CHAPTER 4

2116 Words
CHAPTER 4 Kelasnya sudah berakhir dari sepuluh menit yang lalu. Kini Wendy sedang duduk-duduk di taman dekat fakultasnya bersama Bibi dan beberapa orang teman jurusannya. Yang Wendy lakukan hanyalah berselancar di sosmednya. Tidak ada yang spesial. Ia tau kalau Yuan sedang sibuk dengan proposalnya jadi Wendy tak akan mengganggu laki-laki itu. Ia sudah mengirimkan pesan semangat dan Yuan sudah membalasnya. Kini Wendy benar-benar tak punya keresahan apapun. Tapi jujur saja, ia merasa bosan. Satu persatu temannya akhirnya pergi. Ada yang pulang, ada yang jalan dengan pacar ada juga yang punya keperluan ke tempat lain. Yang tersisa hanyalah Wendy, Bibi dan Naura. “Eh ntar ada tanding basket loh anak HI sama sama Akun, mau nonton nggak?” Naura memecah keheningan. “Wah boleh. Di mana mainnya?” “Di lapangan FISIP.” Bibi dan Naura tampak semangat. Hanya Wendy yang tidak begitu perduli. “Lo ikut kan, Wen?” tanya Bibi. Wendy mengalihkan pandangannya dari ponsel. “Lama nggak?” “Ya tergantung pertandingannya. Ikut aja ya, lagian lo nggak ada kegiatan juga kan. Seru loh nonton basket. Yang main juga ganteng-ganteng. Gue denger katanya ada senior ganteng di HI, siapa ya namanya, Faren apa?” Naura mencoba mengingat-ingat. Wendy memutar bola mata begitu nama Pane disebut. Lima belas menit kemudian ketiga gadis itu meninggalkan area FH menuju ke gedung FISIP. Saat sampai di sana ternyata tribun sudah hampir penuh. Beruntung mereka mendapatkan tempat duduk di barisan paling atas. Pertandingan ternyata sudah mulai. Di papan skor tampak HI kalah beberapa angka. Hingga peluit berbunyi tanda babak pertama usai HI masih kalah angka oleh Akun. “Eh itu kan yang namanya Faren?” tanya Naura. Bibi menoleh pada Wendy. “Iya. Itu yang paling ganteng..” jawab Bibi. “Iya ya ganteng banget aslinya. Gue Cuma pernah lihat di foto doang, dia nongol di ig anak hits kampus..” Teriakan terdengar menyerukan nama Pane. Gadis-gadis di sana seperti menggila memanggil-manggil laki-laki itu. Apalagi saat Pane minum, semua gadis seperti histeris tak terkendali. Wendy hanya bisa geleng-geleng. Ia tak menyalahkan karena ia juga akan seperti itu, jika Yuan yang bermain. “Ngeri ya fansnya kak Faren,” bisik Bibi. Wendy tak menyahut. Pertandingan dimulai kembali. Seluruh pemain masuk ke dalam lapangan. Peluit berbunyi. Bola berada di sisi anak HI. Mungkin karena sudah di babak kedua pertandingan menjadi lebih ganas dan serius. Bola di lempar dan sorakan protes menggema di dalam ruangan itu. Pane terjatuh karena dorongan kencang dari pihak lawan. Pane bangkit dibantu temannya. Tembakan untuk HI. Pane mengeksekusi tembakan itu dan sorakan meriah kembali terdengar tatkala bola itu masuk dengan mulus ke dalam ring. Pritt pritt... Permainan terus berlangsung. HI dan Akun seperti berlomba-lomba dalam mencetak angka. Beberapa kali terjadi pelanggaran. Waktu sudah hampir habis. Wendy tanpa sadar mulai ikut larut ke dalam pertandingan. Sesekali ia menegang jika tembakan meleset atau jika ada yang terjatuh. Wendy menegakkan kepalanya dan menajamkan matanya saat ia tak sengaja melihat Pane berbicara cepat dengan temannya. Laki-laki yang kemarin bertanya pada Wendy seperti memberi kode pada Pane, bertanya apa laki-laki itu baik-baik saja. Wendy menangkap gestur aneh dari Pane. Ia seperti berusaha keras untuk tidak meringis. Bola digilir. Dari anak Akun akhirnya bola itu bisa direbut. Bola dilempar antara satu ke yang lainnya. Pertahanan masing-masing tim seperti semakin ketat. Lapangan basket menjadi hening seperti semuanya ikut menahan napas. Hampir tak ada celah untuk melewatkan bola karena semua pemain HI sudah dijaga. “Ren..!!” bola di lempar dan.. Prittttt... “WOYYYY!!!” “HUUUUU!!!” Pane terjatuh lagi. Kali ini tampak jelas ia meringis saat tubuhnya terbanting ke lantai yang keras. Wendy mengepal tangannya. “Ih kok Akun pada jahat gitu mainnya?” protes Naura. Wendy tidak perduli pada berbagai komen di sekelilingnya yang memprotes permainan Akun. Fokusnya tertuju lurus pada Pane yang kini sedang dibantu berdiri oleh teman-temannya. Terjadi perdebatan di lapangan. Pane masih di sana, ia tidak meninggalkan lapangan atau diganti dengan pemain lain. Tapi tembakan itu sepertinya tidak dieksekusi oleh Pane. Entah apa yang terjadi. Peluit berbunyi. Bola di lempar dan goooll... Peluit tanda permainan berakhir berbunyi. Kemenangan untuk HI. Semua pemain berpelukan bahagia diiringi oleh sorakan gembira dari penonton yang sepertinya hampir 70% mendukung HI atau lebih tepatnya mendukung Pane. “Ayo..” kata Bibi dan Naura. Banyak gadis menghampiri tim HI. Entah itu anak HI atau hanya gadis-gadis random dari berbagai jurusan. Wendy membuang napas pelan. “Gue ke toilet dulu ya..” “Hm. Kami nunggu di depan ya..” Wendy mengangguk. Ia menuju toilet sementara dua temannya menunggu di koridor depan. Wendy mencuci tangannya. Bahkan di toilet ia masih bisa mendengar beberapa gadis menyebut nama Pane. Karena ia sedang berada di lingkungan FISIP jadi Wendy akan memakluminya. Gadis-gadis tadi sudah meninggalkan toilet. Hanya Wendy yang tersisa. Wendy keluar dari toilet dan terkejut saat mendapati Pane berada di depan pintu masuk. Wendy celingak-celinguk dan tidak menemukan teman-temannya di tempat tadi mereka menunggu. Hanya ada Pane di sana dan beberapa orang lewat yang memandangi mereka. “Ngapain di sini?” tanya Wendy. Ia pandangi kaki Pane karena ia ingat laki-laki itu beberapa kali terjatuh tadi. “Nungguin kamu,” jawab Pane jujur. “Tau dari mana gue di sini?” “Temen-temen kamu..” Wendy menghela napas. Pantas saja mereka semua menghilang. “Mau ngapain?” tanya Wendy akhirnya. Lagipula percuma juga dia marah, toh teman-temannya tidak ada di sini saat ini. “Mau ketemu aja, pengen lihat muka kamu..” ujar Pane sambil tersenyum. Wendy melotot karena kaget. Ia tau Pane selalu blak-blakan jika bicara padanya. Tapi jujur saja, Wendy belum terbiasa. “Kaki lo gimana?” akhirnya Wendy suarakan apa yang ada di dalam kepalanya. Ia inginnya tidak perduli. Tapi otaknya seperti tak memberinya izin. Pane menunduk, melirik kakinya. “Nggak apa-apa, kok,” jawab Pane namun ada nada tak yakin di sana. Wendy menangkap ekspresi Pane yang tampak dipaksa. Wendy mengerutkan kening. “Merah gitu lo bilang nggak apa-apa? Udah diobatin belum?” Pane tersenyum. “Kenapa malah senyum?” Pane menggeleng. Wendy menghela napas lalu menarik Pane ke kursi yang berada tak jauh dari sana. “Coba gue lihat..” Wendy menunduk untuk memeriksa kaki Pane. Ada memar di sana. Kulit putih Pane juga tergores. Wendy tak habis pikir. Bagaimana bisa laki-laki punya kulit semulus Pane? “Ini kalau nggak diobatin bisa infeksi. Mending dibawa ke rumah sakit atau ke UKS deh minimal biar bekas lukanya dibersihin..” kata Wendy akhirnya. Pane hanya mengangguk. “Lo kenapa senyum-senyum gitu? Ngeri gue..” Pane tersenyum lebih lebar. “Makasih ya..” Wendy tak merespon namun dalam hati ia cukup lega Pane tidak terluka parah seperti yang ia takutkan. “Temen-temen kamu pasti udah nunggu. Aku tadi cuma mau lihat kamu aja. Sekarang aku udah lihat muka kamu..” Pane bangkit, Wendy juga ikut bangkit. Keduanya kemudian berpisah. Pane melihat sampai Wendy menjauh dan hilang di belokan. Setelahnya barulah ia kembali menemui teman-temannya. ... “Anjir Wen, lo ada hubungan apa sama Kak Faren?” seperti yang sudah bisa diduga, Naura langsung menyerbu begitu Wendy datang. Tadi ia sangat terkejut saat Faren menghampiri ia dan Bibi lalu dengan santai menanyakan keberadaan Wendy. Bibi terlihat tidak terkejut karena dia memang sudah tau. Naura yang tidak tau apa-apa tentu saja bingung dan penasaran. Wendy meletakkan tasnya di atas meja. Ia mengambil minuman Bibi dan meneguknya. “Nggak setia kawan ya kalian berdua main tinggalin gue aja..” “Heh, nggak penting kami ninggalin lo atau enggak. Lo jawab dulu pertanyaan gue. Ada hubungan apa lo sama Kak Faren? Ternyata diam-diam ya lo..” Wendy menghela napas. “Gue nggak ada hubungan apa-apa sama dia..” Jawaban Wendy tidak memuaskan Naura sama sekali. Ia sampai mendesak Bibi untuk cerita karena ia yakin perempuan itu tau sesuatu melihat dari sikap tenang Bibi. Tapi dari Bibi pun Naura tidak dapatkan info apapun. “Jahat ya lo berdua. Padahal gue Cuma pengen tau aja.” Naura mencibir. Wendy beranjak dari tempat duduknya untuk memesan makanan. Sembari menunggu pesanannya dibuatkan, Wendy memainkan ponselnya. Lalu tiba-tiba sebuah pemberitahuan menarik perhatiannya. Dfrnpane mentioned you in their story.   Wendy membuka pemberitahuan itu yang tak lain adalah i********: story Pane. Wendy mengerutkan keningnya. Pane memposting foto tangannya yang sedang memegang sebuah handuk kecil yang biasa digunakan anak basket untuk menyeka keringat mereka. Di sana juga terlihat kakinya yang tadi cidera. Yang menjadi perhatian Wendy adalah tulisan yang ada di sana. I’m lose but i’m happy J @wndylicia Kening Wendy mengerut. Apa maksud Pane dengan kalah? Setahu Wendy tim laki-laki itu menang tadi. Lalu kenapa Pane menandai akunnya? “Tadi kak Faren ngomong apa sama lo?” tanya Bibi agak berbisik begitu Wendy kembali. Perempuan itu menoleh. “Kenapa dia posting story gitu?” Wendy mengendikkan bahunya. Dia juga tidak mengerti maksud Pane. Seingatnya tidak ada obrolan mereka yang mengarah ke hal itu tadi. Yasudahlah. Wendy tak mau memikirkannya. Mungkin Pane hanya bercanda atau iseng menulis hal itu. ... Wendy selesai mandi saat jam menunjuk di angka 6. Ia mengeringkan rambutnya sambil bernyanyi mengikuti lagu yang menggema di dalam kamar. Begitu selesai memakai skincare dan body lotion, Wendy beranjak menuju meja belajarnya. Ia menyalakan laptop dan berselancar di sana mencari materi tugas yang belum sempat ia selesaikan. Jam menunjuk di angka delapan saat Wendy merasa perutnya keroncongan. Ia memeriksa kulkas dan tidak menemukan bahan apapun yang bisa ia masak di sana. Ia lupa kalau belum belanja bulanan. Awalnya ia ingin memesan gojek, namun Wendy batalkan niat itu saat mendapat telfon dari Yuan. Tanpa pikir panjang Wendy langsung mengiyakan ajakan laki-laki itu untuk makan malam. Yuan dan Wendy memang kuliah di kampus berbeda. Mereka memutuskan untuk makan di sebuah foodcourt yang letaknya tidak terlalu jauh dari kos Wendy. Entah apa yang Yuan lakukan di sana. Wendy tak ingin bertanya karena baginya dengan Yuan bersamanya sudah lebih dari cukup. Ia tidak perduli lagi dengan yang lain. Mereka memesan makanan. Sembari menunggu mereka bercerita tentang planning Yuan dalam waktu dekat. Awalnya Wendy deg-degan karena takut Yuan akan bercerita tentang rencananya untuk menikah muda. Tapi untunglah Yuan tidak mengatakan apapun yang berkaitan dengan pernikahan. Pelayan datang mengantar makanan. Sembari menunggu semua makanan dihidangkan, Wendy sempat melihat Yuan melirik ponselnya yang berbunyi. Namun Yuan tak mengangkat panggilan itu. Ia mengabaikannya seolah itu bukan telfon penting. Wendy bukannya tidak penasaran. Jujur saja, ia penasaran setengah mati siapa yang baru saja menelfon. Dan jantungnya berdetak begitu ia bisa melihat nama yang muncul di layar ponsel Yuan. Hanya huruf L. Namun Wendy sudah bisa menebak siapa L itu. Sudah pasti Luna. Wendy benci dengan fakta itu. Namun ada secuil rasa bahagia di hatinya saat mendapati Yuan mengabaikan telfon itu. Silahkan anggap dia jahat, tapi Wendy tak bisa sembunyikan rasa bahagianya. Ia benar-benar berharap Yuan dan Luna sedang ada masalah saat ini. Wendy bahagia Yuan mencarinya di saat galaunya. Silahkan anggap dia bodoh karena mau saja menjadi tempat pelarian Yuan. Tapi Wendy benar-benar tidak perduli. Selama Yuan ada di sisinya, maka apapun itu Wendy akan menerimanya. Bahkan jika pada faktanya Yuan tidak mencintainya sekalipun. Yang ia butuhkan adalah Yuan di sisinya. Terserah ke mana arah hati laki-laki itu. “Hng, gimana proposal kakak?” Wendy coba alihkan perhatian Yuan dari ponselnya. Meski mata Yuan memang tidak tertuju pada ponsel tapi Wendy yakin pikiran Yuan ada di sana. Saat Yuan bersamanya yang perlu Wendy lakukan hanyalah membuat Yuan seutuhnya bersamanya. Tidak hanya raga tapi juga pikirannya. Wendy akan buat Yuan melupakan Luna saat bersamanya. “Hmm lancar, alhamdulillah. Ini mau penelitian, dua hari lagi aku ke Malang soalnya ambil lokasi penelitiannya di sana..” Wendy manggut-manggut. “Semoga lancar ya. Semoga penelitiannya cepet kelar terus bisa cepet sidang sama seminar..” “Amin. Makasih ya. Kamu tuh dari dulu selalu ada buat aku. Selalu kasih aku dukungan. Kadang aku bahkan mikir dengan cara apa aku bisa balas kebaikan kamu,” suara Yuan terdengar sangat tulus dengan arah mata tertuju lurus pada Wendy. Wendy merasa debaran dadanya menggila. Ditatap Yuan seperti ini membuat jadi berharap. Harapannya terasa melambung tinggi. Ia coba tersenyum dan bersikap biasa. “Santai aja kali. Aku bakal selalu dukung kakak sebisa aku.” Yuan tersenyum. “Kenapa sih kamu baik banget sama aku?” Wendy terdiam. Pandangan matanya dan Yuan kembali bertemu, terkunci. Ditanya Yuan seperti ini Wendy merasa seperti ada ribuan kupu-kupu beterbangan di perutnya. Wendy tak tau apa ia harus bahagia atau sedih sebab Yuan seperti tak tau tentang perasaannya selama ini. Apa Yuan benar-benar tak melihat perasaannya sama sekali? Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Apa Yuan sama sekali tidak sadar bahwa Wendy menyukainya dalam kurun waktu selama itu? Rasanya semua sudah Wendy lakukan agar Yuan melihat dirinya. Yang tak Wendy lakukan hanyalah mengatakan langsung pada Yuan bahwa ia suka pada laki-laki itu. Apa ini saatnya untuk ia mengakui perasaannya? “Aku—“ Ponsel Yuan berdering. Kali ini bukan L yang muncul di layar. Tapi nama orang lain yang Wendy tidak tau siapa. Yuan mengangkat panggilan itu. Ekspresi Yuan berubah seketika begitu ia menjawab panggilan itu. Yuan langsung bangkit dari tempat duduknya. “Eh Kak kenapa? Kakak mau ke mana?” tanya Wendy ikut gelagapan karena terkejut. Yuan terlihat sangat khawatir. “Wen, aku—“ Yuan seperti tak tau harus mengatakan apa. “Wen maafin aku. Aku harus ke rumah sakit..” Yuan membayar makanan mereka dengan tergesa. Mereka bahkan belum sempat menyentuh makanan itu. “Eh tapi, kak tunggu..” Wendy menyusul Yuan. “Siapa yang sakit? Aku antar ya, kakak panik gini nggak aman kalau bawa mobil,” ujar Wendy khawatir. Yuan mengangguk. Wendy kemudian melaju mobil Yuan menuju rumah sakit. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD