akhirnya, aku terpaksa menundukkan wajahku, menyembunyikan keresahan yang seolah mencabik-cabik diriku sambil berharap Daffa datang menghampiri dan memelukku sambil berkata, "Semua akan baik-baik saja."
Aku menyeringai memikirkan hal itu, jangankan datang menghampiri, batang hidungnya pun tak tampak.
Aku tidak menyadari kalau ternyata acara telah dimulai dengan segala prosesi yang bagiku terkesan basa basi serta mengada-ada.
Aku terkejut saat seseorang yang tidak kukenal, menyodorkan pengeras suara ke arahku.
"Nazwa, setelah mendengar ucapan Daffa yang meminangmu, sekarang silakan dijawab, terima atau tidak lamarannya?" tanya orang itu padaku.
Otakku butuh waktu untuk mencerna kalimatnya, aku bimbang apakah memang sudah masuk ke dalam acara atau belum.
"Nazwa? Semua orang menunggu jawaban kamu," tegur orang itu sambil tersenyum lebar.
Aku yang telah mengangkat kepalaku, semakin gugup karena semua mata tertuju tepat kepadaku.
"Oh, itu … ya, aku te-terima," sahutku lemas, tapi karena suaraku masuk ke dalam pengeras suara, ucapanku terdengar kencang.
"Alhamdulillah …," ucap mereka nyaris bersamaan, aku segera menundukkan wajahku kembali, menghalau semua perasaan tidak enak yang bercampur aduk.
Selanjutnya aku tidak tahu apa yang terjadi, pikiranku terlanjur tenggelam dalam lamunan yang panjang, sampai penata rias meraih tanganku, dan memapahku kembali ke dalam kamar.
"Ternyata, bukan cuma acara lamaran, Nazwa, tapi Daffa meminta untuk dinikahkan juga nanti jam tujuh, mereka sudah membawa penghulunya. Saya harus menghapus riasan kamu, diganti dengan riasan pengantin. Kalau kamu mau ke kamar mandi dulu, lebih baik sekarang, tapi kalau untuk mandi, tidak ada waktu," tutur penata rias tersebut.
Aku pun tercekat mendengar penuturan penata rias. "La-langsung nikah?" tanyaku terkejut.
"Ya, kamu beruntung loh, Nazwa. Calon suami kamu tampaknya sangat baik dan ya ampun, tampan sekali. Kalau tante masih muda, tidak peduli kalah cantik dari kamu, tante pasti mengejarnya, he he," seloroh penata rias.
Aku paham kalau dia sedang berusaha mencairkan keteganganku dengan bercanda, tapi tidak mempan buatku, perasaanku justru semakin kacau balau. Perihal langsung dilaksanakan akad nikah, tidak pernah sekalipun disinggung oleh Daffa kepadaku.
Hal itu membuatku agak marah dan tidak menerima tapi aku tidak bisa protes saat ini, di saat semua orang menyetujuinya.
Pada akhirnya, ada sesuatu yang terasa mengganjal dan mengganggu di hatiku, percayalah, rasanya sangat tidak enak.
Aku mematung dan bergeming ketika kebaya modern yang kukenakan, dilucuti dan diganti dengan kebaya brukat berat berwarna putih yang belum pernah aku lihat.
Selanjutnya aku kembali dirias dari awal, kali ini riasannya agak tebal dan benar-benar beda karena membuat pangling, ditambah rambutku yang harus disanggul sedemikian rupa.
Aku hanya bisa pasrah saja saat itu, sesekali mama masuk ke dalam kamar memeriksa kesiapanku tapi aku belum melihat Daffa dan merasa sedih karena dari tadi berharap bisa melihat lelaki itu, lelaki yang akan menjadi suamiku hari itu juga.
Tepat pukul tujuh, aku digiring ke luar kamar dengan dandanan berat, kain batik coklat yang ketat menyulitkan langkahku, hingga butuh dua orang untuk memapahku.
Mataku tertuju pada Daffa yang telah duduk tegak di atas kursi menghadap meja kotak yang diletakkan di tengah-tengah ruangan.
Melihat Daffa, kepalaku enggan menunduk, justru aku terus menatapnya lekat-lekat. Lelaki itu mengenakan peci putih, baju koko putih yang terkancing erat pada leher dan mengenakan jas bermodel cardigan, tampak gagah dan benar-benar tampan.
Daffa memang lelaki sejati, ia tidak hanya duduk terdiam menungguku untuk duduk di sampingnya, tapi ia justru berdiri dan mundur satu langkah sambil memegang sandaran kursi yang akan aku duduki.
Ia membantuku duduk dengan penuh kasih sayang dan secara ajaib, melenyapkan kegundahan yang menyiksaku selama tiga jam terakhir.
"Makasih, Mas," kataku malu-malu.
"Jangan, Sayang. Itu udah tugasku," sergah Daffa sambil kembali duduk di kursinya.
Jantungku berdegup kencang, kegugupanku semakin nyata, tapi, tanganku yang berada dipangkuan, diraih Daffa, ia meremasnya lembut, membuatku menunduk malu-malu, degup jantungku justru semakin merajalela karenanya.
Aku tidak begitu menyimak segala sesuatu yang terjadi, karena pikiranku sangat penuh dengan hal-hal. Ada satu yang menarik perhatian yaitu saat Daffa berpegangan tangan dengan papa di atas meja.
Tatapan papa terlihat sedih dan marah, sementara tatapan Daffa tampak berbinar-binar. Dua hal yang bertolak belakang, saat mengucapkan Ijab, kedua bola mata papa berkaca-kaca.
“Saya nikahkan dan saya kawinkan Ananda Muhammad Daffa bin Hadinata dengan anak saya yang bernama Nazwa Putri Marina dengan mas kawin berupa satu set perhiasan emas dan seperangkat alat salat, dibayar tunai.”
"Saya terima nikah dan kawinnya Nazwa Putri Marina binti Abdullah dengan mas kawinnya tersebut, tunai.”
"Alhamdulillah …," ucap penghulu. Kemudian ia pun bertanya pada semua yang hadir.
"Bagaimana para saksi? Sah?"
"SAH!" Jawaban serentak terdengar lalu ditutup dengan doa-doa.
Hari pernikahan harusnya menjadi hari bahagia bagi setiap wanita yang mencintai pasangannya. Namun hal itu tidak berlaku buatku.
Aku melihat tatapan papa padaku saat ia beranjak dari kursi walinya untukku. Papa pergi begitu saja setelah menikahkan aku dengan Daffa.
Tiba saatnya sungkeman, kursi papa kosong melompong dan aku bersimpuh terpaku di depan kursi kosong itu dengan air mata yang mengucur deras.