Tak berapa lama Bian keluar, Amel langsung menerobos masuk ke dalam. Ia panik melihat Tania yang dipaksa masuk oleh Bian tadi.
"Tan? Lo nggak kenapa-napa kan? Kenapa bibir Lo? Bibir Lo sakit? Kepentok? Kenapa?" Tanya Amel beruntun saat ia melihat Tania terdiam sembari menyentuh bibir. "Woi jawab, malah bengong Lo."
Bentakan Amel membuat Tania mendapatkan kembali kesadarannya. Ia lalu menatap Amel, "Amel," ucapnya. Amel mengangguk, "Iya ini gue. Lo kenapa sih? Lo diapain sama om Bian?"
"Aku di..." Tania seketika menghentikan ucapannya. Hampir saja ia keceplosan mengatakan jika ia dicium Bian.
"Iya Lo diapain sama om Bian? Lo dipukul? Kok mendadak sawan begini."
"Ha? Aku nggak diapa-apain kok. Justru aku yang bikin Om Bian kesal."
"Ha? Maksudnya?"
"Aku...aku..." Tania menggeleng kuat.
"Ih gila ni anak. Lo kenapa? Jangan bikin gue cemas deh. Lo sama om Bian kenapa? Lo beneran nggak diapa-apain om Bian?" Tanyanya.
"Nggak Amel. Aku baik kok. Hati aku aja yang lagi nggak baik."
"Ha? Ih, beneran gila ni anak. Udah ah, males gue ngadepin Lo Tania. Lama-lama jadi gue yang gila." Amel keluar dari kamar.
Sesampainya di luar kamar Ia langsung disambut oleh Rian. "Tania Kenapa?" tanya Rian.
"Nggak tahu tuh. Aneh banget tuh anak. Dibilang kesambet dipanggil dia nyaut. Tapi kok kayak orang gila ya di dalam. omongannya ngawur." Adunya.
"Kok sama ya Sama om Bian."
"Hah sama gimana maksudnya?"
"Ya Om Bian keluar dari dalam, langsung nyelonong aja masuk ke dalam kamarnya. Dan nggak keluar sampai sekarang." Ucap Rian yang membuat Amel semakin bingung.
Amel mengusap dagunya sembari melirik kamar Tania dan kamar Bian secara bergantian. "Kayaknya ada yang aneh nih."
"Aku nebaknya juga gitu. pasti ada sesuatu yang terjadi sama mereka saat mereka bicara di kamar kamu tadi."
Keduanya saling tatap dan tak lama senyum mencurigakan muncul di bibir mereka masing-masing. Seperti ada rencana besar yang sekarang mereka pikirkan dalam otak mereka.
"Kita cari tahu." Ucapnya serentak. Saat keduanya sedang asyik tertawa memikirkan ide gila di kepala mereka masing-masing pintu kamar Bian terbuka membuat tatapan keduanya langsung tertuju pada Bian.
Bian yang ditatap seperti itu mencoba untuk menenangkan kegugupannya agar kedua bocah di depannya ini tak semakin curiga. Pasalnya ia sangat bisa membaca kepala kedua bocah itu. Karena yang ia lihat Amel dan Rian punya sifat yang sama. Hanya saja Amel lebih barbar sedikit dibandingkan Rian.
'Apa?" tanyanya
Rian berdehem. Ia mendekati Bian, "Om jujur deh sama Rian Om, sebenarnya Om itu kenapa? Keluar-keluar dari dalam sana, Om tiba-tiba masuk ke dalam kamar Om dan Amel sendiri juga mengatakan Tania sangat aneh."
Amel mengangguk membenarkan ucapan Rian.
"Aneh gimana maksudnya?"
"Ya aneh aja Om. Masa waktu Amel masuk dia kayak orang b**o. Bengong sambil megang bibir. Ditanya malah jawabnya nggak nyambung."
Bian mengulum bibirnya. Sebisa mungkin ia mencoba untuk tak tertawa.
"Mana saya tahu. Saya di dalam tadi cuma mau menyelesaikan masalah saya."
"Masalah apa?"
"Sahabat kamu itu mendadak marah-marah sama saya saat jalan pulang tadi. Ya kamu pikir saja saya nggak salah apa-apa teman kamu tiba-tiba cerewet sama saya. ya iyalah saya selesaikan dulu masalahnya. Kita di sini mau liburan. jangan ada nanti diam-diaman." Jawab Bian yang langsung membuat Amel dan Rian terdiam.
Mereka kembali saling tatap ,"berarti sahabat kamu itu yang salah." ucap Ryan pada Amel
"Tapi kok dia nggak bilang apa-apa ya sama gue." Ucap Amel namun tiba-tiba otaknya mengingat satu kalimat yang Tania ucapkan saat di kamar Tadi yaitu Tania yang membuat Bian kesal.
Amel langsung melirik kembali ke arah Bian, "Tania bikin Om kesel kenapa? soalnya tadi bener dia bilang seperti itu, Kalau Om Bian dibikin kesel sama dia."
"Bener kan. makanya pikiran kalian tuh dilurusin dulu kalau mau nuduh orang macam-macam."
"Ih siapa yang nuduh. nggak ada yang nuduh kali Om. omnya aja yang sensitif." Ucap Rian.
"Kalau kamu nggak nuduh dan berpikir macam-macam, lalu apa tadi pertanyaan kamu? tuduhan kamu tentang saya yang keluar dari kamar Tania." ucap Bian kesal pada Rian.
"Ya itu tadi karena.... karena Om itu mencurigakan. keluar dari kamarnya Tania langsung nyelonong masuk ke kamar Om. bahkan Amel sendiri juga bingung saat dia masuk ke kamarnya buat lihat saat Om keluar dari kamar tersebut, Amel justru mendapati Tania tuh aneh. makanya kita berdua itu curiga."
"Curiga kenapa?"
"Ya karena..."
"Karena apa?"
"Karena...." Rian tak berani melanjutkan ucapannya karena tatapan intimidasi dari omnya membuat bulu kuduknya merinding. Ia tak mau rencana liburan gratisnya di sini akan sia-sia dengan membuat omnya marah padanya. Jadi Sepertinya ia dan Amel harus cari aman terlebih dahulu.
Rian menatap Amel. ia menggenggam tangan gadis tersebut Lalu membawa Amel keluar.
"Apaan sih pegang-pegang." berontak Amel.
"Kamu mau kita liburan di sini bayar sendiri?"
"Kalau bayar sendiri sih gue mau. tapi kalau dibayarin jauh lebih mau lagi."
"Makanya cari aman. Kalau kita bikin Om Bian kesel terus dia tiba-tiba bilang 'ya udah Kalian apa-apa beli sendiri.' Kan dompet kita bisa menjerit." Ucap Rian.
"Oh lu bener. Ya udah pulang dari puncak saja kita tanya lagi."
"Oke setuju. deal."
Rian dan Amel kembali merubah raut wajahnya menjadi raut wajah bahagia namun Bian justru melihatnya seperti raut wajah penjilat.
Tapi setidaknya kedua bocah itu tak mengusiknya lagi. Terserah tentang wajah penjilat mereka.
*****
Langit sudah gelap. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Setelah makan malam tadi, masing-masingnya masuk ke kamar. Dan tadi di meja makan tak terjadi kecanggungan sedikitpun yang membuat Amel serta Rian kesulitan menemukan keanehan antara Tania dan Bian.
Tania sedang asik berselancar di media sosial. Namun siapa yang tahu tentang yang ia cari kecuali dirinya sendiri.
Ciuman pertama
Dua kata kunci itulah yang saat ini Tania cari. Jantungnya semakin berdebar saat beberapa artikel membicarakan tentang itu. Tania mencoba membuka satu artikel. Baru saja ia membaca bagian pertamanya, namun Tania Kembali menutupnya karena debaran jantungnya tak bisa ia kendalikan.
Tania langsung duduk dan menatap Amel. "Keluar yuk Mel. Cari bakso."
"Ha? Lo masih laper?" Tania mengangguk. "Ya Tuhan Tania, dari kita berempat, makan lo paling banyak tadi dan sekarang lo bilang sama gue lo masih laper? Itu perut apa karet sih."
"Ck! Ya udah kalau kamu nggak mau temenin. Mana kunci mobilnya, biar aku pergi sendiri aja."
"Ih jangan aneh-aneh deh. Ini puncak Tania dan lu belum pernah ke sini. dan lo mau nyetir mobil di sini, gila."
"Makanya temenin."
"Tapi gua males Tania. Gue masih kenyang. Gua masih begah Lo tau nggak sih. Atau li minta bantuan sama Om Bian sana."
"Ih, kenapa jadi dia? Aku kan ngajaknya kamu bukan dia."
"Ya Tapi udah gua bilang gua kenyang. perut gue ini masih begah."
"Makanya kalau makan itu jangan kebanyakan."
"Dih. Apa bedanya sama lo. makan lo itu lebih banyak daripada gue dan sekarang Lo bilang lo laper lagi, parah banget sih."
Tania mendengus kesal. Ia berdiri dari duduknya.
"Ya udah aku pergi sendiri aja." Tania melangkah keluar kamar. Dan tentu saja Amel tak Membiarkan sahabatnya itu pergi begitu saja. alhasil Amel juga ikut keluar mengejar Tania walaupun perutnya saat ini benar-benar sudah begah dan penuh.
"Lo nggak bisa pergi sendiri Tania."
"Tapi aku mau Amel."
"Lo ngidam Tan?"
"Ih apaan sih. Orang cuma makan bakso doang."
Suara ribut Amel dan Tania berhasil mengusik Rian dan Bian yang ada di kamar mereka masing-masing. Bian keluar lebih dulu, "ada apa ini?" tanya Bian
"Ini lho om, Om lihatkan tadi Tania ini makan paling banyak di antara kita berempat, tapi sekarang Masa Dia minta makan lagi."
Bian langsung menatap Tania tak percaya. Sungguh Tania benar-benar dibuat malu. ia langsung menatap Amel dengan tatapan kesalnya.
"Kenapa lu natap Gue begitu? gue bener kan."
"Kamu mau makan apa?" Tanya Bian.
"Nggak jadi udah kenyang. Mau cari angin aja." jawabnya.
"Lah, ni bocah ngambek."
"Aku nggak ngambek Amel. kenyang."
"Perasaan tadi lu merengek sama gua Kalau lu itu pengen bakso."
"Nggak jadi, udah aku bilang kan, Aku kenyang. mau keluar aja cari angin."
Amel mengacak rambutnya kesal, "Ya ampun Tania, sumpah ya Gue nggak tahu isi kepala lo itu sebenarnya apa. Au ah, bingung gue. Mana perut gue sakit lagi. Lu tunggu di sini, nanti gue temenin. gua ke toilet sebentar." Tanpa menunggu jawaban dari Tania, Amel langsung berlari ke dalam kamarnya dan masuk ke dalam toilet yang ada di kamar tersebut.
Sementara Tania, Gadis itu melangkah keluar dan berdiri di balkon Villa. Tania sendiri tak tahu kenapa dirinya bisa bersikap seperti ini. Orang-orang akan menganggapnya gadis yang menyebalkan tapi sungguh ia mendadak jadi uring-uringan seperti ini.
"Om temenin sana. Aku masih kenyang Om." Bujuk Rian.
Bian menghela nafas panjang. Ia lalu melangkah mendekati Tania. Hawa dingin langsung menyapa kulitnya.
"Lapar beneran?" tanya Bian secara tiba-tiba mengagetkan Tania.
"Nggak. sekarang udah nggak lagi."
"Kenapa?"
"Kenyang Om."
"Tapi tadi kata Amel kamu lapar lagi."
"Nggak ada. Udah kenyang." jawab Tania tanpa mau melirik ke arah Bian. Jantungnya belum bisa ia kondisikan untuk dengan lepas menatap pria di sampingnya ini.
"Kalau ngomong itu tatap saya." ucap Bian namun Tania tak mau mendengarkan sedikitpun. Gadis itu tetap betah menatap ke depan.
Bian menghela nafas panjang. "Jadi nggak mau lagi nih lihat saya?" Tanya Bian. Tania tetap diam. "Hei..." Panggil Bian lagi namun dengan panggilan yang terdengar lembut. "Karena yang tadi?" Tebak Bian dan raut wajah Tania berubah gugup.
Bian lagi-lagi menghela nafasnya panjang. "Kalau kamu merasa terganggu dan ingin itu nggak dianggap, nggak apa-apa. Anggap saja saya nggak sengaja. Dan kalau kamu merasa dirugikan, saya akan ganti." Ucap Bian. Jujur saja Bian tak mau mengucapkannya karena ciuman itu berharga untuk Bian dan itu ciuman pertamanya juga selama 25 tahun ia hidup.
Namun ia tak bisa memaksa juga jika gadis yang ia cium tak menerima itu.
"Om.."
"Hm?"
"Temenin makan bakso..."
*****