13. Aku Rian yang kamu cari

1882 Words
Blaam! Tania menutup pintu mobil Bian dari dalam. ia menutup wajahnya yang malu dengan telapak tangannya. Masih jelas dalam ingatannya, bagaimana Bian tertawa setelah ia meminta ditemani makan bakso pada pria tersebut. Dan kini, ia sudah duduk di kursi penumpang yang ada di samping kemudi. Tak lama Bian masuk ke dalam mobil. "Ngapain tadi di dalam?" Tanya Tania pada pria tersebut. "Nanyain dua bocah itu. Mau ikut atau enggak." Tania mengangguk. Dalam hatinya Tania bersyukur karena Rian dan Amel tidak ikut dengannya. Ia benar-benar ingin menghabiskan waktu berdua dengan Bian saja. Bian melajukan mobilnya. "Mau makan dimana?" Tanya Tania. "Kamu beneran mau makan bakso?" Bian bertanya kembali seolah pria itu benar-benar tak percaya. "Iya. Kok nggak percaya gitu?" "Bukannya nggak percaya, tapi tadi kamu makannya paling banyak loh. Saya saja masih kaget saat lihat makan kamu tadi." "Makanya jangan minta aku jadi pacarnya Om lagi." "Ha? Apa Hubungannya makan banyak sama kamu jadi pacar saya?" Tanya Bian yang bingung. Sesekali Bian melirik Tania dan kembali fokus pada menyetirnya. "Uangnya Om bisa habis sama aku gara-gara aku makannya banyak terus." "Ya bagus dong. Saya jadi punya alasan kerja keras." Blusshh.. Tania merona. Beruntung saat ini gelap dan hanya sesekali disinari lampu dari mobil yang lewat berlawanan arah. Ia menyentuh pipinya yang memanas. Ia tak menyangka sama sekali Jika Bian akan menjawab seperti itu. "Kamu nggak percaya saya bisa biayai semua makanan kamu?" Tanya Bian lagi. Tania menggeleng "Bukannya nggak percaya, tapi nggak mungkin aja." "Kenapa nggak mungkin?" "Ya karena tadi, uang Om akan habis." "Kan saya juga jawab tadi saya punya alasan sendiri untuk terus bekerja keras. nggak mungkin dong saya biarin kamu kelaparan, Jadi gimana?" "Ha?Gimana apanya." "Mau nggak jadi pacar saya?" Tania belum ingin menjawab. Otaknya memutar banyak kata untuk ia kumpulkan dan ia ucapkan pada Bian. "Kalau diam berarti...." "Berarti nggak." jawab Tania membuat Bian tertegun. Pria itu menggenggam setir mobil dengan kuat. "Beri alasan pada saya Kenapa kamu nggak mau jadi pacar saya." "Kamu yakin mau dengar?" "Yakin, apa?" Tania menarik nafas dalam, "Pertama, tujuan aku ke sini buat cari teman masa kecil aku yang bernama Rian. Yang kedua, Aku mau cari semua keluarga dari orang tuaku yang ada di Indonesia. Dan aku cuma punya waktu 6 bulan di sini. Dan alasan yang paling penting adalah, Om itu udah punya orang yang spesial di hati om. Jadi ngapain ngajak aku pacaran." Bian semakin menggenggam setir mobilnya kuat. Jujur alasan pertama dan ketiga yang Tania sebutkan itu kuncinya ada pada dirinya. Bian menarik nafas panjang lalu membuangnya secara perlahan. Ia melakukan itu beberapa kali mencoba untuk menenangkan dirinya. Bian melihat ke spion kiri mobilnya. saat ia merasa tak ada lawan di belakangnya, ia Lalu menepikan mobil tersebut dan berhenti di bibir jalan. Hal itu justru membuat Tania bingung. "Kenapa berhenti di sini Om?" Tanya Tania sembari melirik ke sekelilingnya. Ia tak menemukan pedagang bakso satupun di dekat sana. Iya kembali melirik Bian. Bian tak menjawab. Tania menatap lekat wajah Bian. Dan entah kenapa ia merasa tenang melihat wajah itu. Bian melepas sabuk pengamannya dan memutar duduknya ke arah Tania. "Om Bian kenapa?" tanyanya. "Oke. Saya mohon kamu dengarkan saya baik-baik. Dengarkan dengan secara perlahan. Dan saya mohon sama kamu. Jangan menanggapi apa yang saya katakan nanti dengan emosi. saya mohon kamu dengarkan baik-baik." "Hm? Om Bian Kenapa sih? Kok mendadak aneh gini." Bian diam sejenak. Ia menatap lekat mata Tania. "Taman anggrek 10 tahun yang lalu. gadis kecil bernama Tania. Dia suka menguncir rambutnya menjadi kepang dua." Tania terdiam saat ia mendengar 3 klue dari Bian. Jantungnya bergemuruh cepat. Lidahnya kelu dan tatapannya tak bisa ia lepaskan dari Bian sedikitpun. "Unicorn adalah kesukaannya." Tess! Air mata Tania terjatuh tanpa aba-aba. "Dia selalu datang ke taman tepat pukul empat sore. Di sana, ia bertemu dengan seorang anak laki-laki yang mengaku sebagai Rian." "Stop.." perintah Tania. Ia memejamkan matanya dan Membukanya Kembali. Sungguh, ia terlihat seperti gadis bodoh saat ini. "Hai Tania, lama nggak ketemu. Aku Rian. Nggak, maafin aku. Hei, aku Bian, anak laki-laki yang dulu mengaku sebagai Rian." Tania menggigit bibir bawahnya kuat. Bibirnya bergetar hebat. Nafasnya sesak, Air matanya tak berhenti menetes. Tubuhnya lemas seketika. Ia merasa dipermainkan. "Dari kapan?" Tanya Tania dengan nada suara bergetar. "Apanya?" "Dari kapan kamu tahu kalau aku Tania." Dian memejamkan matanya, "Dari awal kamu muncul di rumah."ucapnya lalu membukanya kembali. "Ha? Sejak hari pertama?" Tanya Tania tak percaya. Namun Bian mengangguk mengiyakan. Tania mengangguk pasrah. Ia tak bereaksi apa-apa lagi setelahnya. Hatinya benar-benar hancur. "Kita balik ke Villa aja om." Ucapnya. Bian menggeleng. "Nggak Tania. Kita masih.." "Masih apa? Kamu masih mau nipu aku? Iya? Kamu masih mau bodohi aku?" "Tania, nggak gitu. Aku tahu aku salah. Aku minta maaf." "Dan Maaf kamu nggak perlu buat aku sekarang." "Tania kumohon. Aku akan jelasin semuanya sejelas-jelasnya sama kamu, tapi aku mohon kita tenang dulu." "Nggak Aku mau pulang ke Villa saat ini juga. aku balik ke villa sekarang juga. kalau kamu nggak mau bawa ke Villa, Ya udah aku turun! biar aku pulang sendiri ke Villa." Bian seketika panik. apalagi saat Tania membuka pintu mobil dan hendak turun. Ia langsung menahan Tania, "oke. Oke. Kita balik ke Villa. Kamu jangan turun ya. Kita balik ke Villa sekarang." Tania tak menjawab. Ia langsung duduk diam tanpa melirik lagi ke arah Bian. Ia benci, sangat benci. Ia tak menyangka bisa dipermainkan seperti ini. Dan ia yakin Rian juga tahu tentang ini. Sepanjang perjalanan menuju villa, Bian sesering mungkin mencoba untuk menatap ke arah Tania. Namun ia tak bicara sepatah kata pun sampai mobil Bian berhenti di pekarangan Villa. Tania turun lebih dulu bahkan Gadis itu membanting pintu mobil Bian dengan cukup keras. Setelah menarik rem tangan, Bian langsung keluar dari mobil dan mengunci pintu mobilnya dan berlari mengejar Tania. "Tania, Tania aku mohon dengerin aku dulu." "Mau dengerin apa lagi sih. Hah? Mau bikin skenario lagi?" "Enggak. enggak sama sekali Tania. dengerin aku dulu. makanya kamu berhenti dulu, jangan jalan terus." "Apaan sih. nggak ada yang perlu didengerin lagi. nggak ada yang perlu dibicarain lagi semuanya sudah jelas. Dan aku balik ke Malaysia." "DAN KAMU PIKIR AKU BAKALAN BIARIN KAMU BALIK KE MALAYSIA??" "TERUS MAU KAMU APA?" suara teriakan Bian dan Tania langsung menarik Rian dan Amel keluar dari kamar. Keduanya sama-sama syok saat melihat Bian dan Tania ribut. "Apa-apaan sih kalian? Ini tepat wisata bukan rumah kalian!!" Ucap Rian mencoba melerai. Tania menatap Rian tajam, "oh, ini satu lagi pembohongannya!!!" "Tania.." "Diam kamu!!!" Bentak Tania pada Bian. "Tania! Lo apa-apaan sih! Kenapa Lo tiba-tiba marah pas balik gini." "Lo mau tahu apa alasan gue marah, iya? KARENA GUE UDAH DITIPU SAMA DUA ORANG INI." Amel terdiam. Tania tak pernah 'Lo Gue' sama dirinya sendiri. "Ternyata Rian yang gue cari selama ini itu dia!! Dan Rian yang ini, tahu kalau gue nyari Rian yang ternyata Bian. Dan gue masih berusaha untuk nemuin Rian yang ternyata adalah dia. Pusing kan Lo? Gue muak!!" Rian mencoba menahan Tania yang hendak masuk ke dalam. "Tania, dengerin aku dulu." "Apaan sih! Mau bela om kamu?" "Nggak. Nggak! Aku sama sekali nggak mau bela om aku. Aku cuma mau meluruskan sama kamu." "Luruskan apa lagi? Nggak ada yang perlu diluruskan. Amel, kita balik ke Jakarta sekarang!!" Amel menatap wajah Bian yang benar-benar kusut. Entah kenapa ia merasa kasihan dengan pria tersebut. "Amel lu dengerin gue nggak sih!" "Tania, Bukan begini caranya menyelesaikan masalah. Lo sama om Bian perlu bicara." "Ck! Bicara apaan lagi sih Mel. Gue cuma perlu balik sekarang juga ke Jakarta." "Tania, Lo kenapa gini sih? Tujuan Lo ke sini itu buat ketemu Rian kan? Dan sekarang Lo ketemu sama dia. Terus Lo mau balik gitu aja ke Malaysia?" "Iya. Kenapa emangnya? Kenapa emangnya kalau gua mau balik ke Malaysia?" "Tania, jangan anak-anak gini. Om Bian pasti ada alasan kenapa dia diam dari Lo sejak pertama Lo muncul di rumahnya. Lo lupa? Tadi Lo bilang sama gue kalau Bian jadi pacar Lo pasti Lo bahagia banget." Pengakuan Amel membuat tatapan Bian langsung tertuju pada Tania. Dan gadis itu juga menatap ke arahnya. Dan kali ini Tania benar-benar merasa Tak habis pikir dengan Amel. Dalam kondisinya seperti ini Amel sempat-sempatnya untuk mengatakan apa yang dia katakan tadi tentang Bian. "Kalian bertiga sama-sama brengseknya." ucapannya lalu masuk ke dalam kamar. Tania berjalan menuju tas yang ia bawa. Saat ia mengangkat tas tersebut, entah kenapa ia merasa tenaganya benar-benar terkuras habis. Ia seperti tak sanggup untuk mengangkat beban yang sebenarnya tak berat sama sekali. Dan itu membuatnya terduduk dan menangis. Ia benar-benar merasa bodoh saat ini. Ia benar-benar merasa dipermainkan oleh Rian dan Bian. "Hei.." Tania menghentikan tangisnya saat ia mendengar suara Bian ada di belakangnya. Tak lama setelah itu ia mendengar suara pintu yang tertutup dan terkunci. "Ngapain sih lo masuk ke dalam. Nggak cukup lo udah bikin gua kecewa." "Tania kamu itu salah paham." "Salah paham apa lagi? udah jelas-jelas Kalian itu bersekongkol kan. Lo pikir gue ini boneka? Lu pikir gue ini barang yang bisa lo mainin, hah?" "Nggak. Sama Sekali nggak Tania. Kamu harus dengerin dulu Apa alasan aku buat Nggak jujur sama kamu." Tania diam menatap Bian , "Oke. oke gua dengerin apa alasan lo." Bian berjalan semakin dekat pada Tania dan beruntungnya Gadis itu tak menjauh sedikitpun darinya sampai langkahnya terhenti Di depan Tania. Bian mencoba menghapus air mata yang menetes di pipi Tania namun Gadis itu mengelak. "Nggak perlu lembut sama gue sekarang. lo cerita sama gue apa yang buat kalian berdua permainkan gue sampai seperti ini." "Haaahh. Oke, kita duduk dulu baik-baik. Kita duduk di sana." Bian menunjuk tempat tidur. Dan Tania menurut saja. Tubuhnya benar-benar lelah saat ini. Kini keduanya sudah duduk di atas tempat tidur dan Tania benar-benar menunggu apa yang akan Bian jelaskan padanya. "Sekarang jelasin sama aku, sejelas-jelasnya, Kenapa kamu sembunyikan semua ini dari aku. Yang harusnya dari awal kamu ceritakan semuanya saat aku datang. Harusnya kamu bilang sama aku kalau kamu sebenarnya adalah Rian. Dan nggak diam seperti ini sampai aku tahu saat ini. Kamu tahu, Aku bahkan memberi waktu untuk diri aku sendiri selama 1 bulan ke depan untuk cari Rian dan kalau dia nggak ketemu, aku balik ke Malaysia. Bahkan aku nggak peduli dengan keluarga orang tuaku yang ada di sini. aku nggak peduli aku punya nenek Atau enggak. Aku punya om dan tante atau enggak. Dan ternyata aku udah ketemu selama ini sama Rian, tapi aku ditipu." "Nggak. nggak ada yang nipu kamu. Aku nggak bisa jujur sama kamu karena pertemuan kita itu juga nggak enak. Itu karena kamu marah-marah sama aku." "Karena kamu juga mancing aku buat marah saat itu." "Karena itu aku bilang pertemuan kita itu nggak enak." "Dan kenapa setelahnya kamu Nggak jujur sama aku!!?" "Karena sejujur apapun aku saat itu, aku yakin kamu nggak akan percaya." "Tapi kamu pasti punya bukti kan untuk bikin aku yakin kalau kamu itu orang yang aku cari." Bian mengangguk. Ia akui ia salah. Sangat salah. tapi ia tak mau mengulangi kesalahan yang sama. Membiarkan Tania kembali ke Malaysia sama saja ia mengulangi kesalahan yang sama. Bian menundukkan kepalanya, "Aku tahu aku salah. aku minta maaf sama kamu. Aku selalu mencari cara untuk bisa katakan semuanya sama kamu, tapi setiap kita ketemu bawaannya berantem terus, bertengkar terus. aku jadi nggak punya momen untuk bilang sama kamu kalau aku Rian yang kamu cari. Aku benar-benar minta maaf." *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD