Bab 19.

1450 Words
“Apa? Menantu? Kamu pikir kami akan menerimamu sebagai menantu kami?” Papa Sandra menunjuk Rion dengan ekspresi wajah marah. Sementara sang istri langsung beranjak dari tempatnya duduk. “Siapa kamu … beraninya mengaku menjadi menantu kami?” Mama Sandra menyisir penampilan Rion dari atas hingga bawah. Perempuan itu menggeleng beberapa kali. “Jangan bermimpi di siang hari, anak muda. Kamu memang tampan, tapi, kami tidak menerima berandalan di keluarga kami. Sandra bukan gadis biasa. Kembalilah kamu ke keluargamu, dan jangan dekati Sandra lagi.” Mama Sandra mengingatkan. Wanita itu melipat kedua tangan di depan d*da. Rion terkekeh. “Kami sudah menikah. Bagaimana bisa aku tidak mendekati istriku? Kami bahkan sudah tidur satu ranjang, Mama. Menghabiskan malam dengan bercinta dan—” "Berhenti bicara, Sialan! Sepertinya mulutmu itu harus diberi pelajaran.” Papa Sandra mengedik kepala seraya melirik tiga orang pengawalnya. “Robek mulut berandalan ini, lalu buang ke jalanan,” perintah pria itu sebelum menarik langkah ke samping bersama istrinya—memberi ruang bagi tiga pengawalnya untuk bergerak. Sandra yang masih bersembunyi di luar apartemen mendengarkan kemarah orang tuanya, mengumpat. Apa dia akan membiarkan Rion babak belur dihajar orang-orang papanya? Gadis itu menggaruk kepala. Dia tidak memikirkan kemungkinan ini. Dia lupa jika orang tuanya pasti akan menggunakan kekerasan. Sandra mengintip. Kakinya sudah akan terhela ke depan saat melihat Rion berhasil menangkis pukulan salah seorang pengawal papanya. Sepasang mata gadis itu membesar, sementara mulutnya setengah terbuka. Inikah hasil latihan Rion dengan benda menggantung itu? batin senang Sandra. Ia urung masuk ke dalam ruangan. Bertahan di tempatnya—mengintip. ‘BUGH! BUGH! BUGH!’ Tiga kali pukulan tangan kanan, kiri, kanan salah seorang pengawal berhasil dengan mudah Rion tahan, hingga membuat pria bertubuh kekar itu menggeram kesal. Rion menyeringai. Pria itu menggerakkan tangan—meminta lawannya untuk mencoba lagi. Rion mengangkat tangan kiri ketika lawanannya mengayun kepalan tangan kanan. Rion yang semula hanya menahan pukulan sang lawan, kali ini balik mengayun tangan kanan yang sudah terkepal dari bawah ke atas menyasar rahang lawannya. Suara teriak kesakitan terdengar begitu kepalan tangan Rion menghantam rahang lawannya. Sang lawan refleks menarik beberapa langkah ke belakang—menjauh dari Rion sambil mengerang kesakitan. Melihat satu temannya dipukul mundur, dua orang pengawal yang lain langsung maju bersamaan. Keduanya bergantian menyerang Rion secara bersamaan. ‘BUGH! BUGH! BUGH!’ 'PAAAKKKK! PAAAKKK!' Suara pukulan dan tendangan terdengar bergantian terdengar memenuhi ruangan tersebut. Kedua orang tua Sandra berdiri memperhatikan perkelahian Rion dan pengawal-pengawalnya. “Kurang ajar!” kesal pengawal papa Sandra ketika lawannya masih bertahan setelah pukulan-pukulan dan juga tendangan-tendangan mereka. Pria itu berderap ke depan sambil kembali mengayun tangan kanannya. Begitu Rion menahan pukulannya, pria itu langsung memegang tangan Rion yang terangkat seraya memberi kode pada temannya. Sang teman yang tanggap langsung menyerang dengan kepalan tangannya. Rion mencoba menahan pukulan dari sebelah kanannya, namun saat salah satu lawannya menendang, dia tidak bisa menghindar lantaran tangannya dipegangi oleh lawan yang lain. ‘BUGH!’ Rion meringis menahan tendangan di perutnya. Dua orang pengawal papa Sandra langsung memutar tangan Rion ke belakang, hingga Rion tidak bisa bergerak. Saat itulah papa Sandra bergerak mendekat, lalu dengan sepatu pantofel yang masih membungkus kakinya, pria itu menendang keras kaki Rion sebelum kemudian menjejak perut Rion. Rion meringis kesakitan. Kakinya terhela beberapa langkah ke belakang, Kepala pria itu menunduk. Napasnya memburu. Rion menekan-nekan katupan rahangnya menahan sakit. “Dasar berandalan tidak tahu diri. Berani kamu melawanku, hah?” Papa Sandra langsung mengayun tangan kanan yang sudah terkepal kuat. ‘BUGH!’ Kepala Rion tertoleh ke kanan begitu kepalan tangan itu mengenai pipi kirinya. Baru saja Rion akan meluruskan kepalanya. Pipi kanannya terkena kepalan tangan kiri papa Sandra. Darah muncrat ketika sudut bibirnya pecah. “Masih tidak mau menjauh dari putriku? Masih tetap berani mengaku sebagai suami putriku, hah?!” Rion mengangkat kepala. Dengan sudut bibir berdarah, dan juga pipi memerah bekas pukulan, Rion menatap papa Sandra lalu tertawa. Membuat papa Sandra semakin marah. “Kamu ….” Papa Sandra menggeram. Kedua tangan pria itu mengepal kuat. Kulit wajahnya memerah. Ekspresi wajah pria itu seolah ingin mengunyah Rion hidup-hidup. Apalagi ketika melihat Rion kembali tertawa. Pria yang sudah dikuasai oleh emosi itu langsung menghajar Rion yang tangannya masih dipegangi oleh dua anak buahnya. ‘BUGH! BUGH! BUGH!’ Dengan napas terengah, Rion kembali menatap papa Sandra. Sepasang matanya mengecil ketika pria muda itu menarik dua sudut bibirnya yang pecah. “Sebentar lagi cucu kalian mungkin akan lahir.” “Apa! b******n!” Papa Sandra bertambah murka. Pria itu sudah mengangkat kepalan tangan kanannya ketika suara Sandra terdengar. “Hentikan!” Sandra yang semula hanya mengintip, akhirnya tidak tega melihat Rion terus-terusan dihajar. Bukan Rion kalah, Rion hanya kalah taktik saja. Sandra menatap marah sang papa. “Dia suamiku.” Sandra mendekati dua orang pengawal sang papa yang memegangi Rion, lalu mendorong keduanya. “Lepaskan. Dia suamiku, Sialan.” Sandra menendang tulang kering salah satu pengawal yang masih belum melepas tangan Rion. Pria itu refleks melepas cekalan tangan Rion, lalu mengangkat kaki yang ditendang oleh Sandra dan memegangi sambil meringis kesakitan. Sandra kembali mendorong tubuh pria tersebut hingga pria itu nyaris terjengkang. Sandra menarik sebelah tangan Rion lalu memeluknya. “Jangan berani menyakitinya. Dia ayah calon bayiku. Cucu kalian.” “Kamu … dasar anak kurang ajar!” “Pulang bersama kami, Sandra.” “Tidak mau,” sahut cepat Sandra sambil menoleh ke arah sang mama. “Aku sudah menikah, aku akan ikut kemanapun suamiku pergi.” “Kamu mau hidup menggelandang dengan berandalan itu, hah? Jangan bodoh! Apa yang kamu dapat dari pria seperti dia, hah?” Papa Sandra bertambah marah begitu mendengar sang putri lebih memilih pria yang ia anggap tidak pantas itu. “Ya, lebih baik aku hidup menggelandang bersama suamiku daripada aku hidup di rumah mewah yang terasa seperti neraka.” “Apa yang kamu bicarakan, Sandra?!” Kali ini mama Sandra bersuara lebih keras. “Kami memberikan semua fasilitas yang diinginkan oleh semua anak seusiamu. Apa begini caramu membalas usaha keras kami selama ini?” “Ayolah, Mama. Jangan membuat drama.” Sandra memutar bola mata jengah. “Kalian hanya memikirkan diri kalian sendiri. Aku tidak pernah ada dalam daftar utama hidup kalian.” Suara Sandra meninggi. Pun dengan ekspresi wajah gadis itu yang mulai berubah. “Apa arti anak untuk kalian berdua? Anak hanya pajangan. Aku tidak punya arti lebih dari itu. Bukankah begitu?” “Otakmu sepertinya sudah tidak berfungsi.” Papa Sandra dengan menahan amarah, menghela langkah ke depan, lalu berusaha menjauhkan putrinya dari Rion. Pria itu menarik tangan sang putri yang kemudian ditepis oleh Rion. “Masih belum cukup kamu merasakan pukulanku, hah?” Papa Sandra menatap membunuh pria yang berdiri dengan memeluk dari samping putrinya. Papa Sandra menggeram. Rion mengusap sudut bibirnya yang pecah. “Sekarang dia istriku. Aku lebih berhak atas dirinya,” kata Rion tanpa merasa takut sedikitpun. Pria muda itu justru tersenyum melihat amarah yang tergambar jelas di wajah papa Sandra. “Sandra!” Papa Sandra membentak. “Pulang sekarang.” Pria itu menatap tajam penuh amarah sang putri. Sandra menantang sang papa dengan tatapan matanya sembari menggelengkan kepala. “Tidak,” jawab tegas Sandra. Bola mata gadis itu bergerak mengamati setiap gurat kemarahan yang tergambar di wajah sang papa. Sandra menikmatinya. Sangat. Melirik ke arah sang mama, Sandra tersenyum melihat seperti apa ekspresi wajah mamanya. Dia tahu, mamanya sudah seperti bom yang sebentar lagi akan meledak—tapi, wanita yang sudah melahirkannya itu berusaha menahannya. ‘Lepaskan saja, Mama,’ batin Sandra bersuara. Dia ingin melihat mamanya lebih marah lagi. “Menjauh dari pria miskin ini sekarang juga, dan ikut kami pulang. Atau, kamu akan menyesal, Sandra.” Suara papa Sandra terdengar penuh akan ancaman. Nadanya rendah, tapi, penuh penekanan di setiap silabel katanya. Sandra menggerakkan kembali fokus mata pada sang papa. Sudut-sudut bibir gadis itu bergerak pelan. Kedua matanya mengecil. “Aku sudah membuat keputusan, Papa. Sekalipun kalian mengeluarkanku dari daftar keluarga, aku … tidak … akan … mundur. Aku tetap akan memilih suamiku,” jawab berani Sandra. Senyum mengembang lebih lebar hingga membuat sang papa menekan-nekan katupan rahangnya kerena menahan amarah yang meluap-luap. “Apa kamu benar-benar akan tetap memilih pria bodoh ini, apapun yang terjadi?” “Iya.” Sandra mengangkat dagunya—menatap lurus sepasang mata sang papa. Sandra merasa kemenangan sudah berada di depan matanya, sebelum bibir sang papa bergerak lalu dia mendengar pria itu tertawa keras. Sandra mengerjap. "Baiklah." Papa Sandra menggerakkan kepala turun naik beberapa kali. "Apa kamu masih akan tetap tidak pulang sekalipun orang-orang Papa menghabisi Frida?" "Fri-Frida?" tanya terkejut Sandra. "Apa yang papa lakukan pada Frida? Papa jangan gila." "Kamu yang memaksa papamu bertindak sejauh itu, Sandra." Mama Sandra menghampiri sang putri lalu menarik tangan putrinya menjauh dari Rion. "Pulang sekarang, atau papamu benar-benar akan menghabisi sahabatmu itu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD