Bab 1. Tawaran Jadi Istri Setahun
"100 juta untuk uang muka."
"Tidak termasuk biaya rumah sakit."
Pandangan Atami akhirnya tersita. Mungkin bagi wanita di hadapannya ini, uang itu hanyalah receh. Tapi, bagi Atami nominalnya sangat fantastis.
"Kenapa harus saya? Saat orang lain bisa melakukannya, Bu Intan."
"Kamu sekretaris mas Kahfi, tahu segala hal tentangnya. Kamu wanita ketiga, setelah aku dan ibunya yang bisa beradaptasi di dekatnya."
"Saya tercatat sebagai sekretaris pertama yang tidak disukai oleh beliau."
Pembahasan ini terlalu serius baginya. Sedikit menggiurkan, namun bisa saja berujung pada petaka.
Intan menarik napas. Wanita ini tidaklah sedang berkeluh kesah pada Atami, melainkan memberikan penawaran ketika posisi Atami terjepit.
Ayah Atami mengalami kecelakaan kerja, hingga saat ini dalam kondisi koma. Membuat Atami harus bekerja keras untuk memenuhi tagihan rumah sakit.
Mata Intan menatap Atami lekat. "Menikahlah dengan mas Kahfi selama setahun! Itu syarat untuk 100 jutanya."
"Sekalipun uangnya besar, tapi saya tidak bisa, Bu."
"Satu tahun saja, Atami. Berikan kami anak, hanya satu anak."
"Saya lebih tidak bisa lagi, karena Ibu ingin saya mengandung anaknya pak Kahfi."
Keluarga Kahfi kerap mendesak Intan untuk hamil, padahal kondisi Intan tidak memungkinkan. Mereka ngotot butuh keturunan, jalan satu-satunya membiarkan Kahfi mencari rahim kedua untuk bereproduksi.
"Lebih baik Ibu Intan cari orang lain saja," tolak Atami.
"Orang lain? Aku tidak rela berbagi suami dengan yang lain, Atami."
"Saya juga orang lain, Bu."
Intan mengulas senyum dan mengusap tangannya. "Bagiku kamu berbeda, kamu orang yang profesional. Setelah anak lahir, aku yakin kamu tidak akan merecoki rumah tangga kami."
"Saya yang tidak yakin, Bu."
Mendengar kejujurannya, Intan langsung tertawa.
"Jadi, kamu mengharapkan akan mengganggu mas Kahfi terus?"
Tangan Atami langsung membentuk silang. "Sampai detik ini, saya tidak sanggup mengganggu pak Kahfi."
***
"Kamu tidak waras ya!"
Intan memandang suami yang terlihat marah besar, sampai mata melotot lebih lebar dari biasanya. Namun, Intan masih bisa mengulas senyum.
"Hanya menikah lagi, Mas."
"Kamu kira aku barang! Bisa kamu tawarkan sesuka hati. Lagi pula Atami itu sekretarisku, Intan!"
"Loh ya bagus, Mas. Karena sudah saling kenal, kalian bisa lebih cepat punya anak nanti."
Kahfi menatap kesal ke arah Intan. "Anak lagi! Usiaku masih muda, apa yang kamu cemaskan, Intan!"
"Kamu tidak perlu dicemaskan, Mas. Kamu sehat, sementara aku tidak."
Kahfi menatap pada Intan. Wanita tersebut dinyatakan mandul dan mempunyai penyakit jantung.
Kahfi menarik napas, dia mendudukkan diri sembari mengendurkan dasi. Istri mana yang mau dimadu segampang ini.
"Sebenarnya kamu punya hati tidak sih, Intan?" sampai Kahfi bertanya.
Intan tersenyum. "Justru karena punya hati, makanya aku meminta kamu menikah lagi. Hanya satu anak, Mas. Lalu terserah kamu mau ceraikan Atami atau tidak."
Mata Kahfi menatap tajam. "Kalau mau cerai, aku akan melakukannya padamu."
Meski ucapan Kahfi menyinggung, namun Intan masih bisa tertawa pelan. "Itu artinya kamu mulai tertarik dengan seseorang, Mas."
Kahfi mendengkus kesal, ketika Intan mendekat dan mendudukkan diri di pangkuan. Mata Kahfi menatap lebih tajam dari biasanya.
"Apa yang sedang kamu lakukan?"
Intan hendak mencium bibir, namun Kahfi langsung menghindar.
"Tidak ada kontak fisik, perlu aku ingatkan perjanjian itu?" sindir Kahfi.
Demi pencitraan, mereka berdua kerap terlihat harmonis. Tapi, sebenarnya tidak ada cinta di antara mereka, hanya ada pernikahan paksa oleh kedua keluarga.
"Mas, kamu mau ke mana?"
Intan terduduk kasar di permukaan sofa, saat Kahfi mendorong dan mulai berjalan pergi.
"Bukan urusanmu!"
Kahfi benar-benar meninggalkan Intan, selama dia menuruni anak tangga. Maria, ibu dari Kahfi mengawasi sang putra. Lantas, helaan napas pun terdengar berat.
"Istri macam apa Intan itu, Bu."
Pandangan Maria pun tertuju pada Sinta yang bicara, istri dari putra sulung yang telah tiada karena kecelakaan.
"Sudah penyakitan, tidak bisa punya anak. Eh, sampai sekarang, dia tidak bisa membuat Kahfi betah di rumah," adu Sinta.
Ibu Kahfi nampak menarik napas lebih panjang. "Memang tidak ada gunanya Intan itu."
"Benar, Bu. Lagi pula, pernikahan itu harus ada ketertarikan antara dua pihak. Sementara Kahfi sama sekali tidak tertarik dengan istrinya."
Maria langsung melirik pada Sinta. Memang tak bisa dipungkiri, sifat selayaknya orang asing antara Kahfi dan Intan hanya berlaku di rumah saja. Ketika di luar, mereka adalah suami istri yang mencinta.
"Ibu harus cari menantu lagi," Sinta menyarankan.
Sementara pada pukul 9 malam. Terlihat Atami menutup pintu taksi dengan sedikit kasar. Bahkan, raut wajahnya pun menunjukkan ketidak sukaan.
Tentu jelas, ketika dirinya hampir tenggelam dalam dunia mimpi. Kahfi meneror minta dijemput di bar hotel. Atami menarik napas dan mulai memasuki lobi hotel.
"Manusia satu itu, biasanya menelpon asisten Rian. Hari ini malah menyuruhku yang jemput," komennya pelan.
Atami yang tidak hapal dengan lokasi Kahfi berada, hingga dirinya butuh tuntunan dari pekerja hotel. Mata Atami mulai menemukan sosok Kahfi yang duduk bersama teman tongkrongan di pojok meja bar.
"Oh! Itu sekretaris Atami." Salah satu teman Kahfi melambai padanya.
Atami hanya menunjukkan senyum tipisnya. Kahfi langsung menoleh dan memandang pada Atami dengan mata menyipit.
"Sekretarisku, kamu datang tepat waktu," racau Kahfi.
Mengakui Atami sebagai sekretaris, berarti Kahfi telah mabuk berat karena sebotol alkohol di sisi gelas.
Atami hanyalah karyawan biasa yang merangkak menjadi sekretaris berkat rekomendasi dari mendiang ayah Kahfi. Membuat Kahfi sejak dulu tidak menyukai dirinya. Kerap menyiksa Atami di kantor dengan alasan tidak kompeten.
Atami juga kerap dibandingkan dengan asisten Rian. Sosok yang menurut Kahfi lebih pantas jadi sekretaris, ketimbang dirinya.
"Katanya Intan menawarkan diriku padamu," racau Kahfi lagi.
Atami yang mengambil jas milik Kahfi di kursi, matanya langsung melirik. Atasannya ini mengulas senyum sinis.
"Murah sekali hargaku di mata kalian berdua," sindir Kahfi.
Atami tak mendengarkan. Dirinya meraih ponsel di atas meja dan menyerahkan pada Kahfi.
"Silakan hubungi ibu Intan, lalu beri tahu di mana Anda berada saat ini."
Kahfi menatapnya. "Dia tidak akan mencariku, terlebih jika dia tahu aku bersamamu. Wanita yang dia tawarkan untuk aku tiduri."
Kahfi menatap bibir Atami tertarik. "Aku ingin mencoba mulut yang membicarakan uang dengan istriku."
Mata Atami memandang Kahfi yang tiba-tiba saja berdiri dari duduk. Namun, Atami melototkan mata saat pinggang dan lehernya direngkuh oleh tangan Kahfi. Bukan hanya itu, lidah pria ini bermain di permukaan bibirnya.
"Wow!" decak teman Kahfi dengan kagum.
Atami menyadari tindakan ini tidak benar. Hingga ia berusaha memberontak dan mendorong tubuh Kahfi, namun pria ini tak melepasnya sama sekali. Atami yang kesal langsung menggigit lidah Kahfi.
"Ah! Sial!"
Semua mata langsung tertuju pada Kahfi yang mengadu kesakitan. Apalagi Kahfi menyeka darah dengan tangan. Mata pria ini menatap sengit ke arah Atami yang membalas dengan tak kalah marah.
"Dasar w************n! Berani sekali kamu--"
"Kahfi!"
Teman-teman Kahfi langsung bangkit dari duduk mereka. Karena wajah Kahfi baru saja ditampar oleh Atami menggunakan tas kerja milik Kahfi sendiri.