CHAPTER 7
Wendy memastikan sekali lagi penampilannya. Ini adalah penampilan terbaik yang bisa ia tampilkan. Bisa dibilang ini adalah dandan terlama yang pernah ia lakukan. Bagaimana tidak. Ia habiskan waktu hampir 4 jam sekedar untuk memilih baju dan bermakeup. Wendy tak pernah seniat ini di dalam hidupnya. Bahkan tidak saat ia ujian masuk kuliah. Mama bahkan pernah mengomelinya suatu kali. Mama bilang bahwa ia tidak pernah benar-benar niat dalam melakukan sesuatu. Jika saja dia niat, pasti hasilnya akan jauh lebih baik. Sebab Wendy ini pintar. Dia hanya malas. Dia hampir tidak pernah memegang buku saat di rumah. Bahkan tidak saat ia akan ujian. Yang ia lakukan justru bermain ponsel dan menonton drama atau film di saat anak-anak lain hampir stress karena menghafal untuk ujian.
Yuan adalah pengecualian di dalam hidupnya. Setelah mengenal Yuan, hampir semua pengecualian menjadi iya baginya. Seperti ia yang awalnya hampir tidak pernah panjangkan rambut lebih dari sebahu, kini selalu berambut hampir menyentuh pinggang hanya karena ia tau bahwa Yuan suka perempuan berambut panjang. Dulu Wendy tidak suka memakai rok. Tapi begitu kenal Yuan ia punya banyak sekali koleksi rok. Dulu semua bajunya berwarna hitam, abu-abu dan putih saja. Tapi lagi-lagi Yuan merubah semuanya. Wendy jadi suka mengoleksi baju dengan warna-warna cerah. Bukankah itu artinya Yuan pantas untuk ia perjuangkan karena Yuan membawa pengaruh baik untuk hidupnya?
Wendy masuk ke dalam mobilnya. Sebelum menyalakan mobil, tak lupa Wendy panjatkan do’a. Ia berharap semua akan berjalan sesuai keinginannya hari ini. Kemarin ia melihat story Luna. Terlihat jelas bahwa hubungan Yuan dan Luna sedang tidak baik-baik saja. Luna bahkan menyiratkan bahwa ia nyaris tak ada harapan lagi.
“When this all just a memory”
Wendy tidak masalah jika dianggap jahat. Dia sudah menjadi orang baik selama tiga tahun ini dengan bersabar. Maka dia akan menjadi jahat kali ini karena mengambil kesempatan di dalam kesempitan. Dengan yakin Wendy melaju mobilnya menuju tempat ia dan Yuan janjian untuk makan malam.
Restoran ini adalah restoran ia dan Yuan biasa makan. Restoran kesukaan mereka berdua karena makanan favorit mereka memang sama. Yuan yang mengenalkan restoran ini pada Wendy. Setelahnya Wendy jadi sering makan di restoran ini karena merasa Yuan selalu bersamanya jika ia makan di tempat ini.
Wendy turun dari mobil, memasuki restoran yang malam ini cukup ramai. Di satu sudut ada beberapa orang yang sedang merayakan ulang tahun. Dari tempat duduknya Wendy ikut bertepuk tangan pelan melihat kesenangan orang-orang itu. Wendy melirik jam tangannya. Masih ada sepuluh menit dari waktu janjian mereka. Wendy memang sengaja datang lebih dulu karena tidak ingin Yuan menunggunya. Wendy ingin ia yang menunggu Yuan. Ia ingin menyambut Yuan saat laki-laki itu datang. Wendy sudah katakan pada pelayan bahwa ia akan memesan makanan setelah Yuan datang. Jadi sembari menunggu, Wendy memesan segelas jus melon.
Dua puluh menit berlalu.
Belum ada tanda-tanda Yuan akan datang.
Setengah jam berlalu.
Wendy masih sabar menunggu. Mungkin Yuan terkena macet, jadi dia menahan diri untuk tidak menelfon. Ia tidak mau Yuan jadi ilfeel padanya dan menganggapnya mengganggu. Jadi Wendy akan bersabar saja.
Satu jam berlalu.
Yuan masih belum datang. Restoran masih ramai seperti tadi. Kemeriahannya masih sama. Hanya saja Wendy mulai khawatir. Ia sudah mencoba menghubungi Yuan tapi nomor Yuan tidak aktif. Chat nya juga ceklis satu. Tidak terkirim. Ke mana Yuan?
Dua jam berlalu.
Wendy sudah habiskan beberapa gelas air putih hingga perutnya terasa mulai tidak nyaman. Tapi Wendy belum beranjak. Ia masih diam di tempatnya. Masih terus mencoba menghubungi nomor Yuan. Tapi jawaban yang ia dapatkan masih sama, nomor Yuan tidak dapat dihubungi.
Tiga jam.
Yuan tidak menghubunginya sama sekali. Wendy bukannya apa, dia khawatir Yuan kenapa-kenapa di jalan. Bagaimana jika ternyata Yuan kecelakaan? Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Yuan?
Restoran mulai sepi memasuki empat jam Wendy di sana. Beruntung Wendy mengenal pelayan di restoran itu, jadi ia tidak perlu khawatir akan diusir. Ia bahkan sudah memesan makanan karena takut saat nanti Yuan datang dan laki-laki itu lapar. Jadi Wendy pesan lebih dulu untuk berjaga-jaga jika Yuan datang maka mereka bisa langsung menyantap makanan.
Wendy menekan layar ponselnya. Terdengar nada sambung.
[...]
“Hallo kak, kakak di mana?”
[....]
“Kakak tau nggak Kak Yuan di mana? Aku coba telfon tapi nomornya nggak aktif.”
[....]
“Iya. Coba deh kakak tanyain temen kakak mana tau ada yang tau Kak Yuan di mana? Aku khawatir..”
[...]
“Hah?” raut wajah Wendy berubah seketika.
[....]
“Kak Yuan, Kak Yuan ke rumah Luna?” tanya Wendy terbata.
[...]
Sungguh, Wendy merasa seperti ratusan batu besar menghimpit dadanya seketika. Bagaimana mungkin Yuan pergi ke rumah Luna?
“Kakak yakin nggak salah? Coba cek lagi. Mungkin tadi dia udah pulang dari rumah Luna. Mungkin Kak Yuan kenapa-kenapa di jalan..” Wendy masih berharap. Jika Yuan hanya ke rumah Luna kenapa nomornya tidak aktif?
[....] penjelasan panjang Lintang membuat bulir bening di pelupuk matanya tak sanggup lagi Wendy tahan. Bagaimana bisa Yuan melakukan ini padanya? Bagaimana mungkin Yuan menemui Luna dan melupakan lagi janji dengan dirinya?
[...]
“Makasih, Kak..” Wendy dengan cepat putuskan sambungan. Ia tidak ingin Lintang tau kondisinya. Wendy bangkit dari duduknya, membayar ke kasir kemudian masuk ke dalam mobil. Wendy langsung menyalakan mesin mobil kemudian melajunya membelah jalan raya.
...
Adaffaren Pane menghentikan mobilnya. Ia kemudian setengah berlari menuju ke halte di sebrang jalan.
“Wen..” panggilnya.
Wendy mengangkat wajahnya. Begitu Pane berdiri di depannya, Wendy tersenyum tipis.
“Kenapa?” tanyanya parau.
Pane mengerutkan kening. Tidak mengerti. Tadi ia mendapat telfon dari Wendy dan perempuan itu mengatakan ia berada di sebuah halte yang terletak tidak terlalu jauh dari area kampus mereka. Pane bergegas menuju ke tempat yang Wendy sebutkan meski perempuan itu tidak memintanya datang.
“Kamu ngapain di sini malam-malam gini? Bahaya. Ayo aku antar pulang..” Pane mengeluarkan ponselnya seperti hendak menghubungi seseorang.
“Kenapa dia kasih harapan kalau dia nggak berniat ngasih harapan?” tanya Wendy lagi menghentikan gerakan Pane. Laki-laki itu terdiam kini. Menatap Wendy dengan tatapan tak terbaca.
“Apa dia sengaja patahin hati gue?” suara Wendy mulai hilang.
Pane masih diam di tempatnya. Tiba-tiba Wendy bangkit kemudian memeluk laki-laki itu membuat Pane membeku seketika karena ini benar-benar tidak terduga. Tangis Wendy pecah seketika.
“Gue capek! Gue capek jadi b**o! Gue capek berharap tapi harapan gue selalu dikandaskan sekejap mata!”
Pane menarik napas dalam, kemudian memeluk Wendy.
“Kalau dia nggak suka kenapa nggak bilang langsung ke gue?! Kenapa harus bikin gue kayak gini?!! Kenapa?!”
Tak ada jawaban yang Pane berikan. Ia biarkan Wendy tumpahkan semua rasa kecewa dan amarahnya. Yang Pane lakukan hanyalah memeluk erat perempuan itu. Mengirimkan kehangatan.
“Apa cinta gue semurah itu di mata dia?!”
Wendy sesenggukan. Lama ia terdiam. Berperang dengan isak. Wendy mengurai pelukan mereka. Kemudian ditatapnya Pane tepat di manik mata.
“Bawa gue kabur, please. Tolong selametin gue,” pintanya lirih. Sorot mata Pane nampak sangat tenang. Diusapnya perlahan air mata di pipi Wendy.
“Waktu untuk dia udah habis. Dia akan menyesal dengan apa yang dia lakuin hari ini,” ujar Pane tenang dan lembut namun terdengar tegas. Dan malam ini akhirnya Wendy benar-benar berlari ke pelukan Pane. Maka kisahnya dan Pane di mulai dari sini.
***