Bab 18.

1425 Words
“Dia suamiku, Sialan.” Sandra langsung menarik perempuan yang sedang duduk di pangkuan Rion, hingga perempuan itu dengan terpaksa beranjak, lalu terhuyung karena tarikan Sandra. “Pergi! Cari mangsa lainnya. Dia milikku.” Sandra melotot. “Suami? Perempuan gila. Mengaku-ngaku Rion suamimu?” Perempuan bar itu berdecak tidak percaya. Perempuan itu kemudian menoleh ke arah Rion. “Dia bohong, kan?” tanyanya memastikan. “Tidak.” “Apa?” Sandra tersenyum penuh kemenangan mendengar jawaban Rion. “Sudah percaya sekarang, hah? Pergi sana,” usir Sandra seraya mengedik kepala. Perempuan bar itu menatap Rion tidak percaya. Beberapa detik kemudian perempuan itu menoleh ke arah Sandra. Menghentakan kakinya kesal, akhirnya perempuan itu memutar tubuh lalu mengayun langkah menjauhi meja yang didiami oleh Rion serta Sandra. Sandra menggelengkan kepala seraya mengikuti pergerakan perempuan itu dengan sepasang matanya. “Sebenarnya model perempuan seperti apa yang kamu sukai, Rion? Perempuan seperti itu, atau yang seperti sugar mommy mu itu?” Sandra memutar langkah hingga berdiiri menghadap ke arah Rion. Mulut Sandra terbuka kala melihat Rion hanya merespon pertanyaannya dengan mengangkat kedua alis. Sandra sudah akan kembali bersuara ketika Rion lebih dulu berbicara. “Cepat habiskan makananmu.” Berdecak, Sandra tidak menuruti kata-kata Rion. Gadis itu justru menjatuhkan p*ntat di pangkuan Rion, lalu membawa kedua tangannya melingkari leher Rion. Sepasang mata Sandra mengecil ketika kedua sudut bibir gadis itu melengkung ke atas. Sementara Rion membalas tatapan Sandra dengan alis berkerut. “Kamu mau apa?” tanya Rion. Lipatan di kening pemuda itu bertambah. “Bersenang-senang dengan suamiku,” kata Sandra sebelum mengikis jarak yang tersisa di antara mereka, kemudian menyatukan bibir mereka. Sandra terdiam ketika Rion tidak menggerakkan bibirnya sedikitpun. Sandra menatap Rion dari jarak yang sangat dekat. Hembusan napas mereka beradu. Dia bisa merasakan napas Rion yang mulai memburu. Tersenyum, Sandra mulai bergerak. Gadis itu tersenyum. Dia tahu Rion hanya berusaha menahan diri, dan dia akan mendobrak pertahanan diri Rion. Toh mereka sudah sah suami istri, apapun alasannya. Rion mengumpat dalam hati. Dia pria normal, yang tentu saja b*******h pada lawabnjenis. Akhirnya pertahanan pemuda itu runtuh juga. Tidak ada cinta ketika dia membalas ciuman Sandra. Hanya hasrat pria terhadap lawan jenis. Kedua orang itu terus beradu bibir tanpa peduli pada sekitar. Orang-orang di sekitar mereka pun tidak terlalu peduli. Hanya menatap lalu sudah. Mereka memiliki urusan masing-masing. Cukup lama mereka saling menarikan bibir sampai kemudian Sandra menarik kepalanya ke belakang. Dia kehabisan napas. D*da gadis itu bergerak naik turun dengan cepat. Jujur saja, Sandra sudah dikuasai oleh gairah. Gadis mana yang bisa menolak pesona pria seperti Rion? Tidak ada. Tidak juga Sandra. “Ayo, kita ke hotel saja.” “Apa?” “Kita lanjutkan di hotel. Aku tidak suka di sini. Mereka berisik,” kata Sandra sambil terengah. Ekspresi wajah gadis itu sudah berubah. Sandra benar-benar sudah dikuasai oleh hasrat yang meluap-luap. Rion mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Pria itu menyeringai melihat ekspresi wajah Sandra. “Sudah tidak tahan?” Dan Sandra dengan jujur mengakuinya. Gadis itu mengangguk tanpa malu. Bagi Sandra, dia tidak perlu merasa malu karena Rion adalah suaminya. “Kenapa? Kamu suamiku.” Rion menggerakkan kepala turun naik beberapa kali. “Bukankah sudah kukatakan kamu tidak hanya akan mendapatkan harta orang tuaku saat kamu memutuskan untuk membantuku? Kamu juga akan mendapatkan diriku sebagai bayarannya.” “Apa kamu semurah ini, Sandra?” tanya Rion dengan sepasang mata mengecil. “Kamu tidak berpikir apa yang akan suami sungguhanmu katakan kelak?” Sandra mengedip. “Kamu suamiku. Tidak ada yang salah dengan itu. Sekalipun kelak aku berganti suami, apa yang salah? Saat itu statusku sudah janda.” Sandra menjawab dengan santai. “Baiklah kalau itu yang kamu mau. Jangan menyesal.” “Kenapa harus menyesal? Lagipula tidak ada yang tahu masa depan. Bisa jadi aku hanya akan menikah satu kali.” Sandra tersenyum. “Jadi—” Sandra tidak bisa melanjutkan kalimatnya ketika Rion dengan cepat menguasai bibirnya. Keduanya menikmati kegiatan mereka menarikan bibir--seolah mereka adalah sepasang suami istri yang benar-benar sedang jatuh cinta, sampai kemudian suara ponsel mengganggu kegiatan panas keduanya. Awalnya Rion membiarkan benda persegi pipih bernama ponsel itu terus bersuara, namun karena suara itu tak kunjung berhenti—akhirnya dia merasa kesal. Rion menarik bibirnya. Dengan kesal Rion mengambil benda penghubung miliknya yang masih terus bersuara. Sementara Sandra yang terengah, mencoba untuk mengatur kembali ritme tarikan dan hembusan napasnya. “Ada apa?” tanya Rion dengan nada datar pada seseorang yang tersambung dengannya. “Kamu di mana sekarang?” “Kami sedang makan, Margaret. Ada apa?” Rion mengernyit mendengar decakan kesal Margaret. “Ada apa?” tanya ulang Rion. “Kamu punya urusan dengan siapa lagi? Aku dengar dari penghuni flat, tempatmu dimasuki beberapa orang berpakaian hitam-hitam.” “Apa?!” tanya Rion dengan nada yang sudah meninggi. Kedua alis tebal pria itu sudah hampir menyambung di kening. “Beberapa orang sedang menggeledah tempat tinggalmu sekarang. Kamu tidak menyimpan barang terlarang di flat, kan?” “Polisi?” tanya Rion yang kini menggulir bole mata ke arah Sandra yang sedang menatap bertanya padanya. “Bukan.” “s**t. Aku akan pulang sekarang,” ujar Rion sebelum menurunkan ponsel kemudian mematikan sambungan. “Kita harus pulang.” Rion memberitahu Sandra yang sudah turun dari pangkuannya. “Ada apa?” “Sepertinya para pengawal orang tuamu sudah menemukan tempatku. Ah, Sialan,” umpat Rion di ujung kalimatnya. “Bagaimana bisa?” tanya Sandra bingung. Dia sudah mematikan ponselnya karena berpikir orang tuanya akan bisa melacak keberadaannya dari ponsel miliknya. Rion mengeluarkan dompet lalu menarik keluar beberapa lembar uang kertas. Meletakkan uang tersebut ke atas meja begitu saja, lalu meraih sebelah tangan Sandra. “Ayo,” ajaknya seraya menarik tangan Sandra. Keduanya setengah berlari keluar dari bar. *** Sementara di tempat lain, seorang pria dengan setelan jas berwarna abu-abu berdiri di tengah sebuah ruangan—menunggu tidak sabar tiga orang anak buahnya yang sedang memeriksa setiap sudut ruangan sebuah tempat tinggal. “Mereka tidak ada di tempat ini, Tuan.” Tiga orang bertubuh kekar berjalan cepat keluar dari dalam bangunan. “Sialan. Kemana mereka pergi?” Pria dengan postur tubuh tinggi dan bertubuh tegap tersebut terlihat marah. Kulit wajahnya merah padam. “Kita tunggu saja di sini. Mereka pasti akan kembali lagi ke sini. Ini tempat tinggal pria itu.” Pria dengan jas abu-abu memutar kepala ke arah sofa. Seorang wanita dengan dres panjang warna hitam, duduk anggun dengan satu kaki menyilang di atas kaki yang lain. “Anakmu itu benar-benar sudah gila,” kata pria itu sebelum memutar kembali kepalanya ke depan. “Apa yang kalian temukan? Siapa pria kurang ajar itu? Dari keluarga mana?” Tiga pria dengan setelan pakaian hitam-hitam itu menggeleng bersamaan. “Kami tidak menemukan apapun, Tuan. Tidak data diri sekalipun. Sepertinya ini bukan tempat tinggalnya. Di dalam lemari pun tidak banyak pakaian.” Salah satu dari ketiga pengawal itu memberitahu. Kening sang tuan mengernyit. “Tidak ada apapun?” “Sama sekali tidak ada, Tuan.” “b******k! Siapa orang itu? Beraninya dia bermain-main denganku,” marah pria itu. Dia menyiapkan putri satu-satunya untuk menjadi pewaris. Dia tidak akan membiarkan putrinya menikahi sembarang pria. Dia sudah punya pilihannya sendiri. Seorang pria yang akan pantas menjadi pendamping pewarisnya kelak. "Aku benar-benar tidak akan mengampuni pria kurang ajar itu. Beraninya dia!" **** “Rion, apa tidak sebaiknya kita pergi saja? Kalau benar itu orang-orang papa, kamu tidak akan bisa melawan mereka.” Sandra mencoba menghentikan langkah kaki Rion. Mereka baru sampai di bangunan flat yang Rion tempati. “Kamu bilang ingin membuat mereka marah.” “Iya, memang.” Rion menoleh. “Kalau begitu lihat saja.” Rion melangkah masuk ke dalam lift diikuti oleh Sandra. Sandra menghembuskan napas samar. Tidak lama berada di dalam kotak besi—pintu di depan mereka terbuka. Keduanya kemudian keluar. Rion mempercepat langkah kakinya. Beberapa orang terlihat sedang berada di luar kamar. Oh, lebih tepatnya mereka berdiri tak jauh dari tempat tinggalnya. Rion menarik oksigen sebanyak mungkin masuk ke dalam paru-paru. Membulatkan mulut, pria muda tersebut menghentak keluar karbondioksida sebelum memutar langkah lalu masuk ke dalam tempat tinggalnya. Pintu sama sekali tidak tertutup. Beberapa orang yang sedang berada di dalam ruang tamu tempat tinggal Rion refleks memutar kepala ke arah suara langkah kaki terdengar. Menghentikan ayunan kakinya, Rion mengedarkan pandangan mata—menatap beberapa orang tersebut bergantian. Lalu, pandangan matanya berhenti pada sosok perempuan yang duduk di sofa ruang tamunya. Kepala Rion meneleng. “Selamat malam, Mama.” Satu sudut bibir pemuda itu terangkat. Rion menggeser bola matanya ke arah sosok pria yang terlihat sedang menahan amarah. “Halo, Papa. Perkenalkan. Aku menantu kalian.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD