CHAPTER 6
“Ma, kenapa dulu Mama bisa suka sama Papa?”
Tiara yang sedang memasak lantas menoleh pada putri semata wayangnya yang sedang memotong sayuran itu.
“Kenapa kamu tiba-tiba nanya soal itu? Biasa juga mama cerita kamu nggak minat..”
Wendy mengendikkan bahunya. “Pengen tau aja..”
Tiara tersenyum.
“Padahal Papa itu nggak ganteng-ganteng banget. Ya walaupun buat Wendy Papa adalah laki-laki paling ganteng di dunia. Terus juga papa nggak romantis sama sekali. Hari libur harusnya papa nemenin mama. Ajak mama jalan-jalan kek atau apa kek. Eh ini tiap hari minggu pasti selalu pergi mancing sama temen-temannya..”
Tiara menatap sang putri. “Ganteng nggak pernah jadi tolak ukur untuk hidup kita bisa bahagia atau enggak. Ya walaupun mama akui kalau good looking itu perlu, tapi bukan berarti good looking bisa ambil bagian besar. Kata siapa papa nggak romantis? Kamu aja yang nggak pernah lihat. Papa tuh romantis banget. Tapi dengan caranya sendiri. Dan mama bahagia dengan romantis versinya papa.”
Wendy mengingatnya. Papanya memang selalu punya caranya sendiri untuk membuat mamanya bahagia. Misalnya papa akan beli bibit bunga setiap kali dia dinas ke luar kota. Seperti yang diketahui, mamanya sangat suka sekali berkebun bunga atau tanaman apapun. Papanya mungkin memang tidak pernah membuatkan mamanya sarapan romantis di pagi hari. Tapi papanya kadang membantu mamanya mengangkat jemuran atau bahkan menemani mamanya belanja ke pasar. Kecil memang, tapi sangat berarti.
“Kamu tau kenapa mama nggak pernah protes setiap papa habiskan hari minggunya untuk kumpul bersama teman-temannya?”
Wendy menggeleng.
“Karena cuma di hari itu papa bisa menikmati hari dengan dirinya sendiri. Papa udah habiskan 6 harinya untuk bekerja. Bekerja demi kita keluarganya. Demi mama, demi kamu. Kadang bahkan papa sampai lembur. Dia udah dedikasikan 6 hari untuk kita. Kenapa mama harus protes untuk 1 hari itu?” Tiara menatap sang putri hangat.
Wendy merenung.
“Itu yang bikin mama jatuh cinta sama papa setiap harinya. Tapi itu bukan alasan kenapa mama akhirnya memutuskan menikah sama papa...”
Wendy menaikkan alis, menunggu lanjutan kalimat sang mama.
Tiara kembali mengenang dua puluh lima tahun yang lalu.
“Papa itu dulu pecinta moge. Bisa dibilang waktu mama ketemu papa, beliau sedang gila-gilanya sama moge. Papa bahkan udah habiskan banyak banget uang untuk hobinya itu. Tapi di puncak maniaknya itu, papa justru melepaskan impiannya untuk tour dengan club mogenya. Padahal papa udah siapkan tabungan dari jauh-jauh hari. Papa putuskan untuk serius sama mama, ngelamar mama. Dia bisa berubah dari orang yang gila bersenang-senang kayak gitu menjadi laki-laki bertanggung jawab untuk sebuah keluarga, gimana mama bisa menolak? Padahal kalaupun saat itu papa melanjutkan hobinya mama juga nggak akan larang. Tapi papa bilang bagi dia keluarga adalah yang terpenting. Papa nggak akan ngelakuin sesuatu setengah-setengah. Saat dia memilih mama, maka bagi dia seluruh hidupnya adalah untuk mama. Dan untuk kamu juga begitu kamu lahir..”
Wendy dulu tak pernah suka mendengar cerita-cerita perjalanan cinta mama-papanya. Ia kadang mendengarkannya setengah hati. Kadang ia bahkan sengaja menghindar karena malas dengarkan cerita mamanya.
Wendy tidak tau kalau Papanya pecinta moge. Masalahnya yang Wendy lihat selama hampir 21 tahun ini, papanya tidak ada tampang pecinta moge sama sekali. Kerja papanya itu menyiram tanaman, pergi memancing, kadang membantu temannya memetik buah di kebun yang kemudian dibawa pulang untuk membuat jus segar. Entah kenapa Wendy merasa jadi semakin sayang pada papanya. Jika dipikir-pikir pengorbanan papa dan mamanya selama ini memang banyak sekali. Mamanya berhenti bekerja karena ingin fokus mengurus dirinya. Mama bilang dia tidak mau kehilangan momen membesarkan dirinya. Tapi lihatlah, dia malah tidak tau diri setelah besar. Kadang masih malas saat mamanya minta bantuan.
“Laki-laki ganteng itu banyak. Laki-laki kaya juga banyak. Laki-laki baik juga banyak. Tapi laki-laki yang memang bertanggung jawab 100% itu yang susah.” Tiara mengedipkan matanya. Kemudian ia lanjutkan kegiatannya.
“Ma..”
“Hm?”
Wendy menarik napas dalam. “Gimana kalau misalnya kita suka banget sama seseorang, tapi orang itu nggak suka sama kita..” Wendy menatap sang mama. “Tapi dia baik banget ma sama kita sampai kadang bikin kita salah paham..”
“Dia nggak sukanya karena dia emang nggak suka atau karena dia nggak tau kita suka sama dia?”
Wendy terdiam. Ia tidak yakin. Mungkin saja Yuan tau, tapi mungkin juga Yuan tidak tau tentang perasaannya.
“Kalau dia nggak tau dan bersikap baik itu wajar. Tapi kalau dia tau, tapi masih bersikap baik itu kemungkinannya dua hal. Dia sebenarnya suka atau dia sebenarnya ngasih kode untuk kita berhenti suka sama dia.” Tiara kemudian menoleh pada sang putri. “Ngomong-ngomong dia itu punya pacar, punya gebetan atau dia emang single?”
“Kenapa emang, ma?” Wendy tidak melihat ada pengaruh dengan hal itu.
Tiara menatap sang putri seksama. “Kalau dia emang masih single, bisa jadi dia emang suka sama kita. Tapi kalau kondisinya dia punya pacar atau punya gebetan lain, itu artinya kita harus berhenti.”
Wendy kembali terbungkam oleh kata-kata sang mama.
“Tapi kamu masih muda, kalau kamu emang suka banget yaudah perjuangkan. Selagi belum menikah sih nggak ada masalah..” tambah Tiara enteng. Wendy langsung menatap sang mama yang kini dalam keadaan memunggunginya. Apa itu sinyal positif dari mamanya? Apa dia memang harus tetap mengejar Yuan? Toh Yuan dan Luna belum menikah. Bahkan belum jadian.
“Tapi sesuatu yang kita paksa untuk dapat memilikinya kadang nggak akan menghasilkan sesuatu yang baik. Kadang tau waktu untuk berhenti itu jauh lebih baik daripada memaksa maju dan berjalan dalam sebuah ketidakpastian.”
Kalimat sang mama seperti menenggelamkan Wendy jauh ke lubang hitam.
...
Wendy terbangun sekitar pukul delapan malam saat ponselnya bergetar berkali-kali. Ia mengusap mata kemudian meraih ponsel di sebelah bantal. Ada beberapa chat dari Bibi dan beberapa chat dari grup kelas. Lalu ada dua buah chat dari dua orang yang selama beberapa hari ini menguasai pikiran Wendy.
Wendy terdiam selama beberapa detik, berpikir apa ia harus membuka chat itu. Akhirnya Wendy membukanya.
[Yuan]
Wen maaf ya untuk malam kemarin. Aku
bener-bener panik sampai lupa nganter kamu pulang. L
Wendy mengetikkan balasan.
[Wendy]
Iya nggak apa2. Santai aja J
Gimana Luna?
Wendy tak ingat lagi ini sandiwaranya yang ke berapa? Sudah berapa kali ia bilang baik-baik saja padahal sebenarnya dia tidak baik-baik saja.
[Yuan]
Luna udah baikan, alhamdulillah.
Ya. Sejelas itu. Yuan tidak pernah kirimkan dia sinyal apapun. Yuan selalu menjawab pesannya seperti itu. Lalu kenapa kadang dia masih berhalusinasi? Wendy memejamkan matanya.
“Kenapa susah banget sih buat lupain lo?” keluhnya lelah.
[Yuan]
Kamu di mana? Kapan kamu free? Aku mau tebus kesalahan aku yang kemaren
Wendy melotot membaca chat Yuan yang baru masuk. Apa dia tidak salah? Wendy mengulang membaca chat itu. Tidak salah. Yuan juga tidak mengirimkan konfirmasi kalau dia salah kirim. Itu berarti Yuan memang merasa bersalah. Iya kan? Rasa marahnya beberapa hari yang lalu seperti lenyap begitu saja. Harapannya terasa seperti dilambungkan lagi.
Wendy terdiam lama. Ia mulai goyah lagi. Jujur saja, ia amat sangat tergoda saat ini. Tapi akhirnya..
[Annoying]
Cepet sembuh ya. Jangan telat lagi makannya J
[Wendy]
Tau dari mana gue sakit?
[Annoying]
Bibi bilang kamu pulang ke rumah mama kamu
karena lagi nggak enak badan
[Wendy]
Lemes banget mulut si Bibi -_-
[Annoying]
Dia baik J
Istirahat yang cukup dan cepat kembali J
[Wendy]
Dah kayak mau pergi perang aja gue
[Annoying]
Hahaha
Aku selalu nunggu kamu di sini
Dinner kita di Green Sky belum kesampaian
[Wendy]
Iya, besok gue balik
Wendy terdiam tiba-tiba. Membaca kembali pesan yang baru ia kirim. Kenapa ia bisa membalas seperti itu?
“Astaga, Wen. Lo mikirin apaan sih? Astaga otak udang. Malu anjir..” Wendy menyembunyikan wajahnya ke balik selimut. Bagaimana jika Pane berpikir yang aneh-aneh?
...
“Lagi mikirin apa sih lo? Kayaknya dilema banget..” Bibi menghempaskan pantatnya di samping Wendy. “Oh iya, sorry ya kemaren gue terpaksa kasih tau kalau lo balik ke rumah nyokap lo. Soalnya gue kasihan sama Kak Faren, dia nyariin lo terus ke kelas..”
Wendy mengangguk saja. Bibi terkejut karena tidak biasanya Wendy bereaksi setenang itu. Biasanya Wendy akan heboh dan mendumel padanya.
“Kak Faren nggak nyusul sampe ke rumah lo kan?” tanya Bibi terkejut.
Wendy menggeleng.
Bibi menghela napas lega. Sungguh, ia takut jika seniornya itu benar-benar menyusul sampai ke rumah orang tua Wendy. Lalu bertemu orang tua Wendy. Lalu..
“Iya juga ya, dia kan nggak tau rumah lo di mana..” Bibi terlihat berpikir. Tapi kemudian ia menggeleng sendiri. “Nggak ada jaminan sih dia nggak tau. Dia kayaknya suka banget sama lo, bisa jadi aja dia udah tau semua informasi tentang lo..” tiba-tiba Bibi jadi ngeri sendiri. Ia membayangkan jika itu benar, maka Adaffaren Pane tak ubahnya seperti seorang stalker.
“Eh tapi kayaknya sejauh ini nggak ada hal aneh yang dia lakuin kan? Iyasih. Lagian orang ganteng tajir gitu mana mungkin ngelakuin sesuatu yang aneh-aneh..” Bibi sibuk bertanya dan menjawab sendiri pertanyaannya.
Wendy menghela napas. Bibi otomatis menoleh.
“Ok. Terakhir. Ini terakhir kali. Kalau masih gagal, gue bener-bener bakal berhenti,” ujar Wendy.
Bibi mengerutkan keningnya. “Berhenti? Maksud lo apa? Wen? Hah?” Bibi menggaruk kepalanya bingung. Wendy menekan-nekan layar ponselnya. Kemudian ia pejamkan matanya dan menekan tanda send.
***