CHAPTER 8

1865 Words
CHAPTER 8 Wendy membuka matanya perlahan. Sinar mentari pagi menyusup melewati jendela yang tirainya tidak tertutup. Perempuan itu mengusap matanya sembari mengumpulkan nyawa. Sesaat Wendy terdiam, blank. Wendy mencari ponselnya kemudian menyalakan benda yang ia matikan sejak tadi malam itu. Bertubi-tubi chat dan pesan masuk. Satu nama membuat gerakan scrolling Wendy terhenti. Ia kembali mematung menatap benda pipih itu. Cukup lama Wendy terdiam, entah apa yang ada di dalam pikirannya. Menarik napas dalam, Wendy tekan tombol power sekilas membuat layar berubah kembali menjadi warna hitam. Wendy kemudian turun dari kasur dan hilang ke dalam kamar mandi. “Wen,” Bibi langsung mengejar sahabatnya itu dengan keterkejutan di wajahnya. “Lo kok bisa bareng Kak Faren?” Bibi menyadari bahwa ada banyak pasang mata yang sedang memandang mereka saat ini. Alasannya tak lain dan tak bukan adalah Wendy yang baru saja datang bersama Pane. Oke diteliti lagi baik-baik lebih tepatnya Wendy diantar oleh Pane. Tadi Wendy turun dari mobil Pane dan Pane mengantar sampai di lobi gedung Fakultas mereka. Wendy berjalan dengan acuh, sama sekali tidak terganggu meski banyak sekali pasang mata yang seperti siap menerkamnya. Pane memang menjadi idola akhir-akhir ini. Popularitas Pane makin melejit saat orang-orang tau betapa kayanya laki-laki itu. Wendy boro-boro tau tentang kekayaan Pane, laki-laki itu bernapas saja Wendy baru menyadarinya beberapa minggu ini. “Lo jadian sama Kak Faren?” Wendy meletakkan tas nya di atas meja, mengeluarkan buku tulis dan pena. “Enggak.” “Terus?” Wendy menghela napas. “Ya nggak ada terus-terus.” Bibi memberenggut. “Lo jawab yang bener dong, Wen. Kalau nggak jadian kenapa datangnya bisa bareng Kak Faren? Atau lo udah terima dideketin sama Kak Faren?” Ingatan Wendy kembali pada kejadian tadi malam. Wendy ingat bagaimana ia berjam jam menunggu Yuan di restoran hingga berakhir menelfon Pane dan memeluk laki-laki itu di halte. Entah ke mana pikirannya hingga bisa menelfon Pane dan meminta laki-laki itu untuk menjemputnya. Apa itu artinya dia sudah membuka hati untuk Pane? Wendy juga tidak tau. Yang jelas hanya Pane yang bisa ia pikirkan tadi malam. “Wen, yah malah ngelamun. Jawab pertanyaan gue, kepo nih..” Tak lama dosen yang mengajar masuk membuat Bibi terpaksa memelankan suaranya. “Udah, belajar dulu,” ujar Wendy membungkam rasa penasaran Bibi. Sebenarnya Wendy juga sedang berpikir. Ia berpikir apa yang akan ia lakukan setelah ini. Apa yang akan ia katakan pada Pane dan bagaimana sikapnya pada Yuan jika ia bertemu laki-laki itu nanti. Jam pelajaran selesai. Wendy menyimpan buku-bukunya ke dalam tas. Ponselnya berdering menampikan “MOM” di layar. Ia menjawab panggilan itu sembari meninggalkan kelas bersama Bibi. Tapi siapa sangka ternyata sudah ada yang menunggu Wendy di depan kelas. Bibi langsung menghentikan langkah dan menarik lengan Wendy yang sedang fokus menelfon hingga tidak sadar atas kehadiran sosok tinggi itu. “Kenapa?” tanya Wendy bingung. Bibi menunjuk orang di depan mereka. Wendy menoleh. Yuan di sana, berdiri dengan setelan tampannya yang biasa. Kemeja hitam lengan panjang dipadu celana jeans. Ekspresi Wendy berubah seketika. “Gue tunggu di kantin,” ujar Bibi pada Wendy. Ia tidak tau apa yang terjadi, namun Bibi menyadari ada yang tidak beres. Tadi pagi Wendy tiba-tiba datang bersama Pane dan kini Yuan sampai menunggu di depan kelas mereka. Fix, pasti ada hal besar yang sudah terjadi. “Wen..” Yuan membuka suara lebih dulu. Tak sedikit mata yang mengamati mereka. Sepertinya Wendy menjadi pusat perhatian sejak pagi tanpa ia sadari. “Aku mau ngomong sama kamu, bisa kan?” Wendy membuang napas pelan, membawa Yuan pergi dari sana. Mereka butuh tempat yang tidak ramai. Untunglah area di dekat gedung serbaguna sedang tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa orang yang sedang duduk berkelompok entah membahas apa. “Wen,” Yuan kembali membuka suara. “Aku-“ kalimat Yuan tertahan. Ia pandangi mata Wendy dan perempuan itu menolak menatapnya. Yuan sadar kalau Wendy kecewa, pasti. Itulah kenapa ia nekat datang ke kampus Wendy padahal sebenarnya ia ada kuliah yang lumayan penting hari ini. Yuan tau ia tak bisa menunggu kelasnya selesai untuk datang menemui Wendy. “Kakak bukannya ada kelas? Ngapain di sini?” akhirnya Wendy membuka suaranya. Yuan pejamkan mata lalu menarik napas dalam. “Wen, aku bener-bener minta maaf. Aku bener-benar minta maaf. Aku tau kamu pasti marah sama aku.” Yuan terdengar benar-benar menyesal. “Aku nggak marah kok, cuma kecewa aja,” jawab Wendy jujur. “Aku bener-bener ngerasa nggak berharga sama sekali buat kamu. Kenapa kamu nggak bisa lihat perasaan aku?” Wendy ingin mengucapkan kalimat itu. Tapi tidak. Kalimat itu tertahan di dalam hatinya. Bukan tanpa alasan Wendy pilih memendamnya. Ia tak ingin rasa sukanya pada Yuan selama tiga tahun ini malah berakhir menjadi sampah. Jika memang Yuan tak suka padanya dan hubungan mereka berakhir seperti ini saja, Wendy ikhlas. Biarkan perasaannya tetap tersimpan dan menjadi rahasia. Yuan tak perlu tau. “Aku minta maaf,” ucap Yuan untuk ke sekian kali. “Aku nggak tau apa yang terjadi sama kakak tadi malam, tapi aku lega kakak baik-baik aja.” Wendy pilih untuk tidak menyinggung tentang Luna. Entah Yuan tau dia tau tentang Luna atau tidak, tapi biarlah seperti ini. Seolah ia tak tau apa-apa. Itu terasa lebih baik bagi mereka agar tidak ada kecanggungan nanti ke depannya. Yang pasti Wendy sudah tau pilihan Yuan tetaplah Luna. Ia tak akan pernah bisa bersaing dengan Luna di hati Yuan. Untuk pertama kalinya Wendy merasa sangat lelah. “Kamu boleh maki aku, marah sama aku Wen. Aku terima.” “Kenapa harus marah? Aku nggak marah. Aku lega kakak baik-baik aja.” Yuan merasa sepat di lidahnya. Kalimat Wendy seperti memutuskan pembicaraan mereka. Ini bukan pertama kali ia membuat Wendy merasa buruk, tapi ini pertama kali Wendy merespon seperti ini. Entah kenapa hal itu membuat Yuan tidak nyaman. Ponsel Wendy berdering. Ia menatap nama di layar, pun Yuan. Wendy menjawab panggilan itu. “Hm?” [....] “Iya sebentar lagi.” [....] “Mau ke mana? Si Bibi lagi dikantin nungguin..” [...] Wendy menghela napas. “k*****t si Bibi.. iya iya. Sebentar..” Yuan menatap perempuan di depannya itu. Menunggu dengan sabar Wendy selesai dengan telfonnya. Wendy melirik jam tangannya. Ia tau jadwal Yuan, ya tentu saja. “Kayaknya masih kekejar kakak balik ke kampus sekarang,” kata perempuan itu. Yuan membeku. “Aku nggak apa-apa, kakak balik aja. Makasih udah jauh-jauh datang ke sini..” Yuan seperti hendak mengucapkan sesuatu, namun kalimat itu tertelan begitu saja. Ada keraguan entah datang dari mana. Akhirnya ia dan Wendy berpisah begitu saja. Nyatanya kesalahpahaman mereka sama sekali belum selesai. ... “Mau ke mana?” tanya Wendy pada Pane yang sudah menunggunya di dekat parkir fakultasnya. Selalu ada beberapa pasang mata yang mengamati mereka. “Makan siang..” “Di kantin aja, Bibi udah nunggu..” “Bibi udah pergi sama temennya..” Wendy menghela napas kesal. Bibi disogok Pane sedikit saja sudah tergiur. “Yaudah makan di kantin aja,” ujar Wendy masih ngotot. Ia tidak mau masuk ke dalam mobil Pane. Biasanya Wendy tidak perduli pada penilaian orang padanya. Tapi kali ini hal itu sedikit mengganggunya. Apa Wendy mulai minder pada tunggangan Pane? Tidak, bukan itu masalahnya. “Kenapa?” “Apa?” “Kamu kayaknya nggak mau pergi sama aku. Ada yang ganggu pikiran kamu atau bikin kamu nggak nyaman?” tanya Pane. Wendy menatap laki-laki dengan tampilan casual di depannya. Pane memang tampan, Wendy baru sadar. Astaga. “Iya nggak nyaman. Bukan karena apa-apa, tapi karena lo. Gue baru aja patah hati tadi malam dan sekarang gue udah jalan sama lo. Gue nggak mau lo terlihat cuma buat jadi pelampiasan gue aja. Ngerti nggak sih? Ini demi lo, bukan gue.” Wendy hanya bisa menjawab di dalam hati. “Nggak, biasa aja. Kalau bisa makan di sini kenapa harus keluar?” Wendy beralasan. “Yaudah, mau makan di mana? Astaga. Mau makan aja ribet banget..” Wendy akhirnya mengalah. Pane tersenyum. Keduanya masuk ke dalam mobil sport Pane. Mobil itu melaju meninggalkan area kampus. “Lo nyogok Bibi pake apa?” “Hah? Oh, bukan apa-apa sih..” Pane tersenyum. Wendy tau Pane bohong, tapi yasudahlah. Perempuan itu perhatikan interior mobil yang sudah beberapa kali dinaikinya itu. Kemarin itu tidak memperhatikannya karena memang tidak perduli. Tapi sekarang interior mobil ini cukup menarik perhatiannya. “Masih ada kelas?” “Hm. Ntar sore..” Pane manggut-manggut. “Gue boleh nanya sama lo?” Wendy kini pandangi wajah Pane yang sedang menyetir. Laki-laki itu menoleh sekilas sambil mengangguk. “Lo nyamperin gue terus nggak takut gue bosen sama lo?” “Hmmm, takut sih, tapi kalau nggak ketemu kamu lebih takut..” Kening Wendy mengerut. Ia pikir Pane akan menggombal, tapi nyatanya kalimat Pane hanya sampai di sana, tidak ada lanjutan. “Kenapa emang?” tanya Wendy akhirnya. “Nanti nggak fokus mau ngapa-ngapain soalnya kepikiran..” Wendy memutar bola matanya. “Lo emang nggak ada kerjaan lain ya? Muncul aja kayaknya di mana-mana..” “Ada, banyak..” “Terus?” “Skala prioritas..” Kening Wendy mengerut. Ia tidak mengerti maksud Pane. Biasanya Wendy tidak memperhatikan. Tapi ia penasaran. Apa Pane memang biasanya irit bicara seperti ini atau tidak? “Maksudnya apaan?” akhirnya Wendy tetap harus bertanya karena tak ingin mati penasaran. Pane menoleh, menatap Wendy selama beberapa detik dengan tatapan teduh yang tak bisa Wendy jelaskan. Kenapa jantungnya berdebar hanya karena ditatap Pane seperti itu? “Yang menjadi prioritas yang harus didahulukan. Kamu prioritas utama aku, jadi kamu harus aku dahulukan.” “Emang kuliah lo nggak penting?” “Ya penting,” jawab Pane. Wendy mengerutkan kening, menatap Pane tak mengerti. Penting tapi tidak penting. Apa maksudnya? “Tadi gue ketemu sama Yuan,” ujar Wendy jujur. Entah Pane tau atau tidak siapa Yuan yang Wendy maksud. “Nggak ketemu sih, lebih tepatnya dia datang nemuin gue..” “Hm, terus?” Wendy menoleh. Lama Wendy terdiam karena respon Pane. “Terus?” tanya Wendy balik. Sungguh, dari respon Pane barusan Wendy jadi ragu apa Pane benar-benar suka padanya atau tidak. Pane tampak tidak tertarik sama sekali. Tak ada raut cemburu sedikitpun dari wajahnya. “Yuan tuh cowok yang gue suka,” ujar Wendy lagi. Mencoba memancing Pane. Tapi, “iya, terus?” Wendy melotot. “Terus?” Wendy mendengus kesal. Ia buang pandangan ke luar kaca. “Emang kenapa kalau dia datang nemuin kamu?” tanya Pane akhirnya. “Kenapa?” Wendy menyeringai. “Lo responnya nggak niat banget kayaknya. Kalau nggak tertarik buat denger nggak usah.” “Kata siapa aku nggak tertarik? Tadi kan aku udah nanya..” “Sadar nggak sih, respon lo tuh bikin kesel.” Pane mengerutkan kening. “Di bagian mana respon aku yang bikin kamu kesel?” “Yuan tuh cowok yang gue suka selama tiga tahun ini, dia datang nemuin gue dan reaksi lo cuman-terus?” Lama Pane terdiam. “Harusnya reaksi aku gimana? Marah-marah?” Wendy tidak berikan jawaban. Pane membuang napas pelan, masih terlihat tenang. “Dia nemuin kamu buat apa? Ngajak kamu jadian? Nggak kan? Selama bukan itu aku nggak masalah.” “Kalau dia ngajak gue jadian beneran lo mau ngapain?” tantang Wendy. “Ya tergantung. Kalau kamu mau aku bisa apa,” jawab Pane singkat. “Segitu doang?” Pane mengangguk tanpa ragu. Wendy merasa Pane benar-benar menguji dirinya hari ini. Tau akan begini lebih baik ia pulang saja tadi. Wendy menyesal sudah mengiyakan ajakan Pane. Mobil itu berhenti. Wendy tidak tau mereka sudah sampai di mana. Pane kini mengarahkan posisi duduknya menghadap Wendy. Menatap perempuan itu sepenuhnya. “Aku emang suka sama kamu, tapi bukan berarti aku akan maksa mendapatkan kamu dengan cara apapun. Kalau kamu ditembak orang lain dan kamu mau aku bisa apa? Suka bukan berarti kamu harus sama aku. Kamu berhak memilih dan berhak atas hidup kamu. Siapa aku yang bisa menentukan kebahagiaan kamu. Tapi kamu di sini sekarang, sama aku, kenapa aku harus sewot dia datang nemuin kamu? Mungkin dia orang yang penting buat kamu dan dia datang nemuin kamu membicarakan sesuatu yang penting juga, tapi bagi aku yang penting itu kamu. Kenapa aku harus perduli dia ngomong apa kalau udah ada kamu di sini sekarang sama aku?” Wendy tak berkutik ditatap Pane. “Bukan berarti aku nggak cemburu. Tapi aku nggak akan biarkan cemburu itu merusak waktu berharga aku sama kamu. Ayo, perut aku udah keroncongan..” Pane turun dari mobil dan Wendy mengikuti dalam keadaan setengah beku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD