CHAPTER 5
Mereka bergegas menuju ke UGD. Dan betapa hancur hati Wendy saat melihat siapa yang terbaring di sana. Lebih hancur lagi saat Yuan langsung memeluk perempuan yang terbaring di atas bankar itu. Ia dan Yuan baik-baik saja beberapa menit yang lalu. Harusnya beberapa menit yang lalu ia sudah mengakui perasaannya pada Yuan. Harusnya sudah ada titik terang antara ia dan Yuan. Tapi...
Luna. Kenapa nama itu selalu berhasil mencuri hal berharga milik Wendy hanya dalam sekejap? Kenapa nama itu selalu berhasil menghancurkan hatinya? Bodohnya lagi ia sendiri yang menyetir tadi, mengantarkan Yuan pada Luna. Wendy merasa ia benar-benar seperti orang bodoh saat ini. benar-benar bodoh. Kenapa ia tak bisa mengerti situasinya? Kenapa ia tak bisa menerka ekspresi khawatir Yuan?
Wendy memejamkan mata, membiarkan bulir bening jatuh dari pelupuk matanya. Sudah tak terhitung berapa kali ia menangis karena dua manusia itu. Tapi kenapa Luna bisa membalikkan rasa bahagianya menjadi luka hanya dalam sekejap mata?
Lihatlah, bagaimana saling mencintainya dua orang itu? Wendy bahkan bisa mendengar dengan jelas kata maaf yang Yuan ucapkan berkali-kali pada Luna. Kata maaf yang sama yang tadi Yuan ucapkan padanya. Tapi ada perbedaan jelas dari dua kata maaf itu. Maaf yang Yuan ucapkan pada Luna menunjukkan betapa cinta Yuan pada perempuan itu. Sedangkan kata maaf yang Yuan ucapkan padanya... Wendy menyeka air matanya. Ia tarik napas dalam dan rasanya masih sama, sesak.
Wendy melirik ponselnya yang bergetar. Matanya menangkap angka yang tertera di layar. Jam 9.45. Wendy memelototkan matanya.
“Astaga! Kenapa gue bisa lupa?!” Wendy menepuk kepalanya. Tanpa memberitahu Yuan, Wendy meninggalkan rumah sakit. Ia tadi tidak membawa mobil, jadi Wendy bergegas memesan grab car. Ia beruntung karena mobil yang ia pesan datang dengan cepat. Wendy hanya bisa berharap di dalam hati bahwa Pane sudah tidak ada di Green Sky. Wendy sempat menyadari penampilannya yang sudah agak acak-acakan. Ia hanya mengenakkan baju kaos lengan pendek dan celana jeans panjang. Untung tadi ia memakai sendal tali dan bukan sendal jepit. Meski Wendy tetap tak yakin ia akan diizinkan masuk di Green Sky nanti.
Apa Wendy harus bersyukur ia tak menemi macet? Perjalanannya menuju Green Sky seolah mulus tanpa hambatan. Seolah ia memang direstui untuk menemui Pane. Tapi meski begitu Wendy berharap Pane sudah tidak di sana. Pane bilang acaranya dimulai jam 7. Sekarang sudah hampir jam sepuluh. Ya meskipun Pane masih ada di sana Wendy berharap laki-laki itu bersama teman-temannya.
“Maaf Mbak, mau ke mana? Apa sudah pesan tempat?” langkah Wendy dihalangi oleh penjaga di depan pintu masuk.
“Sudah, Mas. Atas nama Adaffaren Pane,” ujar Wendy. Untung ia masih bisa berpikir.
“Oh Mbak Wendy ya?”
Wendy terkejut karena pelayan itu tau namanya. Tapi ia abaikan saja hal itu untuk saat ini. ia mengangguk.
“Oh iya silahkan mbak. Mas Faren di skyline..”
Wendy bergegas menuju ke skyline. Ia pernah sekali makan di Green Sky, waktu itu ia ditraktir Lintang. Jika pakai uang pribadi Wendy tak akan mau makan di sini. Daripada membayar semahal itu lebih baik dia membeli lipstik dan makeup. Wendy terus saja berharap Pane sedang bersama teman-temannya. Karena jika berharap Pane sudah pulang tentu saja tidak mungkin. Pelayan tadi jelas-jelas menyebutkan kalau Pane masih ada di sini.
Wendy menaiki tangga terakhir menuju skyline. Dan langkah Wendy berhenti tepat di anak tangga terakhir saat melihat Pane ada di sana. Wendy mematung. Lalu matanya bertemu dengan mata Pane. Laki-laki itu langsung bangkit dari duduknya, kemudian tersenyum. Tangan Wendy mengepal. Dia marah. Ya, Wendy sangat marah saat ini.
“Aku khawatir banget. Aku mau nelfon tapi takut ganggu kamu,” ujar Pane saat ia sudah berada di depan Wendy. “Kamu baik-baik aja, kan?” tanya Pane.
“Lo kenapa masih di sini? Mana temen-temen lo?” tanya Wendy berusaha menahan suaranya agar tidak meninggi. Harusnya Wendy tak perlu bertanya. Hanya ada satu meja yang berisi di sana. Itu tandanya Pane tidak mengundang orang lain.
Pane masih dengan senyum yang sama. “Aku nggak undang orang lain.”
“Kenapa lo nggak undang orang lain? Kenapa lo masih di sini? Emang ada jaminan gue bakal datang? Kenapa lo nungguin gue?!” suara Wendy akhirnya meninggi. Ia marah tapi tidak tau marah karena apa? Entah karena Yuan dan Luna tadi atau karena Pane yang menunggunya di sini berjam-jam.
“Kenapa sih lo nggak paham-paham?! Harusnya lo tuh udah pulang! Harusnya lo nggak nungguin gue di sini!” Bentak Wendy. Matanya sudah berkaca-kaca. Perempuan itu membalik tubuhnya dan melangkah pergi. Tapi Pane dengan cepat menahannya dengan memeluk Wendy dari belakang.
“Kamu boleh marah sama aku, tapi jangan pergi..” ucap Pane.
Wendy tak menjawab. Namun juga tak berusaha melepaskan diri.
“Aku minta maaf,” ucap Pane lagi, lembut. Wendy mendengarnya dengan jelas dan tidak tau apa yang ia rasakan.
“Kenapa lo yang minta maaf? Harusnya lo marah sama gue..”
Terdengar helaan napas halus. “Kenapa aku harus marah? Kamu nggak bilang akan datang. Aku aja yang emang mau nunggu kamu di sini..”
Dan rasa bersalah Wendy makin menjadi mendengar penuturan Pane. Wendy melepaskan diri dan Pane membiarkannya. Perempuan itu menatap Pane serius.
“Lo nggak paham.” Wendy menghela napas berat. “Gue udah suka sama orang lain.”
Wendy tau kalimat-kalimatnya mungkin akan menyakiti Pane. Tapi Wendy juga tidak ingin berada di situasi ini terus. Ia tidak ingin Pane terus berharap padanya. Lebih tepatnya Wendy tak ingin merasakan perasaan tak nyaman ini. Sebelumnya ia sama sekali tidak perduli apapun yang Pane lakukan. Tapi akhir-akhir ini ia mulai merasakan perasaan bersalah jika ia melakukan sesuatu yang buruk pada laki-laki itu. Wendy tak ingin perasaan aneh itu terus mengganggunya. Ia sudah dibuat cukup pusing oleh Yuan. Wendy tak ingin membagi fokusnya.
“Emang kenapa kalau kamu udah suka sama orang lain?” tanya Pane membuat Wendy menaikkan alisnya. Perempuan itu tertegun. Seketika ia teringat akan dirinya sendiri. Melihat Pane kini membuatnya seolah sedang melihat dirinya sendiri. Keras kepala dan seolah tahan banting. Tapi Wendy amat sangat tau kalau sebenarnya ia tidak sekuat seperti yang selalu ia perlihatkan. Kadang iapun lelah dan marah pada dirinya kenapa tak bisa berhenti menyukai Yuan meski laki-laki itu tak pernah melihat dirinya.
“Gue nggak akan bisa suka sama lo,” ujar Wendy tegas. “Mau lo lakuin apapun gue nggak akan bisa suka sama lo.”
Pane terdiam. Wendy berharap Pane mengerti dan bersedia mundur.
“Kamu sama dia belum jadian kan?” tanya Pane setelah beberapa saat diam. Laki-laki itu menatap Wendy dalam. “Saat kalian jadian, aku akan mundur. Aku akan berhenti mengejar kamu.”
Dan Wendy bungkam di tempatnya.
...
Wendy merebahkan dirinya ke kasur. Ia menghela napas berat. Perutnya berbunyi, mengingatkan Wendy bahwa ia belum makan apapun sejak tadi. Tapi pikirannya tidak berada di sana saat ini. Pikirannya tersita oleh Pane. Nama Pane memenuhi kepalanya. Pembicaraan mereka tadi terngiang-ngiang di dalam kepalanya. Wendy memejamkan matanya. Ia lelah. Pane membuat kepalanya sakit.
“Kenapa sih lo suka sama gue? Gue Cuma cewek biasa. Gue nggak ada spesial-spesialnya. Gue nggak cantik. Gue nggak kaya juga. Masih banyak cewek yang lebih baik dari gue.”
“Aku nggak perduli kamu cantik atau nggak. Aku nggak perduli juga kamu nggak kaya. Duit aku banyak. Aku nggak perduli mau kamu biasa atau luar biasa. Aku suka sama kamu bukan karena itu semua. Tapi karena kamu itu kamu.”
Wendy menghela napas. Jawaban Pane membuatnya tak bisa berkata-kata. Pane persis seperti dirinya. Bagaimana bisa ia protes jika sudah begitu? Mereka berdua benar-benar seperti orang bodoh saat ini. Ia menyukai Yuan yang menyukai Luna. Sedangkan Pane menyukainya yang menyukai Yuan. Ia mengejar Yuan dan Pane mengejarnya. Apa tidak bisa Yuan berhenti untuk melihatnya? Jika Yuan berhenti untuknya maka semua ini akan berakhir. Jika seperti ini terus maka banyak yang akan terluka. Tapi itu hanya harapan Wendy saja. Pada kenyataannya Yuan mungkin tak akan pernah mau berhenti karena Yuan memang tidak menyukainya. Dan Wendy tidak tau apa dia bisa berhenti untuk Pane. Menyedihkan sekali.
...
Saat hendak berangkat ke kampus, Wendy tak sengaja melihat kotak gelang yang diberikan Pane kemarin. Wendy baru teringat kalau ia belum mengembalikan gelang itu pada Pane.
“Saat kalian jadian, aku akan mundur. Aku akan berhenti mengejar kamu.” Wendy teringat ucapan Pane. Ia akhirnya menyimpan kotak itu ke dalam laci meja lalu berangkat ke kampus.
Wendy berusaha fokus pada penjelasan dosen meskipun banyak mahasiswa yang mengeluh karena tidak paham paham pada materi yang dijelaskan. Mata kuliah ini memang terkenal sulit dan dosen yang mengajar juga sangat disiplin. Ada banyak catatan dan Wendy berusaha agar ia tidak tertinggal. Untungnya ia punya tangan yang cepat saat menulis.
Jam kuliah pertama selesai. Istirahat tiga puluh menit kemudian dilanjutkan dengan mata kuliah selanjutnya. Setelahnya Wendy harus menghadiri seminar. Seharian ini jadwalnya padat. Masalahnya ada dua seminar yang harus ia hadiri. Ia pun tak sempat makan karena tadi ia harus menemui dosen PA. Hanya snack yang diberikan oleh panitia seminar yang jadi pengganjal perutnya.
“Lo kenapa pucet banget, Wen?” tanya Bibi.
“Hmm, gue nggak apa-apa.”
“Tapi lo pucet gitu. Lo nggak makan kan tadi?”
Wendy mengangguk. Kepalanya memang agak pusing saat ini.
“Izin aja deh keluar. Ini seminarnya tinggal setengah jam lagi kayaknya..” Bibi mengusulkan. Wendy menggeleng. Jika ia pergi saat ini maka ilmu yang ia dapatkan tidak akan sempurna. Percuma saja ia mengikuti seminar sejak tadi.
“Gue tahan kok, nggak apa-apa. Sebentar lagi.” Wendy meyakinkan. Bibi masih khawatir namun akhirnya mengangguk saja. Tak bisa memaksa Wendy.
Akhirnya seminar pun selesai. Bibi bergegas membantu Wendy untuk keluar dari ruangan seminar karena ada banyak orang di sana. Tapi tepat mereka sampai di luar, Wendy kehilangan keseimbangannya dan jatuh pingsan.
“Tolong! Tolong Kak temen saya pingsan!” jerit Bibi.
...
Kelopak mata itu bergerak. Wendy perlahan membuka matanya. Hal pertama yang ia rasakan adalah bau menyengat dari bahan kimia. Itu bau obat.
“Kamu udah bangun?” suara itu membuat kesadaran Wendy terkumpul dengan cepat. Ia melebarkan matanya, mencari sumber suara. Pane duduk di samping tempat tidur, menatapnya dengan sorot cemas.
“Ini di mana?”
“UKS..” Pane membantu Wendy duduk. “Tadi kamu pingsan..”
“Bibi mana?” Wendy ingat terakhir kali ia dibantu Bibi keluar dari ruangan seminar.
“Bibi lagi beli makanan. Perut kamu kosong dan magh kamu kambuh..”
Tak lama dokter jaga datang. Ia kemudian memeriksa kondisi Wendy. Semua baik-baik saja. Yang harus dilakukan adalah mengisi perut Wendy yang kosong. Dokter itu memberikan obat yang harus Wendy minum untuk meredakan maghnya. Selang beberapa menit kemudian Bibi kembali membawa makanan.
“Kenapa Pane bisa ada di sini?” tanya Wendy pada Bibi dengan sedikit berbisik, sebab Pane sedang menelfon tak jauh dari tempat mereka.
“Tadi dia yang bawa lo ke sini.”
“Kok bisa? Bukannya tadi kita di tempat seminar?”
“Iya. Gue juga nggak tau. Tadi waktu lo pingsan tiba-tiba dia udah ada di sana terus langsung gendong lo dan bawa lo ke sini..”
Wendy memelototkan matanya dan Bibi hanya mengendikkan bahu. Pane kembali.
“Makanannya nggak enak?” tanya Pane.
“Enak,” jawab Wendy asal.
“Kalau enak kenapa nggak dihabisin? Cuma diaduk-aduk gitu..”
Wendy melirik mangkuknya. Bibi tak mengatakan apa-apa. Pilih menyaksikan dalam diam. Sekilas ia punya sesuatu di dalam pikirannya. Bibi bertanya-tanya kenapa Wendy tak bisa menyukai Pane? Padahal laki-laki itu sangat sempurna. Yang lebih penting Pane terlihat begitu menyukai Wendy. Bibi yakin, ada ratusan bahkan ribuan perempuan yang sedang mengejar Pane kini. Tapi di saat perempuan-perempuan itu mengejar Pane, Wendy yang jelas-jelas Pane inginkan malah menolaknya. Bibi pusing sendiri melihat sahabatnya itu. Apa yang Wendy sukai dari Yuan hingga ia begitu tergila-gila?
“Lo nggak ada kelas?” tanya Wendy memecah keheningan.
Pane mengangguk. Dia memang masih ada kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan.
“Kenapa masih di sini?”
“Kamu nggak apa-apa aku tinggal?” ada nada khawatir di sana.
Wendy mengangguk. “Iya. Gue udah baik-baik aja. Ada Bibi juga di sini..”
Pane tampak tak yakin, namun akhirnya ia hela napas pelan. “Mobil kamu di mana?” tanyanya.
“Di bengkel, lagi di service..”
Pane mengeluarkan kunci mobilnya.
“Mau ngapain?” tanya Wendy. Pane ulurkan kunci mobilnya pada Bibi.
“Kamu ada SIM kan?” tanyanya. Bibi mengangguk. “Pake aja mobil aku..” ia serahkan kunci mobil itu dan Bibi menerimanya. Wendy ingin protes tapi tidak bisa karena Pane lebih dulu menyela.
“Lo pake apa?” tanyanya kemudian.
“Gampang. Tolong antar Wendy ya, Bi. Ntar mobilnya kamu bawa aja balik ke kos kamu..”
Bibi hanya bisa mengangguk.
“Habisin makanan kamu. Cepet sembuh. Aku pergi dulu..” lalu Pane meninggalkan UKS. Meninggalkan Wendy yang tak bisa berkata-kata.
Setelah memastikan Pane benar-benar sudah pergi, barulah Bibi menggoda Wendy.
“Anjir. Di mana cari cowok modelan kayak Kak Faren gitu? Kalau ada yang jual di s****e mau deh gue beli..” Bibi geleng-geleng. “Sumpah deh, Wen. Gue ampe nggak tau mau ngomong apa. Kalau cowok udah kasih pinjem mobilnya itu tandanya orang itu berarti banget tau nggak. Nggak pernah gue mimpi nyetir Audi..”
Wendy menghela napas.
“Gue nggak bakal komen aneh-aneh ke lo. Tapi harus gue akui sih, Kak Faren kayaknya sayang banget sama lo. Lo nggak liat tadi muka khawatir dia pas lo pingsan.” Bibi mengangguk-angguk kecil. Wendy tak mengeluarkan sepatah katapun. Tapi kata-kata Bibi menyusup ke dalam hati dan pikirannya.
***