Bab 12. Yang Semalam Kurang, Atami

1066 Words
Kahfi menatap mata Atami yang sudah berkaca-kaca, bahkan ekspresi terlihat takut. Perlahan dia lepaskan tangan Atami. Seketika Kahfi teringat dengan kemungkinan adanya percobaan hal tak senonoh pada Atami. "Aku tidak akan menyakiti kamu, Atami. Kamu istri bagiku." Tapi, Atami sudah menitikkan air mata. Pemaksaan sejenak yang Kahfi lakukan, hampir sama dengan yang Atami terima dari ayah tirinya. Kahfi langsung berdiri dan menjauh. Dia berusaha menenangkan diri untuk tidak bertindak terlalu jauh. Kahfi berjalan menuju pintu, mata Atami mengawasi. Berharap Kahfi mau membukanya dan membiarkan Atami pergi. "Dalam kondisi seperti ini, hanya kamu dan Intan yang bisa mengendalikan rasa ini." "Kalau begitu saya akan panggilkan ibu Intan." Kahfi melirik pada Atami yang terburu merapikan pakaian. Dia benar-benar ingin mencicipi Atami malam tersebut juga. Melampiaskan keinginan luar biasa karena obat itu. "Intan memiliki riwayat jantung." Hal itu Atami tahu jelas. Karena dirinya telah lama mendengar dari orang di kantor. "Jika aku menyentuhnya, Intan tidak akan bisa." "Kenapa? Ibu Intan istri Anda, Pak." Atami mengawasi Kahfi yang menatap sangat antusias padanya, terutama tubuh Atami yang dibalut pakaian tertutup. "Pak, tolong jangan tatap saya begitu!" pintanya dengan tangan langsung menutupi tubuh. Kahfi menyeringai. Atami bagai medan magnet, sampai Kahfi kembali tertarik seberapa besar pun upaya dia untuk menahan diri. Kahfi melangkah mendekati Atami yang waspada. "Intan akan jatuh pingsan jika disentuh berlebih. Menurutmu, di antara kalian berdua siapa yang bisa melayani aku?" Mendengar ucapan dari Kahfi, Atami langsung menunjukkan raut terkejut. Jika Intan akan tak sadarkan diri saat disentuh, berarti pilihan Kahfi jatuh padanya. "Hanya kamu yang bisa, Atami." "Pak!" Atami langsung berdiri saat melihat Kahfi melepas ikat pinggang. Dipastikan Kahfi tidak bercanda soal memilihnya. Atami yang berlari langsung diikuti oleh Kahfi. "Pak! Tolong lepaskan!" Kahfi berhasil menangkap tangan Atami. Bahkan menariknya ke arah sofa lagi. "Ayolah, Atami. Selagi aku masih sedikit waras, jangan buat aku kehilangan kesabaran." *** "Dasar miskin!" Sinta menampar wajah pembantu yang ditugaskan mengantarkan minuman bersama Atami ke ruangan Kahfi. Wanita tersebut tersungkur, namun terburu merangkak ke arah kaki Sinta. "Ibu Sinta maafkan saya. Saya khilaf sesaat, saya tidak bermaksud buruk." Sinta menyeringai. Kakak ipar Kahfi tersebut berjongkok dan menjambak rambut pembantu. "Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu ingin merangkak ke kelas atas melalui Kahfi, kan?" "Tidak, Bu!" "Munafik!" Sinta kembali menampar karena kesal dengan rencana yang hampir saja gagal. Kalau Atami dan Kahfi sampai bermalam bersama, maka Sinta akan dipuji oleh Maria. Bahkan kemungkinan diberi uang berlebih untuk belanja bulan ini. "Lihat saja aku akan lapor pada Ibu, biar kamu tahu rasa!" Pembantu tersebut menjadi panik. "Tidak, Bu! Saya mohon! Saya memiliki ibu dan adik-adik yang menjadi tanggungan saya." Sementara Intan nampak menuruni anak tangga sembari membawa gelas kosong. Mata menemukan Sinta yang sedang menghukum pembantu di sudut balkon. Intan menarik napas. "Kebiasaan buruknya itu sama sekali tidak bisa diubah." Seusai mengambil minum, Intan menatap pada Sinta yang sekarang makin menjadi saat menyiksa pembantu. Intan memutuskan untuk menaiki tangga dengan pelan, merasa tidak ada urusan dengan pembantu itu. Begitu tiba di lantai atas, Intan sempat berhenti dan mengatur napas serta ritme jantung. Barulah kembali jalan dan berniat mencari keberadaan Kahfi. "Mas Kahfi di mana sekarang?" Intan bertanya ketika ada pembantu yang melintas. "Saya tidak tahu, Bu Intan." Saat Intan kembali berjalan dan menemukan pembantu berdiri di depan ruang kerja Kahfi. "Apa kamu lihat mas Kahfi?" Pembantu tersebut nampak kaget saat menemukan Intan, apalagi mendengar pertanyaan dari istri pertama Kahfi. "Pak Kahfi ...." "Ya, di mana mas Kahfi?" Intan heran dengan pembantu yang nampak gugup. Padahal Intan hanya bertanya biasa saja. "Pak Kahfi keluar bersama teman-temannya," sahut pembantu tersebut terpaksa berbohong. Intan melirik ke lantai bawah. "Tapi, saat aku mengambil air. Aku melihat mobilnya masih terparkir di depan rumah." Pembantu ini tersenyum gugup. "Mas Yuda datang dan menjemput pak Kahfi." Mendengar teman karib Kahfi datang menjemput, membuat kepala Intan mengangguk mengerti. "Lalu Atami di mana?" Mata pembantu tersebut membulat sejenak. Intan ternyata bukan hanya penasaran keberadaan Kahfi di mana, melainkan Atami juga. "Ibu Atami sedang di kamar ibu Maria, mereka berdua mengobrol bersama." Ekspresi Intan terlihat tidak senang. Selain panggilan sopan yang Atami terima dari pembantu, Atami juga akrab dengan ibu mertua. Hal yang selalu Intan inginkan. Justru direbut oleh Atami. Namun, Intan berusaha tersenyum. Intan merasa hanya butuh waktu setahun saja, setelah itu Intan bisa hidup bahagia bersama Kahfi dan anak dari Atami. "Kalau begitu saya akan membawakan teh untuk ibu Atami dulu." Intan menatap secangkir teh di atas meja hias yang mulai dibawa oleh pembantu tersebut. Teh yang sempat dibawa oleh Atami, tapi diletakkan oleh Kahfi. "Ya sudah." Intan sendiri langsung berjalan pergi menuju kamar tidur utama. Sementara Atami di dalam ruang kerja, sibuk menutup mulut. Takut Intan mendengar suaranya. "Pak pelan-pelan," bisik Atami sembari mendorong pundak Kahfi. Kahfi tak mendengarkan sama sekali. Hanya sibuk memberi tanda pada leher Atami. "Bersuaralah lagi! Aku senang mendengarnya." Kepala Atami langsung menggeleng cepat. Suara yang cukup memalukan baginya itu, malah membuat Kahfi senang. "Aku makin terpancing kalau kamu bersuara," bisik Kahfi. Atami menggigit bibirnya, ketika tubuhnya bergerak karena Kahfi. Perasaan yang singgah ini tanpa sadar selalu mendorongnya untuk bersuara. *** Pagi itu, Intan dibuat heran oleh Kahfi yang untuk kali pertama mau sarapan bersama. Duduk dengan tenang di kursi, tepat di hadapan Intan. "Bagaimana kalau kamu tinggal di sini saja, Atami?" Atami yang semula sibuk menatapi sendok di meja, langsung mengangkat kepala dan mata menatap Maria yang baru saja bicara. "Rumah ini akan lebih ramai jika ditambah kamu," sahut Sinta sembari tersenyum. Atami menatap pada Kahfi, meminta bantuan untuk menolak. Namun, Atami justru mendapati Kahfi sedang memandangnya dengan antusias. Teringat kembali malam panas yang mereka berdua lalui. Tatapan itulah yang Atami dapatkan saat Kahfi menginginkan dirinya. "Rumah itu akan kosong jika saya tinggal di sini, Bu Maria," sahutnya pelan. "Tidak masalah. Ada pembantu yang mengurus rumah itu." "Atami, kamu tinggal di sini saja," Kahfi tiba-tiba ikut bicara. Maria langsung menatap Kahfi dengan terkejut. Tidak biasanya sang putra mendukung. Bahkan Kahfi paling tidak senang tidur di rumah ini karena keberadaan Intan. Namun, semalam Maria mendengar kalau Kahfi tetap di rumah dan sedang bersama dengan Atami. "Bukankah lebih baik tinggal terpisah?" tanya Atami semakin pelan. Kahfi menyandarkan punggung. "Tidak. Kita tinggal bersama saja, supaya bisa lebih sering." Ketika semua orang di ruang makan nampak mengerti ucapan Kahfi, Intan sendiri yang mengerutkan dahi dengan heran. "Apanya yang lebih sering, Mas?" tanya Intan. Kahfi masih tak menatap pada Intan, malah tatapan tertuju pada Atami. Bibir Kahfi tersenyum. "Yang semalam kurang, Atami."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD