Bab 13. Jangan Dekat, Aku Cemburu

1036 Words
"Apanya yang kurang, Mas?" Kahfi yang masih tak memandang pada Intan, membuat wanita tersebut langsung menyentuh lengan Atami. "Atami, sebenarnya apa yang kamu dan Mas Kahfi bicarakan?" Mata Atami menatap pada Intan serius. Tak mungkin dirinya ceritakan kejadian semalam, bagaimana pun Intan tetaplah istri Kahfi juga. Perlahan bibir Atami mengulas senyum. "Saya membuat biskuit, lalu Pak Kahfi memakannya." Intan sempat menatap tak percaya pada Kahfi, apalagi mendapati suami yang meraih secangkir teh dan tersenyum sinis. "Biskuit, ya. Benar, rasanya manis dan enak sampai aku ketagihan," sahut Kahfi. Atami sudah membeku dengan berusaha mengendalikan rasa gugupnya. Orang di rumah mengetahui yang semalam Kahfi lakukan padanya, kecuali Intan seorang. Sinta meraih tangannya. "Tinggal di sini saja, dengan begitu kita bisa berbelanja bersama." Dahi Intan mengerut, tidak pernah Sinta memperlakukan orang lain sebaik ini. Lantas, mata Intan melirik pada Maria yang sibuk menyesap teh. Siapa pun yang disukai oleh Maria, maka akan dipuja oleh Sinta juga. Terbesit dalam pikiran Intan untuk menjatuhkan Atami, supaya mereka berdua pun turut membenci Atami. Posisi Intan bisa saja tergeser, apalagi kalau Atami benar-benar hamil lalu Maria tidak mau melepaskan Atami. *** "Kenapa Bapak tidak membantu saya bicara? Saya kan tidak mau tinggal serumah dengan ibu Intan." Atami akhirnya menyuarakan pendapatnya, itu pun dalam perjalanan menuju kantor. Kahfi yang semula fokus menyetir, jadi melirik pada Atami. "Kalau kita berdua saja, mana bisa aku melakukannya." "Melakukan apa?" Kahfi menatap lampu merah di depan sana. Dia seolah mendapat kesempatan, hingga menghentikan laju mobil dan tubuh langsung condong pada Atami yang menghindar. "Kegiatan semalam di sofa." Atami langsung menoleh dengan kesal. Kahfi mengulas senyum dan ingin meraih tangannya, namun Atami menghindar. "Kamu menikmatinya tuh, jadi jangan munafik." "Saya tidak munafik. Tapi, semalam Bapak sedang tidak sadar." Kahfi tiba-tiba saja melepas sabuk pengaman, bunyinya sampai membuat Atami menatap waspada. "Aku sadar, Atami. Makanya bisa membuat kamu mendesah sebanyak itu." "Pak, Anda mau apa?" Tangan Kahfi meraih kepalanya, berniat mencium Atami. Namun, Atami lebih dulu mendorong wajah suaminya untuk menjauh. "Atami, lepaskan tanganmu!" "Menjauhlah dari saya dulu!" "Aku belum dapat ciuman selamat pagi darimu." Mata Atami sudah melotot. "Saya tidak akan melakukannya." Kahfi menarik napas, pada akhirnya dia memilih mengalah. Meski suami sudah menjauh sekali pun, Atami tetap saja menatap waspada. Barangkali Kahfi tiba-tiba saja mencuri. "Saya ingin tanya sesuatu." "Hm, katakan." Selagi mengemudi lagi, Kahfi sempat menatap pada Atami. "Apa Bapak yang memberi tahu ibu Intan soal rumah itu?" tanya Atami penasaran. Pasalnya, Maria melarangnya memberi tahu Intan. Karena wanita tersebut akan mengganggu. "Tidak." Atami masih menatap serius. Sampai Kahfi meliriknya dan menarik napas. "Aku tidak pernah berbohong, Atami. Buktinya sampai detik ini pun aku masih tidak suka padamu." Namun, pandangan Kahfi semakin turun. "Tapi, kalau tubuhmu. Aku akui, aku menyukainya." Mendengarnya, Atami langsung melengos. Namun, mata menyadari keberadaan Rian yang mengemudi di sebelah mereka berdua. Bahkan Atami dan Rian saling bertukar pandang. Kahfi yang ingin meraih tangannya, langsung Atami beri tahu. "Ada Asisten Rian." Mata Kahfi langsung mencari, begitu bertemu. Rian sempat mengulas senyum. "Lantas?" tanya Kahfi. "Turunkan saya di depan--" Atami melirik pada Kahfi setelah mobil melaju lebih kencang. Bahkan Rian pun tertinggal. "Pak, saya minta diturunkan. Kenapa Anda malah mengebut?" Kahfi meraih tangannya, bahkan memaksa sedikit saat Atami ingin melepaskan. "Supaya bisa bermesraan denganmu." Mendengar hal itu, Atami menggunakan tenaga untuk melepaskan tangannya dari Kahfi. "Silakan fokus mengemudi, Pak!" Kahfi langsung tersenyum, kemudian benar-benar fokus mengemudi. Atami diturunkan bukan di depan kantor oleh Kahfi, tepatnya setelah dirinya memaksa. Kini, Atami berjalan sedikit lebih cepat supaya tidak terlambat ke kantor. Tapi, Atami langsung mendengkus karena melihat Rian menunggu di depan kantor. "Kamu sama pak Kahfi ada hubungan apa?" Atami melewati Rian begitu saja, bahkan tidak menjawab sama sekali. Membuat kakak tirinya ini berjalan di belakang dan terus mengikuti. "Aku tidak suka kamu satu mobil dengannya." Atami melirik pada Rian sejenak, pria tersebut akhirnya tutup mulut karena mereka berdua selesai absensi dan menunggu lift terbuka. Ada banyak karyawan yang sedang ikut mengatre juga. Namun, sepertinya Rian tak berhenti penasaran. "Jawab aku, Atami," bisik Rian. Matanya melirik. "Kamu siapa? Kenapa harus aku jawab pertanyaan darimu." Rian langsung menarik napas. Pria tersebut jelas tidak ingin diakui sebagai kakak tiri. "Jangan dekat dengannya, aku cemburu." Mendengar hal itu, Atami langsung menyeringai. Kata cemburu yang sangat tidak memungkinkan ada di antara mereka. "Ibu Atami sama Pak Rian pacaran?" Kepalanya dan Rian langsung menoleh. Dilihatnya karyawan magang sampai tersenyum lebar, setelah tidak sengaja ikut mendengarkan. "Tidak." "Tidak salah." Atami segera melirik pada Rian yang tiba-tiba saja meraih pinggangnya. Bahkan Rian menunjukkan raut tersenyum senang. "Kami berpacaran." Rian semakin menegaskan membuat Atami menatap kesal, lantas melepaskan diri dari Rian. Kepala Atami langsung menggeleng. "Kami tidak pacaran, jadi jangan salah paham." Mata Rian memandang Atami dengan raut tidak senang. Pria tersebut juga tidak ingin pacaran, tapi lebih dari itu. Namun, Atami saja yang selalu menolak. "Ah ternyata begitu, tapi kalian berdua terlihat cocok." Atami hanya mengulas senyum tipis menanggapi ucapan dari karyawan magang ini. *** Atami telah bersiap untuk pulang bekerja. Terlebih tidak ada perintah lembur dari Kahfi. Tapi, tepat saat Atami mematikan komputer di kubik kerjanya. Kahfi terlihat membuka pintu ruangan, mata langsung tertuju pada Atami. Pandangan mereka berdua saling bertemu, namun Kahfi terlihat tak bicara. Hanya mendekati Atami yang masih menatap. "Kamu pacaran sama Asisten Rian?" Kahfi bertanya dengan tangan menyilang di atas perut. "Tidak." Atami meraih tas dan mulai berdiri. "Kalau begitu saya pulang lebih dulu, Pak." Baru saja Atami melangkah satu pijakan, Kahfi langsung memprotes. "Memangnya aku kapan mengizinkan kamu pulang?" Mata Atami melirik jam. "Jam kerja sudah berakhir, Pak." Kahfi menunjuk kursi kerjanya. "Duduk!" "Ini sudah jam pulang, bahkan Bapak juga tidak menyuruh lembur." "Kalau begitu hari ini lembur." Atami menatap Kahfi dengan berusaha mengendalikan amarah. Salahnya karena telah mengungkit masalah lembur. Perlahan, Atami ingin kembali ke kubik kerjanya. Belum juga meraih kursi, Kahfi langsung menyudutkan dirinya hingga pinggang menyentuh meja. "Pak! Apa yang Anda lakukan?" Jemari Kahfi meraih dagu Atami. "Berani sekali, wanita miskin seperti kamu berhubungan dengan pria lain di belakangku." "Saya tidak--" Mata Atami terbelalak kaget saat bibir mendapat kecupan dari Kahfi. "Pak Kahfi." Atami lebih kaget mendapati keberadaan direktur keuangan di belakang mereka berdua. Terburu Atami mendorong pundak Kahfi untuk menjauh darinya. Tatapan Atami saling bertemu dengan direktur keuangan. Mata yang begitu tajam membingkai wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD