CHAPTER 3
Wendy merasa hari ini adalah hari keberuntungannya. Mimpi apa ia semalam hingga bisa seharian bersama Yuan? Siang tadi mereka bermain basket sampai jam 5 sore. Setelahnya mereka pergi jalan-jalan ke taman kota. Kini ia dan Yuan sedang makan malam di sebuah restoran di daerah sana. Lintang dan Nino memang tidak ikut karena Lintang harus pergi ke suatu tempat mengurus bisnis tas miliknya.
“Nih..” Yuan berikan sendok yang sudah ia lap dengan tisu pada Wendy. Hal sederhana ini lah yang membuat Wendy selalu luluh. Yuan sebaik itu, bagaimana ia tak jaruh cinta?
“Restorannya rame ya. Terakhir kita ke sini sepi banget,” kata Yuan sembari mengedarkan pandangannya ke penjuru restoran.
Wendy tersenyum, ia mengamati restoran. “Iya. Mungkin karena Valentine kali ya?” hari ini memang hari Valentine. Bagaimana Wendy tak bergegas menuju rumah kakak sepupunya begitu tau Yuan ada di sana. Bagaimana bisa Yuan ada di sana pada hari Valentine dan tidak bersama Luna? Meski jahat tapi Wendy sedikit berharap bahwa hubungan dua orang itu sedang dalam masalah.
“Udah berapa lama kita nggak ke sini?”
Wendy terlihat berpikir. Mencoba mengingat kapan terakhir ia dan Yuan ke sini. Yang jelas sudah sangat lama meskipun Wendy mengingatnya seperti itu baru saja terjadi kemarin. Jangan salahkan dia karena siapapun jadi bodoh saat jatuh cinta, kan? Jangan bersikap seolah kalian lebih baik.
“Lama banget kayaknya. Kakak sibuk banget sekarang..” ujar Wendy sambil tertawa kecil. Yuan ikut tertawa.
“Ya gimana, tugas banyak banget. Kerjaan juga minta diperhatiin banget, soalnya baru buka cabang..” Yuan garuk tengkuknya.
“Buka cabang di mana?”
“Bali..”
“Ih ya ampun serius? Kapan? Ih aku nggak tau loh, selamat ya kak..”
Yuan menggeleng. “Udah hampir dua minggu, kemaren sibuk banget banyak yang diurus sampai nggak sempat ngundang siapa-siapa waktu opening. Besok main aja ke sana, pasti dapet diskon..”
Wendy berikan senyum terbaik miliknya. “Iya, pasti mampir kalau ke Bali mah..”
Pesanan mereka datang. Obrolan terasa semakin asyik dan Wendy benar-benar menikmati setiap detik ia bersama Yuan. Kerecehan Yuan. Sikap kalemnya. Senyum manisnya. Wendy akan rekam semua itu baik-baik dalam ingatannya.
...
Wendy selesai mematut diri di depan cermin. Ia pastikan semua masih aman. Lipstik, make up, dan rambutnya. Ia tersenyum lalu meninggalkan toilet. Saat hendak menuju mejanya, tak sengaja Wendy bertemu dengan orang yang tak disangka-sangka. Pane bersama seorang perempuan. Wendy agak terkejut sebenarnya, namun ia mencoba bersikap biasa. Sedangkan Pane memasang ekspresi biasa. Tidak datar tapi juga tidak tersenyum. Perempuan yang bersama Pane menatap dua orang itu bergantian. Sepertinya dia memahami bahwa dua orang itu saling kenal.
“Do you guys know each other?” tanya perempuan itu. Pane hanya berikan anggukan pelan sedangkan Wendy tersenyum kikuk. Lalu ketiganya berpisah tanpa kata. Wendy duduk di kursinya dengan arah mata tertuju ke arah meja yang terletak agak di ujung. Ia baru ingat kalau tadi ia meninggalkan Pane begitu saja di bioskop. Tapi lihat, sekarang Pane bersama perempuan lain. Jadi jangan salahkan dia karena Pane juga ternyata tidak sebaik yang Bibi ceritakan. Ia bahkan seperti tidak merasa bersalah sedikitpun tertangkap jalan dengan perempuan lain padahal ia jelas-jelas sedang mengejar Wendy.
“Kenapa?” tanya Yuan.
“Hah?”
“Kamu lagi liatin siapa?” Yuan mengikuti arah pandangan Wendy. Lalu ia kembali memandang Wendy. “Kamu kenal?”
Wendy menggeleng. “Nggak..” ia kemudian tersenyum tipis. “Udah lanjut makannya...”
Meski ia fokus makan dan berbicara dengan Yuan, tapi sesekali Wendy mencuri pandang ke arah meja Pane. Ia lihat Pane tersenyum pada perempuan di depannya. Ada kotak kado kecil di atas meja. Wendy tidak tau apa isinya. Bisa jadi cincin bisa jadi hal lain. Tapi entah kenapa ia merasa terganggu dengan hal itu.
...
“Kamu kalau di rumah tuh ya jangan di kamar aja. Mama nyuruh kamu pulang itu mau lihat muka kamu. Ini kamu pulang sesekali tapi mama tetap nggak lihat muka kamu,” Tiara pandangi putri semata wayangnya yang masih bergelung di dalam selimut.
“Hmm masih ngantuk, ma..” Wendy bersuara dari balik selimut.
“Ini udah jam 10 masih aja ngantuk. Ayo bangun. Anak gadis kok bangunnya siang..” Tiara singkap selimut Wendy.
“Hngg, mau ngapain aku bangun. Nggak ada kerjaan juga..” Wendy buka matanya sedikit.
“Ya bangun kan nggak musti harus ada kerjaan. Kamu bisa duduk-duduk di depan atau ngobrol sama tetangga. Ini sekalinya pulang malah mengendap aja di dalam kamar..”
Wendy menghela napas berat. Ia benar-benar masih mengantuk. Ia lupa tidur jam berapa tadi malam karena berbalas chat dengan Yuan. Mungkin ia baru tidur saat mendekati subuh. Untung dia sedang dapat tamu bulanan jadi ia bisa langsung tidur tanpa menunggu masuk waktu subuh.
Dengan enggan akhirnya Wendy bangun lalu beranjak menuju kamar mandi. Ia malas mendengar mamanya mengomel.
“Nah gitu kan enak dilihat. Ayo sarapan dulu, mama udah siapin omelette kesukaan kamu..”
“Itu Om Aryo ngapain kok ada mobil barang di depan rumahnya?”
“Oh, itu orang baru yang tinggal di sana..”
“Om Aryo ke mana?” Wendy duduk, meneguk s**u coklatnya.
“Udah pindah dari sebulan yang lalu.”
Wendy manggut-manggut. Ia mengenal Om Aryo dengan cukup baik. Laki-laki itu sangat pemurah. Ia selalu memberi Wendy uang THR yang banyak. Wendy tidak tau kalau Om Aryo pindah. Ia belum sempat berpamitan pada laki-lak itu untuk terakhir kalinya.
“Emang Om Aryo pindah ke mana, Ma?”
“Katanya ke Kalimantan. Dia pindah kerja ke sana..”
Wendy menyuap makanannya. Tak lama sang mama muncul dengan tupperware entah berisi apa.
“Itu apa?”
“Cemilan buat tetangga baru. Kamu anter ya..”
“Ih nggak ah, males. Mama aja. Wendy kan nggak kenal. Ntar dikira sksd..”
“Ya namanya sama tetangga baru ya enggak kenal lah, makanya mama suruh ke sana biar kenal..”
Wendy menggeleng. Ia menolak dengan tegas. Ia memang paling malas jika sudah disuruh mengantar sesuatu seperti itu apalagi pada orang yang tidak dikenalnya. Daripada ke sana lebih baik ia menyiram tanaman bunga mamanya.
“Papa mana?”
“Pergi mancing tadi sama Om Fahri. Yaudah mama pergi dulu sebentar..” Tiara sudah hilang dari pandangan. Wendy melongo ke luar meski tak berhasil melihat apa yang ingin dilihatnya. Dari posisinya saat ini yang terlihat hanyalah rumah di depan rumahnya. Kira-kira siapa yang pindah ke rumah Om Aryo? Setahu Wendy rumah itu adalah rumah paling besar di komplek perumahannya. Sepertinya yang pindah ke sana juga orang kaya seperti Om Aryo. Tadi Wendy juga melihat Mercedes putih parkir di sana.
Selesai sarapan Wendy kembali ke kamarnya. Ia melihat ponsel yang ia tinggalkan sejak hampir dua jam yang lalu. Tak ada telfon atau pesan apapun. Biasanya pada jam segini akan ada banyak sekali pesan dari seseorang bahkan kadang ada beberapa panggilan tak terjawab. Tapi kenapa kali ini tidak ada? Memangnya Wendy perduli jika tidak ada. Dia sama sekali tidak perduli. Bahkan bagus jika Pane akhirnya menyerah padanya. Wendy yakin Pane juga melihatnya bersama Yuan kemarin.
“Baguslah. Nggak usah cape-cape buat nolak lagi..” Wendy rebahan di kasur. Akhirnya dia free juga dari seorang Pane.
...
Wendy sudah kembali ke kosannya. Bibi langsung menyerbunya mempertanyakan tentang i********: story nya dua hari yang lalu.
“Sumpah lo makan berdua sama Kak Yuan? Bener-bener Cuma berdua aja?” Bibi agaknya masih belum percaya dengan cerita temannya itu. Wendy memutar bola mata, menjawab dengan anggukan.
“Emang lo liat ada orang lain di sana. Itu Cuma gue sama Yuan..”
“But why?” tanya Bibi tak habis pikir. Ia sendiri tau bagaimana gencarnya Yuan mendekati Luna. Lalu kenapa ia malah bersama Wendy di malam Valentine itu?
“Apa maksud lo dengan why? Emang kenapa kalau gue makan berdua sama Yuan?”
“Ya tapi Yuan lagi deket sama Luna. Everyone know, you know too.”
“Lo kenapa sih, Bi? Kayaknya nggak seneng banget gue deket sama Yuan? Emang kenapa kalau dia makan malam sama gue di malam Valentine dan nggak sama Luna? Toh mereka belum jadian. Emang dia harus sama Luna?”
Bibi menghela napas. “Wen, lo mau sampai kapan kayak gini?”
Wendy menatap Bibi tajam.
“Sampai kapan mau berharap? Sampai kapan mau menutup mata?” Bibi mendesah. “Ok, dia makan malam sama lo. Oke dia belum jadian sama Luna. Tapi kita nggak tau apa sebenarnya sedang terjadi di antara mereka. Yang jelas Yuan sukanya sama Luna, bukan sama lo.”
Wendy tertegun. Bibi juga tampak terkejut dengan apa yang baru saja dikatakannya. Lalu tampak raut penyesalan di wajah Bibi. Ia tak bermaksud bicara kasar seperti itu.
“Wen, gue-“
“Udah nggak usah dibahas lagi.” Wendy beralih menatap ponselnya meski pikirannya tidak ada di sana.
“Kalau lo mau marah sama gue marah aja, Wen. Tapi gue ngomong gini karena gue sayang dan perduli sama lo sebagai sahabat gue.” Bibi mengambil tasnya. “Tadi Kak Faren nitip ini sama gue, suruh kasihin ke lo kalau ketemu. Dia nyari lo dari dua hari lalu, kayaknya khawatir banget..” Bibi letakkan sebuah kotak di atas meja kemudian ia meninggalkan kamar Wendy.
Lama Wendy terdiam menatap kotak yang Bibi tinggalkan. Ada peperangan di dalam dirinya antara membiarkan kotak itu di sana atau membukanya. Perempuan itu kemudian menjangkau kotak berwarna soft blue itu. Pitanya diikat cantik. Wendy membukanya dan menemukan gelang di sana. Dari bentuknya saja Wendy tau itu gelang mahal. Kenapa Pane memberikannya gelang ini? Wendy mencari dan tidak menemukan surat apapun di sana.
...
Sudah hampir seminggu Wendy tidak bertemu Pane. Sejak ia menerima gelang itu belum sekalipun ia melihat batang hidung laki-laki itu. Biasanya Pane akan muncul pagi-pagi di parkiran atau akan menunggunya di depan kelas jika Wendy ada kelas siang. Tapi hampir seminggu ini Pane tidak muncul sama sekali. Tidak, Wendy tidak merindukannya. Ia hanya ingin mengembalikan apa yang Pane berikan. Wendy memang tidak tau berapa harga gelang itu karena dia tidak hafal merk-merk perhiasan ternama. Tapi Wendy yakin harganya cukup untuk ia bertahan hidup selama beberapa bulan.
“Gue juga kaget Faren tiba-tiba ikutan tanding basket. Padahal tahun-tahun sebelumnya dia nggak pernah mau join..”
“Iya. Gue shock tapi seneng banget. Akhirnya bisa juga lihat Kak Faren sambil keringetan ganteng gitu..”
“Iya. Pengen nangis rasanya. Jadi nggak sabar ke pertandingan selanjutnya..”
“Tandingnya selanjutnya kapan sih?”
“Besok, lawan anak FE kalau gue nggak salah..”
“Uuhh kita nggak boleh telat. Pokoknya besok sebelum tanding kita udah harus di lapangan. Mana tau aja bisa ngobrol sama Kak Faren atau minimal minta foto gitu..”
Wendy mendengar sekilas obrolan dua perempuan itu. Ia sedang berada di koridor FISIP. Karena enggan mengirim pesan atau menelfon Pane, Wendy akhirnya putuskan untuk menemui laki-laki itu saja. Lebih cepat dan tidak bertele-tele. Ia hanya akan kembalikan gelang itu pada Pane lalu semua selesai. Dia bukan siapa-siapa hingga pantas menerima benda itu. Pane mungkin punya banyak uang tapi Wendy tidak akan menerimanya.
Wendy kebingungan. Ia tidak tau kemana harus mencari Pane. FISIP luas. Terakhir ia bertemu Pane di tangga. Tapi tangga itu berada jauh sekali dari area HI. Mungkin Pane di sana hari itu hanya untuk nongkrong dengan teman-temannya. Lalu ke mana ia harus mencari laki-laki itu?
“Eh maaf, numpang tanya, kenal Adaffaren Pane nggak?” Wendy beranikan diri bertanya pada seorang laki-laki yang lewat.
“Faren?” tanyanya memastikan. Wendy mengangguk. Memang ada berapa Adaffaren Pane di FISIP?
“Faren kayaknya lagi latihan di lapangan basket. Liat aja ke sana..”
“Hm, gue bukan anak Fakultas sini. Kalau boleh tau lapangan basketnya di mana ya?”
Anak laki-laki berkacamata itu kemudian tunjukkan Wendy arah menuju lapangan basket. Tak lupa Wendy berterimakasih pada laki-laki yang kemungkinan besar kakak tingkat itu. Ia langsung menuju ke tempat yang sudah ditunjukkan tadi. Wendy menoleh ke kiri kanan. Ia memastikan tidak salah masuk ruangan. Ternyata ia tidak salah karena kini di depannya terpampang ruangan cukup besar yang tak lain adalah lapangan basket. Ada beberapa anak laki-laki di sana. Ada yang sedang pemanasan ada juga yang sedang latihan basket.
Wendy harus menajamkan matanya untuk menemukan sosok Pane karena ia tidak melihat ciri-ciri Pane di antara banyaknya anak laki-laki itu. Pane berkulit putih, tinggi, dan tegap.
“Ren!!” sorak seseorang kemudian melempar bola. Laki-laki tinggi itu menerimanya lalu dengan mulus memasukkan bola ke dalam ring.
Itu Pane. Laki-laki itu memotong rambutnya menjadi lebih pendek. Pantas saja Wendy tidak mengenalinya dari belakang.
“Ngapain dek?” seseorang menyentak Wendy dari kebekuan. Ia menoleh dan seorang pria berseragam basket tengah berdiri di sampingnya menatap Wendy dengan alis terangkat ke atas.
“Hah, oh..” Wendy menoleh ke tempat Pane tadi. Kini semua perhatian anak laki-laki di sana tertuju padanya, termasuk Pane yang langsung menghentikan permainan basketnya. Ia perlahan berjalan ke arah Wendy.
“Pacar lo?” tanya laki-laki yang bertanya pada Wendy tadi begitu Pane datang. Ia berlalu menuju teman-temannya yang lain. Pane tak menjawab hanya beri kode dengan alis sekilas.
“Kamu kenapa bisa sampai sini?” tanya Pane.
Wendy mengerjap beberapa kali. “Oh..” ia kembali terdiam. Wendy merasa kikuk tiba-tiba. Ia seperti lupa apa tujuannya ke sini tadi.
“Nyari aku, kan?” tanya Pane seolah memastikan bahwa ia tidak salah menghampiri Wendy. Bisa saja Wendy datang bukan untuk menemuinya namun menemui orang lain.
Wendy mengangguk. Ia akhirnya berhasil mengumpulkan kesadaran. Wendy mengambil kotak dari dalam tasnya lalu menyerahkannya pada Pane. Tapi Pane tidak langsung menerimanya.
“Kenapa nggak diterima?” tanya Wendy. Pane masih menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.
“Kenapa dikembaliin?” tanya Pane balik.
“Karena gue nggak berhak terima ini..”
Alis Pane menyatu mendengar jawaban Wendy. Pane membuang napas pelan kemudian tersenyum hangat. “Kamu pegang aja.”
“Tapi-“
“Kalau kamu mau kembaliin itu ke aku, kembaliin besok.”
Mata Wendy menyipit, menatap Pane bingung. “Apa bedanya sekarang sama besok?”
“Kalau kamu beneran mau kembaliin ini, kembaliin ke aku besok. Besok aku bikin acara makan malam di Green Sky. Aku tunggu kedatangan kamu..” Lalu Pane tersenyum lagi, setelahnya ia kembali bergabung dengan teman-temannya.
“Tapi kenapa gue harus setuju?” tanya Wendy dengan kening mengerut.
***